Tampilkan postingan dengan label Arthur Schopenhauer. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Arthur Schopenhauer. Tampilkan semua postingan

Minggu, 14 Agustus 2011

Makna Kehidupan (2)


Jalan Keluar
Bagi Schopenhauer kehendak tidaklah rasional. Kehendak merupakan dorongan yang tidak akan pernah bisa terpuaskan dan buta. Kehendak itu terjebak dalam kehidupan manusia yang membuatnya frustrasi karena dipenuhi dengan kerja keras tiada henti. Kehidupan, bagi Schopenhauer, seharusnya tidak perlu ada karena menyengsarakan manusia. Jika demikian, apa yang bisa dilakukan manusia agar bisa keluar dari kesengsaraannya? Schopenhauer mengajukan dua jalan keluar: pertama, kontemplasi estetik (bersifat sementara) dan kedua, penyangkalan estetik (bersifat abadi).

Individu yang melakukan kontemplasi estetis mampu melampaui apa yang dilihat atau didengarnya dari sebuah objek. Individu tersebut memperoleh kesadaran lebih tentang unsur dasar dan sejati dari realitas. Kontemplasi membebaskan individu tersebut dari subjek yang berusaha menguasai objek. Namun jika individu melihat objek bukan sebagai objek yang ditentukan oleh kategori pemahaman atau representasi melainkan memandangnya lebih dari sekadar objek maka individu tersebut bisa tiba pada tipe dasar objek tersebut. Menurut Schopenhauer ketika kehendak memanifestasikan dirinya ke dalam objek partikular dari dunia ini akibatnya ia terobjektifikasi ke dalam objek-objek universal. Inilah yang disebut dengan Ide-ide Platonik.

Pemahaman Schopenhauer tersebut akan mudah dipahami jika dianalogikan ke dalam bidang atau konteks seni. Seniman bisa menjadi lebih dari sekadar subjek ketika ia mampu membebaskan dirinya dari tuntutan kehendak dengan berhenti dari semata-mata pribadi dan menjadi subjek pengetahuan yang tidak lagi memiliki kehendak. Pada saat itulah seorang seniman dapat mengkomunikasikan pengetahuannya mengenai objek seni melalui karya seni yang mengagumkan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika pelaku dan penikmat seni bisa mengalami perasaan tertentu terhadap objek seni karena mereka mampu melampaui objek yang dilihat atau didengarnya. Namun demikian, kontemplasi estetik sifatnya sementara, sedangkan penyangkalan estetik bersifat abadi.

Pada saat individu mengenali dunia sebagaimana adanya dunia, pada momen itulah ia melihat kehidupan sebagai sebagai ruang dan waktu yang di dalamnya harus diisi dengan kerja keras tanpa akhir. Menurut Schopenhauer ketika individ mampu menyadari hal ini maka dirinya sesungguhnya telah terbebas dari kesengsaraannya karena pada titik ini ia telah sadar penuh. Ia bahkan menjadi individu yang sadar untuk menghargai, menghormati, dan mencintai subjek lain sebagaimana ia menghargai, menghormati, dan mencintai dirinya sendiri. Kesadaran ini menuntun individu pada pembebasan dari kehendak yang sifatnya ilusif. Pembebasan dari kehendak – pengosongan diri – ini dapat dicapai melalui penyangkalan diri. Ini yang disebut Schopenhauer sebagai penyangkalan estetik. Pernyataan Schopenhauer mengenai “penyangkalan diri” merangsang pertanyaan, apa itu “penyangkalan”? Apa yang disangkal?

Menurut Schopenhauer proses mengetahui menuntut keberadaan subjek sebagai yang mengetahui dan objek sebagai yang diketahui, sementara setiap kali Schopenhauer menyebut “pengosongan” atau “penyangkalan” ia sedang berupaya, bukan hanya meniadakan subjek dan objek, namun juga meniadakan ruang, waktu, pengertian, dan kehendak itu sendiri. Dengan kata lain ia mengatakan bahwa tidak ada kehendak, tidak ada representasi, dan juga tidak ada dunia (bukan kehidupan). Apakah dengan demikian Schopenhauer seorang nihilis? Sama sekali bukan, karena ia tidak mengatakan bahwa “yang ada hanyalah ketiadaan” namun sebaliknya, “ketiadaan tidaklah pernah ada.”

Kesimpulan
Setelah mencoba memahami Schopenhauer, maka dengan demikian, pertanyaan “apakah Schopenhauer seorang filsuf yang memandang kehidupan secara pesimistis?” bisa dijawab dengan “tidak.” Mungkin saja Schopenhauer memahami kehidupan agak negatif, namun itu tidak berarti manusia lain yang hidup di dalamnya juga bersikap negatif terhadap kehidupan. Ini tidak dapat dilepaskan dari pandangannya mengenai bunuh diri. Jika kehidupan ini sama sekali tidak bernilai dan manusia seharusnya tidak perlu berada di dalamnya, apakah dengan demikian bunuh diri menjadi sah? Jika kehidupan ini tidak bermakna mengapa tidak bunuh diri saja?! Menurut Schopenhauer, tindakan bunuh diri merupakan kesalahan karena ketika individu melakukan bunuh diri berarti dirinya menyerah dan kalah terhadap kehendaknya. Lebih dari itu, tindakan bunuh diri adalah bentuk afirmasi atas kehendak dan penerimaan atas duka cita. Yang dikatakan Schopenhauer adalah “penyangkalan kehendak” bukan “penyangkalan (terhadap) kehidupan.” Dengan berdasar pada argumen inilah maka tindakan bunuh diri hanya akan menghancurkan diri sendiri dalam dunia representatif yang justru ditolak Schopenhauer.

Hal penting yang perlu dicatat dari pandangan Schopenhauer – meski ia secara agak negatif memandang kehidupan – bahwa ia mengajukan pengalaman estetik (bukan mistik) sebagai alternatif atau jalan keluar bagi manusia dari kesengsaraan hidupnya. Harus diperhatikan bahwa jalan keluar tersebut bukanlah pelarian apalagi melakukan tindakan bunuh diri. Ini dilakukan dengan berdasar pada kesadaran bahwa manusia tidak hidup seorang diri di dunia ini karena ada makhluk hidup lainnya dan alam. Manusia juga bukanlah subjek sementara yang lainnya adalah objek(-nya), melainkan semuanya adalah subjek. Kesadaran inilah yang memampukan manusia melihat, memahami, dan menilai dunia sekitarnya sebagaimana adanya.

Dengan demikian dari Arthur Schopenhauer kita belajar bahwa manusia bukanlah satu-satunya subjek di jagat ini karena ada subjek-subjek lainnya. Meski manusia selalu berusaha memahami dan memaknai dengan menilai subjek-subjek sekitarnya, namun adalah langkah yang bijak jika penilaian itu dilakukan dengan sesuai alias layak. Artinya, manusia tidak memberikan penilaian yang semena-mena terhadap subjek-subjek itu. Bagaimana penilaian sesuai/layak itu dilakukan? Dengan berpikir kritis individu akan dituntun ke dalam (proses) penilaian yang sesuai sehingga, baik dirinya maupun sesamanya tidak akan terkecoh dan tersesat.

Makna Kehidupan (1)

Apakah makna kehidupan? Tidak sedikit orang bertanya dan mencari jawaban terhadap pertanyaan seperti itu, termasuk seorang filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer (1788-1860). Namun demikian, banyak orang (secara keliru) menafsirkan pandangannya mengenai kehidupan sehingga ia dianggap sebagai seorang yang pesimis. Tidak jarang orang mengatakan jika Schopenhauer memiliki pandangan negatif terhadap kehidupan dan menganggap dunia sebagai sesuatu yang seharusnya tidak ada. Apakah benar Schopenhauer filsuf yang pesimis terhadap kehidupan? Jika ya, mengapa ia berpikir demikian? Jika tidak, apakah pandangannya mengenai kehidupan, dan adakah jalan keluar yang ditawarkan kepada manusia untuk memaknai kehidupannya? Pembahasan makna kehidupan menurut Arthur Schopenhauer akan dibagi ke dalam dua bagian tulisan

Dualisme
Siapa saja yang hendak menyelami pemikiran Schopenhauer terlebih dulu perlu memahami karya Immanuel Kant (1724-1804) agar tidak tersesat, karena pandangan Schopenhauer berangkat dari penolakannya terhadap pemikiran Kant. Dalam karyanya (“Kritik terhadap Akal Budi Murni”) Kant mengatakan bahwa pikiran itu aktif dan kekuatan apriori yang berasal dari pikiran itu yang memainkan peranan dalam pembentukan sifat dunia yang dialami manusia. Berbagai bentuk yang berasal dari intuisi inderawi manusia berlangsung di dalam ruang dan waktu. Artinya, semua objek yang dialami manusia selalu berada dalam ruang/tempat dan waktu tertentu. Namun demikian, intuisi inderawi manusia tidak cukup memberikan pengetahuan mengenai objek yang dialami manusia sehingga intuisi tersebut harus dibawa ke dalam konsep-konsep sehingga membentuk pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi ini dibentuk dan diatur oleh kerja mental yang disebut kategori (Menurut Kant ada 12 kategori, yakni: kesatuan, pluralitas, totalitas, kenyataan, negasi, pembatasan, substansi, sebab-akibat, kesalingan, kemungkinan, aktualitas, dan kebutuhan), sedangkan menurut Schopenhauer hanya ada satu, yaitu kausalitas. Kategori-kategori ini memampukan manusia untuk memahami bahwa setiap objek yang dicerapnya berada dalam ruang dan waktu. Hal-hal inilah yang memungkinkan manusia dapat melihat dan memahami dunia bukan hanya dalam ruang dan waktu namun secara keseluruhan. Dengan demikian, Kant memandang dunia sebagai objek yang menampakkan diri kepada manusia (subjek). Artinya, semua hal yang bisa diketahui manusia tidak lain hanyalah berupa sifat representasi dari sebuah objek.

Lebih lanjut Kant mengatakan bahwa makna terutama dunia sebagaimana ia menampakkan dirinya kepada manusia menunjukkan sesuatu yang lain/berbeda, yakni adanya realitas di balik penampakan tersebut. Inilah yang disebut Kant dengan fenomena (penampakan) dan noumena (“sesuatu pada dirinya sendiri”). Menurut Kant noumena merupakan hal yang tidak sama dengan pengalaman manusia. Artinya, pengalaman manusia berasal dari dunia objek dan dikonstruksi di dalam pikiran manusia. Dengan demikian, manusia bisa memiliki pengetahuan mengenai fenomena, namun tidak bisa memiliki pengetahuan mengenai noumena karena samar-samar. Oleh karena itulah manusia tidak dapat mengatakan hal-hal mengenai noumena selain hanya menyadari bahwa hal tersebut ada. Noumena itulah yang berinteraksi dengan pikiran manusia sehingga melahirkan pengalaman.

Pada momen inilah Schopenhauer menolak pandangan Kant. Pernyataan Kant bahwa noumena merupakan tempat dalam rangkaian kausalitas yang menjadi dasar pengalaman manusia, bagi Schopenhauer dianggap sebagai konsep yang menunjuk bahwa ada sesuatu lain yang berada di luar pengalaman manusia. Penolakan Schopenhauer tersebut jika dirumuskan ke dalam sebuah pertanyaan menjadi: bagaimana mungkin sungguh-sungguh ada yang disebut dengan noumena jika ia sendiri lahir karena konstruksi pikiran manusia? Dengan demikian, seandainya Kant benar dan kategori kausalitas sesuai hanya pada objek sebagaimana ia menampakkan dirinya, bagaimana kita bisa memahami pernyataan Kant bahwa noumena dapat melahirkan sesuatu? Berdasar pada hal ini Schopenhauer mengatakan bahwa tetap diperlukan adanya konsepsi lain dari hubungan antara fenomena dan noumena.

Dunia (sebagai) Kehendak
Dualisme fenomena dan noumena Kant, bagi Schopenhauer, merupakan sesuatu yang absurd dan tidak mungkin dilakukan sehingga harus ditolak. Berbeda dari Kant, Schopenhauer berpendapat bahwa penampakan dan noumena tidak dapat dipisahkan karena merupakan realitas yang sama, hanya saja dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Bagi Schopenhauer, relasi bukanlah sebab-akibat melainkan identitas itu sendiri. Pada satu sisi dunia adalah representasi sekaligus pada sisi lainnya dunia pada dirinya sendiri merupakan kehendak. Pandangan Schopenhauer tersebut berdampak pada pengertian bahwa manusia sebagai subjek menerima tubuhnya sebagai objek sebagaimana objek lain dalam dunia (fisik) ini. Pengertian tersebut menampakkan diri dalam ruang dan waktu, berada dalam hubungan kausal, selalu berubah, dan demikian seterusnya. Dengan demikian, manusia melihat hal tersebut sebagai representasi, penampakan yang berada dalam dunia eksternal sekaligus empiris. Artinya, terhadap semua objek dalam dunia yang menampakkan diri sebagai representasi, manusia memiliki akses terhadap tubuhnya. Manusia mengetahui tubuhnya sebagaimana tubuhnya berada, terlepas dari tubuh manusia sebagai representasi karena ia memilikinya. Schopenhauer pun mengatakan dalam tubuhnya manusia menemukan kehendak.

Namun demikian, orang harus berhati-hati untuk tidak menafsirkan pernyataan Schopenhauer tersebut dengan mengatakan bahwa kehendak manusia merupakan penyebab aktivitas tubuh karena baginya tubuh dan kehendak adalah dua aspek dari realitas yang tidak berbeda alias sama. Schopenhauer mengatakan bahwa hasrat menghendaki itu adalah tubuh. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tubuh manusia adalah kehendak yang terobjektifikasi. Dengan demikian, pada poin ini ia sependapat dengan Kant yang menyatakan bahwa dunia pada dirinya sendiri mengakibatkan representasi.

Pernyataan Schopenhauer bahwa tubuh adalah kehendak yang terobjektifikasi berimplikasi pada gagasan bahwa seluruh dunia berdasarkan penampakannya tidak lain dan tidak lebih merupakan kehendak yang terobjektifikasi. Hal ini didasarkan pada penolakan Schopenhauer terhadap paham solipsisme yang mengatakan “yang ada hanyalah noumena dan representasinya.” Oleh karena itulah ia menegaskan bahwa tubuh manusia merupakan bagian dari dunia sebagaimana dunia menampakkan dirinya, dan keseluruhan manusia adalah kehendak itu. Dalam bahasa Schopenhauer, ketika individu menyadari dan mengenali hal ini, maka ia akan memahami bahwa sifat terdalam yang dimilikinya adalah kehendak.