Sabtu, 06 Maret 2010

Perasaan

"Saya merasakannya dalam hati saya", "kehadirannya sangat saya rasakan dalam hati", "hati saya mengatakan bahwa ia ada dan hadir dalam kehidupan saya", "saya sangat mempercayainya karena saya sungguh-sungguh merasakan kehadirannya dalam hati saya" adalah beberapa pernyataan yang biasa dikatakan berulang kali oleh orang-orang mempercayai bahwa yang dinamakan/disebut tuhan/allah/dewa sungguh hadir dalam kehidupannya. Apakah klaim-klaim seperti di atas cukup untuk membuktikan bahwa ada makhluk atau seseorang atau figur atau suatu kekuatan yang dinamakan tuhan/allah/dewa itu? Apakah yang dinamakan/disebut dengan "perasaan" itu?

"Perasaan" seringkali juga disebut atau disejajarkan dengan intuisi, yakni emosi tertentu yang mendorong seseorang untuk mempercayai sesuatu yang didasarkan pada "kata hati" atau nurani. Saya sendiri lebih memilih untuk menggunakan kata "emosi" daripada perasaan atau kata hati atau nurani. Dalam kaitannya dengan berbagai pernyataan di atas, maka emosi seseorang-lah yang menentukan kepercayaannya. Artinya, kepercayaan seseorang pada sesuatu atau seseorang didasarkan pada emosinya. Emosi bukanlah metode atau alat atau pisau analisis atau argumen yang baik. Sebaliknya, emosi atau perasaan atau kata hati atau intuisi manusia sangat bisa menyesatkan. Mengapa demikian? Karena sebagian besar orang cenderung sangat mudah mempercayai emosi atau perasaan atau kata hati atau intuisinya tanpa terlebih dahulu mengujinya dengan akal sehat yang berdasar pada pikiran yang kritis. Kebanyakan orang serta-merta meyakini dan memeluk erat segala hal yang didasarkan pada emosi atau perasaan atau kata hati atau intuisi tanpa sama sekali meninjau ulang apalagi menganalisisnya secara kritis.

Mengapa emosi seseorang bukanlah cara yang tepat dalam mencari kebenaran atau membuktikan kebenaran? Emosi bukan hanya cara yang tepat, tetapi salah bahkan menyesatkan. Emosi kerapkali membawa atau menuntun seseorang untuk melihat dan mempercayai suatu hal walaupun sesungguhnya hal tersebut tidak ada. Emosi menarik atau mendorong seseorang pada sesuatu yang dipercayainya terlebih dahulu ataupun sesuatu yang akan dipercayainya. Emosi adalah sesuatu yang sangat bias. Artinya, seseorang yang mendasarkan kesimpulan atau kepercayaannya pada emosi sesungguhnya berpikir berat sebelah. Seseorang yang mempercayai emosinya adalah orang yang tidak adil dan berpikir terbuka. Orang seperti itu hanya mempercayai emosinya yang sangatlah subjektif.

Kembali pada pembahasan mengenai "perasaan", maka harus dikatakan bahwa "perasaan" atau kata hati atau intuisi manusia bukanlah metode yang tepat dalam menganalisis, menemukan, dan menjelaskan semua hal, khususnya yang berkaitan dengan kepercayaan atau ideologi. Oleh karena itu, "perasaan" manusia bisa jadi salah karena bersifat sangat subjektif. Dengan demikian, "perasaan" manusia sama sekali tidak tidak akurat jika dijadikan sebagai dasar untuk mencari kebenaran yang berkaitan dengan kepercayaan seseorang.

Pertanyaan yang harus diajukan kepada mereka yang sangat mendasarkan kepercayaannya pada "perasaan" adalah: "bagaimana dengan orang lain yang juga mendasari kepercayaannya pada perasaan mereka"? "Bagaimana jika mereka mendasarkan kepercayaan mereka pada kata hatinya dan kepercayaan tersebut berbeda atau bertolak belakang dengan kepercayaan-kepercayaan lainnya"? Bukankah ada beragam kepercayaan yang pernah dan masih ada sampai saat ini? Dan bukankah kepercayaan-kepercayaan itu saling berbeda bahkan bertolak belakang?

Dengan demikian, "perasaan" atau kata hati atau intuisi manusia adalah sesuatu yang tidak sempurna. "Perasaan" manusia bisa menjadi sesuatu yang menyesatkan bahkan sangat mudah disalahgunakan jika tidak ditinjau ulang. Oleh karena itu, "perasaan" manusia harus selalu diuji demi memperoleh kebenaran yang sesungguhnya. Kembali pada pertanyaan di paragraf pertama, "apakah perasaan manusia bisa dijadikan dasar pembuktian adanya tuhan/allah/dewa? Jawabannya adalah: "sama sekali tidak".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.