Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Filsafat. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Agustus 2011

Makna Kehidupan (2)


Jalan Keluar
Bagi Schopenhauer kehendak tidaklah rasional. Kehendak merupakan dorongan yang tidak akan pernah bisa terpuaskan dan buta. Kehendak itu terjebak dalam kehidupan manusia yang membuatnya frustrasi karena dipenuhi dengan kerja keras tiada henti. Kehidupan, bagi Schopenhauer, seharusnya tidak perlu ada karena menyengsarakan manusia. Jika demikian, apa yang bisa dilakukan manusia agar bisa keluar dari kesengsaraannya? Schopenhauer mengajukan dua jalan keluar: pertama, kontemplasi estetik (bersifat sementara) dan kedua, penyangkalan estetik (bersifat abadi).

Individu yang melakukan kontemplasi estetis mampu melampaui apa yang dilihat atau didengarnya dari sebuah objek. Individu tersebut memperoleh kesadaran lebih tentang unsur dasar dan sejati dari realitas. Kontemplasi membebaskan individu tersebut dari subjek yang berusaha menguasai objek. Namun jika individu melihat objek bukan sebagai objek yang ditentukan oleh kategori pemahaman atau representasi melainkan memandangnya lebih dari sekadar objek maka individu tersebut bisa tiba pada tipe dasar objek tersebut. Menurut Schopenhauer ketika kehendak memanifestasikan dirinya ke dalam objek partikular dari dunia ini akibatnya ia terobjektifikasi ke dalam objek-objek universal. Inilah yang disebut dengan Ide-ide Platonik.

Pemahaman Schopenhauer tersebut akan mudah dipahami jika dianalogikan ke dalam bidang atau konteks seni. Seniman bisa menjadi lebih dari sekadar subjek ketika ia mampu membebaskan dirinya dari tuntutan kehendak dengan berhenti dari semata-mata pribadi dan menjadi subjek pengetahuan yang tidak lagi memiliki kehendak. Pada saat itulah seorang seniman dapat mengkomunikasikan pengetahuannya mengenai objek seni melalui karya seni yang mengagumkan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika pelaku dan penikmat seni bisa mengalami perasaan tertentu terhadap objek seni karena mereka mampu melampaui objek yang dilihat atau didengarnya. Namun demikian, kontemplasi estetik sifatnya sementara, sedangkan penyangkalan estetik bersifat abadi.

Pada saat individu mengenali dunia sebagaimana adanya dunia, pada momen itulah ia melihat kehidupan sebagai sebagai ruang dan waktu yang di dalamnya harus diisi dengan kerja keras tanpa akhir. Menurut Schopenhauer ketika individ mampu menyadari hal ini maka dirinya sesungguhnya telah terbebas dari kesengsaraannya karena pada titik ini ia telah sadar penuh. Ia bahkan menjadi individu yang sadar untuk menghargai, menghormati, dan mencintai subjek lain sebagaimana ia menghargai, menghormati, dan mencintai dirinya sendiri. Kesadaran ini menuntun individu pada pembebasan dari kehendak yang sifatnya ilusif. Pembebasan dari kehendak – pengosongan diri – ini dapat dicapai melalui penyangkalan diri. Ini yang disebut Schopenhauer sebagai penyangkalan estetik. Pernyataan Schopenhauer mengenai “penyangkalan diri” merangsang pertanyaan, apa itu “penyangkalan”? Apa yang disangkal?

Menurut Schopenhauer proses mengetahui menuntut keberadaan subjek sebagai yang mengetahui dan objek sebagai yang diketahui, sementara setiap kali Schopenhauer menyebut “pengosongan” atau “penyangkalan” ia sedang berupaya, bukan hanya meniadakan subjek dan objek, namun juga meniadakan ruang, waktu, pengertian, dan kehendak itu sendiri. Dengan kata lain ia mengatakan bahwa tidak ada kehendak, tidak ada representasi, dan juga tidak ada dunia (bukan kehidupan). Apakah dengan demikian Schopenhauer seorang nihilis? Sama sekali bukan, karena ia tidak mengatakan bahwa “yang ada hanyalah ketiadaan” namun sebaliknya, “ketiadaan tidaklah pernah ada.”

Kesimpulan
Setelah mencoba memahami Schopenhauer, maka dengan demikian, pertanyaan “apakah Schopenhauer seorang filsuf yang memandang kehidupan secara pesimistis?” bisa dijawab dengan “tidak.” Mungkin saja Schopenhauer memahami kehidupan agak negatif, namun itu tidak berarti manusia lain yang hidup di dalamnya juga bersikap negatif terhadap kehidupan. Ini tidak dapat dilepaskan dari pandangannya mengenai bunuh diri. Jika kehidupan ini sama sekali tidak bernilai dan manusia seharusnya tidak perlu berada di dalamnya, apakah dengan demikian bunuh diri menjadi sah? Jika kehidupan ini tidak bermakna mengapa tidak bunuh diri saja?! Menurut Schopenhauer, tindakan bunuh diri merupakan kesalahan karena ketika individu melakukan bunuh diri berarti dirinya menyerah dan kalah terhadap kehendaknya. Lebih dari itu, tindakan bunuh diri adalah bentuk afirmasi atas kehendak dan penerimaan atas duka cita. Yang dikatakan Schopenhauer adalah “penyangkalan kehendak” bukan “penyangkalan (terhadap) kehidupan.” Dengan berdasar pada argumen inilah maka tindakan bunuh diri hanya akan menghancurkan diri sendiri dalam dunia representatif yang justru ditolak Schopenhauer.

Hal penting yang perlu dicatat dari pandangan Schopenhauer – meski ia secara agak negatif memandang kehidupan – bahwa ia mengajukan pengalaman estetik (bukan mistik) sebagai alternatif atau jalan keluar bagi manusia dari kesengsaraan hidupnya. Harus diperhatikan bahwa jalan keluar tersebut bukanlah pelarian apalagi melakukan tindakan bunuh diri. Ini dilakukan dengan berdasar pada kesadaran bahwa manusia tidak hidup seorang diri di dunia ini karena ada makhluk hidup lainnya dan alam. Manusia juga bukanlah subjek sementara yang lainnya adalah objek(-nya), melainkan semuanya adalah subjek. Kesadaran inilah yang memampukan manusia melihat, memahami, dan menilai dunia sekitarnya sebagaimana adanya.

Dengan demikian dari Arthur Schopenhauer kita belajar bahwa manusia bukanlah satu-satunya subjek di jagat ini karena ada subjek-subjek lainnya. Meski manusia selalu berusaha memahami dan memaknai dengan menilai subjek-subjek sekitarnya, namun adalah langkah yang bijak jika penilaian itu dilakukan dengan sesuai alias layak. Artinya, manusia tidak memberikan penilaian yang semena-mena terhadap subjek-subjek itu. Bagaimana penilaian sesuai/layak itu dilakukan? Dengan berpikir kritis individu akan dituntun ke dalam (proses) penilaian yang sesuai sehingga, baik dirinya maupun sesamanya tidak akan terkecoh dan tersesat.

Makna Kehidupan (1)

Apakah makna kehidupan? Tidak sedikit orang bertanya dan mencari jawaban terhadap pertanyaan seperti itu, termasuk seorang filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer (1788-1860). Namun demikian, banyak orang (secara keliru) menafsirkan pandangannya mengenai kehidupan sehingga ia dianggap sebagai seorang yang pesimis. Tidak jarang orang mengatakan jika Schopenhauer memiliki pandangan negatif terhadap kehidupan dan menganggap dunia sebagai sesuatu yang seharusnya tidak ada. Apakah benar Schopenhauer filsuf yang pesimis terhadap kehidupan? Jika ya, mengapa ia berpikir demikian? Jika tidak, apakah pandangannya mengenai kehidupan, dan adakah jalan keluar yang ditawarkan kepada manusia untuk memaknai kehidupannya? Pembahasan makna kehidupan menurut Arthur Schopenhauer akan dibagi ke dalam dua bagian tulisan

Dualisme
Siapa saja yang hendak menyelami pemikiran Schopenhauer terlebih dulu perlu memahami karya Immanuel Kant (1724-1804) agar tidak tersesat, karena pandangan Schopenhauer berangkat dari penolakannya terhadap pemikiran Kant. Dalam karyanya (“Kritik terhadap Akal Budi Murni”) Kant mengatakan bahwa pikiran itu aktif dan kekuatan apriori yang berasal dari pikiran itu yang memainkan peranan dalam pembentukan sifat dunia yang dialami manusia. Berbagai bentuk yang berasal dari intuisi inderawi manusia berlangsung di dalam ruang dan waktu. Artinya, semua objek yang dialami manusia selalu berada dalam ruang/tempat dan waktu tertentu. Namun demikian, intuisi inderawi manusia tidak cukup memberikan pengetahuan mengenai objek yang dialami manusia sehingga intuisi tersebut harus dibawa ke dalam konsep-konsep sehingga membentuk pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi ini dibentuk dan diatur oleh kerja mental yang disebut kategori (Menurut Kant ada 12 kategori, yakni: kesatuan, pluralitas, totalitas, kenyataan, negasi, pembatasan, substansi, sebab-akibat, kesalingan, kemungkinan, aktualitas, dan kebutuhan), sedangkan menurut Schopenhauer hanya ada satu, yaitu kausalitas. Kategori-kategori ini memampukan manusia untuk memahami bahwa setiap objek yang dicerapnya berada dalam ruang dan waktu. Hal-hal inilah yang memungkinkan manusia dapat melihat dan memahami dunia bukan hanya dalam ruang dan waktu namun secara keseluruhan. Dengan demikian, Kant memandang dunia sebagai objek yang menampakkan diri kepada manusia (subjek). Artinya, semua hal yang bisa diketahui manusia tidak lain hanyalah berupa sifat representasi dari sebuah objek.

Lebih lanjut Kant mengatakan bahwa makna terutama dunia sebagaimana ia menampakkan dirinya kepada manusia menunjukkan sesuatu yang lain/berbeda, yakni adanya realitas di balik penampakan tersebut. Inilah yang disebut Kant dengan fenomena (penampakan) dan noumena (“sesuatu pada dirinya sendiri”). Menurut Kant noumena merupakan hal yang tidak sama dengan pengalaman manusia. Artinya, pengalaman manusia berasal dari dunia objek dan dikonstruksi di dalam pikiran manusia. Dengan demikian, manusia bisa memiliki pengetahuan mengenai fenomena, namun tidak bisa memiliki pengetahuan mengenai noumena karena samar-samar. Oleh karena itulah manusia tidak dapat mengatakan hal-hal mengenai noumena selain hanya menyadari bahwa hal tersebut ada. Noumena itulah yang berinteraksi dengan pikiran manusia sehingga melahirkan pengalaman.

Pada momen inilah Schopenhauer menolak pandangan Kant. Pernyataan Kant bahwa noumena merupakan tempat dalam rangkaian kausalitas yang menjadi dasar pengalaman manusia, bagi Schopenhauer dianggap sebagai konsep yang menunjuk bahwa ada sesuatu lain yang berada di luar pengalaman manusia. Penolakan Schopenhauer tersebut jika dirumuskan ke dalam sebuah pertanyaan menjadi: bagaimana mungkin sungguh-sungguh ada yang disebut dengan noumena jika ia sendiri lahir karena konstruksi pikiran manusia? Dengan demikian, seandainya Kant benar dan kategori kausalitas sesuai hanya pada objek sebagaimana ia menampakkan dirinya, bagaimana kita bisa memahami pernyataan Kant bahwa noumena dapat melahirkan sesuatu? Berdasar pada hal ini Schopenhauer mengatakan bahwa tetap diperlukan adanya konsepsi lain dari hubungan antara fenomena dan noumena.

Dunia (sebagai) Kehendak
Dualisme fenomena dan noumena Kant, bagi Schopenhauer, merupakan sesuatu yang absurd dan tidak mungkin dilakukan sehingga harus ditolak. Berbeda dari Kant, Schopenhauer berpendapat bahwa penampakan dan noumena tidak dapat dipisahkan karena merupakan realitas yang sama, hanya saja dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Bagi Schopenhauer, relasi bukanlah sebab-akibat melainkan identitas itu sendiri. Pada satu sisi dunia adalah representasi sekaligus pada sisi lainnya dunia pada dirinya sendiri merupakan kehendak. Pandangan Schopenhauer tersebut berdampak pada pengertian bahwa manusia sebagai subjek menerima tubuhnya sebagai objek sebagaimana objek lain dalam dunia (fisik) ini. Pengertian tersebut menampakkan diri dalam ruang dan waktu, berada dalam hubungan kausal, selalu berubah, dan demikian seterusnya. Dengan demikian, manusia melihat hal tersebut sebagai representasi, penampakan yang berada dalam dunia eksternal sekaligus empiris. Artinya, terhadap semua objek dalam dunia yang menampakkan diri sebagai representasi, manusia memiliki akses terhadap tubuhnya. Manusia mengetahui tubuhnya sebagaimana tubuhnya berada, terlepas dari tubuh manusia sebagai representasi karena ia memilikinya. Schopenhauer pun mengatakan dalam tubuhnya manusia menemukan kehendak.

Namun demikian, orang harus berhati-hati untuk tidak menafsirkan pernyataan Schopenhauer tersebut dengan mengatakan bahwa kehendak manusia merupakan penyebab aktivitas tubuh karena baginya tubuh dan kehendak adalah dua aspek dari realitas yang tidak berbeda alias sama. Schopenhauer mengatakan bahwa hasrat menghendaki itu adalah tubuh. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tubuh manusia adalah kehendak yang terobjektifikasi. Dengan demikian, pada poin ini ia sependapat dengan Kant yang menyatakan bahwa dunia pada dirinya sendiri mengakibatkan representasi.

Pernyataan Schopenhauer bahwa tubuh adalah kehendak yang terobjektifikasi berimplikasi pada gagasan bahwa seluruh dunia berdasarkan penampakannya tidak lain dan tidak lebih merupakan kehendak yang terobjektifikasi. Hal ini didasarkan pada penolakan Schopenhauer terhadap paham solipsisme yang mengatakan “yang ada hanyalah noumena dan representasinya.” Oleh karena itulah ia menegaskan bahwa tubuh manusia merupakan bagian dari dunia sebagaimana dunia menampakkan dirinya, dan keseluruhan manusia adalah kehendak itu. Dalam bahasa Schopenhauer, ketika individu menyadari dan mengenali hal ini, maka ia akan memahami bahwa sifat terdalam yang dimilikinya adalah kehendak.

Selasa, 06 April 2010

Tiga Rumusan Pertanyaan Etika


Dalam kaitan dengan tulisan kemarin mengenai etika, maka orang perlu mengetahui dan menyadari bahwa ada tiga rumusan pertanyaan etika yang seyogianya dijawab dan dijelaskan manusia:

  1. Rumusan pertanyaan etika yang pertama disebut etika aplikasi. Beberapa contoh rumusan pertanyaan etika aplikasi adalah: Apa yang seharusnya dilakukan manusia dalam situasi-situasi tertentu? Manakah yang termasuk tindakan-tindakan yang benar dan manakah yang termasuk tindakan-tindakan yang salah? Moralitas baik dan moralitas jahat seperti apakah yang terjadi? Sebagian besar orang cukup mengenali rumusan-rumusan pertanyaan di atas karena sangat erat kaitannya dengan kehidupan sehari-hari dan cukup mudah diaplikasikan. Namun, ada rumusan pertanyaan-pertanyaan etika yang lebih dalam dari rumusan pertanyaan-pertanyaan etika aplikasi.

  1. Rumusan pertanyaan etika yang lebih dalam dibandingkan rumusan pertanyaan etika yang pertama dinamakan etika normatif. Beberapa contoh rumusan pertanyaan yang hendak dijawab dan dijelaskan dalam etika normatif adalah: Tolok ukur atau standar atau ukuran atau aturan (-aturan) apakah yang digunakan manusia atau seseorang untuk menentukan bahwa sesuatu itu benar atau salah? Apakah yang membuat sesuatu itu bisa dikatakan benar atau salah? Mungkin suatu tindakan dikatakan benar jika tindakan tersebut menghasilkan/memberikan konsekuensi yang baik (terbaik), atau jika tindakan tersebut dihasilkan/berasal dari sebuah karakter yang baik, atau tindakan tersebut memenuhi tanggungjawab tertentu, atau jika tindakan tersebut didasarkan pada kehendak allah (etika perintah ilahi). Dengan demikian, apakah yang menjadi tolok ukur suatu tindakan tersebut? Namun, ada lagi rumusan pertanyaan-pertanyaan etika yang masih lebih dalam daripada rumusan pertanyaan etika normatif.

  1. Rumusan pertanyaan etika yang paling dalam daripada rumusan pertanyaan etika normatif dinamakan dengan meta-etika. Beberapa contoh rumusan pertanyaan yang termasuk ke dalam kategori meta-etika adalah: Apakah yang dimaksud dengan nilai-nilai moral? Apakah ada yang disebut dengan nilai-nilai moral tersebut? Jika ya, apa sajakah buktinya? Apakah yang dimaksud dengan kebenaran moral? Apakah ada kebenaran moral yang mutlak? Bagaimana seseorang (manusia) dapat mengetahui/mengatakan bahwa kebenaran moral itu ada?

Senin, 05 April 2010

Etika


Secara sangat sederhana (tanpa sama sekali menyederhanakan) dapat dikatakan bahwa etika merupakan upaya (filosofis) manusia dalam memahami dan menjelaskan berbagai hal yang berkaitan dengan baik – jahat, moralitas – imoralitas, apa yang selayaknya dan tidak selayaknya dilakukan manusia. Sedangkan moralitas sendiri merupakan sebuah sistem perilaku manusia yang berkaitan dengan benar atau salah. Namun, perilaku benar dan salah manusia tersebut tidak dinilai atau diklasifikasikan berdasarkan pada konsekuensi yang diakibatkan oleh tindakan tersebut (menguntungkan atau menyakiti pihak lain) melainkan didasarkan pada penilaian yang keliru, tuduhan/sangkaan, kebencian, bahkan ketidaktahuan.

Berbagai pertanyaan etika, baik disadari maupun tidak disadari seringkali muncul dalam pikiran manusia; bagaimana seharusnya saya hidup? bagaimana seharusnya kehidupan seksual saya? apakah saya mendukung atau menolak pernikahan sesama jenis? apakah saya mendukung atau menolak hukuman mati? bagaimana seharusnya saya bertindak terhadap binatang? bagaimana seharusnya sikap saya terhadap kemiskinan? apakah seharusnya saya makan di rumah makan ataukah menyumbangkan uang saya bagi yayasan anak-anak cacat/panti asuhan? apakah sistem demokrasi benar/adil bagi masyarakat? apakah yang bisa saya lakukan demi memperbaiki dunia/kehidupan ini?

Sebagian besar orang menganggap bahwa mereka telah memiliki jawaban atau bisa memberikan solusi terhadap semua atau sebagian besar pertanyaan etika yang muncul dalam pikiran mereka, sekalipun mereka sama sekali belum pernah mempelajari etika itu sendiri dan/atau memiliki sedikit pengetahuan mengenai penelitian yang telah dilakukan terhadap etika dalam kaitannya dengan berbagai pertanyaan etika yang muncul dalam pikirannya. Apakah jawaban atau solusi yang mereka berikan benar? Apakah manusia memiliki “kesadaran” mengenai kebenaran moral? Atau, apakah etika dan moralitas merupakan dua hal yang sangat kompleks sehingga tidak cukup hanya dijelaskan dalam beberapa kalimat?

Banyak orang mengatakan bahwa etika merupakan dua hal yang sangat relatif. Artinya, dua orang yang berbeda sangat mungkin memiliki dua pemahaman etika yang berbeda. Bahkan kenyataannya nyaris semua orang tidak sepakat mengenai arti kata “etika” itu sendiri. Atau mungkin kebenaran moral hanyalah ilusi belaka karena sesungguhnya tidak ada yang disebut/dinamakan dengan kebenaran moral. Namun sebagian besar orang percaya bahwa kebenaran moral itu ada. (Pandangan ini dianut oleh orang-orang beragama/mereka yang percaya adanya tuhan dengan mengatakan bahwa “kebenaran moral” itu berasal dan berdasar pada tuhan. Bahkan, tuhan-lah “kebenaran moral” yang dimaksud itu.)

Semua pertanyaan dan kalimat di atas selalu coba dipahami dan dijelaskan oleh mereka yang peduli terhadap “masalah” etika dan moralitas. Para etikus berupaya menjawab dan menjelaskan semua pertanyaan dan kalimat tersebut dengan mendasarkannya pada akal sehat. Satu hal yang pasti adalah bahwa etika merupakan “permasalahan” yang sudah ada dan terus dijelaskan sejak masa para filsuf Yunani klasik.

Sabtu, 27 Maret 2010

Jangan Percaya Apapun


Seorang teman memberikan kutipan ini kepada saya:

Jangan percaya apapun,
Di manapun engkau membacanya,
Atau siapapun yang mengatakannya,
Sekalipun jika aku yang mengatakannya,
Kecuali hal itu bisa diterima oleh akal sehat
Dan pikiranmu sendiri.


[Setelah mencari tahu siapakah penulis mula-mula kutipan di atas maka saya menemukan bahwa kutipan di atas berasal dari Buddha Gautama]

Jangan percaya apapun,
Di manapun engkau membacanya,

= Jangan mudah mempercayai penglihatan dan bacaan anda. Sekalipun penglihatan anda mengatakan bahwa objek yang anda lihat adalah sesuatu yang benar atau nyata, uji, evaluasi, dan kritislah terhadap penglihatan anda tersebut. Sekalipun anda membaca suatu berita atau informasi yang ditulis/dicetak oleh media massa ternama, baik cetak maupun elektronik, senantiasalah kritis terhadap bacaan anda tersebut termasuk buku-buku tertentu yang dipercaya oleh anggota komunitas tertentu.

Atau siapapun yang mengatakannya,
Sekalipun jika aku yang mengatakannya,

= Jangan mudah mempercayai berita atau informasi yang berasal dari orang lain sekalipun orang tersebut merupakan seseorang yang penting, ternama, atau populer. Popularitas seseorang bukanlah jaminan bahwa apa yang dikatakannya sebagai sesuatu yang benar. Sekalipun hal itu dikatakan oleh otoritas tertentu dalam masyarakat (orang tua, orangtua, pemuka masyarakat, dan pemimpin kelompok tertentu). Otoritas yang melekat pada diri seseorang tidak menjadi jaminan bahwa semua yang dikatakan orang tersebut pasti benar adanya.

Kecuali hal itu bisa diterima oleh akal sehat
Dan pikiranmu sendiri.

= Oleh karena itu, ujilah semua informasi dan pandangan terhadap berbagai bukti yang relevan. Tiada lelah berusaha mencari, memahami, dan menjelaskan berbagai data yang ada dengan didasarkan pada akal sehat dan pikiran independen. Artinya, tidak serta-merta atau sangat bergantung pada pandangan orang lain atau otoritas tertentu. Sementara itu, cek dan ujilah selalu emosi dan pikiran sendiri yang tidak jarang bias, tidak jelas, dan tidak cermat supaya tidak tersesat dan menyesatkan.

Senin, 22 Maret 2010

Beragama = Bermoral?

Banyak orang seringkali mengatakan bahwa orang yang beragama memiliki moralitas yang baik. Artinya, orang beragama berperilaku baik, terpuji, dan bertanggung jawab. Apakah benar demikian? Apakah seseorang yang beragama atau bertuhan serta-merta bermoral? Mungkin ya, mungkin juga tidak.

Namun, tidak ditemukan kaitan yang begitu jelas antara agama dan moral orang-orang yang beragama. Kasus terkini membuktikan, di mana seorang klerus senior Irlandia melakukan pelecehan seksual terhadap dua remaja. Para ekstrimis Muslim melakukan tindakan serangan bom bunuh diri yang dilandaskan pada ajaran agama. Dan beberapa saat setelah gempa melanda Haiti, seorang penginjil senior Amerika Serikat, Pat Robertson, mengatakan bahwa bencana itu terjadi karena warga Haiti telah berdosa kepada allah sehingga allah pun menghukum mereka. Pernyataan yang serupa juga beberapa kali saya dengar setelah bencana Tsunami melanda Aceh beberapa tahun silam; "tuhan menghukum Aceh karena mereka selama ini bandel terhadap pemerintah Indonesia" atau "bencana itu diizinkan tuhan supaya masyarakat Aceh bertobat".

Dari hanya beberapa contoh sederhana di atas, apakah dengan demikian, orang beragama serta-merta bisa dikatakan memiliki moral yang lebih baik dibandingkan orang-orang yang tidak beragama atau sekalipun dibandingkan orang-orang yang tidak mempercayai tuhan? Jika seringkali dikatakan bahwa agama membuat manusia lebih baik dalam bersikap, seperti: pemaaf, terpuji, bijaksana, bertanggungjawab, dan lebih baik daripada manusia lainnya, lalu bagaimana dengan kenyataan adanya keragaman agama serta orang-orang yang memeluknya? Bagaimana mengukur moralitas seseorang yang beragama dibandingkan orang lain yang memeluk agama yang berbeda? Apa tolok ukur moralitas agama seseorang? Jika semua orang beragama mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar, paling baik, dan paling memberikan atau mengajarkan nilai-nilai moral yang lebih tinggi daripada agama-agama lainnya, maka agama manakah yang paling baik? Orang yang beragama apakah yang paling bermoral?

Jika dikatakan bahwa orang beragama memiliki moralitas yang lebih baik dibandingkan orang-orang yang tidak beragama atau tidak bertuhan, maka mengapa orang-orang beragama bisa tega berlaku keras, tidak adil, bahkan membunuh sesamanya, bahkan makhluk hidup lainnya? Jika dikatakan bahwa agama selalu dan hanya mengajarkan nilai-nilai kebaikan, mengapa para pemimpin agama tertentu melakukan tindakan-tindakan yang tidak terpuji dan tidak bertanggungjawab? Tidak heran jika sikap beragama yang ekstrim membuat orang-orang yang menganutnya menjadi pemarah, tidak memaafkan, dan tidak segan-segan berlaku sangat keras terhadap manusia lainnya, khususnya mereka yang beragama lain. Jika demikian, apakah agama berarti moral? Apakah beragama sama artinya dengan bermoral, bersikap baik, terpuji, dan bertanggungjawab? Yang pasti, sikap beragama yang ekstrim selalu membawa dampak yang buruk terhadap dunia.

Sabtu, 20 Maret 2010

Memperlemah

Setiap kali bertemu orang-orang beragama yang "keras" saya selalu mendengar beberapa pernyataan mengenai tuhan, seperti berikut:

"Tuhan ada karena terdapat di dalam kitab suci." (Argumen yang berdasar pada otoritas tertentu.)

"Tuhan saya rasakan hadir dalam hati saya." (Argumen yang berdasar pada pengalaman pribadi.)

"Tuhan tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata manusia yang begitu terbatas." (Argumen yang berdasar pada keterbatasan kata-kata manusia.)

"Tuhan tidak bisa dijelaskan, baik oleh akal manusia maupun bukti-bukti karena pengetahuan manusia sangat terbatas." (Argumen yang berdasar pada keterbatasan pengetahuan manusia.)

"Tuhan adalah penyayang." (Argumen yang berdasar pada suatu prinsip yang abstrak.)

"Tuhan dipercaya sebagian besar orang di dunia." (Argumen yang berdasar pada angka/mayoritas/kuantitas.)


Berikut adalah beberapa pertanyaan kritis saya terhadap semua pernyataan di atas:

* Jika "tuhan" terdapat dalam berbagai kitab suci, bukankah kitab suci ditulis oleh manusia? Jika demikian, bukankah yang orang-orang baca dalam kitab suci merupakan pengalaman atau refleksi atau tafsiran orang lain mengenai tuhannya dalam hubungannya dengan konteks kehidupan di masa tertentu yang belum tentu sama dengan konteks kehidupan masa kini? Walaupun lema "tuhan" ditemukan dalam sebuah tulisan (buku), itu tidak serta-merta menunjukkan bahwa tuhan itu ada. Seandainya tuhan pun ada, bagaimana orang dapat mengetahui bahwa tuhan yang ditulis dan disembah oleh orang lain dalam zaman yang berbeda adalah tuhan yang sama yang dibaca dan disembah oleh para pengikutnya dari zaman sekarang?

* Jika "tuhan" bisa dirasakan kehadirannya dalam hidup seseorang, bagaimana membuktikan bahwa hal itu sungguh terjadi? Apakah ada tolok ukur tertentu (yang pasti)? Jika ada, apakah yang bisa dijadikan tolok ukur tersebut? Penelitian psikologi terkini mengatakan bahwa apa yang banyak orang sebut dengan "perasaan" sesungguhnya tidak lebih dari emosi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup. Artinya, emosi setiap makhluk hidup berbeda karena bergantung pada kondisi biologis, fisik, dan sosiologis di mana orang itu hidup. Pengalaman pribadi adalah salah satu unsur penting dalam hidup setiap orang. Namun, pengalaman tersebut tidak boleh dijadikan sebagai kata akhir dalam menjelaskan semua hal dalam hidup manusia. Mengapa demikian? Karena pengalaman hidup manusia sangat bersifat subjektif akibat pengaruh dari berbagai emosi yang dimiliki masing-masing orang.

* Jika "tuhan" tidak bisa dijelaskan menggunakan kata-kata manusia akibat keterbatasan kata yang dimiliki manusia, maka harus dijelaskan menggunakan kata-kata siapa atau apakah "tuhan" itu? Apakah memang tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan "tuhan" sehingga yang muncul berulang-ulang hanyalah kata-kata, seperti: "ajaib", "rahasia", atau "misteri"? Mengapa manusia bisa mengucapkan kata "ajaib", "rahasia", dan "misteri" untuk menjelaskan "tuhan", tetapi sepertinya kehabisan kata untuk menjelaskannya lebih lanjut. Bukankah kata "tuhan" hanya ditemukan/diciptakan dan diucapkan oleh manusia? Lalu, mengapa manusia tidak bisa menjelaskan sesuatu yang sesungguhnya ditemukan/diciptakan dan diucapkan olehnya? Atau, mungkin manusia saja yang terlalu malas menjelaskan "tuhan" itu.

* Jika "tuhan" tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia, maka bisa dijelaskan oleh apakah "tuhan" itu? Harus disadari penuh bahwa memang pengetahuan manusia terbatas, namun apakah hal tersebut harus selalu dijadikan alasan untuk "menolak" menjelaskan "tuhan"? Apakah keterbatasan manusia perlu dipandang sebagai suatu penghalang atau hambatan yang mengakibatkan seseorang tidak mampu menjelaskan "tuhan"-(nya)? Bukankah "tuhan" ada sebagai bagian dari "pengetahuan" yang dimiliki manusia, setidaknya bagi mereka yang menyembah dan mempercayainya? Tentu ya. Oleh karena itu, baiklah manusia menjelaskan "tuhan" menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.

* Jika "tuhan" digambarkan sebagai figur yang penyayang, mengapa figur "tuhan" dalam beberapa (jika tidak mau dikatakan banyak) tulisan di kitab suci digambarkan sebagai figur yang keras, kejam, pemarah, dan pencemburu? Bukankah gambaran abstrak tersebut bertolak belakang dengan beberapa gambaran tersebut? Belum lagi jika ditambah dengan sikap para penyembah dan pengikutnya yang tidak jauh berbeda dari gambaran mengenai tuhannya sendiri.

* Jika "tuhan" dipercaya sebagian besar orang di dunia, bukankah hal tersebut tidak membuktikan apa-apa mengenai "tuhan"? Angka/kuantitas tidak berarti apa-apa karena belum tentu suatu hal yang dipercaya benar oleh sebagian besar orang membuat hal tersebut benar adanya. Sama sekali tidak ada hubungan antara angka/jumlah/kuantitas orang yang mendukung suatu hal dan hal itu sendiri. Banyaknya orang tidak menentukan benar atau salahnya suatu subjek, tetapi data dan akal sehatlah yang menentukan penilaian seseorang, apakah subjek tersebut benar atau salah. Bukankah sebuah adagium mengatakan: "Yang terpenting bukan kuantitasnya melainkan kualitasnyalah yang terutama". Jika demikian, pertanyaannya adalah: apakah kualitas para penyembah dan pengikut yang disebut tuhan itu baik? Jika ya, coba tolong ingat kembali berbagai pertikaian yang terjadi antar para penyembah tuhan itu. Dengan demikian, argumen ini pun sangatlah lemah karena sama sekali tidak didukung oleh alasan-alasan kuat yang relevan, malah bisa menjadi bumerang terhadap para penyembah dan pengikut tuhan.

Argumen-argumen dibuat dan dikemukakan untuk mendukung dan memperkuat suatu posisi, bukannya malah memperlemah posisi tersebut. Mendengar argumen-argumen yang biasa diucapkan orang-orang beragam bukannya memperkuat argumen mereka melainkan sesungguhnya memperlemah argumen mereka sendiri. Argumen juga dibuat untuk menjelaskan dan memperjelas sebuah pandangan atau subjek, bukannya mengaburkan pandangan atau subjek tersebut.

Rabu, 10 Maret 2010

10 Hal tentang Saya

1. Tidak melakukan kepada orang lain suatu hal yang tidak diinginkan terjadi pada diri sendiri.

2. Dalam segala keadaan dan waktu berusaha untuk tidak merusak segala hal.

3. Berusaha memperlakukan segala hal dengan penuh cinta, hormat, dan kejujuran.

4. Selalu berusaha memperjuangkan kehidupan yang lebih adil seraya segera mengakui, meminta maaf, dan menyesali ketidakadilan yang telah diakibatkan dengan kerendahan hati.

5. Berusaha menjalani hidup ini dengan realistis, ceria, dan rasa takjub.

6. Selalu bersedia mempelajari hal-hal baru.

7. Tiada henti menguji segala hal termasuk semua pandangan dan argumen sendiri terhadap berbagai bukti dengan dilandasi oleh akal sehat seraya selalu rela segera meninggalkan pandangan yang selama ini diyakini kebenarannya setelah memperoleh kebenaran baru yang ditopang oleh berbagai bukti yang relevan dan akal sehat.

8. Tidak pernah ragu untuk berbeda pendapat dengan orang lain seraya selalu bersedia menghargai pendapat orang lain yang berbeda.

9. Selalu mendasarkan berbagai pendapat dan argumen sendiri yang dilandasi oleh bukti-bukti dan akal sehat dengan ditopang oleh semangat berpikir kritis yang tiada henti. Tidak membiarkan diri terbawa arus oleh pandangan orang lain.

10. Mempertanyakan semua hal secara kritis.

Selasa, 09 Maret 2010

Hypatia

Saya baru saja menyaksikan Agora, sebuah film drama sejarah mengenai seorang filsuf-astronom perempuan asal Aleksandria, Mesir, bernama Hypatia. Ia hidup sekitar abad 4 ZB dan dalam film tersebut digambarkan bagaimana ia mati dibunuh oleh seorang ekstrimis Kristen yang menganggap bahwa ia (Hypatia) telah mengakibatkan terjadinya berbagai kerusuhan agama. Sejarah mengatakan bahwa Hypatia adalah seorang penganut paham Neoplatonis, yakni paham yang menolak pandangan mengenai adanya kitab suci, tetapi berpikiran bebas-terbuka dibandingan sebagian besar pemimpin Kristen pada saat itu. Namun, para penganut paham Neoplatonis adalah mistikus dan orang percaya.

Agora memusatkan perhatiannya pada perjuangan Hypatia menyingkap misteri semesta (matahari, bumi, dan planet-planet) dengan menggunakan berbagai teori yang sudah ada sebelumnya dilengkapi oleh kemampuan matematika dan filsafatnya. Agora bisa dianggap bukan film berjenre agama, walaupun menampilkan sisi-sisi agama pada masa Hypatia karena lebih memusatkan pada sains klasik. Agora adalah film yang sangat menarik dan perlu ditonton, khususnya oleh mereka yang menyukai tontonan berjenre sejarah, filsafat, dan sains klasik. Hal yang sangat jelas menjadi penekanan dalam Agora melalui figur Hypatia-nya adalah kuatnya semangat sains yang ditopang oleh pemikiran yang kritis.

Ada beberapa percakapan dalam Agora yang bagi saya sangat menarik:

Percakapan pertama:

Kristen : Sebagian besar kami di sini telah menerima Kristus. Mengapa kalian tidak? Itu hanya masalah waktu dan kalian tahu itu.

Hypatia : Benarkah? Hanya masalah waktu? Sejauh yang saya sadari tuhanmu belum membuktikkan dirinya lebih adil atau lebih mengampuni daripada para pendahulunya. Benarkah hanya masalah waktu sebelum kami mempercayai apa yang kalian percayai?

Kristen : Mengapa pertemuan ini mengizinkan seseorang yang terang-terangan mempercayai sesuatu yang sama sekali tidak ada?

Hypatia : Saya mempercayai filsafat.

[Ketika kelompok Kristen "menyerang" kelompok pagan dan Hypatia melakukan pembelaannya].

Percakapan kedua:

Pagan : Saya katakan, para dewa seharusnya membahasnya dengan saya terlebih dahulu sebelum mereka menciptakan sesuatu . . . Semuanya terlihat aneh dan lucu.

Orang Kristen : Siapa kamu berani-beraninya menilai karya tuhan?

Pagan : Kenapa memangnya kamu, hai orang Kristen? Bisakah seseorang membuka mulutnya lebih lama di kota ini?

Orang Kristen : Kau menghina ciptaan, kau menghina tuhan kami. Kau menyinggung kami.

Pagan : Kau seharusnya tinggal di gurun karena di sana kau tidak akan mendengar sesuatu yang bisa menyinggungmu.

[Ketika seorang pagan dan Kristen berdebat mengenai pergerakan matahari dan bumi].

Percakapan Ketiga:

Hypatia : Synesius, kau tidak mempertanyakan kepercayaanmu. Kamu tidak melakukannya. Aku harus.

Synesius : Sangat disayangkan, hai perempuan. Sangat disayangkan.

[Bagi Hypatia kepercayaan seseorang haruslah dipertanyakan, sementara Synesius malah berpikir sebaliknya].

Minggu, 07 Maret 2010

Mengapa Manusia Mati?

Seorang anak kecil bertanya kepada mamanya: "Mama, mengapa oma meninggal?". Setelah cukup lama terdiam mamanya pun menjawab: "Karena tuhan mau bertemu oma, sayang..." Si anak pun bertanya kembali kepada mamanya: "Mengapa tuhan mau bertemu oma, mama?" Mama si anak tersebut tidak mampu menjawab dan segera mengalihkan perhatian anaknya terhadap hal lainnya.

Untuk menjawab pertanyaan serupa banyak orang yang mengatakan bahwa kematian dialami manusia karena sudah merupakan kodrat manusia, tanpa menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan "kodrat manusia" itu. Saya juga banyak mendengar orang mengatakan bahwa ketika seseorang mati bahwa itu sudah waktunya. Waktunya siapa? Waktunya tuhan? Alam? Atau?

Kembali pada pertanyaan anak kecil tadi, kematian yang dialami manusia sepertinya mengindikasikan bahwa tuhanlah yang menjadi penyebab kematian manusia (perhatikan jawaban mama anak tersebut, "tuhan mau bertemu oma". Apakah memang tuhan yang mengakibatkan kematian manusia? Mengapa manusia mengalami kematian? Mengapa manusia tidak hidup selamanya alias tidak mengalami kematian?

Jika banyak orang beragama dan mereka yang percaya kepada tuhan yang seringkali disebut sebagai "maha pengasih", mengapa tuhan menjadi penyebab kematian manusia? Jika tuhan yang selalu disebut sebagai "maha penyayang", mengapa ia "memanggil" seorang anak kecil yang lucu atau seorang tua yang bijaksana yang dicintai oleh seluruh keluarga bahkan masyarakat? Apakah kematian diakibatkan kesalahan yang dilakukan manusia? Karena kerapkali saya mendengar orang beragama mengatakan bahwa kematian diakibatkan oleh kesalahan yang dilakukan manusia. Artinya, manusia mati akibat melakukan pelanggaran sehingga tuhan menghukumnya dengan kematian. Pernyataan-pernyataan serupa sering didengar ketika suatu daerah mengalami bencana alam yang mengakibatkan jatuhnya korban manusia.

Jika semua orang beragama dan bertuhan selalu mengikrarkan bahwa manusia bahkan segenap makhluk hidup adalah ciptaan tuhan, apakah dengan demikan tuhan adalah seorang figur yang pemarah dan rela membunuh ciptaannya? Jika bukan, apa atau siapa penyebab kematian manusia? Dan mengapa manusia (harus) mati?

Sampai saat ini saya belum bisa menjawab pertanyaan: "mengapa manusia mati?" Bagi saya pertanyaan tersebut masih merupakan misteri yang belum dapat dipecahkan. Namun satu hal yang saya percayai bahwa tidak ada tuhan, allah, dewa, maupun kekuatan apapun yang berada di luar manusia yang mampu mengendalikan dan mengintervensi dalam kehidupan manusia. Saya tidak lagi berpikir bahwa kehidupan manusia, khususnya saya dipengaruhi, dikendalikan, dan diatur oleh sebuah kekuatan yang melampaui manusia. Saya adalah makhluk hidup (baca: manusia) yang mengatur hidup saya dalam relasi saya dengan manusia lainnya (sosial). Saya adalah manusia yang terikat dalam konteks sejarah dan sosial di mana saya hidup saat ini.

Kematian tidak lagi menjadi kepedulian apalagi ketakutan saya. Saya berusaha menjalani kehidupan saya di sini dan saat ini dengan sebaik mungkin tanpa sama sekali memikirkan adanya kehidupan setelah kematian. Saya hanya hidup satu kali dan kehidupan itu yang sedang saya jalani saat ini. Jadi, setiap kali saya ditanya: "Mengapa manusia mati?" Saya menjawab: "Saya tidak tahu dan tidak peduli karena yang terpenting bagi saya adalah menjani hidup di sini dan sekarang". Dan jika kepada saya ditanyakan: "Apa penyebab kematian manusia?" Maka jawaban saya adalah: "Karena jantung manusia telah berhenti bekerja sehingga tidak lagi menyalurkan darah dan oksigen ke seluruh jaringan syaraf dan otot termasuk otak manusia, sehingga manusia pun mati". Kemudian jika orang bertanya kepada saya: "Siapa yang mengakibatkan manusia mati?" Saya pun akan menjawab: "Saya tidak tahu, yang jelas bagi saya, tidak ada tuhan/allah/dewa/kekuatan apapun yang berada di luar manusia yang mampu mengakibatkan kematian manusia". Namun jika dalam konteks perang, maka bagi saya, manusialah yang menjadi penyebab kematian sesamanya. Jika dalam konteks bencana (tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir akibat curah hujan yang sangat tinggi), maka bagi saya, alamlah yang mengakibatkan matinya manusia.

Memahami Dunia

Apakah ada cara atau hal yang efektif, efisien, dan terbaik dalam upaya memahami dan menjelaskan dunia serta semua hal yang terjadi, baik di dalam maupun di luar bumi? Sampai saat ini ada dua cara atau hal yang paling baik dalam upaya memahami dan menjelaskan segala hal yang terjadi di dunia ini, yakni ilmu pengetahuan dan akal sehat manusia yang digunakan secara kritis. Mengapa ilmu pengetahuan dan akal sehat manusia dikatakan sebagai cara-cara yang paling baik dalam memahami dan menjelaskan semua hal yang terjadi di dunia? Karena ketika kedua hal tersebut digunakan secara cermat dan kritis akan menekan semua prasangka dalam diri pikiran manusia. Ilmu pengetahuan dan akal sehat manusia yang digunakan secara kritis dapat menjadi pengawal bagi emosi sekaligus penuntun bagi kemampuan berpikir jernih manusia. Ilmu pengetahuan dan akal sehat manusia yang digunakan secara kritis akan membawa manusia pada berbagai kebenaran yang ada dalam dunia ini. Kebenaran yang dicari manusia bergantung pada bagaimana seseorang menggunakan ilmu pengetahuan dan akal sehatnya secara kritis.

Bagaimana dengan seni, puisi, musik, dan sastra yang dilakukan oleh manusia? Bukankah hal-hal tersebut termasuk sebagai cara yang bisa dan biasa digunakan manusia untuk menjelaskan dan memahami segala hal yang terjadi di dunia? Seni, puisi, musik, dan sastra merupakan cara-cara indah yang digunakan manusia dalam berkomunikasi. Seni, puisi, musik, dan sastra adalah cara manusia menjelaskan dunia ini, namun tidak termasuk ke dalam cara untuk memahami dunia ini. Seni, puisi, musik, dan sastra merupakan hal-hal yang bermakna dan indah bagi mereka yang mampu menjelaskan dan memahaminya. Seni, puisi, musik, dan sastra adalah ekspresi manusia dalam upayanya menjelaskan dunia ini. Seni, puisi, musik, dan sastra adalah cara manusia menafsirkan dan menjelaskan dunia yang sifatnya relatif. Artinya, setiap orang bisa memiliki penafsiran dan penjelasan yang berbeda terhadap puisi ataupun musik yang sama. Atau bahkan, ada orang yang sama sekali tidak bisa memahami puisi tertentu. Oleh karena itu, segala hal yang berkaitan dengan seni, puisi, musik, dan sastra bukanlah mengenai "kebenaran" tertentu melainkan "makna" bagi mereka yang memahami dan mencintainya.

Bagaimana dengan kepercayaan (baca: agama) yang dianut oleh lebih dari separuh penghuni bumi? Bagaimana dengan "wahyu" yang seringkali dikemukakan oleh kaum beragama sebagai salah satu cara dalam menjelaskan dan memahami sebuah agama? Apakah "wahyu" merupakan salah satu unsur dalam ilmu pengetahuan? Apakah "wahyu" dapat bertahan setelah diuji oleh akal sehat manusia?

Oleh karena agama dan "wahyu" ada dalam dunia, maka sudah sepatutnya coba dijelaskan dan dipahami berdasarkan ilmu pengetahuan dan akal sehat manusia. Apakah "wahyu" merupakan salah satu cara tepat yang bisa digunakan untuk memahami agama? Apakah "wahyu" bisa digunakan sebagai cara untuk memahami dunia ini? Apakah "wahyu" itu? "Wahyu" seringkali dikaitkan dengan pesan atau inspirasi yang diterima orang-orang tertentu yang kemudian diturunkan sebagai tradisi yang (kemudian) dipercaya oleh mereka yang menjadi pengikutnya. Orang-orang yang mengklaim dan diklaim menerima "wahyu" dianggap sebagai otoritas tertinggi dalam sebuah kelompok. "Wahyu" selalu dianggap dan digunakan untuk menjelaskan dan memahami kepercayaan tertentu. Bahkan "wahyu" juga diklaim mampu menjelaskan berbagai hal yang terjadi di dunia ini, termasuk dunia itu sendiri.

Jika "wahyu" selalu dianggap mampu menjelaskan dan memahami kepercayaan, mengapa ada begitu banyak kepercayaan di dunia ini. Mengapa ada begitu banyak "wahyu" yang dibela dan dipertahankan oleh masing-masing kelompok yang berbeda? Jika "wahyu" merepresentasikan suatu kepercayaan, mengapa ada begitu banyak kepercayaan yang berbeda bahkan bertentangan sampai menimbulkan pertikaian, kekerasan, dan ketidakadilan serta memakan korban anggota kepercayaan lainnya? Jika "wahyu" berasal dari otoritas yang sama, mengapa bisa mengakibatkan perpecahan di dalam kelompok yang sama? Jelas, "wahyu" bukanlah cara yang benar dalam upaya memahami suatu kepercayaan karena ternyata "wahyu" telah melahirkan multitafsir di antara manusia. "Wahyu" bukannya membawa manusia pada persatuan melainkan perpecahan bahkan pertikaian, kekerasan, dan ketidakadilan. Ternyata "wahyu" merupakan hal yang bersifat sangat subjektif karena di dunia ini ada begitu banyak "wahyu" berbeda bahkan bertolak belakang.

Apakah "wahyu" merupakan cara yang bisa digunakan untuk memahami segala hal yang terjadi di dunia bahkan dunia itu sendiri? Bagaimanakah pola pemikiran dan pola kerja "wahyu" tersebut? Seperti telah disebut di atas "wahyu" diklaim diperoleh oleh orang-orang tertentu yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya karena sama sekali tidak didukung oleh bukti-bukti yang relevan. Namun, "wahyu" tersebut dipercayai oleh mereka yang menjadi pengikut otoritas yang mengklaim dan diklaim telah menerima "wahyu" tersebut tanpa diuji terlebih dahulu. Bahkan "wahyu" tidak boleh diuji kebenarannya karena pola pemikiran "wahyu" adalah mempercayainya tanpa mempertanyakannya sama sekali, apalagi meragukannya. Oleh karena itu, "wahyu" tidak bisa bertahan oleh pengujian akal sehat manusia karena pola pemikiran akal sehat manusia yang kritis adalah selalu mempertanyakan semua hal. Dengan demikian, "wahyu" adalah sesuatu yang sifatnya sangat relatif sehingga tidak bisa digunakan sebagai salah satu cara dalam memahami dunia ini. "Wahyu" juga bukanlah salah satu unsur dalam ilmu pengetahuan karena pola pemikiran dan pola kerjanya tidak didasari pada pola pemikiran dan pola kerja ilmu pengetahuan yang selalu bersedia menguji dan mempertanyakan semua hal.

Sabtu, 06 Maret 2010

Kehidupan tanpa "Sesuatu" di Luar Sana

Seringkali saya mendengar orang berkata: "kehidupan tidak akan bermakna tanpa adanya tuhan/allah/dewa" atau "hidup seseorang tidak akan mengalami kesempurnaan tanpa adanya tuhan/allah/dewa" atau "orang tidak akan mengalami kebahagiaan yang sepenuhnya tanpa adanya tuhan/allah/dewa", dan masih banyak pernyataan yang sejajar. Artinya, seseorang harus mempercayai adanya tuhan/allah/dewa terlebih dahulu supaya mengalami kebahagiaan yang sepenuhnya. Hidup seseorang tidak akan bermakna jika dilandasi pada kepercayaan terhadap "sesuatu" di luar sana. Tuhan/allah/dewa/"sesuatu" yang tidak dapat dilihat secara kasat mata oleh manusia menjadi dasar untuk memperoleh dan mengalami kebermaknaan, kebahagiaan, atau kesempurnaan dalam menjalani hidup di dunia ini. Apakah pernyataan-pernyataan seperti itu benar? Apakah pernyataan-pernyataan seperti itu didukung oleh berbagai bukti yang relevan dan/atau argumen yang kuat?

Sejauh yang saya ketahui ada begitu banyak orang yang mengalami kebahagiaan tanpa mempercayai adanya "sesuatu" di luar sana. Ada begitu banyak orang yang mengaku menjalani hidup yang bermakna tanpa sama sekali didasari pada kepercayaan terhadap "sesuatu" di dalam dirinya yang oleh banyak orang dinamakan atau disebut tuhan/allah/dewa. Ada banyak orang yang menyatakan diri sebagai manusia yang bahagia tanpa sama sekali membawa-bawa atau mengaitkan dirinya dengan "sesuatu", baik yang berada di luar sana maupun di dalam dirinya.

Dengan demikian, secara sangat sederhana dapat dikatakan bahwa berbagai pernyataan yang menghubungkan kebahagiaan, kebermaknaan, dan kesempurnaan hidup manusia dengan "sesuatu" yang berada di luar sana tidaklah benar. Mengapa? Karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang relevan. Buktinya, ada begitu banyak orang yang mengatakan bahwa mereka bahagia menjalani hidup mereka tanpa mendasarkannya pada kepercayaan terhadap "sesuatu" di luar sana. Berbagai pernyataan yang menghubungkan kebermaknaan dan kebahagiaan manusia dengan "sesuatu" di luar sana tidak didukung oleh argumen yang kuat melainkan hanya didukung oleh emosi orang-orang yang mengatakannya. Seperti telah diketahui, emosi sama sekali bukanlah argumen yang bisa digunakan untuk menemukan kebenaran. Oleh karena itu, berbagai pernyataan yang mencoba menghubungkan antara kebahagiaan manusia dengan "sesuatu" di luar sana haruslah ditolak karena sama sekali tidak benar. Tidak benar karena sama sekali tidak didukung oleh bukti yang relevan dan argumen yang kuat.

Rabu, 03 Maret 2010

Di Sini & Sekarang

"Jangan hanya lewati kuburanku, hai pengembara.
Namun, berhenti, dengarkan dan belajarlah, barulah engkau melanjutkan perjalananmu.
Tidak ada perahu di Hades [tempat orang mati dalam budaya Yunani klasik], tidak ada nahkoda di Charon.
Tidak ada penjaga di Aiakos, tidak ada anjing Cerberus.
Kami semua yang terbaring di bawah ini
Telah menjadi tulang-belulang dan debu, dan tiada lainnya.
Saya telah mengatakan yang sebenarnya, hai pengembara, lanjutkanlah perjalananmu,
Meskipun saya telah mati sepertinya saya masih saja berkata-kata kepadamu".

Kata-kata di atas ditulis oleh seorang yang tidak dikenal (tidak diketahui namanya/anonimus) yang hidup pada masa kekaisaran Romawi. Tulisan tersebut bertentangan dengan pandangan umum yang berkembang pada saat itu, di mana masyarakat mempercayai adanya kehidupan setelah kematian. Namun si penulis melawan arus gerakan pemikiran saat itu dengan mengatakan bahwa tidak sesuatu hal pun yang hidup setelah kematian, baik itu manusia maupun binatang. Meski demikian, manusia tetap diharapkan melanjutkan perziarahan hidupnya di dunia ini tanpa melayangkan pandangannya terhadap "dunia" setelah kematian.

Perziarahan yang sesungguhnya hanya terjadi ketika seseorang masih bernafas, menginjakkan kakinya di bumi, dan hidup di dunia ini. Perziarahan hidup manusia di dunia ini tidak akan berlanjut dalam kehidupan yang akan datang, entah itu di surga ataupun neraka. Dengan demikian, perziarahan hidup manusia hanya terjadi satu kali ketika berada dalam dunia ini. Oleh karena itu, manusia tidak perlu melayangkan pandangannya terhadap "dunia" yang akan datang melainkan membukan pandangannya terhadap dunia yang di sini dan sekarang. Seperti tulisan di atas, semua yang telah mati dan akan mati hanya akan menjadi tulang-belulang dan debu tanah.

Jalanilah hidup di sini dan sekarang dan sadarilah bahwa sesungguhnya tidak ada kehidupan selain di sini, sekarang, dan di bumi ini. Belajarlah dari tulisan di atas seraya terus melanjutkan perjalanan dalam memaknai kehidupan di dunia ini.

Selasa, 02 Maret 2010

Jiwa

Orang-orang yang mempercayai adanya kehidupan setelah kematian menganggap bahwa jiwa merekalah yang akan terus hidup di alam baka. Beberapa pertanyaan yang muncul dari kalimat tersebut adalah:

1. Apakah itu jiwa?
2. Apakah bentuk jiwa tersebut?
3. Berasal dari apakah jiwa itu?
4. Apakah unsur jiwa itu?
5. Terdiri dari apakah jiwa itu?
6. Di manakah jiwa itu berada?

Banyak orang mengatakan bahwa jiwa adalah salah satu unsur diri manusia yang tidak berbentuk fisik atau tidak memiliki daging dan darah layaknya tubuh manusia. Jiwa adalah lawan dari raga manusia. Oleh karena jiwa bukanlah raga, maka jiwa itu tidak dapat mati alias tidak akan mati. Pendek kata, jiwa bukanlah sesuatu yang berbentuk materiil atau bersifat ragawi melainkan sesuatu yang non-materiil atau non-ragawi.

Banyak orang menyatakan bahwa jiwa berasal dari kesadaran berpikir manusia. Namun, berbagai penelitian yang dilakukan terhadap otak manusia mengatakan hal yang sebaliknya. Artinya, kesadaran berpikir manusia hanyalah merupakan hasil proses kerja jaringan-jaringan syaraf otak manusia. Kata yang biasa digunakan untuk menyebut atau menamakan hasil proses kerja syaraf otak manusia tersebut adalah "pikiran" (bahasa Inggrisnya mind). ("Pikiran" atau Mind
adalah kata benda, sedangkan kata kerjanya adalah "berpikir" atau thought.) Dengan demikian, kesadaran manusia tidaklah "melahirkan" jiwa, tetapi kesadaran manusia tersebut merupakan hasil kerja fisik otak manusia.

Jadi sesungguhnya, "jiwa" adalah sesuatu yang tidak nyata. Tidak ada benda atau sesuatu pun yang dapat disebut atau dinamakan dengan "jiwa". "Jiwa" hanyalah sebuah konsep atau ide atau kata yang tidak menunjuk dan merujuk pada sebuah benda yang konkret. Kata "jiwa" hanya terdapat dalam "kamus" mereka yang mempercayai keberadaan "jiwa" tersebut, meskipun tidak hal tersebut tidak didukung oleh berbagai bukti relevan dan argumen yang kuat. Oleh karena itu, pandangan mengenai "jiwa" haruslah ditolak karena sama sekali tidak didasarkan pada bukti-bukti yang nyata dan relevan. Keberadaan "jiwa" hanyalah mitos. Tidak ada satu pun makhluk hidup yang memiliki jiwa, termasuk manusia, apalagi benda.

Jiwa bukanlah salah satu unsur yang ada dalam tubuh manusia dan bersifat kekal sehingga tidak akan mengalami kematian. Jiwa bukanlah unsur non materiil yang dimiliki manusia, namun di saat otak berhenti beraktivitas dan semua syaraf tubuh berhenti bekerja hanya jiwalah yang terus hidup setelah melewati masa kematian. Jiwa juga bukanlah pikiran dan kesadaran manusia karena kedua hal itu tidak lain hanyalah hasil kerja syaraf-syaraf otak manusia. Oleh karena itu, pandangan yang mengatakan bahwa makhluk hidup, khususnya manusia memiliki jiwa merupakan pandangan yang salah karena sama sekali tidak didukung oleh berbagai bukti dan data relevan serta argumen yang cermat. Dengan demikian, manusia adalah makhluk hidup yang memiliki pikiran, hasrat, dan emosi, tetapi tidak memiliki jiwa.

Sabtu, 20 Februari 2010

Carpe Diem!

Ada frasa dalam bahasa Latin yang cukup sering saya dengar dan bagi saya memiliki makna yang cukup mendalam. Dua kata itu adalah Carpe Diem yang harfiahnya berarti "rebutlah hari", "raihlah hari", "rengkuhlah hari". Ternyata frasa bahasa Latin itu menjadi salah satu kata-kata favorit yang sering dijadikan tato di tubuh, salah satunya, di tubuh Colin Farel (aktor asal Irlandia yang memerankan Aleksander Agung dalam film Alexander).

Carpe Diem berasal dari seorang pujangga Romawi bernama Horace yang hidup di zaman Kaisar Augustus (sekitar abad 7 SZB). Lengkapnya frasa yang berasal dari Horace itu adalah carpe diem quam minimum credula postero. Segera setelah mengetahui konteks carpe diem saya semakin menemukan makna yang mendalam dalam dua kata Latin tersebut. Sebelum saya memberikan makna terhadap carpe diem melalui penafsiran terhadap dua kata tersebut dalam konteks saya masa kini, mari kita perhatikan konteks awal (masa lalu) dua kata tersebut:


"Jangan tanyakan pada para dewa mengenai apa yang akan dilakukan para dewa di akhir nanti, Leuconoe. Jangan juga bermain dengan ramalan Babilonia. Lebih baik menjalani dan bertahan pada apa yang sedang terjadi. Apakah [dewa] Jupiter telah memberikan kepadamu musim dingin ataupun musim yang sedang kau alami sekarang . . . bijaksanalah, tetaplah bekerja, dan bentangkanlah harapanmu pada masa sekarang. Sementara kita berbicara, cemburulah pada waktu yang baru saja berlalu. Rebutlah hari [ini], sedikitlah percaya pada kemungkinan yang akan terjadi [di hari esok]" -- carpe diem quam minimum credula postero.

Berikut adalah pemaknaan saya terhadap carpe diem:

Tidak ada seorang pun yang yang dapat mengetahui secara tepat apa yang akan terjadi pada hari esok, termasuk orang yang beragama atau bertuhan atau berdewa. (Sejauh yang bisa dikatakan oleh mereka yang beragama atau bertuhan atau berdewa hanyalah "tuhan/allah/dewa akan menyertai mereka esok" atau "biarlah tuhan/allah/dewa yang menentukan".) Namun hal tersebut tidak berarti bahwa seseorang yang beragama atau bertuhan atau berdewa itu mengetahui apa yang akan terjadi esok. Dengan demikian, tidak ada satu makhluk hidup pun yang mampu mengetahui apa yang akan terjadi esok hari. Tidak seorang manusia pun!

Carpe diem
. Hari ini. Saat ini. Bukan esok. Bukan hari setelah esok. Hari inilah orang harus membuat sesuatu yang konkret dalam hidupnya. Saat inilah orang harus bertindak nyata dalam hidupnya. Hari inilah orang sepatutnya berpikir cermat. Saat inilah orang seyogyianya berpikir kritis. Sekarang jugalah orang seharusnya banyak bertanya mengenai segala hal yang ada di sekitar dan dalam hidupnya. Hari inilah. Saat ini. Sekaranglah waktunya. Tidak ada waktu yang lebih tepat dibandingkan waktu sekarang. Bukan hari esok. Bukan juga hari setelah esok.

Jalanilah setiap hari seperti hari itu merupakan hari terakhir dalam kehidupan kita. Bekerja keraslah setiap hari seperti kita hendak menghembuskan nafas terakhir. Maknailah setiap hari seperti kita mengetahui jika hari itu merupakan hari terakhir kita hidup. Tidak perlu berpikir tentang kehidupan setelah kematian kita. Tidaklah perlu memikirkan kehidupan setelah kehidupan di bumi ini.

Berpikirlah realistis. Hidup sesungguhnya adalah hidup yang dijalani setiap hari dengan penuh makna. Oleh karena itu, maknailah hidup yang sekarang. Hidup di masa kini. Kehidupan hari ini. Makna hidup saat ini tidak dapat dibawa ke dalam alam maut. Makna hidup masa kini tidak relevan dengan "kehidupan" setelah kematian. Memikirkan, mempertimbangkan, dan menilai "kehidupan" setelah kematian atau alam maut adalah sesuatu yang tiada guna. "Kehidupan" dan "kematian" setelah kehidupan di bumi adalah hal-hal yang tidak bermakna. Surga dan neraka hanyalah pikiran yang mengawang-awang, tidak berdasar, dan kekanak-kanakan.

Rebutlah hari ini! Raihlah saat ini! Carpe diem!