Ilmu pengetahuan tidak akan berarti jika tidak disertai oleh skeptisisme. Para saintis menggunakan banyak waktu mereka untuk menguji berbagai hipotesis, khususnya berbagai hipotesis yang dimilikinya. Ketidakmampuan untuk membuktikan bahwa ada hipotesis (-hipotesis) yang salah setelah diuji terhadap semua bukti yang ada, dan memperoleh penegasan dari pengujian serupa yang dilakukan oleh orang lain, sesungguhnya merupakan suatu langkah dalam membangun sebuah hipotesis yang berdasar pada akal sehat. Setiap teori saintifik yang telah dibangun artinya teori tersebut pas/cocok/sesuai dengan bukti yang ada dan karena belum ada teori lain yang telah terbukti mampu menolak atau melawan teori yang sebelumnya.
Demokrasi politik yang banyak dianut dan diterapkan di banyak negara menjadi tidak berarti tanpa adanya skeptisisme kecuali jika masyarakat sudah memiliki kemampuan dan daya kekuatan untuk melakukan kritik terhadap berbagai keputusan atau kebijakan pemerintah yang berkuasa dan para politikus. Daya kritik terhadap pemerintah dan para politikus sangat bermanfaat sehingga masyarakat tidak hanya terbawa arus memilih yang sama sekali tidak didasarkan pada pengetahuan dan pertimbangan akal sehat yang dimiliki masyarakat. Hal ini dapat membuat ruang lingkup masyarakat dibentuk dan didorong oleh adanya budaya debat yang didasarkan pada akal sehat dan kesopanan. Oleh karena itu, perbedaan antara demokrasi dan kekacauan sangatlah tipis. Hanya masyarakat yang mampu melakukan pengujian kritis dan bersikap skeptis terhadap berbagai isu yang terjadi di masyarakat dengan didasari pada akal sehat-lah yang berhak menikmati demokrasi.
Dengan demikian, skeptisisme sama sekali bukan negativisme atau berpikir secara tertutup melainkan sebaliknya. Skeptisisme sesungguhnya didasari oleh akal sehat yang selalu belajar dan berupaya:
Mengumpulkan sebanyak mungkin bukti
Memperhatikan pola-pola yang ada dalam pikiran, teori, dan argumen, baik diri sendiri maupun orang lain serta pola-pola yang terjadi di masyarakat
Mengajukan banyak penjelasan yang tidak bersifat kaku alias fleksibel untuk diubah
Tidak segera mempercayai hal-hal misteri serta menolak berbagai kontradiksi
Tanpa lelah menguji setiap teori, argumen, dan kesimpulan
Memperbaiki atau menolak setiap hipotesis yang keliru
Tidak sedikit orang mengatakan bahwa Hitler, Stalin, Mussolini, dan Mao adalah orang-orang tidak beragama, tidak bertuhan, dan atheist karena mereka telah membantai sesamanya. Pandangan ini didasarkan pada pernyataan bahwa tidak mungkin seorang yang (taat) beragama tega melakukan tindakan yang sangat biadab, salah satunya adalah membunuh manusia. Dengan berdasar pada argumen itulah maka orang mengambil kesimpulan bahwa tidak mungkin orang beragama berlaku kejam terhadap sesamanya, tetapi orang-orang yang tidak beragama, tidak bertuhan alias para atheist-lah yang telah dan pasti akan bertindak kejam. Oleh karena stigma itulah maka atheisme dianggap harus bertanggung jawab atau menanggung beban tersebut. Apakah pandangan tersebut bisa diterima kebenarannya?
Sepertinya orang-orang yang mendukung pandangan tersebut (orang-orang beragama tidak mungkin melakukan kekejaman, sebaliknya hanyalah orang-orang yang tidak beragama dan tidak bertuhanlah yang melakukan tindakan keji) tidak memperhatikan dan memperhitungkan bahwa sesungguhnya ada begitu banyak tindak kekerasan yang pernah terjadi di dunia ini dilakukan oleh orang-orang yang mengaku dan mendaku beragama dan bertuhan. Apakah kenyataan dari berbagai tindak kekerasan yang dilakukan orang-orang beragama dan bertuhan sama sekali tidak disingkirkan oleh orang-orang beragama dan bertuhan sehingga cap tidak baik hanya disematkan pada diri orang-orang yang mengklaim diri tidak beragama atau tidak mempercayai adanya tuhan? Seharusnya tidaklah demikian. Jika demikian, apa yang sesungguhnya terjadi? Mengapa orang-orang yang mengaku beragama dan bertuhan melakukan kekerasan terhadap sesamanya? Jawaban yang seringkali didengungkan adalah “fanatisme” atau “ekstrimisme”. Artinya, orang-orang beragama dan bertuhan yang bertindak keras terhadap sesamanya adalah mereka yang beragama dan bertuhan secara fanatik atau ekstrim. Mereka dicap oleh sesamanya yang tidak melakukan kekerasan sebagai kaum fanatik atau para ekstrimis.
Untuk menjelaskan kenyataan tersebut berikut dikemukakan beberapa poin penting:
Pertama, Hitler dan Mussolini bukanlah atheist, sebaliknya mereka adalah orang-orang yang beragama (sebagian besar pasukannya beragama Kristen) dan membenci atheisme. Sementara Stalin dan Mao melakukan pembunuhan besar-besaran bukan karena didasarkan pada atheisme melainkan kekuatan absolut yang hendak dibangun oleh mereka.
Kedua, berbagai pembunuhan yang terjadi di benua Afrika pada masa penjajahan dan perbudakan, penjajahan terhadap penduduk asli Amerika Serikat (Indian), dan perang-perang yang dipimpin oleh Napoleon dilakukan oleh orang-orang beragama dan bertuhan. Sementara hal serupa (pembunuhan) yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak beragama dan bertuhan serta hanya terjadi pada abad ke-20 hanyalah dua kasus. Padahal jelas, kasus penjajahan dan pembunuhan yang terjadi di benua Afrika, Amerika Serikat, dan perang Napoleon terjadi selama beberapa masa (abad).
Ketiga, tidak jarang orang juga sangat keliru ketika mengaitkan antara komunisme (Marxisme) dan atheisme dengan mengatakan bahwa komunisme adalah bagian dari atheisme. Pandangan tersebut sangatlah keliru. Sesungguhnya yang terjadi adalah bahwa komunisme lahir akibat kapitalisme yang dilakukan banyak orang kulit putih pada abad ke-19, di mana perbudakan, pengerahan kerja terhadap kaum perempuan dan anak-anak di berbagai pabrik yang mengakibatkan kematian. Hal ini terus berlanjut sampai awal abad ke-20. Barulah setelah itu terjadi perjuangan antara orang-orang beragama (Kristen) yang berusaha mereformasi industri modern demi kesejahteraan banyak orang. Dan peristiwa tersebut sama sekali tidak ada kaitannya dengan atheisme.
Keempat, orang-orang beragama dan bertuhan juga tidak jarang menuduh bahwa tingkat kematian manusia yang begitu tinggi pada abad ke-20 diakibatkan oleh negara-negara sekular. Ini didorong oleh anggapan keliru yang mengatakan bahwa sekularisme berkaitan dengan atheisme. Oleh karena itu, tingginya tingkat kematian manusia diakibatkan oleh berkembangnya (gerakan) atheisme yang merasuk ke dalam banyak negara di Eropa sehingga mendorong gerakan sekularisasi. Hal ini juga sangat tidak beralasan karena kenyataan malah berbicara sebaliknya, di mana negara-negara Eropa (setelah dilakukan penelitian sosial), seperti: Inggris, Belanda, Denmark, Norwegia, Swiss, Austria, Norwegia, Swedia, dan Finlandia) sama sekali tidak tertarik pada isu-isu perang. Sedangkan hal sebaliknya malah terjadi di benua Asia dan Amerika Serikat.
Kelima, orang-orang beragama dan bertuhan pun tidak ragu menyalahkan perkembangan teknologi yang dianggap berasal dari sekularisasi yang dipicu oleh atheisme. Menurut mereka, teknologi yang mengakibatkan peperangan dan kematian manusia umat di masa modern dipicu oleh atheisme. Ini pun tidak berasalan karena pada masa pra-modern, dalam pengertian tertentu, manusia pun berlaku tidak kalah kejinya. Di masa para raja dan kaisar memerintah mereka menggunakan teknologi pada masanya untuk membunuh sesamanya. Dan jangan lupa bahwa pemipin pertama di masa modern yang menjatuhkan nuklir adalah seseorang yang beragama.
Setelah memperhatikan beberapa poin di atas maka secara lebih bijak bisa dikatakan bahwa bukan ateisme atau agama yang telah membunuh manusia. Fanatisme, lebih tepatnya, orang-orang yang beragama secara fanatik-lah sesungguhnya yang telah berlaku kejam terhadap sesamanya. Mereka yang beragama secara ekstrim-lah yang telah membunuh manusia lainnya. Sejarah telah mengungkapkan bahwa kaum beragama dan bertuhan secara fanatik dan ekstrim telah bertindak keji terhadap sesamanya manusia.
[Setelah mencari tahu siapakah penulis mula-mula kutipan di atas maka saya menemukan bahwa kutipan di atas berasal dari Buddha Gautama]
Jangan percaya apapun,
Di manapun engkau membacanya,
= Jangan mudah mempercayai penglihatan dan bacaan anda. Sekalipun penglihatan anda mengatakan bahwa objek yang anda lihat adalah sesuatu yang benar atau nyata, uji, evaluasi, dan kritislah terhadap penglihatan anda tersebut. Sekalipun anda membaca suatu berita atau informasi yang ditulis/dicetak oleh media massa ternama, baik cetak maupun elektronik, senantiasalah kritis terhadap bacaan anda tersebut termasuk buku-buku tertentu yang dipercaya oleh anggota komunitas tertentu.
Atau siapapun yang mengatakannya,
Sekalipun jika aku yang mengatakannya,
= Jangan mudah mempercayai berita atau informasi yang berasal dari orang lain sekalipun orang tersebut merupakan seseorang yang penting, ternama, atau populer. Popularitas seseorang bukanlah jaminan bahwa apa yang dikatakannya sebagai sesuatu yang benar. Sekalipun hal itu dikatakan oleh otoritas tertentu dalam masyarakat (orang tua, orangtua, pemuka masyarakat, dan pemimpin kelompok tertentu). Otoritas yang melekat pada diri seseorang tidak menjadi jaminan bahwa semua yang dikatakan orang tersebut pasti benar adanya.
Kecuali hal itu bisa diterima oleh akal sehat
Dan pikiranmu sendiri.
= Oleh karena itu, ujilah semua informasi dan pandangan terhadap berbagai bukti yang relevan. Tiada lelah berusaha mencari, memahami, dan menjelaskan berbagai data yang ada dengan didasarkan pada akal sehat dan pikiran independen. Artinya, tidak serta-merta atau sangat bergantung pada pandangan orang lain atau otoritas tertentu. Sementara itu, cek dan ujilah selalu emosi dan pikiran sendiri yang tidak jarang bias, tidak jelas, dan tidak cermat supaya tidak tersesat dan menyesatkan.
Jika seseorang berkata kepada anda bahwa ia memiliki hewan peliharaan seekor anjing, anda bisa mempercayainya karena memiliki seekor anjing sebagai hewan peliharaan merupakan hal yang biasa. Selain banyak orang memelihara anjing sebagai hewan peliharaan, anjing juga merupakan hewan yang cenderung mudah dipelihara, jadi kemungkinan besar anda tidak membutuhkan bukti apakah orang itu memiliki anjing atau tidak.
Jika seseorang berkata kepada anda bahwa ia memiliki hewan peliharaan seekor jerapah, kemungkinan besar anda tidak serta-merta mempercayainya karena jerapah sebagai hewan peliharaan merupakan hal yang tidak biasa dilakukan orang. Selain orang tidak biasa memelihara jerapah sebagai hewan peliharaan, jerapah juga merupakan hewan yang sulit dipelihara karena membutuhkan makanan, kandang, dan lingkungan yang cukup berbeda dibandingkan jika orang memelihara anjing. Selain itu, sejauh yang bisa ditemukan jerapah hanya dipelihara dalam kebun binatang atau berkeliaran di alam bebas. Oleh karena itu, kemungkinan besar, jika anda seorang skeptik anda membutuhkan bukti apakah orang itu sungguh-sungguh memiliki jerapah sebagai hewan peliharaan atau tidak.
Jika ada orang lain berkata bahwa ia memiliki atau pernah melihat seekor anjing atau jerapah yang bisa terbang, maka pada konteks inilah orang harus bersikap skeptis terhadap klaim orang tersebut karena sejauh ini belum ada orang yang pernah memiliki atau melihat anjing atau jerapah yang bisa terbang, tidak seekor pun. Oleh karena itu, orang bisa menganggap jika klaim tersebut adalah omong kosong, entah orang itu mengalami delusinasi ataupun ingin membuat heboh sehingga menghasilkan terkenal dan memperoleh banyak uang dari klaimnya tersebut.
Sekalipun ada beberapa orang atau banyak orang mengklaim jika mereka memiliki atau pernah melihat anjing atau jerapah terbang, maka klaim mereka harus diperhadapkan terhadap berbagai bukti yang didasarkan pada akal sehat. Jika berbagai bukti mengatakan hal yang bertolak belakang dengan klaim mereka, maka mereka mengalami halusinasi kolektif. Atau, sekalipun anda "merasa" pernah melihat seekor anjing atau jerapah yang bisa terbang, namun anda meragukan "penglihatan" anda, maka anda perlu mengevaluasi "penglihatan" anda terhadap berbagai data dan bukti yang didasarkan pada akal sehat. Selain itu, anda perlu menguji klaim anda tersebut terhadap pandangan para ahli binatang. Artinya, anda perlu bertanya kepada para ahli binatang, apakah ada anjing atau jerapah yang bisa terbang. Jika semua bukti tersebut mengatakan hal yang bertolak belakang dengan klaim anda, namun anda tetap mempertahankan klaim anda, maka anda mengalami delusinasi.
Orang memelihara anjing adalah klaim biasa dibandingkan dengan orang yang mengklaim memiliki atau pernah melihat seekor anjing atau jerapah terbang. Klaim yang kedua disebut sebagai klaim luar biasa karena tidak didukung oleh berbagai bukti relevan. Oleh karena itu, klaim luar biasa membutuhkan bukti yang luar biasa. Artinya, klaim luar biasa harus didukung oleh bukti-bukti yang juga luar biasa. Dengan demikian, bebannya terletak pada orang yang mengutarakan klaim yang luar biasa karena ia (mereka) harus mendukung klaimnya dengan bukti yang luar biasa.
Setiap saat orang membaca, menyaksikan, dan mendengar berbagai klaim yang berasal dair orang lain. Seorang yang kritis tidak serta-merta menerima atau mempercayai setiap klaim yang diterimanya. Oleh karena itu, seorang yang kritis akan memperhatikan beberapa aspek yang berkaitan dengan klaim-klaim yang setiap saat diterimanya. Secara spesifik seorang yang kritis akan mempertanyakan hal-hal seperti: apakah klaim itu? apakah peran orang yang mengutarakan klaim tersebut? informasi apa sajakah yang mendukung atau mendasari klaim tersebut? bagaimanakah menguji klaim tersebut? apakah ada informasi lain yang sejajar atau bertolak belakang dengan klaim tersebut? kesimpulan apakah yang bisa diambil/dibuat?
Berikut adalah penjabaran terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas:
Klaim Siapa atau apakah yang merupakan sumber klaim tersebut? Apakah sumber klaim tersebut sejajar atau relevan dengan pertanyaan-pertanyaan atau masalah yang sedang dihadapi? Apakah klaim tersebut dikemukakan secara jelas yang didasari oleh pemikiran yang masuk akal, atau apakah ada bukti kuat jika klaim tersebut disampaikan secara tidak jelas atau mengandung bias?
Peran yang menyampaikan klaim
Apakah si penulis atau yang mengatakan klaim tersebut adalah seseorang yang jelas? Ia memiliki identifikasi yang jelas? Jika ya, apakah ia dapat dipercaya? Seberapa besar ia dapat dipercaya? Apa dasarnya? Jika anda telah memiliki informasi mengenai klaim tersebut atau anda pernah mengevaluasi klaim yang serupa, apakah anda menemukan bias dalam klaim yang disampaikan orang tersebut?
Informasi yang mendukung klaim
Informasi apa sajakah yang diberikan oleh orang yang membuat klaim tersebut? Apakah informasi-informasi tersebut bisa diuji atau dibuktikan kesahihannya, atau informasi-informasi tersebut didasarkan pada kesaksian atau pengakuan orang, atau hal lainnya? Apakah informasi-informasi yang diberikan didasarkan pada penelitian yang dilakukan orang lain ataukah diri sendiri? Apakah si penulis memberi tahu bagaimana ia melakukan penelitian dan pengumpulan data/informasi? Apakah ia memberikan sumber-sumber kutipan atau referensi yang bisa dicek kebenarannya? Jika sumber yang dimaksud berasal dari sebuah artikel, apakah artikel tersebut telah diuji kesahihannya oleh para ahli di bidang tersebut?
Menguji klaim
Ujilah klaim tersebut dengan melakukan analisis sendiri, seperti: analisis statistik, pengumpulan data dari berbagai sumber -- media cetak dan elektronik -- yang didasari pada logika dan akal sehat.
Carilah informasi-informasi lain yang sejajar
Apakah ada informasi-informasi lain mengenai klaim tersebut? Apakah informasi-informasi tersebut mendukung atau bertolak belakang dengang klaim tersebut? Cari dan bacalah apa yang dikatakan para ahli mengenai klaim tersebut? Apakah mereka mendasarkan argumennya pada data dan penelitian yang dilakukannya sendiri atau hanya opini yang hanya atau tidak didasari oleh bukti-bukti? Apakah para ahli tersebut memang merupakan pakar di bidang tersebut atau mereka hanya mengutip atau menyampaikan opini mereka mengenai klaim tersebut yang sebenarnya tidak didasari pada keahlian mereka?
Kesimpulan
Setelah melakukan lima langkah di atas, maka seorang yang kritis bisa sampai pada penilaian terhadap klaim yang diterimanya: Apakah klaim tersebut bisa diterima kebenarannya? Apakah berbagai informasi yang dianggap mendukung klaim tersebut objektif setelah mempertimbangkan semua data yang didasarkan pada logika dan akal sehat? Dengan demikian, apakah kesimpulannya?
===========
Mungkin ada orang menganggap keenam langkah di atas berlebihan atau mengada-ada karena sepertinya mustahil dilakukan. Namun sesungguhnya tidak demikian. Setiap orang yang mau berpikir kritis seyogianya tidak enggan melakukan keenam langkah di atas karena cukup sederhana dan mendasar. Mungkin banyak orang sudah melakukan keenam langkah di atas, tetapi tidak menyadarinya. Oleh karena itu, mulai sekarang keenam langkah di atas dilakukan dengan kesadaran penuh agar setiap klaim yang diterima dapat dianalisis secara cermat dan tepat sehingga kesimpulan yang akan dibuat pun tepat sasaran.
Mungkin ada juga orang menganggap remeh keenam langkah di atas karena menurutnya tidak penting sehingga tidak perlu dilakukan. Namun yang tidak disadari orang itu adalah bahwa tidak semua klaim yang diterimanya benar karena masing-masing merepresentasikan pandangan orang lain. Setiap klaim dibuat untuk mempengaruhi orang atau pihak lain. Kekeliruan atau serta-merta mempercayai setiap klaim yang disampaikan orang lain akan membuat orang yang menerimanya mengalami kesesatan atau bahkan manipulasi.
Di bawah ini adalah berita yang saya baca dari detikcom, Rabu 24 Maret 2010, yang bertajuk: "Hi..Usai Diselamati 100 Hari, Seorang Wanita Hidup Lagi". Berikut beritanya:
Warga Desa Jorongan RT 5 RW 6 Blok Krajan Polotan, Kecamatan Leces, Kabupaten Probolinggo geger. Pasalnya, seorang wanita bernama Nur Syamsiah (23), yang dikabarkan meninggal, ternyata hidup lagi.
Perempuan yang sudah mempunyai satu orang anak itu menghilang dari rumahnya selama 2,5 tahun. "Dia menghilang selama 2,5 tahun," ujar paman Nur Syamsiah, Iksan Halami saat ditemui wartawan di rumahnya, Rabu (24/3/2010).
Menghilangnya Nur Syamsiah selama 2,5 tahun itu, membuat keluarganya memastikan jika dia sudah meninggal. Bahkan, keluarganya sempat membuat selamatan laiknya selamatan orang meninggal biasanya. "Ya kita bikin selamatan 7 hari sampai 40 hari. Bahkan sampai seratus harinya," katanya.
Namun, tiba-tiba tanpa disangka, Nur Syamsiah, muncul di tengah keluarganya. Munculnya perempuan itu membuat seluruh keluarganya kaget bukan kepalang. "Semua keluarga kaget, ketika dia tiba-tiba pulang. Padahal, semua keluarga sudah memastikan dia meninggal, karena sudah 2,5 tahun menghilang," tambah Iksan Halami menceritakan.
Iksan Halami menuturkan, sejak menghilangnya keponakannya itu, pihak keluarga sudah mencarinya kemana-mana. Bahkan, juga sampai meminta petunjuk kepada orang pintar untuk mencari keberadaan Nur Syamsiah (penekanan ditambahkan).
Informasi yang dihimpun, menghilangnya perempuan itu diduga karena kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan oleh suaminya. Sehingga dia kemudian nekat menghilang dari keluarganya ke Negeri Jiran sampai dikabarkan telah meninggal (penekanan ditambahkan).
=============
Jika orang hanya membaca tajuk tulisan tersebut karena malas membaca beritanya secara keseluruhan, maka tidak pelak lagi orang akan menganggap bahwa ada seseorang yang betul-betul bisa hidup kembali walaupun telah dianggap meninggal oleh keluarganya. Khususnya, orang-orang yang senang dengan berita-berita yang fenomenal tanpa menerapkan sikap skeptis yang didasari oleh pemikiran yang kritis, akan serta-merta mempercayai tajuk tulisan tersebut tanpa terlebih dahulu membaca beritanya. Namun, setelah orang membaca berita tersebut sampai kalimat terakhir maka akan ditemukan bahwa sesungguhnya (diduga kuat) perempuan dalam cerita tersebut tidaklah meninggal seperti yang diduga sebelumnya, tetapi kabur ke tempat lain akibat kekerasan yang dilakukan suaminya.
Adagium Pisau Ockham mengatakan: "jangan mengemukakan suatu hal baru yang tidak masuk akal padahal ada beberapa (begitu banyak) hal masuk akal lainnya yang bisa menjelaskan masalah atau fenomena yang terjadi". Jika berita di atas dibedah menggunakan Pisau Ockham, maka Pisau Ockham akan memisahkan hal-hal yang tidak masuk akal dari yang masuk akal. Pisau Ockham akan lebih mengutamakan aspek-aspek masuk akal yang bisa menimpa perempuan tersebut, seperti: dibunuh oleh suaminya karena ternyata suaminya telah sekian lama melakukan kekerasan terhadapnya atau melarikan diri ke tempat lain. Dan ternyata memang, aspek kedualah yang terjadi.
Hal menarik berikut yang ditemukan dalam berita tersebut adalah pengakuan pihak keluarga yang telah meminta bantuan "orang pintar" (dalam bahasa Inggris disebut psychic) atau cenayang untuk menemukan perempuan tersebut. Namun kenyataannya, "orang pintar" tidak cukup sakti memberikan informasi mengenai keberadaan perempuan malang tersebut. Bahkan saya menduga kuat jika "vonis" meninggalnya perempuan tersebut didorong atau didukung oleh terawangan "orang pintar" yang telah dimintai tolong oleh pihak keluarga perempuan itu. Ternyata "orang pintar" tidaklah pintar seperti yang selama ini didengung-dengungkan banyak orang karena "orang pintar" ternyata hanyalah manusia biasa yang tidak memiliki kemampuan istimewa atau kehebatan seperti yang selama ini dibangga-banggakan banyak orang.
Baiklah jika setiap informasi, berita, pengalaman, bahkan pikiran, termasuk pikiran sendiri selalu dievaluasi sehingga orang tidak terkecoh oleh berbagai hal yang terjadi di sekitarnya, bahkan yang dialaminya. Sesungguhnya berpikir kritis dan bersikap skeptis tidaklah menyakitkan dan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin dilakukan, tetapi langkah awal yang diperlukan adalah kemauan seseorang untuk mau melakukannya. Jadi, orang yang selalu penasaran, kritis, dan skeptis tidak akan puas hanya dengan membaca judul tulisan ini melainkan akan membaca seluruh tulisan ini sampai kalimat yang terakhir ini.
Merupakan hal tidak berbahaya atau paling tidak, sama sekali tidak ada ruginya jika sedari dini anak-anak sudah diperkenalkan dan dibimbing berpikir kritis. Berikut adalah beberapa unsur yang menurut saya berguna untuk diperkenalkan kepada anak-anak berkaitan dengan upaya membimbing anak-anak berpikir kritis.
* Tidak menggurui atau mengkhotbahi, bahkan memaksa anak-anak melainkan bimbinglah mereka terus untuk melontarkan berbagai pertanyaan mengenai banyak hal. Ajak, tuntun, dan doronglah mereka untuk selalu bertanya sekaligus berusaha menemukan jawaban atas pertanyaan mereka. Sebisa mungkin tidak memberikan jawaban langsung terhadap pertanyaan-pertanyaan mereka ketika mereka sepertinya sudah kepayahan dalam upaya menemukan jawaban terhadap pertanyaannya.
* Berikanlah penjelasan disertai contoh-contoh relevan dan jelas mengenai dunia di sekitar mereka. Dan sebisa mungkin berikanlah contoh-contoh yang netral alias tidak berpihak berat sebelah atau hanya mendukung salah satu pihak/argumen tertentu.
* Sedari dini perkenalkanlah kepada anak-anak untuk tidak melakukan stereotipe terhadap segala hal yang dilihat, didengar, dan dialaminya. Artinya, senantiasalah membimbing mereka untuk tidak melakukan generalisasi terhadap semua hal. Contoh: semua anjing galak atau semua guru cerewet atau semua air minum baik atau semua makanan berguna dan bergizi.
* Janganlah terlalu lama berkutat dengan penjelasan yang rumit dan teknis melainkan sebisa mungkin jelaskanlah segala hal dalam bahasa yang sangat sederhana (namun tidak menyederhanakan masalah). Artinya, berusaha sebijak mungkin berbicara dalam konteks mereka yang masih tidak terlalu rumit.
* Senantiasa berikan mereka keberanian diri melalui kata-kata yang mendorong tanpa memberikan pujian yang berlebihan. Hindarilah selalu melontarkan kata-kata yang bersifat dan berbentuk ancaman dengan menyebut otoritas atau figur tertentu untuk menakut-nakuti mereka, seperti: "jangan lakukan itu nanti nenek marah" atau "jangan bermain malam-malam nanti diculik gendoruwo" atau "berhenti menangis kalau tidak nanti tidak ada yang jadi teman kamu".
* Selalu mengajak mereka untuk memikirkan dampak dan konsekuensi yang akan terjadi setelah mereka berpikir dan melakukan tindakan tertentu, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
* Jika anda berkeinginan bagaimana berpikir kritis sudah diperkenalkan sejak dini kepada anak-anak, maka pertama-tama anda-lah yang melakukan hal tersebut. Artinya, jika anda ingin anak-anak berpikir kritis, maka jadilah teladan nyata bagi mereka dengan anda melakukan yang sama terlebih dahulu.
Semua hal di atas bukanlah semacam resep ampuh atau hukum yang mutlak diberlakukan jika anda berpengharapan anak-anak dapat berpikir kritis. Poin-poin tersebut bukanlah unsur-unsur normatif yang pasti-jadi jika anda hendak membimbing anak-anak berpikir kritis, tetapi hal-hal dasar yang menurut saya bisa berguna untuk diterapkan kepada anak-anak. Bisa diterapkan kepada anak-anak karena menurut saya, cukup sederhana dan berdasar serta tidak utopis. Tentu, setiap orang memiliki cara, gaya, bahkan "teknik" tertentu dalam memberlakukan bahkan mengembangkan suatu hal, jika baginya hal tersebut baik untuk diterapkan.
Banyak orang seringkali mengatakan bahwa orang yang beragama memiliki moralitas yang baik. Artinya, orang beragama berperilaku baik, terpuji, dan bertanggung jawab. Apakah benar demikian? Apakah seseorang yang beragama atau bertuhan serta-merta bermoral? Mungkin ya, mungkin juga tidak.
Namun, tidak ditemukan kaitan yang begitu jelas antara agama dan moral orang-orang yang beragama. Kasus terkini membuktikan, di mana seorang klerus senior Irlandia melakukan pelecehan seksual terhadap dua remaja. Para ekstrimis Muslim melakukan tindakan serangan bom bunuh diri yang dilandaskan pada ajaran agama. Dan beberapa saat setelah gempa melanda Haiti, seorang penginjil senior Amerika Serikat, Pat Robertson, mengatakan bahwa bencana itu terjadi karena warga Haiti telah berdosa kepada allah sehingga allah pun menghukum mereka. Pernyataan yang serupa juga beberapa kali saya dengar setelah bencana Tsunami melanda Aceh beberapa tahun silam; "tuhan menghukum Aceh karena mereka selama ini bandel terhadap pemerintah Indonesia" atau "bencana itu diizinkan tuhan supaya masyarakat Aceh bertobat".
Dari hanya beberapa contoh sederhana di atas, apakah dengan demikian, orang beragama serta-merta bisa dikatakan memiliki moral yang lebih baik dibandingkan orang-orang yang tidak beragama atau sekalipun dibandingkan orang-orang yang tidak mempercayai tuhan? Jika seringkali dikatakan bahwa agama membuat manusia lebih baik dalam bersikap, seperti: pemaaf, terpuji, bijaksana, bertanggungjawab, dan lebih baik daripada manusia lainnya, lalu bagaimana dengan kenyataan adanya keragaman agama serta orang-orang yang memeluknya? Bagaimana mengukur moralitas seseorang yang beragama dibandingkan orang lain yang memeluk agama yang berbeda? Apa tolok ukur moralitas agama seseorang? Jika semua orang beragama mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar, paling baik, dan paling memberikan atau mengajarkan nilai-nilai moral yang lebih tinggi daripada agama-agama lainnya, maka agama manakah yang paling baik? Orang yang beragama apakah yang paling bermoral?
Jika dikatakan bahwa orang beragama memiliki moralitas yang lebih baik dibandingkan orang-orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan, maka mengapa orang-orang beragama bisa tega berlaku keras, tidak adil, bahkan membunuh sesamanya, bahkan makhluk hidup lainnya? Jika dikatakan bahwa agama selalu dan hanya mengajarkan nilai-nilai kebaikan, mengapa para pemimpin agama tertentu melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan tidak bertanggungjawab? Tidak heran jika sikap beragama yang ekstrim membuat orang-orang yang menganutnya menjadi pemarah, tidak memaafkan, dan tidak segan-segan berlaku sangat keras terhadap manusia lainnya, khususnya mereka yang beragama lain. Jika demikian, apakah agama berarti moral? Apakah beragama sama artinya dengan bermoral, bersikap baik, terpuji, dan bertanggungjawab? Yang pasti, sikap beragama yang ekstrim selalu membawa dampak yang buruk terhadap dunia.
"Mengapa . . . saya (harus) mempelajari agama?" Ini adalah pertanyaan yang seringkali saya tanyakan pada diri saya sendiri. Saya tidak tahu apakah anda juga memiliki pertanyaan yang serupa dengan saya atau tidak. Mungkin di akhir tulisan saya pertanyaan yang serupa bisa sedikit diubah menjadi: Mengapa anda (harus) mempelajari agama? sehingga anda bisa menjawab sendiri pertanyaan tersebut. Dalam tulisan kali ini saya akan berusaha menjawab pertanyaan saya itu.
Mengapa saya mempelajari agama?
1. Mengenal sang ilahi.
Banyak orang mengatakan bahwa tujuan mereka mempelajari agama adalah untuk (lebih) mengenal sang ilahi yang dapat ditemukan melalui kitab suci (terutama) dan tradisi yang berkembang sejak dahulu kala. Namun, hal yang harus selalu diingat dan ditekankan adalah bahwa kitab suci bukan berasal dari langit atau tiba-tiba muncul, tetapi ditulis oleh berbagai orang yang hidup dalam konteks kehidupan yang berbeda dengan konteks masa kini (abad 21). Tulisan mereka itu, pertama-tama dan terutama ditujukan hanya kepada orang-orang yang hidup di zamannya. Poin no. 1 ini merupakan jawaban yang paling sering orang katakan.
2. Memahami diri sendiri.
Mungkin banyak orang tidak menyadari bahwa tujuan mereka mempelajari agama merupakan upaya mereka memahami dirinya sendiri. Dengan mempelajari agama banyak orang sesungguhnya berupaya memahami jati dirinya sebagai makhluk ciptaan sang ilahi. Poin no. 2 ini sedikit-banyak berkaitan dengan paham mistisisme yang selalu bertanya: Siapa saya? Dari mana asal saya? Apa tujuan hidup saya di dunia ini? Ke mana saya akan pergi setelah saya mati?
3. Memahami orang lain.
Bagi begitu banyak orang agama yang dianutnya merupakan unsur sangat atau paling penting dalam hidupnya. Mereka melihat hidupnya dalam terang agama yang dianutnya. Artinya, makna hidup mereka ditentukan oleh agama yang dipeluknya. Hal ini bisa memicu para penganut agama lainnya untuk tertarik mempelajari agama (-agama) yang berbeda. Tanpa disadari banyak orang, mereka sedikit-banyaknya memiliki rasa keingintahuan mengenai agama lain. Artinya, dalam pengertian yang sempit, mereka berusaha memahami orang lain melalui agama yang dianut orang lain tersebut.
4. Memahami budaya manusia.
Agama adalah ciptaan manusia. Agama merupakan salah satu hasil budaya manusia. Oleh karena itu, tanpa disadari oleh sebagian besar orang, sesungguhnya mereka selalu memiliki keingintahuan yang cukup besar/tinggi untuk mengetahui dan memahami setidaknya sejarah agama mereka sendiri. Ketika orang berbicara sejarah maka sesungguhnya ia sedang berbicara mengenai budaya. Mempelajari sejarah agama berarti mempelajari budaya agama, bukan saja agama di masa lalu, tetapi juga agama di masa kini.
5. Membentuk dan memahami sudut pandang diri sendiri.
Ketika orang mempelajari agamanya maka tanpa disadarinya ia mampu membentuk dan memahami sudut pandang yang dimilikinya. Bukan hanya itu, melalui agama seseorang dapat menemukan dan menjelaskan berbagai persamaan dan perbedaan yang dimiliki antara dirinya dan orang lain. Setelah seseorang mempelajari agamanya dan/atau agama lain, entah ia memiliki sudut pandang yang berbeda dari sebelumnya atau ia semakin teguh dengan sudut pandang yang dimilikinya. Namun hal yang jelas adalah bahwa dengan mempelajari agama seseorang mampu membentuk dan memahami sudut pandang yang dimilikinya.
6. Memperoleh pekerjaan.
Tidak sedikit tujuan orang mempelajari agama adalah untuk mendapatkan pekerjaan demi status sosial tertentu dalam keluarga atau masyarakat. Hal ini biasa terjadi di tengah-tengah masyarakat yang sedang berkembang. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan ketika semakin banyak orang yang rela meninggalkan pekerjaan lamanya demi mengambil kuliah teologi sehingga kelak menjadi pendeta.
Merupakan hal yang baik jika orang memperlakukan agama bukan sebagai artefak dengan mendiamkannya sekaligus memeluk dan mempercayainya hanya dengan membeo pada otoritas tertentu, apalagi menghina atau menjelek-jelekan agama. Namun sebaliknya, berusaha mempelajari agama secara kritis. Oleh karena itu, merupakan sikap yang sangat bijak jika orang mau mempelajari agama, entah yang dianutnya maupun yang dianut orang lain secara kritis. Menurut saya ada beberapa pendekatan kritis yang sangat berguna guna untuk mempelajari agama. Setidaknya mereka yang mau berpikir kritis memilih salah satu dari sekian pendekatan yang ada jika hendak berusaha memahami dan menjelaskan agamanya dan/atau agama yang dianut orang lain. Berikut adalah beberapa pendekatan kritis menurut pandangan saya (urutan tidak berarti bahwa yang disebut lebih awal lebih kritis atau lebih baik daripada yang disebut setelahnya) :
a. Pendekatan melalui Sastra.
Umumnya agama memiliki kitab sucinya masing-masing yang dianggap sebagai salah satu otoritas tertinggi oleh para penganutnya. Kitab suci tersebut dipercaya sebagai tolok ukur moral yang mutlak dipercaya dan diteladani oleh orang-orang yang memeluk agamanya. Beberapa pertanyaan yang menjadi perhatian dalam pendekatan sastra adalah: Siapa yang menulis kitab suci atau kitab-kitab tertentu? Kapan, di mana, dan untuk siapa tulisan atau kitab tersebut ditulis? Apakah jenis tulisan tersebut? (Mempertanyakan jenre atau jenis sastra sebuah kitab atau tulisan; apakah, nabi-nabi, apokaliptik, kebijaksanaan, atau perumpamaan.) Apakah makna awal sebuah tulisan atau kitab itu? Bagaimana sebuah tulisan atau kitab mengalami penyebaran dan penafsiran dari masa ke masa?
b. Pendekatan melalui Sejarah.
Dalam pendekatan ini yang (harus) dilakukan orang adalah "menggali" berbagai data yang kemudian daripadanya dilakukan rekonstruksi untuk "menemukan" apa yang "sesungguhnya terjadi pada masa-masa tertentu". Dalam pendekatan ini yang dilakukan adalah mengumpulkan sebanyak mungkin data yang bisa ditemukan pada masa kin untuk memperoleh penjelasan dan kejelasan mengenai peristiwa yang telah terjadi di masa lampau. Oleh karena itu, pertanyaan- pertanyaan seperti: Siapa, kapan, di mana, dan mengapa sebuah teks ditulis? dan apakah konteks sosial, budaya, ekonomi, politik, dan alam? merupakan pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh orang-orang yang menggunakan pendekatan ini ketika berusaha mempelajari agama tertentu.
c. Pendekatan melalui Antropologi.
Hal paling utama yang menjadi perhatian dalam pendekatan ini adalah upaya memahami dan menjelaskan perilaku manusia dalam konteks hidupnya yang partikular atau masyarakat yang lebih luas. Bagaimana interaksi antar individu dalam sebuah kelompok masyarakat tertentu merupakan pertanyaan utama yang harus dijawab dan dijelaskan oleh setiap orang yang memakai pendekatan ini dalam upayanya mempelajari agama. Dengan demikian, hal yang hendak dijelaskan ketika orang menggunakan pendekatan ini adalah, apa sajakah fungsi/peran agama di kehidupan seorang individu dalam interaksinya dengan individu lainnya.
d. Pendekatan melalui Sosiologi.
Dalam pendekatan ini orang akan berusaha memahami dan menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan manusia dalam konteks yang lebih luas, seperti: kebudayaan, kehidupan keluarga, peran-peran jender, nilai-nilai moral/etika tertentu, ragam pengetahuan, dan intitusi-intitusi yang ada.
e. Pendekatan melalui Fenomenologi.
Tema yang menjadi perhatian dalam pendekatan ini adalah mencoba melihat dan menganalisis agama dalam pandangan para penganut/pemeluknya. Artinya, pendekatan ini berusaha memahami berbagai pengalaman dan apa arti pengalaman-pengalaman tersebut bagi orang-orang yang mengalaminya, dalam kaitannya dengan agama mereka.
f. Pendekatan melalui Psikologi.
Pendekatan ini mencoba membantu orang untuk melihat kedalaman sisi psikologis seseorang ketika mereka terlibat dalam segala hal yang berkaitan dengan agama yang dianutnya. Apakah agama yang dianut seseorang membuat orang tersebut lebih bahagia atau keras atau tenang atau sejahtera atau tertutup?
g. Pendekatan melalui Neurosains.
Dalam pendekatan yang dibantu oleh teknologi canggih ini orang meneliti otak manusia, bukan saja otak orang-orang yang beragama tetapi juga mereka yang tidak beragama atau tidak mempercayai adanya tuhan. Hal ini dilakukan untuk menemukan dan melihat berbagai reaksi fisik yang dapat dilihat secara kasat mata. Beberapa pertanyaan seperti: Bagian otak mana sajakah yang memberikan reaksi ketika kepada orang tertentu diberikan rangsangan atau pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan agama atau tuhan? dan apakah pengalaman-pengalaman keagamaan tertentu bisa dipicu oleh rangsangan yang diberikan kepada bagian otak tertentu? merupakan beberapa contoh pertanyaan yang selalu berusaha ditemukan jawaban dan penjelasannya melalui pendekatan ini.
Darren Sherkat, seorang dosen Sosiologi di Southern Illinois University melakukan penelitian yang didasarkan pada General Social Survey (badan survei resmi Amerika Serikat yang mendata hal-hal yang berkaitan dengan semua bidang kehidupan masyarakat Amerika Serikat) mengenai tingkat kecerdasan masyarakat Amerika Serikat. Hasil penelitian Sherkat sangat mencengangkan karena terungkap bahwa warga Amerika Serikat yang beragama secara keras (fundamentalistik) cenderung miskin dan berpendidikan rendah (hanya tamat SMA). Namun, kenyataan tersebut belum seberapa jika dibandingkan dengan kenyataan berikutnya yang mengungkapkan bahwa ternyata warga Amerika Serikat yang memeluk agamanya sangat kuat memiliki kemampuan berbahasa yang sangat minim. Artinya, kemampuan interaksi sosial warga Amerika Serikat yang beragama fundamentalistik sangat rendah.
Jika kenyataan berbicara demikian, lalu di mana hubungan antara fundamentalisme agama dan kemampuan interaksi sosial seseorang yang memeluk agamanya dengan begitu kuat? Setidaknya ada dua penjelasan yang bisa dikemukakan untuk melihat kaitan antara fundamentalisme agama di Amerika Serikat dan kemampuan interaksi sosial yang dimiliki oleh para pemeluk agama yang fundamentalistik.
Pertama, umumnya kehidupan keagamaan fundamentalistik di Amerika Serikat ditopang oleh berbagai kelompok kecil yang saling mendukung dan mengayomi. Berbagai jargon yang kerapkali terdengar, seperti: "Kita tidak sempurna, tetapi allah kita sempurna", "syukurilah kekuranganmu karena tuhan akan menyempurnakanmu", "kita harus tetap kecil, biarlah allah yang selalu besar", dan "engkau tidak kekurangan karena allah akan memenuhimu" sedikit banyaknya mempengaruhi pola pikir orang-orang yang termasuk ke dalam kategori tidak mampu, baik secara akademis maupun ekonomis. Mereka bukannya meningkatkan dan mengembangkan kemampuan akademis mereka melainkan melibatkan diri ke dalam kelompok-kelompok keagamaan yang lebih sering memberikan penguatan/penghiburan ketimbang mendorong anggotanya untuk mengembangkan dirinya.
Kedua, kelompok-kelompok keagamaan yang fundamentalistik di Amerika Serikat cenderung berpikiran sempit dan memisahkan diri dari kelompok masyarakat yang lebih luas dan dinamis. Kelompok-kelompok tersebut bukannya mendorong para anggotanya untuk terlibat dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas demi meningkatkan dan mengembangkan kemampuan interaksi sosial mereka melalui bahasa, diskusi, dan dialog, tetapi malah cenderung menutup diri. Hal ini mengakibatkan kemampuan berbahasa para pemeluk agama fundamentalistik di Amerika Serikat cenderung minim, di mana hal yang serupa tidak ditemukan pada orang-orang yang tidak beragama secara fundamentalistik. Artinya, warga Amerika Serikat yang beragama secara fundamentalistik memiliki kemampuan interaksi sosial (bahasa) lebih minim dibandingkan warga Amerika Serikat yang tidak memeluk agamanya begitu kuat.
Berikut adalah ciri-ciri warga Amerika Serikat yang beragama secara fundamentalistik dan memiliki kemampuan interaksi sosial yang minim:
* Muda
* Laki-laki
* Bukan dari kalangan kulit putih
* Berasal dari kalangan imigran
* Miskin
* Hanya lulusan SMA
* Menikah muda
* Sudah memiliki anak
* Tinggal bukan di kota-kota besar
* Menetap di wilayah selatan Amerika Serikat
Bagaimana dengan warga Amerika Serikat yang tidak beragama (tidak sama dengan tidak percaya tuhan)? Hasil penelitian mengungkapkan fakta yang merupakan kebalikan dari hasil penelitian terhadap warga Amerika Serikat yang beragama secara fundamentalistik. Artinya, warga Amerika Serikat yang tidak beragama memiliki kemampuan interaksi sosial yang lebih baik dibandingkan saudara-saudaranya yang beragama secara fundamentalistik (keras).
Baru-baru ini Edbert Hsu dan beberapa rekannya dari Johns Hopkins Medical Institutions melakukan penelitian terhadap sejumlah kasus kerumunan orang yang berakhir dengan tragedi kematian. Hsu dan rekan-rekannya meneliti berbagai kasus terkait selama 30 tahun terakhir dan memperoleh hasil bahwa setidaknya ada 7000 orang mati dan 14.000 luka-luka. Hsu dan rekan-rekan meneliti berbagai laporan/berita/informasi mengenai kerumunan orang yang terjadi dalam acara-acara, seperti: olahraga, konser musik, politik (kampanye atau parade), dan keagamaan. Dan hasilnya cukup mengagetkan karena kerumunan orang yang terjadi pada saat acara keagamaan lebih berbahaya dibandingkan peristiwa-peristiwa lainnya karena ternyata peristiwa tersebut sangat sering mengakibatkan kematian orang-orang yang hadir dalam acara-acara keagamaan tersebut.
Hsu dan rekan-rekan meneliti berbagai berita/informasi dalam kurun waktu 30 tahun terakhir mengenai kerumunan orang yang bukan hanya terjadi di dalam ruangan atau tempat tertutup (stadion) melainkan juga yang terjadi di tempat terbuka (lapangan). Diperoleh hasil juga bahwa kerumunan orang dalam acara-acara keagamaan yang terjadi di tempat terbuka jauh lebih berbahaya dibandingkan kerumunan orang yang terjadi di tempat tertutup.
Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa tingkat kematian akibat kerumunan orang yang terjadi di wilayah Asia dan Timur Tengah sangatlah tinggi dibandingkan di wilayah-wilayah lainnya di dunia ini. Selain itu, kematian akibat kerumunan orang banyak terjadi di negara-negara yang pendapatan negaranya rendah (tentu Asia dan beberapa negara di Timur Tengah mewakili hal tersebut). Kerumunan orang dalam acara-acara agama jauh lebih sering berlangsung di negara-negara yang didominasi oleh unsur-unsur agama, seperti negara-negara di Timur Tengah dan Asia. Hal yang serupa sangat sulit ditemukan di negara-negara di benua Eropa dan di benua Amerika.
Hal lain yang diungkapkan berdasarkan hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa jumlah orang yang terlibat dalam kerumunan dalam acara-acara keagamaan jauh lebih banyak dibandingkan kerumunan orang dalam acara-acara olahraga. Selain jumlah orang yang begitu besar, ditemukan juga bahwa sistem keamanan yang digunakan untuk mengawasi kerumunan orang dalam acara-acara keagamaan sangatlah minim sehingga hal ini membuat kerumunan orang dalam acara-acara keagamaan lebih berbahaya (beresiko) dibandingkan acara-acara lainnya.
Contoh terkini yang sangat gamblang menggambarkan betapa berbahayanya jika manusia berkumpul/berkerumun dalam suatu acara keagamaan adalah peristiwa yang terjadi di Irak (Baghdad) pada tahun 2005, di mana nyaris 1000 orang Islam dari golongan Shia terbunuh ketika melakukan upacara keagamaannya. Hal ini terjadi akibat kepanikan setelah mendengar rumor bahwa akan adanya bom bunuh diri. Peristiwa yang serupa terjadi di tahun yang sama di India (Maharashtra), di mana lebih dari 250 orang (dari 400.000 orang) terbunuh dan lebih dari 200 orang luka-luka ketika merayakan upacara yang menyembah dewi Kalubbai. Ini terjadi akibat sejumlah orang yang kecewa karena tidak bisa masuk ke dalam kuil untuk merayakan perayaan tersebut sehingga mereka pun melakukan kerusuhan.
Namun, tingkat kematian tertinggi yang diakibatkan oleh kerumunan orang terjadi dalam perayaan Haji yang diadakan setiap tahunnya di Mekah dan Madina. Berdasarkan catatan, setiap tahunnya perayaan Haji bisa dihadiri oleh 2 juta orang. Selama 30 tahun terakhir, sekitar 3000 orang menemui ajalnya ketika menghadiri perayaan Haji. (Tentu masih lekat dalam ingatan ketika salah satu tragedi terbesar dalam sejarah keagamaan yang terjadi pada tahun 2006.)
Hal penting yang perlu diperhatikan orang adalah bahwa kerumunan orang dalam acara-acara keagamaan merupakan sesuatu yang sangat berbahaya bagi keselamatan orang-orang yang mengikutinya. Berbagai informasi mengatakan bahwa keamaan yang seharusnya diperlukan untuk melindungi orang-orang yang sedang melakukan perayaan keagamaannya malah sangat minim. Seharusnya pengamanan ditingkatkan demi keselamatan manusia, bukannya malah tidak diperhatikan.
Hal yang semakin memprihatinkan saya adalah ketika mendengar orang berkata: "Bagus malah meninggal di Mekah/Madina saat merayakan Haji karena pasti langsung masuk surga". Sebuah pernyataan fatalistik yang sangat tidak bijaksana karena menganggap seakan-akan kematian, keselamatan, dan perayaan keagamaan adalah hal-hal yang saling berkaitan. Padahal kematian yang terjadi saat perayaan-perayaan keagamaan dalam konteks tulisan ini murni akibat kelalaian manusia yang tidak serius memperhatikan keamanan demi keselamatan manusia.
Setiap kali bertemu orang-orang beragama yang "keras" saya selalu mendengar beberapa pernyataan mengenai tuhan, seperti berikut:
"Tuhan ada karena terdapat di dalam kitab suci." (Argumen yang berdasar pada otoritas tertentu.)
"Tuhan saya rasakan hadir dalam hati saya." (Argumen yang berdasar pada pengalaman pribadi.)
"Tuhan tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata manusia yang begitu terbatas." (Argumen yang berdasar pada keterbatasan kata-kata manusia.)
"Tuhan tidak bisa dijelaskan, baik oleh akal manusia maupun bukti-buktikarena pengetahuan manusia sangat terbatas." (Argumen yang berdasar pada keterbatasan pengetahuan manusia.)
"Tuhan adalah penyayang." (Argumen yang berdasar pada suatu prinsip yang abstrak.)
"Tuhan dipercaya sebagian besar orang di dunia." (Argumen yang berdasar pada angka/mayoritas/kuantitas.)
Berikut adalah beberapa pertanyaan kritis saya terhadap semua pernyataan di atas:
* Jika "tuhan" terdapat dalam berbagai kitab suci, bukankah kitab suci ditulis oleh manusia? Jika demikian, bukankah yang orang-orang baca dalam kitab suci merupakan pengalaman atau refleksi atau tafsiran orang lain mengenai tuhannya dalam hubungannya dengan konteks kehidupan di masa tertentu yang belum tentu sama dengan konteks kehidupan masa kini? Walaupun lema "tuhan" ditemukan dalam sebuah tulisan (buku), itu tidak serta-merta menunjukkan bahwa tuhan itu ada. Seandainya tuhan pun ada, bagaimana orang dapat mengetahui bahwa tuhan yang ditulis dan disembah oleh orang lain dalam zaman yang berbeda adalah tuhan yang sama yang dibaca dan disembah oleh para pengikutnya dari zaman sekarang?
* Jika "tuhan" bisa dirasakan kehadirannya dalam hidup seseorang, bagaimana membuktikan bahwa hal itu sungguh terjadi? Apakah ada tolok ukur tertentu (yang pasti)? Jika ada, apakah yang bisa dijadikan tolok ukur tersebut? Penelitian psikologi terkini mengatakan bahwa apa yang banyak orang sebut dengan "perasaan" sesungguhnya tidak lebih dari emosi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup. Artinya, emosi setiap makhluk hidup berbeda karena bergantung pada kondisi biologis, fisik, dan sosiologis di mana orang itu hidup. Pengalaman pribadi adalah salah satu unsur penting dalam hidup setiap orang. Namun, pengalaman tersebut tidak boleh dijadikan sebagai kata akhir dalam menjelaskan semua hal dalam hidup manusia. Mengapa demikian? Karena pengalaman hidup manusia sangat bersifat subjektif akibat pengaruh dari berbagai emosi yang dimiliki masing-masing orang.
* Jika "tuhan" tidak bisa dijelaskan menggunakan kata-kata manusia akibat keterbatasan kata yang dimiliki manusia, maka harus dijelaskan menggunakan kata-kata siapa atau apakah "tuhan" itu? Apakah memang tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan "tuhan" sehingga yang muncul berulang-ulang hanyalah kata-kata, seperti: "ajaib", "rahasia", atau "misteri"? Mengapa manusia bisa mengucapkan kata "ajaib", "rahasia", dan "misteri" untuk menjelaskan "tuhan", tetapi sepertinya kehabisan kata untuk menjelaskannya lebih lanjut. Bukankah kata "tuhan" hanya ditemukan/diciptakan dan diucapkan oleh manusia? Lalu, mengapa manusia tidak bisa menjelaskan sesuatu yang sesungguhnya ditemukan/diciptakan dan diucapkan olehnya? Atau, mungkin manusia saja yang terlalu malas menjelaskan "tuhan" itu.
* Jika "tuhan" tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia, maka bisa dijelaskan oleh apakah "tuhan" itu? Harus disadari penuh bahwa memang pengetahuan manusia terbatas, namun apakah hal tersebut harus selalu dijadikan alasan untuk "menolak" menjelaskan "tuhan"? Apakah keterbatasan manusia perlu dipandang sebagai suatu penghalang atau hambatan yang mengakibatkan seseorang tidak mampu menjelaskan "tuhan"-(nya)? Bukankah "tuhan" ada sebagai bagian dari "pengetahuan" yang dimiliki manusia, setidaknya bagi mereka yang menyembah dan mempercayainya? Tentu ya. Oleh karena itu, baiklah manusia menjelaskan "tuhan" menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.
* Jika "tuhan" digambarkan sebagai figur yang penyayang, mengapa figur "tuhan" dalam beberapa (jika tidak mau dikatakan banyak) tulisan di kitab suci digambarkan sebagai figur yang keras, kejam, pemarah, dan pencemburu? Bukankah gambaran abstrak tersebut bertolak belakang dengan beberapa gambaran tersebut? Belum lagi jika ditambah dengan sikap para penyembah dan pengikutnya yang tidak jauh berbeda dari gambaran mengenai tuhannya sendiri.
* Jika "tuhan" dipercaya sebagian besar orang di dunia, bukankah hal tersebut tidak membuktikan apa-apa mengenai "tuhan"? Angka/kuantitas tidak berarti apa-apa karena belum tentu suatu hal yang dipercaya benar oleh sebagian besar orang membuat hal tersebut benar adanya. Sama sekali tidak ada hubungan antara angka/jumlah/kuantitas orang yang mendukung suatu hal dan hal itu sendiri. Banyaknya orang tidak menentukan benar atau salahnya suatu subjek, tetapi data dan akal sehatlah yang menentukan penilaian seseorang, apakah subjek tersebut benar atau salah. Bukankah sebuah adagium mengatakan: "Yang terpenting bukan kuantitasnya melainkan kualitasnyalah yang terutama". Jika demikian, pertanyaannya adalah: apakah kualitas para penyembah dan pengikut yang disebut tuhan itu baik? Jika ya, coba tolong ingat kembali berbagai pertikaian yang terjadi antar para penyembah tuhan itu. Dengan demikian, argumen ini pun sangatlah lemah karena sama sekali tidak didukung oleh alasan-alasan kuat yang relevan, malah bisa menjadi bumerang terhadap para penyembah dan pengikut tuhan.
Argumen-argumen dibuat dan dikemukakan untuk mendukung dan memperkuat suatu posisi, bukannya malah memperlemah posisi tersebut. Mendengar argumen-argumen yang biasa diucapkan orang-orang beragam bukannya memperkuat argumen mereka melainkan sesungguhnya memperlemah argumen mereka sendiri. Argumen juga dibuat untuk menjelaskan dan memperjelas sebuah pandangan atau subjek, bukannya mengaburkan pandangan atau subjek tersebut.
Sebagian besar orang, khususnya yang beragama, mempercayai adanya jiwa yang merupakan salah satu unsur yang dimiliki manusia, selain tubuh tentunya. Mereka yakin bahwa jiwa tersebut tidak akan mengalami kematian walaupun tubuh telah mati karena jiwa tidak seperti tubuh yang terdiri dari daging, darah, syaraf, dan otot, yang suatu saat pasti akan mati. Mereka yang mempercayai adanya jiwa hanya bisa mengatakan bahwa jiwa adalah substansi (diri) manusia yang tidak akan mengalami kematian. Dan jiwa itulah yang setelah kematian akan, entah pergi ke surga atau neraka (dalam pandangan agama-agama Abrahamik) atau mengalami reinkarnasi (dalam Hinduisme) maupun memasuki Nirvana (dalam Buddhisme). Apakah benar manusia memiliki jiwa? Jika ya, di mana dan dari mana jiwa itu berasal?
Ilmu psikologi otak (neuropsikologi) adalah salah satu bidang ilmu yang bisa sedikit-banyak keterangan/informasi mengenai jiwa. Menurut hasil berbagai penelitian yang terus berkembang dalam neuropsikologi mengatakan bahwa berbagai hal yang terkait dengan manusia, seperti: kesadaran diri, identitas, karakter, dan "kehendak bebas" sangat dipengaruhi oleh perubahan-perubahan fisik yang terjadi, baik di dalam otak maupun tubuh manusia. Artinya, aktivitas otak dan kerja tubuh seseorang mempengaruhi berbagai hal yang telah disebut tadi.
Berbagai hasil penelitian mengatakan bahwa hal-hal seperti, obat-obatan, penyakit, kecelakaan, dan kurangnya tidur bisa mempengaruhi "jiwa" seperti yang dipercaya oleh sebagian besar orang. Hal-hal tersebut bisa membuat "perubahan" yang diproses dalam otak kemudian disalurkan kepada jaringan-jaringan syaraf tubuh, entah terjadi sangat cepat maupun lambat.
Contoh: Di luar negeri berulangkali telah dilakukan eksperimen terhadap banyak orang berbeda dengan memberikan obat-obatan tertentu dan/atau aliran listrik yang sangat rendah ke dalam otak demi merangsang bagian-bagian tertentu dari otak, entah dalam keadaan sadar maupun pingsan (dibius). Hal ini dilakukan untuk melihat reaksi apakah yang diberikan oleh orang-orang tersebut. Setelah penelitian dilakukan, orang-orang tersebut dimintai keterangannya secara terpisah. Dan hasilnya pun sangat menarik; beberapa orang mengatakan telah bertemu orang-orang terdekatnya yang sudah meninggal (beberapa orang menganggap telah melihat malaikat), ada yang mengaku seperti berjalan di lorong gelap namun di ujungnya ada cahaya yang sangat terang (yang oleh orang-orang beragama seringkali dianalogikan sebagai "jalan menuju surga", ada yang mengatakan merasakan kebahagiaan yang tidak pernah dirasakan sebelumnya, dan ada juga yang merasakan kasih sayang yang begitu mendalam (banyak orang menganggap hal tersebut sebagai pengalaman berjumpa dengan yang ilahi).
Apakah arti semuanya itu? Apakah artinya ada unsur-unsur lain dalam diri manusia yang sesungguhnya berada di dalam diri seseorang, namun suatu saat (ketika kematian) keluar sehingga tidak mengalami kematian? Apakah itu yang dinamakan dengan jiwa? Berbagai hasil penelitian di atas telah mengatakan dengan begitu gamblang bahwa sesungguhnya tidak ada satu hal pun yang berada dan berasal dari diri manusia yang tidak berpusat dari otaknya. Semua hal seperti yang telah disebut di awal tadi: kesadaran diri, identitas, karakter, dan "kehendak bebas" tidak lain hanyalah berasal atau dipicu dari aktivitas otak manusia dan kerja jaringan-jaringan otot tubuh manusia.
Dengan demikian, berdasar pada hasil-hasil penelitian sampai saat ini maka dapat dikatakan bahwa manusia tidak memiliki jiwa yang ada dan berasal dari dirinya. Ternyata, "jiwa" tidak lebih dari suatu upaya sebagian besar orang untuk menjelaskan atau menggambarkan bahwa ada unsur dalam dan dari dirinya yang tidak akan mati melainkan terus melanjutkan hidup, entah dalam bentuk yang lain/berbeda dari sebelumnya maupun dalam dunia yang lain. "Jiwa" tidak lain daripada hasil aktivitas otak manusia bersama-sama kerja tubuh yang melahirkan berbagai perubahan biologis dalam tubuh manusia. "Jiwa" adalah proses biologi yang dibentuk oleh hukum fisik sebab dan akibat yang dipicu oleh aktivitas otak dan kerja tubuh manusia.
Apakah ini berarti "masalah" mengenai jiwa tersebut telah rampung dengan berdasar pada semua penelitian tersebut? Tentu tidak. Namun setidaknya, ilmu pengetahuan modern terus berkembang dan selalu berusaha menjelaskan berbagai misteri kehidupan dengan berdasar pada berbagai data, penelitian, dan akal sehat manusia. Itulah hakikat ilmu pengetahuan, melakukan check and recheck tiada henti.
Seorang teman bertanya kepada saya, "Lu percaya adanya soulmate ga?" Saya pun menjawab, "Waduh, pertanyaan lu gua harus tanya balik nih, karena gua ga ngerti arti kata soulmate itu. Maksudnya apaan sih?" Teman saya menjelaskan: "Iya, soulmate itu artinya setiap orang sebenarnya udah diciptakan sepasang-sepasang. Jadi, tinggal tunggu waktu yang pas entar suatu saat seseorang ketemu soulmate-nya, pasangan jiwanya." Saya bertanya kembali: "Jadi artinya, setiap orang punya pasangan yang pas gitu yah?" Teman saya menanggapi lagi: "Iya, pasangan hidup yang pas. Pasangan sejati." Saya pun bertanya kembali: "Apakah soulmate itu terbatas pada pasangan beda jenis kelamin? Artinya, hanya antara pasangan perempuan dan laki-laki?" Teman saya menjawab: "Ya, dalam hal ini soulmate hanya terbatas pada pasangan perempuan dan laki-laki. Saya pun bertanya kembali: "Apakah kalo gitu setiap harus berusaha mencari soulmate-nya atau ga perlu lagi melainkan santai-santai aja, toh tinggal tunggu waktu seperti yang lu bilang tadi karena cepat atau lambat si soulmate itu pasti akan datang, kan. Gimana? Jawaban teman saya: "Ga berdiam diri juga sih . . . tapi harus tetap membuka diri, bergaul, dan bersosialisasi jadi bisa ketemu soulmate-nya. Jadi . . . lu percaya ga kalo ada soulmate?" Jawaban saya sangat singkat: "Ga." "Kenapa ga?", tanya teman saya. Saya pun menjelaskan jawaban saya tadi.
Kalo setiap orang sudah memiliki pasangannya masing-masing dan pasangannya itu dianggap sebagai pasangan hidup yang paling cocok, pas, dan tepat, bagaimana dengan orang-orang yang sampai akhir hayatnya tidak menikah atau hidup membujang tanpa pasangan hidup (berbeda jenis kelamin)? Apakah berarti mereka tidak memiliki soulmate? Lalu, bagaimana dengan pasangan-pasangan yang bercerai? Apakah itu berarti mereka telah bertemu orang yang salah? Saya pikir tidak. Mereka bercerai karena ada begitu banyak rintangan yang akhirnya tidak bisa diselesaikan bersama dengan mempertahankan kehidupan rumah tangganya, sehingga mereka pun memutuskan untuk bercerai.
Namun, orang bisa mengatakan bahwa mereka yang bercerai bisa saja bertemu orang baru kemudian cocok lalu akhirnya menikah dan langgeng. Dengan demikian, pasangan yang berikutnya tersebut bisa dikatakan sebagai soulmate-nya. Jika argumen ini yang digunakan, maka saya akan mengatakan berarti sesungguhnya tebakan atau perkiraan atau analisis seseorang mengenai soulmate-nya itu bisa keliru dan gagal pada kesempatan yang pertama, sehingga ia memerlukan kesempatan kedua, dan akhirnya berhasil. Jika memang pada kesempatan kedua berhasil, bagaimana jika sampai kesempatan ketiga, keempat, dan seterusnya ternyata tidak berhasil juga? Berarti, "teori" mengenai adanya soulmateitu keliru.
Bagaimana dengan adanya kenyataan banyaknya kekerasan yang terjadi di dalam rumah tangga antara suami dan istri, meskipun awalnya masing-masing pasangan berikrar di hadapan banyak orang bahwa mereka merupakan pasangan yang sejati, akan saling mengasihi, dan merupakan soulmate? Apakah "teori" adanya soulmate tetap bisa dipertahankan walaupun kenyataan kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga begitu sering terjadi sehingga tidak bisa dipungkiri lagi? Apakah itu yang dinamakan soulmate ketika salah satu pasangan berlaku keras dan kasar terhadap pasangannya? Tentu sama sekali tidak.
Apakah salah seorang pasangan akan tetap bersikukuh mempertahankan pernikahannya walaupun pasangannya telah berulangkali berlaku kasar terhadapnya demi sebuah kata yang dinamakan "soulmate"? Jika ya, maka menurut saya, pasangan yang diperlakukan kasar tersebut tengah mengalami delusinasi karena mempertahankan sesuatu yang sesungguhnya tidak ada (setidaknya hanyalah sebuah kata). Ia mengalami delusinasi karena tetap mempertahankan pernikahannya walaupun diri dan hidupnya babak belur akibat ketidakadilan dan kekerasan yang dilakukan pasangannya sendiri.
Dengan memperhatikan beberapa contoh yang telah diberikan, maka apakah lema soulmate memiliki pengertian tertentu dan istimewa? Menurut saya, sama sekali tidak. Soulmate hanyalah sebuah kata yang sama sekali tidak memiliki makna pada dirinya sendiri, terlebih ketika ditempatkan dalam konteks kehidupan nyata manusia yang begitu kompleks. Banyaknya orang yang tidak menikah sampai akhir hayatnya, kekerasan dan ketidakadilan yang terjadi dalam kehidupan banyak rumah tangga, dan tidak sedikit orang yang hidup dengan sesama jenisnya membuat lema soulmate sama sekali tidak memiliki arti. Soulmate hanya berfungsi, bekerja, atau dipercaya oleh orang-orang yang menganggap bahwa lema tersebut berlaku dalam kehidupan (pernikahan) mereka. Oleh karena itu, penggunaan lema soulmate sama sekali tidak bermanfaat alias sia-sia karena tidak terbukti berlaku dalam kehidupan semua orang.
Jika daya kritis seseorang terus dilatih tanpa kenal lelah dan bosan, maka orang tersebut dapat membedakan dan memilih kata-kata yang tepat untuk digunakan dalam kalimat ketika mengemukakan pendapat atau argumen. Demikian halnya ketika skeptisisme terus dibangun dan dikedepankan seseorang, maka sesungguhnya orang tersebut dapat memilah-milah kata-kata bahkan kalimat apa saja, baik yang hendak digunakan maupun tidak hendak digunakan.
Sebagai contoh, lema "percaya" dan "iman". Saya sangat berhati-hati terhadap penggunaan lema tersebut, terlebih jika kata tersebut digunakan dalam konteks ilmu pengetahuan atau ketika saya sedang berbicara mengenai sains (misalnya: ilmu-ilmu sosial, biologi, dan fisika). Bahkan saya cenderung tidak akan menggunakan kata "percaya" dalam konteks tersebut karena ilmu pengetahuan berbicara hal-hal, seperti: eksperimen, penelitian, logika, dan uji coba yang dilakukan tiada henti. Dalam ilmu pengetahuan, ketika semua hal tersebut (eksperimen, penelitian, logika, dan uji coba) dilakukan dan memperoleh hasil yang valid dengan didukung oleh akal sehat, barulah seseorang dan/atau masyarakat "menerimanya". Dengan demikian, dalam ilmu pengetahuan kata yang seharusnya digunakan adalah "menerima", bukan "percaya" atau "mempercayai". Jadi, kalimat yang tepat adalah: "Saya menerima hasil penelitian itu sebagai sesuatu yang valid karena telah diuji ketepatannya oleh beberapa orang dengan menggunakan pola yang acak" atau "saya bisa menerima kesimpulan tersebut karena saya sendiri pun telah melakukan penelitian yang sama dan memperoleh hasil yang sejajar dengan kesimpulan tersebut".
Sedangkan untuk lema "iman", sesungguhnya saya cenderung enggan menggunakannya karena lema tersebut berasal dari ranah agama. Mengapa demikian? Bagi saya, ranah agama merupakan ranah yang tidak terlalu jelas, seringkali samar-samar, berbagai kata dan istilah bisa memiliki arti lebih dari satu atau sangat bersifat cair. Artinya, sebuah lema atau istilah bisa memiliki pengertian yang berbeda ketika digunakan oleh kelompok orang yang berbeda. Contoh: "alam baka". Bagi para penganut agama Abrahamik, "alam baka" menunjuk pada surga-neraka, sedangkan bagi para penganut Buddhisme menunjuk pada nirvana, atau menurut para pemeluk Hindu menunjuk pada reinkarnasi. Sedangkan untuk lema "iman" ditemukan beberapa pengertian yang biasa dikatakan orang, seperti: "iman" = tidak membutuhkan bukti fisik atau "iman" = percaya atau "iman" = tidak bisa dilihat secara kasat mata atau "iman" = pengalaman pribadi/kelompok. Oleh karena sifatnya yang sangat tidak stabil atau lebih tepatnya, tidak memiliki tolok ukur atau standar yang pasti, maka saya cenderung tidak menggunakan lema tersebut. Meskipun lema "iman" ditemukan dalam beberapa tulisan dalam blog ini (misalnya tulisan sebelumnya), namun saya mendasarkannya pada pandangan sebagian besar orang. Artinya, saya menggunakan lema tersebut karena masyarakat umum menggunakannya, tetapi tanpa menerima atau menyetujui pengertian yang dikatakan atau berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Penggunaan kata dan bahasa dalam budaya masa kini merupakan hal yang sangat vital karena menunjukkan atau menggambarkan posisi orang yang menggunakannya. Penggunaan kata yang tidak tepat atau penggunaan kalimat yang tidak cermat akan mengakibatkan pesan tidak diterima secara jernih oleh pihak lain atau pihak lain keliru memahami kata-kata atau ungkapan yang disampaikan pihak lain. Ini bisa terjadi karena kata atau ungkapan yang sama ketika diterima oleh beberapa orang bisa menghasilkan pemahaman yang saling berbeda. Oleh karena itu, kritis juga diawali/dimulai dari hal-hal sangat kecil yang seringkali dianggap remeh oleh banyak orang yang mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman atau jurang komunikasi antara pihak-pihak yang berhubungan. Kritis terhadap kata-kata merupakan salah satu langkah paling awal sekaligus sangat sederhana bagi orang-orang yang tidak enggan berpikir kritis terhadap kata-kata yang hendak digunakannya.
Mengapa banyak orang mati-matian mengatakan bahwa sesuatu yang diimaninya adalah benar? Hal-hal apa sajakah yang biasa dijadikan sebagai alasan atau argumen untuk mendukung imannya mereka tersebut?
1. Akurasi. Segala hal yang ditulis dalam kitab suci atau tradisi tepat.
2. Nubuat. Segala yang telah dinubuatkan menjadi kenyataan.
3. Angka. Banyak orang mengatakan hal yang sama.
4. Perubahan hidup. Banyak orang mengaku mengalami perubahan hidup (misalnya: menjadi lebih baik atau bijak atau kaya).
5. Mukjizat. Memperoleh (beberapa) tanda, penglihatan, dan/atau keajaiban.
6. Pengalaman pribadi. Klaim merasakan kehadiran sesuatu di dalam hidupnya sehingga memberikan ketenangan, kesejahteraan, kebahagiaan, dan kehangatan.
Saya : iman adalah sesuatu yang diharapkan terjadi oleh mereka yang mempercayainya dan merupakan bukti yang tidak dapat dilihat secara kasat mata. Tidak seorang pun bisa mengatakan percaya jika tanpa memiliki iman. Dengan demikian, iman dan percaya adalah dua hal yang saling terkait bagi mereka yang mengimani dan mempercayainya. "Saya beriman karena saya mempercayainya. Saya percaya karena saya telah mengimaninya".
Pertanyaan : apakah iman dan percaya itu dapat atau telah diuji kebenarannya?
Saya : Maksudnya "merasakan"?
Teman: Ya, karena gua merasakan bahwa hal itu memang benar adanya.
Saya : Maksudnya "benar" itu apa?
Teman : Hal yang gua percayai itu benar karena gua ngerasain itu benar.
Saya : Apakah pernah sekali aja lu coba mempertanyakan apa yang selama ini lu rasa benar dan percayai itu?
Teman : Buat apa gua pertanyain? Gua udah yakin sama apa yang gua rasain benar itu.
Saya : Apakah pernah sekali aja terlintas di benak lu kalo yang selama ini lu rasa benar dan percayai itu keliru?
Teman : Ga mungkin itu. Karena banyak orang juga merasakan apa yang gua rasain dan itu berarti benar.
Saya : Yang selama ini lu rasain benar dan percayai itu kan sebenarnya turunan dari orangtua lu dan lu udah dibentuk dari sejak kecil dalam lingkungan yang mendorong (baca: mengindoktrinasi) lu untuk mempercayai hal itu. Gimana lu menanggapi pernyataan gua tadi?
Teman : Ya, emang turunan, tapi seiring berjalannya waktu gua sendiri juga udah membuktikan kalo yang gua percayai itu emang benar dan ga salah.
Saya : Apa yang udah lu lakukan untuk "membuktikan" bahwa yang selama ini lu percayai itu emang benar dan ga salah?
Teman : Begitu banyak orang merasakan dan mengalami seperti yang gua rasain dan alami.
Saya : Apa itu yang dirasakan dan dialami itu?
Teman : Tenang, bahagia, merasa diberkati, dikasihi, dan jadi orang yang lebih baik.
Saya : Bukankah hal-hal yang lu rasain dan alami itu merupakan hal umum. Artinya, banyak orang lain juga merasakan hal yang serupa, tetapi tidak memiliki kepercayaan yang sama dengan lu. Gimana menurut lu?
Teman : Biarin aja. Yang penting, gua yakin kalo yang gua rasain itu benar dan ga salah. Dan yang paling penting dan benar itu apa yang gua percayai.
Saya : Masalahnya, banyak orang memiliki kepercayaan berbeda dengan lu, tapi juga merasakan dan mengalami hal-hal seperti yang lu bilang tadi. Gimana tuh?
Teman : Yah, mereka masih dikasih waktu untuk menyadari kalo yang mereka percayai itu salah. Gua cuma kasih contoh melalui sikap gua yang benar aja. Yah, seterusnya terserah mereka mo gimana. Semoga aja suatu saat mereka sadar dan mempercayai apa yang gua percayai.
Saya : Kenapa mereka harus mempercayai apa yang lu percayai?
Teman : Ga harus sih . . . karena emang cuma beberapa orang yang terpilih dan sisanya, bahkan kebanyakan ga.
Saya : Maksudnya "terpilih" dan "ga terpilih itu apa? Apa aja syarat-syaratnya untuk bisa jadi yang terpilih itu?
Teman : Ya, yang terpilih itu jadi bisa selamat sedangkan yang ga terpilih, yah, ga selamat. Syaratnya gampang aja kok, percaya seperti gua aja.
Beberapa waktu lalu saya menulis "BERDEBAT SECARA BIJAK". Tulisan kali ini berusaha melengkapi tulisan tersebut. Dalam diskusi, dialog, apalagi debat mengetahui dan memahami posisi masing-masing, baik diri sendiri maupun (terlebih) pasangan diskusi/dialog adalah hal yang sangat penting. Akan lebih baik jika mengetahui dan memahami posisi tersebut dilakukan sebelum berdiskusi/berdialog sehingga masing-masing pihak jelas dengan posisinya. Mengetahui dan memahami posisi masing-masing tersebut tidak terbatas pada kemampuan menyebut atau menamakan posisi seseorang, misalnya: saya seorang yang berpikir terbuka sedangkan dia berpikir tertutup atau saya seorang moralis sedangkan dia imoral. Meskipun hal tersebut sudah cukup baik, namun tidak begitu membantu pihak-pihak yang berdiskusi/berdialog. Oleh karena itu, menamakan atau menyebut posisi seseorang tidaklah cukup melainkan dibutuhkan lebih dari itu. Ini artinya pihak-pihak yang berdiskusi/berdialog harus mampu, bukan saja menjelaskan posisinya, tetapi juga menjelaskan posisi pasangan diskusi/dialognya. Dengan demikian, apakah yang seharusnya dilakukan oleh mereka yang hendak atau sedang berdiskusi atau berdialog, bahkan berdebat?
Lakukanlah taksonomi! Apakah "taksonomi" itu? Taksonomi adalah upaya mengklasifikasikan suatu hal. Awalnya, taksonomi dilakukan pada tumbuhan dan hewan. Taksonomi adalah aktivitas saintifik dalam mengklasifikasi semua hal. Dengan demikian, taksonomi merupakan sebuah cara atau alat yang sangat penting dilakukan demi memperoleh informasi yang cermat serta memperluas pengetahuan bagi mereka yang melakukannya.
Beberapa kekuatan taksonomi:
1. Membantu orang dalam menganalisis data-data yang relevan.
2. Membantu orang selalu terhubung dengan dunia nyata.
3. Membantu orang memperhatikan pola-pola yang saling berkaitan.
4. Membantu orang berpikir secara runut sehingga dapat membangun model-model sehingga memperdalam sekaligus memperluas wawasan/pengetahuan seseorang mengenai hal tertentu.
Beberapa kelemahan taksonomi:
1. Seringkali terjebak dalam reduksionisme. Artinya, terlena pada hal-hal yang sangat kecil dari suatu hal yang diklasifikasi.
2. Dapat menggiring orang menjauhi kenyataan yang terjadi akibat terlena pada hal-hal yang sangat kecil.
3. Bisa mengalihkan orang dari hubungan-hubungan kompleks yang terjalin di antara berbagai subjek.
Apa yang harus dilakukan terhadap taksonomi?
1. Taksonomi harus tetap dilakukan, tetapi bersifat sangat cair atau fleksibel. Artinya, orang harus selalu awas terhadap berbagai bukti baru yang muncul. Dan gunakanlah berbagai bukti baru tersebut untuk memperkaya klasifikasi yang sedang dilakukan.
2. Gunakanlah beberapa taksonomi dalam menganalisis suatu hal, jangan hanya satu.
3. Ujilah selalu taksonomi-taksonomi yang dilakukan menggunakan berbagai data terkini.
4. Jangan biarkan taksonomi-taksonomi tersebut menjadi satu-satunya cara dalam memandang sebuah subjek atau suatu kenyataan, tetapi gunakanlah akal sehat yang ditopang oleh pikiran yang kritis.
Setelah memperhatikan penjelasan mengenai taksonomi di atas, mungkin orang akan berkata, "Hanya mau berdiskusi/berdialog saja kok rumit banget, harus gunakan taksonomi-taksonomi segala!" Jika dilihat sepintas sepertinya rumit. Namun, tidak demikian ketika orang mencoba mempraktikkan hal tersebut setiap kali berdiskusi/berdialog/berdebat dengan orang lain. Taksonomi sangat penting bahkan untuk hal-hal yang sangat kecil atau bahkan remeh menurut pandangan banyak orang. Ketika berdiskusi/berdialog masing-masing pihak harus bersama-sama menjelaskan dan menentukan berbagai istilah bahkan kata yang digunakan sampai masing-masing pihak sepakat sehingga diskusi dapat dimulai atau dilanjutkan.
Taksonomi harus dilakukan agar masing-masing pihak yang berdiskusi/berdialog memiliki informasi yang jelas (tidak samar-samar) mengenai, bukan saja penggunaan berbagai istilah atau kata tertentu, tetapi juga sudut pandang masing-masing pihak. Taksonomi dilakukan supaya masing-masing pihak yang berdiskusi/berdialog bisa selalu mengecek/menguji/menilai kejelasan hubungan antara berbagai data yang ditemukan dan kenyataan yang terjadi. Tentu, taksonomi dilakukan demi memperoleh kejelasan mengenai posisi masing-masing pihak yang berdiskusi/berdialog sehingga diskusi/dialog yang dilakukan tidak mengarah atau berakhir pada adu mulut/perang kata-kata yang tiada manfaatnya. Karena sekali lagi, tujuan terutama diskusi atau dialog, bahkan debat sesungguhnya bukanlah untuk mencari siapa yang menang, apalagi siapa yang tepat atau benar melainkan menemukan kebenaran.
Salah satu serial TV yang saya sukai adalah CSI (Crime Scene Investigation) karena tokoh-tokoh protagonis dalam serial tersebut selalu mengutamakan akal sehat, logika, dan berbagai pembuktian yang ditopang oleh bukti-bukti fisik yang ada demi memecahkan setiap kasus kejahatan. Serial CSI terdiri atas tiga lokasi, yakni CSI : Las Vegas, CSI : New York, dan CSI : Miami.
Baru saja saya menyaksikan salah satu serial CSI : Miami yang kali ini menurut saya sangat bahkan paling gamblang dalam mengedepankan penggunaan akal sehat manusia. Dalam tulisan ini saya tidak akan membahas serial tersebut dari awal sampai akhir melainkan hanya menitikberatkan pada satu bagian yang sangat kecil namun bagi saya sangatlah penting dan mencerahkan.
Di akhir serial tersebut, ketika semua kasus kejahatan telah berhasil dipecahkan, salah seorang anggota CSI ternyata masih seringkali melihat temannya yang sebenarnya telah tiada (meninggal). Temannya itu telah meninggal beberapa bulan yang lalu, tetapi ia masih sering melihatnya begitu nyata. Ketika temannya itu masih hidup mereka berteman sangat akrab, jadi setelah temannya tiada ia sungguh-sungguh kehilangan. Anggota CSI itu seringkali mengatakan kepada teman-temannya termasuk pimpinannya, Horatio, bahwa ia sungguh-sungguh telah melihat temannya. Ia selalu berkata bahwa ia tidak bohong, dan temannya itu masih hidup.
Namun, ketika untuk kesekian kalinya ia berkata kepada pimpinannya, bahwa ia sungguh-sungguh telah melihat temannya, apakah tanggapan pimpinannya? Apakah pimpinannya mengatakan bahwa ia gila? atau ia mengalami halusinasi? atau ia sakit jiwa? atau ia kurang istirahat, jadi harus pulang dan istirahat? Ternyata pimpinannya itu tidak mengatakan salah satu dari semua ucapan itu melainkan dengan bijak ia menganjurkan agar anggotanya tersebut untuk memeriksakan diri ke dokter sehingga bisa dianalisis dan diobati. Kemudian apa yang terjadi? Setelah memeriksakan diri ke dokter dan diberi obat orang itu pun tidak lagi "melihat" temannya.
Apa yang bisa diambil dari hal tersebut? Merupakan hal wajar jika seseorang merasa begitu kehilangan orang yang sangat dikasihinya sehingga ia seperti masih "melihat" sosok orang yang telah meninggal itu, "mendengar" suaranya, atau seperti "merasakan" kehadirannya. Namun, apakah semua hal itu nyata? Artinya, apakah sosok yang sudah meninggal itu masih hidup? Masih bisa dilihat, didengar, dan dirasakan? Tentu tidak, bukan?! Sesungguhnya yang dialami seperti tokoh dalam CSI : Miami tadi adalah memori yang begitu kuat terhadap sosok yang telah meninggal tersebut sehingga memori itu merangsang syaraf-syaraf tertentu dalam otak yang membuat orang itu seperti "melihat" temannya yang sebenarnya telah meninggal.
Sesungguhnya tokoh dalam serial tersebut menyadari bahwa temannya memang sudah meninggal, tetapi ia tidak mampu mengendalikan diri untuk membedakan antara yang nyata (temannya sudah meninggal) dan tidak nyata (penglihatan akan temannya yang sudah meninggal). Dalam hal yang sangat terbatas apa yang dialami tokoh dalam serial tersebut merupakan hal yang wajar, jika dialaminya hanya beberapa hari setelah kematian temannya. Namun, hal tersebut menjadi tidak wajar bahkan sangat tidak wajar jika dialaminya sampai berbulan-bulan apalagi sampai bertahun-tahun. Akan menjadi sesuatu yang aneh, jika hal tersebut didiamkan dan tidak segera dicari penanggulangannya, seperti: diobati melalui pengobatan medis. (Bukannya didoakan atau ditengking atau diberikan pengobatan alternatif.)
Kesedihan yang mendalam akibat seseorang yang dicintai meninggal merupakan hal yang sangat normal, wajar, dan manusiawi. Namun, jika kesedihan itu disertai oleh berbagai pengalaman "penglihatan" atau "pendengaran" yang dialami berulang-ulang dan orang yang mengalaminya bersikeras bahwa ia sungguh-sungguh telah "melihat" sosok dan "mendengar" suara bahkan "merasakan" kehadiran sosok yang telah meninggal serta berusaha meyakinkan orang lain mengenai hal tersebut, maka hal tersebut perlu segera ditangani secara bijak. Artinya, orang tersebut perlu dibawa ke dokter atau psikiater (bukan psikolog).
Berkaca pada salah satu serial CSI : Miami maka merupakan hal yang bijak jika setiap orang selalu berupaya menganalisis, memahami, dan menjelaskan setiap hal dengan dilandasi pada akal sehat. Setiap orang seharusnya menyadari bahwa pikirannya mudah dan seringkali dikacaukan oleh berbagai pengalaman dan pola pikir yang tidak cermat. Oleh karena itu, upaya untuk selalu menggunakan akal sehat disertai berpikir kritis merupakan hal yang positif, bukan saja bagi diri sendiri melainkan juga masyarakat yang lebih luas. Dikatakan positif karena orang yang menggunakan akal sehat dan pikiran kritisnya tidak mudah dimanipulasi, baik oleh orang lain maupun dirinya sendiri.