Jumat, 12 Maret 2010

Into My Heart...

Into my heart . . . into my heart . . . come into my heart, Lord Jesus . . . Come in to stay, come in today . . . Come into my heart, Lord Jesus. . .

Di atas adalah salah satu lagu rohani anak-anak yang cukup dikenal sampai saat ini. Sebuah permintaan/permohonan agar Yesus masuk ke dalam hati orang-orang yang menyanyikan serta mengamini kata-kata dari lagu tersebut. Namun, muncul beberapa pertanyaan.

1. Apakah maksud atau arti kata "hati" tersebut? Apakah menunjuk pada kata benda atau kata sifat atau sebuah metafor? Atau?

"Hati" sebagai kata benda berarti menunjuk salah satu organ dalam tubuh, bukan saja manusia melainkan makhluk hidup lainnya, yang berfungsi untuk menyalurkan oksigen, sel-sel darah, protein, dan hormon. Hati sebagai kata benda (organ tubuh) terletak di sekitar dada. Jika kata "hati" digunakan sebagai kata benda, maka merupakan hal yang sangat tidak masuk akal seseorang atau hal apapun itu dapat "masuk" ke dalam hati seseorang. "Hati" sebagai kata benda berfungsi sebagai hal-hal yang telah disebutkan di atas, bukannya tempat "menampung" seseorang.

Apakah kata "hati" digunakan sebagai kata sifat? Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah: apakah pernah kata "hati" digunakan sebagai kata sifat? Sejauh yang saya tahu belum pernah saya mendengar jika kata "hati" digunakan sebagai kata sifat. Kalaupun ya, maka kata "hati" tersebut dihubungkan erat dengan "perasaan" seseorang. Apa yang dirasakan seseorang ketika mengalami peristiwa atau situasi tertentu. Oleh karena itulah seringkali orang bisa membaca atau mendengar frasa atau ungkapan seperti: "hatiku sakit karena tindakannya" atau "perasaanku terluka akibat kata-katanya" atau "hatiku dikhianati olehnya". Jika demikian, maka pertanyaan berikut yang muncul adalah: apakah ciri (-cirinya) ketika hati atau perasaan seseorang disakiti? Apakah ada ciri-ciri, baik fisik dan psikologis yang dapat dilihat secara kasat mata? Atau mungkin hal tersebut hanya "dirasakan" oleh orang-orang yang hati atau perasaannya disakiti. Jika hal tersebut hanya dirasakan oleh orang-orang yang hati atau perasaannya disakiti, maka ini pertanda sebagai sesuatu yang subjektif. Artinya, hal yang dialaminya tersebut telah direkam dalam memori otak orang tersebut kemudian disalurkan melalui pernyataan-pernyataan seperti tadi. (Memori otak seseorang menyerap dan mampu menampung berbagai hal yang bukan saja pernah dialaminya melainkan berbagai hal yang dilihat dan didengarnya.)

Apakah
kata "hati" digunakan sebagai metafor? Apa itu "metafor"? Metafor berasal dari dua kata Yunani: meta = "di antara" dan feroo = "mengangkat, membawa". Maka secara sangat sederhana kata "metafor" berarti mengangkat atau membawa ke luar melalui perbandingan, asosiasi, atau persamaan. Oleh karena "hati" merupakan salah satu organ vital dalam tubuh manusia, maka ketika "hati" digunakan dalam konteks metafor orang dapat mengatakan bahwa sesuatu (dhi. Yesus) dapat berada dalam tubuh manusia. Namun tetap saja penjelasan "hati" dalam konteks metafor tidak memuaskan.

2. Apakah ada ayat (-ayat) dalam Alkitab yang menyatakan bahwa orang Kristen harus meminta/memohon Yesus untuk masuk ke dalam hatinya? Tidak ada.

3. Apakah ada catatan (-catatan) sejarah yang menghubungkan antara "hati" dan tuhan/allah/dewa? Tidak ada. Bahkan tidak ada catatan sejarah yang menyebut kata "hati", tetapi yang disebut adalah "ginjal". (Hati dan ginjal sama sekali berbeda.)

Dengan demikian, apa yang dimaksud dengan "come into my heart, Lord Jesus?" Kata-kata tersebut merupakan kata-kata keagamaan. Artinya, kata-kata tersebut haruslah dipahami dalam konteks keagamaan. Maka setiap kali orang berbicara semua hal dalam konteks keagamaan yang harus disadari penuh adalah bahwa hal-hal tersebut seyogianya dibaca sebagai sesuatu yang tidak nyata atau riil. Bahasa keagamaan adalah bahasa iman bukan bahasa sejarah. Bahasa iman berarti membicarakan sesuatu yang tidak memerlukan pembuktian sejarah apalagi akal sehat. Agama mendasarkan bangunannya pada iman, bukannya bukti dan akal sehat. Apakah dengan demikian orang-orang beragama tidak menggunakan akal sehatnya? Mereka sangat mungkin menggunakan akal sehatnya, tetapi dalam bidang-bidang hidup lainnya, bukan agama. Ketika agama coba dipahami menggunakan akal sehat, maka semua unsur di dalamnya perlahan namun pasti akan runtuh.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.