Tampilkan postingan dengan label Natal. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Natal. Tampilkan semua postingan

Senin, 28 Desember 2009

Harmonisasi Natal

"Sekumpulan gembala berjaga di padang; berkawan dengan alam, bertekad untuk bertarung demi hidup kawanan ternak. Tiba-tiba datang kabar kesukaan. Tak ada keraguan, tak ada rahasia. Warta kebenaran terlalu jelas di depan mata. Hanya satu pilihan: bergegas pergi, bersujud di dekat bayi mungil, menyentuh kebenaran. Tak ada tempat lain. Kebenaran dihirup bersama bau kandang dan bau peluh perjalanan. Tiga orang bijak menekuni tapak pencarian, menyuburkan benih harapan, menghadap penguasa, menerima titah untuk pergi: carilah raja itu! Adakah rasa curiga? Kilau bintang di langit menaklukkan rencana gelap. Terang itu begitu memukau". Demikian Deshi Ramadhani, SJ, seorang rohaniwan Katolik dan dosen tafsir kitab suci di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, mengawali tulisan Natalnya yang berjudul "Menghirup Bau Kandang" (Kompas, Kamis, 24 Desember 2009, hlm. 2).

Kisah kelahiran Yesus terdapat di dalam dua Injil kanonik, yakni Injil Matius dan Lukas dan masing-masing penulis Injil menampilkan kisah kelahiran Yesus secara sangat berbeda. Mari kita perhatikan kisah kelahiran Yesus versi Injil Matius dan Lukas untuk menemukan perbedaan-perbedaannya. Pertama-tama mari kita perhatikan Injil Matius. Penulis Injil Matius menceritakan bahwa seorang malaikat Tuhan berkata kepada Yusuf, bapak Yesus, dalam mimpi agar ia (Yusuf) tidak takut. Injil Matius pun mengisahkan bahwa orang-orang majus dari Timur (Deshi menyebut ketiga orang tersebut "tiga orang bijak") datang menyembah bayi Yesus dengan melihat bintang Timur. Dalam Injil Matius diceritakan bahwa Yesus dilahirkan di sebuah rumah (tanpa keterangan rinci jika ia dilahirkan di sebuah palungan). Dan bayi Yesus yang lahir di sebuah rumah itu akan dinamakan Imanuel yang berarti Allah menyertai kita. Raja Yahudi di masa itu, Herodes, yang mengetahui kelahiran Yesus konon cemburu karena telah lahir seorang "raja" lain sehingga ia pun memerintahkan pembunuhan terhadap semua anak di Betlehem dan sekitarnya yang berumur di bawah dua tahun. Untuk mencegah agar Yesus tidak dibunuh maka malaikat Tuhan mendatangi Yusuf dalam sebuah mimpi dan memerintahkan agar mereka (Yusuf, Maria, dan Yesus) mengungsi ke Mesir.

Sekarang kita perhatikan kisah serupa dalam Injil Lukas. Dikisahkan bahwa seorang malaikat bernama Gabriel mendatangi langsung Maria untuk memberitakan kabar kesukaan. Maria akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Yesus akan disebut kudus, Anak Allah. Sesaat sebelum Maria melahirkan, Kaisar Agustus mengadakan sensus penduduk sehingga semua orang mendaftarkan diri ke kota asalnya masing-masing. Maria dan Yusuf pergi dari Nazaret ke Betlehem karena keluarga berasal dari Betlehem. Saat dalam perjalanan (sudah tiba di Betlehem) Maria pun melahirkan di sebuah palungan akibat tidak ada tempat lagi bagi mereka di rumah penginapan. Dikisahkan, di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Saat itu muncul kawanan malaikat di hadapan para gembala itu seraya memuji Allah dan memberitakan mengenai kelahiran Yesus. Segera setelah para malaikat pergi para gembala pun mendatangi bayi Yesus.

Setelah membaca sekaligus membandingkan kedua kisah kelahiran Yesus dalam Injil Matius dan Lukas, segera orang dapat melihat perbedaannya. Perbedaan yang bukan lagi implisit, samar-samar, melainkan eksplisit, jelas, gamblang. Namun, perbedaan-perbedaan yang nampak tidak disadari bahkan tidak diketahui oleh sebagian besar orang Kristen. Ketidaksadaran dan ketidaktahuan inilah yang menyebabkan ketika orang merayakan Natal dengan segala atribut dan acara pendukungnya, seperti drama atau operet Natal, maka ceritanya pun diambil/didasarkan pada kedua Injil. Artinya, kisah Natal yang ditampilkan merupakan gabungan dari dua versi kisah menurut Injil Matius dan Lukas. Hal inilah yang juga kita temukan dalam tulisan Deshi Ramadhani, SJ., di mana ia terlebih dahulu menampilkan gembala-gembala (Injil Lukas) yang disusul oleh tiga orang orang bijak (Injil Matius). Hal yang dilakukan Deshi dan kebanyakan orang Kristen itu dinamakan dengan harmonisasi.

Harmonisasi terjadi bukan hanya pada kisah Natal tetapi juga misalnya, pada kisah-kisah di seputar kematian atau kebangkitan Yesus. Harmonisasi dapat ditemukan secara nyata saat orang menyaksikan film-film yang berkisah tentang Yesus. Jadi jelas, harmonisasi bisa terjadi di saat orang mengisahkan seluruh kehidupan Yesus. Jangan lupa, kisah Yesus terdapat dalam empat Injil berbeda. Masing-masing penulis Injil menceritakan Yesus dengan keunikannya masing-masing. Penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas berbeda ketika menceritakan figur Yesus, demikian juga penulis Injil Markus dan penulis Injil Yohanes memiliki penekanannya masing-masing ketika menceritakan Yesus.

Oleh karena itu, pemahaman memadai terhadap jenis sastra sebuah tulisan adalah hal mutlak yang perlu dimiliki setiap orang. Hal ini dilakukan bukan saja terhadap teks-teks kitab suci melainkan semua teks. Jika pemahaman sastra yang memadai ini tidak dimiliki maka orang pun akan keliru bahkan tersesat ketika mencoba memahami sebuah teks. Akan berakibat sangat fatal ketika kisah fabel dibaca sebagai kisah sejarah. Akan berantakan jika kabar kematian dipahami secara metafor. Dan masih banyak contoh lainnya.

Harmonisasi menyingkirkan keunikan masing-masing Injil. Harmonisasi membuang ciri khas sastra masing-masing Injil. Harmonisasi memperkosa teks demi keindahan atau keharmonisan sebuah cerita. Dengan demikian, merupakan hal yang bijak ketika setiap kali orang menulis atau menampilkan pertunjukkan drama/operet, baik mengenai kisah kelahiran maupun kematian, bahkan sekalipun kisah kehidupan Yesus, maka dijelaskan terlebih dahulu bahwa yang hendak ditampilkan berdasar pada Injil apa dan apa alasannya. Memang mungkin akan terdengar begitu lucu karena selama ini sangat sedikit - jika tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali - orang yang pernah melakukan hal tersebut. Lucu karena dianggap aneh dan remeh, tetapi bijak karena menghargai kekayaan teks yang menjadi dasar ceritanya.

Minggu, 27 Desember 2009

Konon Namanya Natal

Seorang antropolog dan teolog Kristen, Marko Mahin, menyumbangkan buah pikirannya tentang Natal berjudul "Natal adalah Cerita Nakal" yang dimuat dalam Kompas, Rabu, 23 Desember 2009 halaman 2.

Di awal tulisannya Marko menulis "[p]engutusan seorang bayi mungil yang ringkih untuk menyelamatkan dunia merupakan cerita utama Natal...Ia bertutur dan mengalirkan semangat bahwa dunia ini tidak boleh tumpas musnah oleh kekumuhan dosa. Tetap, kenapa seorang bayi lemah tanpa daya? Kenapa bukan seorang panglima perang kuat dan gagah perkasa? Kenapa bukan seorang politisi yang pandai bicara? Kenapa bukan akademisi atau cendekiawan yang bijaksana? Paling tidak, seorang aktivis yang penuh dengan daya dan dinamika? Natal adalah cerita nakal".

Bagaimana seorang bayi mungil ditambah ringkih mampu menyelamatkan dunia? Apakah kisah bayi Yesus seperti Dalai Lama yang sudah "ditakdirkan" sejak bayi bahkan sebelum lahirnya merupakan pemimpin umatnya? Tentu tidak. Kenapa seorang seorang bayi lemah tanpa daya? Kenapa bukan panglima perang kuat dan gagah perkasa? Karena sosok panglima adalah seorang yang keras bahkan mungkin kasar dan tentu tidak cengeng. Sementara ajaran Kristen mengedepankan kasih yang lemah lembut. Kenapa bukan seorang politisi yang pandai bicara? Karena sosok politisi identik curang, culas, dan tentu pertama-tama lebih mengutamakan kelompok/partainya. Kenapa bukan sosok-sosok seperti itu? Sementara ajaran Kristen mengedepankan kata-kata bijak dan keselamatan bukan hanya bagi orang-orang Kristen melainkan bagi seluruh dunia. Kenapa bukan akademisi atau cendekiawan yang bijaksana? Karena kebijaksanaan yang dimiliki seorang akademisi atau cendekiawan adalah kebijksanaan duniawi, yang berasal dari dunia. Sedangkan kebijaksanaan yang dimiliki Yesus adalah kebijak sanaan yang berasal dari Allah Bapa, berasal dari surga. Kenapa bukan seorang aktivis yang penuh dengan daya dan dinamika? Karena seorang aktivis membela kepentingan dunia. Sedangkan Yesus membela kepentingan Allah demi kehidupan di surga. Semuanya itu adalah pandangan yang dianut kuat oleh sebagian besar orang Kristen. Meskipun demikian, khusus mengenai kata "aktivis", bagi saya, Yesus saya anggap sebagai seorang aktivis dalam pengertian bahwa ia semasa hidupnya banyak kali memprotes kenyataan hidup di sekitarnya. Ia banyak kali memprotes sikap atau gaya orang-orang beragama di sekitarnya. Ia bahkan melakukan protes "besar" saat ia mengobrak-abrik Bait Allah (semuanya berdasar pada kisah-kisah dalam Injil-injil).

Kembali ke pertanyaan-pertanyaan tadi, "mengapa bukan seorang panglima perang dan gagah perkasa, dst" Jawaban yang paling tegasnya adalah karena para penulis Injil terinspirasi oleh penulis Kitab Yesaya 53. Masyarakat Yahudi di masa itu adalah masyarakat yang sangat mempercayai adanya Mesias ("Yang Diurapi"), seseorang yang dipercaya akan membawa mereka ke luar dari kesengsaraan hidup akibat penjajahan yang dilakukan bangsa Romawi untuk memasuki kehidupan yang lebih baik. Namun apa daya, Mesias yang dinanti-nantikan itu tidak kunjung datang. Sudah begitu banyak mereka menduga bahwa si A adalah Mesias yang dinantikan, si B adalah Mesias yang sesungguhnya, si C adalah Mesias itu, dst..., tapi mereka kecele karena mereka ternyata masih berada dalam kesengsaraan. Mereka sangat rindu untuk kembali pada masa-masa keemasan mereka ketika mereka di bawah pemerintahan Raja Daud dan Salomo. Oleh karena itu, akibat Mesias yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, maka para penulis Injil pun mengalihkan pandangan mereka bukan lagi kepada dunia masa kini, dunia ini, hal-hal yang terkait dengan jasmani, masa keemasan, pembebasan dari penjajahan, kesengsaran, dan ketidakadilan, melainkan kepada dunia yang akan datang, dunia setelah kematian, dunia di "atas" sana, bukan lagi pada hal-hal ragawi/jasmani/lahiriah, melainkan pada hal-hal rohani. Oleh karena itulah diciptakan dan dikisahkan figur Yesus yang rendah hati. Yesus yang lahir di kandang hewan. Yesus yang tidak gagah perkasa seperti panglima perang. Yesus yang tidak pandai bicara seperti seorang politisi. Yesus yang bukan seperti seorang akademi atau cendekiawan. Pada figur Yesus disematkan hal-hal yang bertolak-belakang dari hal-hal duniawi yang dimiliki oleh orang-orang tadi.

Lanjut Marko, "[n]atal adalah cerita nakal. Sejak awal dituturkan, ia menggugat kemapaman berpikir kita. Maria perawan desa mengandung oleh Roh El Kudus. Kemudian melahirkan Yesus Kristus yang konon akan menjadi Penebus. Ia dilahirkan bukan di tempat praktik bidan atau rumah sakit bersalin, tetapi di kandang domba. Kemudian ia menjadi tukang kayu". Bagi saya kalimat ini cukup menarik. Coba perhatikan frasa "...melahirkan Yesus Kristus yang konon...." Apakah Marko menyadari dan mengerti penggunaan kata "konon"? Kata "konon" digunakan jika seseorang tidak yakin pada cerita/tulisannya, sehingga ia menggunakan kata "konon" yang berarti bahwa ia hanya mendasarkan cerita/tulisannya pada tradisi yang telah ada sebelumnya tanpa melakukan penelitian yang lebih dalam terlebih dahulu. Jika Marko menggunakan kata "konon" pada frasa itu ("Kemudian melahirkan Yesus Kristus yang konon akan menjadi Penebus), mengapa ia tidak menggunakan kata "konon" pada frasa-frasa lainnya, sehingga kalimat utuhnya menjadi demikian: "Konon sejak awal dituturkan (kisah Natal), ia menggugat kemapanan berpikir kita. Konon Maria perawan desa mengandung oleh Roh El Kudus. Kemudian melahirkan Yesus Kristus yang akan menjadi Penebus. Konon ia dilahirkan bukan di tempat praktik bidan atau rumah sakit bersalin, tetapi konon di kandang domba. Kemudian konon ia menjadi tukang kayu.

Dalam tulisan Marko pun muncul kejanggalan. Dari awal sampai pertengahan dari tulisannya ia bercerita tentang Natal, kelahiran Yesus, kemudian mulai pertengahan ia tiba-tiba loncat dengan menceritakan kisah di seputar kematian Yesus. Mengapa tiba-tiba loncat? Di mana kisah kehidupan "pelayanan" Yesus yang dipenuhi dengan ajaran-ajaran bijaksana dengan segala perumpamaannya itu? Kenapa dari kelahiran langsung loncat pada kematian? Apakah kisah mengenai kehidupan Yesus tidak penting menurut Marko, seperti kebanyakan orang Kristen lainnya yang lebih mengutamakan kisah kelahiran dan kematian Yesus? Bahkan jika diperas lagi, maka sebagian besar orang Kristen lebih mengutamakan Natal. Lihat saja bagaimana kemeriahah dan kehebohan perayaan Natal setiap tahunnya! Bisa dibayangkan orang Kristen akan menjawab, "kan Natal adalah perayaan menyambut kelahiran seseorang, jadi tentu harus meriah dong...masak Paska yang adalah mengenang kematian seseorang dirayakan dengan meriah sih?!? Sepertinya Marko sengaja "menyingkirkan" kisah kehidupan Yesus agar tulisannya tidak terlalu panjang-lebar dan memang tujuannya adalah untuk mengaitkan kisah Natal dan kematian Yesus sehingga dapat melahirkan "permainan" warna yang akan kita lihat berikutnya.

Dalam tulisannya yang bercerita tentang kematian Yesus Marko berujar "[p]ada masa kini, simbol-simbol perlawanan itu muncul dalam warna hijau (green) yang beroposisi dengan warna kelabu atau kelam. Bukan perlawanan cengeng, tetapi perlawanan darah". Apa dasarnya sehingga warna hijau yang digunakan? Bagaimana asal-mulanya sehingga warna hijau-lah yang digunakan sebagai warna yang melambangkan perlawanan?
Kenapa yang dipilih warna hijau? Kenapa bukan biru atau kuning atau oranye atau coklat? Bukankah warna-warna seperti biru, kuning, oranye, dan coklat juga beroposisi dengan warna kelabu atau kelam? Lebih lanjut Marko menulis "[g]ergaji gemeretak ketika dipakai memotong kayu salib-Nya, palu berdentam saat dipakai memukul paku untuk menghujam daging kaki dan tangan-Nya. Darah segar berwarna merah pun mengalir. Inilah merah (red) simbol pengorbanan sekaligus perlawanan". Tentu, darah berwarna merah. Yang coba ditampilkan oleh Marko mengenai warna hijau dan merah dalam kaitannya dengan Natal dan kematian Yesus tidak lebih dari permainan warna dan kata saja. Tidak ada kaitan antara warna hijau dengan peristiwa Natal dan kematian Yesus. Tidak ada hubungan antara warna merah dengan peristiwa Natal dan kematian Yesus.

Di paragraf akhir tulisannya Marko menulis "[h]ijau dan merah Natal adalah warna harapan bagi kaum yang lemah, tak berdaya dan tertindas, kesepian, dan merasa dirinya hampa. Warna kehidupan bagi mereka berbeban berat. Semangat yang dilambangkan dengan lilin menyala, yang rela hancur luluh untuk menghadirkan terang dan kehangatan". Dengan demikian jelas, hijau dan merah yang berasal dari kematian Yesus ditempatkan Marko pada Natal sehingga bagi Marko, Natal bercirikan hijau dan merah. Hijau dan merah menjadi warna perlawanan dan harapan. Di mana relevansi antara warna hijau dan merah dengan perlawanan dan harapan? Bagaimana mereka yang tertindas, lemah, tak berdaya, merasa hampa, dan kesedihan ketika melihat warna hijau dan merah menjadi memiliki harapan kembali? Jangan lupa, warna hijau bukan hanya milik Natal tetapi juga menjadi ciri gerakan Go Green bahkan juga agama lain.


Setelah membaca tulisan Marko Mahin sekarang izinkan saya membahasakan ulang cerita Natal menurut versi saya. "Konon sejak dituturkan (cerita Natal), ia menggugat kemapanan berpikir kita. Konon ada seorang Maria perawan desa mengandung oleh Roh El Kudus. Kemudian konon lahirlah Yesus Kristus yang konon akan menjadi Penebus. Konon ia dilahirkan bukan di tempat praktik bidan atau rumah sakit bersalin, tetapi konon di kandang domba. Konon kemudian ia menjadi tukang kayu. Konon Tuhan Yang Maha Mulia mengosongkan diri menjadi serupa dengan hamba sahaya melalui peristiwa Natal, kelahiran Yesus. Konon Tuhan berpihak pada kaum jelata, budak belian yang hina-dina. Konon dalam sosok seorang bayi, Ia mengkritik para penguasa yang rakus. Konon kandang, palungan, jerami kering, kain lampin, gembala, tukang nujum dari Timur adalah simbol-simbol rakyat yang dipakai-Nya. Konon Ia hadir bersama dengan kekurangan dan keterbatasan rakyat jelata sedangkan konon istana dan tentara adalah simbol Herodes, seorang kaisar yang konon kejam, pemarah, dan jauh dari rakyat jelata. Konon warna hijau beroposisi dengan warna kelabu dan kelam. Konon Yesus disalib di kayu salib dan darah segar berwarna merah pun mengalir. Konon merah merupakan simbol pengorbanan sekaligus perlawanan. Konon hijau dan merah Natal bukanlah warna-warna cantik nan romantis, tetapi konon warna-warna itu merupakan warna subversif, warna perlawanan atas kekumuhan dan kedekilan dosa. Konon hijau dan merah juga merupakan warna harapan bagi kaum lemah, tak berdaya, tertindas, kesepian, dan yang merasa hampa. Bagaikan lilin menyala yang konon rela hancur luluh untuk menghadirkan terang dan kehangatan, konon itulah yang namanya Natal".

Jumat, 25 Desember 2009

Maria Ibu Yesus Ternyata Seorang Pendaki Gunung

Franky Kowaas adalah penggiat panjat gunung asal Indonesia. Sejak 2008 tiga puncak gunung telah ditaklukkannya, yakni Cartenz Pyramid (Australasia), Kilimanjoro (Afrika), dan Elbrus (Eropa) dan pada Januari 2010 ia akan menuju Vinson Massif (Antartika), dilanjutkan ke Aconcagua (Amerika Selatan) sedangkan puncak Everest (Asia) dan Mckinley Alaska (Amerika Utara) merupakan target terakhirnya (Kompas, Minggu, 20 Desember 2009, hlm. 2). Ketujuh puncak gunung yang telah disebut tadi adalah tujuh puncak gunung tertinggi di dunia.

Dalam artikel Kompas yang bertajuk "Natal dan Gunung" itu Franky mengibaratkan bahwa Natal merupakan bagian dari misi pendakian gunung. Pernyataannya tersebut langsung menghentak saya! Bagaimana tidak? Perhatikan saja kata-kata Franky di mana ia mengibaratkan Natal sebagai bagian dari misi pendakian gunungnya. Di mana ibaratnya? Di mana ibarat Natal adalah bagian dari misi pendakian gunung yang hendak dicapainya? Apa relevansi pendakian gunung dengan perayaan Natal? Apakah untuk merayakan Natal, bagi Franky, harus melalui perjuangan yang begitu berat terlebih dahulu seperti saat dia melakukan pendakian gunung? Kalimat tadi bisa masuk akal jika diucapkan oleh seseorang yang telah divonis oleh dokter bahwa ia tidak memiliki umur yang panjang lagi. Misalnya, seseorang divonis dokter mengidap penyakit yang begitu parah sehingga secara medis tidak memiliki umur yang panjang dan vonis tersebut dikatakan pada bulan Januari. Dan jika orang itu adalah penganut Kristen taat yang selalu merindukan Natal maka nyaris bisa dipastikan ia akan "berusaha" sekuat tenaga bertahan setidaknya sampai bulan Desember agar ia masih bisa merayakan Natal bersama kerabat dan teman-temannya. Namun tentu, Franky Kowaas bukanlah orang dalam kisah tadi. Ia seorang yang sangat bugar, buktinya berhasil mencapai tiga puncak gunung tertinggi di dunia dari rencana seluruhnya tujuh puncak gunung tertinggi. Pernyataan Franky yang mengibaratkan Natal sebagai bagian dari misi pendakian gunung sangatlah tidak nyambung. Setidaknya saya tidak menemukan hubungan antara Natal dan pendakian gunung sekalipun sifat dan bentuknya dalam ibarat.

Pernyataan Franky berikutnya malah membuat saya, bukan lagi geli, tetapi tertawa keras sampai orang-orang di rumah terkejut dan bertanya-tanya apa yang membuat saya tiba-tiba tertawa. Saya tertawa keras akibat pernyataan Franky yang mengatakan, "Tanpa Natal takkan ada rekor mendaki yang saya capai dan Yesus adalah inspirasi saya untuk mendaki gunung. Makanya, tiap tiba di puncak, saya selalu berlutut berdoa menaikkan ucapan syukur". Astagaaaa!!! Apa dan di mana relevansi antara Natal dan rekor mendaki seperti yang diucapkan Franky tadi?!?! Semua orang juga tahu kisah Natal, termasuk mereka yang non-Kristen! Natal adalah perayaan akan kelahiran Yesus di kandang ternak (menurut tradisi), lalu kaitannya dengan rekor pendakian gunungnya di mana?

Kalimat Franky yang berikut tidak kalah lucunya! Baginya Yesus merupakan inspirasi untuk mendaki gunung. Nah loooh di mana lagi ini hubungan antara mendaki gunung dan Yesus? Jika Franky menghubungkan kisah di seputar kematian Yesus di mana - menurut tradisi yang berasal dari Injil-injil - Yesus mendaki bukit Golgota sebelum disalibkan, itu mungkin masih, yaaah sedikit nyambung lah walaupun tetap terlihat sekali adanya pemaksaan konteks. Artinya, konteks kisah di seputar kematian Yesus pun terjadi di sebuah bukit bukan gunung, sedangkan Franky konteksnya adalah gunung, bahkan gunung-gunung tertinggi di dunia pula! (yang semuanya 5000m di atas permukaan laut!). Namun, jika Franky mencoba mengaitkan antara pendakian gunung yang dilakukannya karena memperoleh inspirasi dari Yesus melalui kisah Natal, maka semakin tidak nyambung lahyaaah! Mengapa? Peristiwa Natal di mana Yesus lahir, menggambarkan bayi Yesus yang tidak berdaya. Sedikit masuk akal jika dikaitkan dengan figur Maria yang "berjuang" keras karena harus berjalan jauh sekitar 90km dari Nazaret ke Betlehem!
Seharusnya kan figur Maria ibu Yesus diibaratkan sebagai tokoh pejalan kaki yang tegar dan ulung (bayangkan saja seorang perempuan yang sedang hamil tua harus melakukan perjalanan jauh! Luar biasa!). Namun sepertinya yang hendak disampaikan oleh Franky bahwa Maria ibu Yesus adalah seorang pendaki jika dikaitkan dengan misi pendakian yang sedang dilakukan Franky. Dengan demikian, Maria ibu Yesus adalah seorang pendaki gunung! Waaaah baru tau nih...kalo Maria ibu Yesus adalah seorang pendaki gunung yang ulung walaupun Injil-injil, entah kanonik maupun ekstrakanonik tidak menggambarkan demikian.

Anjuran Natal

Saya menerima pesan pendek di HP dengan tulisan seperti ini tepatnya: "CHRISTMAS gift suggestions: To your enemy > forgiveness. To an opponent > tolerance. To a friend > your heart. To a customer > service. To all > charity. To every child > a good example. To yourself > respect. MERRY CHRISTMAS 2009".

Lalu di mana kaitan antara anjuran-anjuran yang lebih berkesan seperti nasihat moral itu dengan peristiwa Natal itu sendiri? Apakah saya saja yang kurang jeli sehingga tidak mampu melihat kaitan antara kata-kata indah tersebut dengan peristiwa Natal? Atau saya saja yang kurang kerjaan mengutak-utik kata-kata bijak itu? Terhadap kata-kata indah itu sendiri saya tidak terlalu berkeberatan karena nilainya yang universal. Artinya, kata-kata bijak seperti di atas bukan saja monopoli ajaran Kristen tetapi dapat juga ditemukan kesejajarannya dalam agama-agama ataupun paham moralitas lainnya, entah agama dan paham moralitas yang masih hidup maupun yang telah punah. Kata-kata seperti "mengampuni dan mengasihi musuhmu" memang sangat jelas dapat ditemukan kesejajarannya dalam ucapan Yesus seperti termaktub dalam Injil-injil kanonik yang mengatakan bahwa penganut Kristus harus mengasihi bukan saja saudaranya sendiri tetapi bahkan mendoakan, memberkati, dan mengasihi musuhnya.

Saya bukan saja bertanya-tanya seperti di atas, tetapi juga geli akibat kata-kata "to a customer > service". Ini betul-betul membuat saya nyaris tertawa. Di mana hubungan antara kata-kata itu dengan peristiwa Natal itu sendiri? Apakah dalam peristiwa Natal ada indikasi bahwa orang dapat memaknainya sebagai ungkapan bahwa "sebagai pedagang atau penjual atau penyedia jasa layanan orang harus memberikan pelayanan yang layak kepada pelanggan atau pembelinya"? Di mana para pelayan atau mereka yang memiliki kemampuan membantu persalinan ketika Maria hendak melahirkan Yesus? Apakah peristiwa Natal membuat para pedagang atau penjual atau penyedia jasa layanan akan memberikan pelayanan yang layak bagi para pelanggan atau pembelinya? Saya jadi menduga-duga mungkin saja yang dimaksud dari kata-kata tersebut adalah makna bahwa Yesus datang ke dalam dunia ini bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Dan inilah yang menjadi ajakan bahkan dorongan bagi para pengikutnya untuk melayani dan bukannya dilayani. Sejauh yang dapat saya coba tafsirkan mungkin inilah yang dimaksud dengan "To a customer > service", walaupun bagi saya tafsiran seperti itu terlampau jauh dan maksa.

Hal lain yang cukup mengusik saya adalah "to all > charity". Apakah itu charity? Kedermawanan? Amal baik? Kemurahan hati? Apa bentuknya? Pertolongan dalam pemberian bentuk uang? Makanan dan minuman? Pakaian Tempat berteduh? Perlindungan? Perhatian? Bagi saya tentu, semua bentuk kemurahan, amal baik, dan kedermawanan yang seperti telah disebutkan sangatlah baik adanya. Apalagi jika diberikan kepada orang-orang yang membutuhkannya, seperti mereka yang menderita akibat tertimpa bencana alam, perang, rumahnya terbakar, para penderita penyakit yang sangat parah, mereka yang terasing karena disisihkan oleh keluarga dan masyarakat akibat menderita HIV/AIDS atau kusta , dan mereka yang hidup dalam kemiskinan. Namun bagaimana "nasib" mereka yang hidup dalam kecukupan? Apakah mereka juga perlu dibantu? Tentu jawabannya adalah "tidak", mereka lah yang seharusnya memberikan bantuan karena mereka mampu. Itu jika dilihat dari segi kemampuan ekonomi - uang. Bagaimana dengan bentuk bantuan melalui perhatian? Bagaimana dengan mereka yang miskin, tentu mereka lah yang harus dibantu karena mereka tidak punya uang untuk membantu. Intinya, charity yang dimaksud tentu tidak terbatas oleh uang melainkan juga perhatian. Inilah yang seharusnya menjadi penekanan dalam kehidupan masa kini, di mana banyak hal diukur dari segi uang sehingga "perhatian" pun dinilai dari uang. Menyumbang uang yang banyak dianggap sudah cukup walaupun uang yang diperoleh adalah hasil korupsi.

Sesungguhnya kata-kata bijak di atas dapat diperas sehingga menjadi satu kata, yakni KASIH, yang bagi sebagian besar orang Kristen dianggap sebagai inti ajaran Yesus. Yesus mengajarkan kasih. Kasih yang tidak dibatasi oleh apapun juga melainkan melampui segala hal, bahkan orang Kristen mengatakan, melampaui akal manusia. Saya sering mendengar orang Kristen berkata bahwa ajaran Kasih Yesus-lah yang membedakan agama Kristen dengan agama-agama lainnya yang pernah dan masih ada di muka bumi ini. Hanya agama Kristen melalui Yesus-lah yang mengajarkan kasih. Ini pandangan yang sangat keliru bahkan menyesatkan! Gautama Buddha mengajarkan kasih. Muhammad mengajarkan kasih. Agama-agama Timur Tengah yang telah punah mengajarkan kasih. Para filsuf Yunani klasik yang tidak mengenal agama seperti yang orang-orang modern pahami juga mengajarkan kasih. Jadi, ajaran kasih bukanlah hanya milik orang-orang Kristen dan agamanya.

Kembali pada kata-kata bijak yang muncul di HP saya, bahwa bagi saya kata-kata itu memiliki makna yang dalam dan indah. Mungkin menjadi aneh karena kata-kata itu diawali oleh frasa "Christmas suggestions" dan terlebih diakhiri dengan frasa "Merry Christmas 2009". Kata-kata itu sendiri sesungguhnya sudah "pas", tinggal apakah orang mau melakukannya atau tidak. Dengan demikian, tidak perlu-lah...dihubung-hubungkan antara "to your enemy > forgiveness. To an opponent > tolerance...dst" dengan peristiwa Natal karena sama sekali tidak ada hubungannya. Biarkan saja kata-kata bijak yang penuh makna mendalamn itu berdiri sendiri. Kata-kata seperti itu dapat diucapkan atau dituliskan pada momen atau peristiwa apapun, bukan hanya pada saat Natal. Kalaupun peristiwa Natal hendak dimaknai pada masa kini maka pakailah kata-kata yang tepat atau nyambung sehingga orang yang membaca atau mendengarnya, terlebih orang yang menulis atau mengatakannya sungguh-sungguh tergerak oleh kata-katanya sendiri, tidak asal nulis atau nyeplos, ah...apalagi di zaman teknologi canggih ini yang tinggal copy - paste atau forward dan bereees!

Kamis, 24 Desember 2009

Natal yang Memberdayakan?

Harian Kompas edisi Sabtu, 19 Desember 2009 di halaman 2 memuat tulisan atau refleksi iman Natal dari seorang pecinta film dan meditasi, Marselli Sumarno, yang bertajuk "Natal, Semoga Berdaya". Ia menulis, "Keindahan ajaran Kristiani adalah pandangannya tentang kesatuan, bahwa semua manusia telah disatukan oleh Kristus dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus. Dengan menghayati ajaran tentang kesatuan, kita dapat mengatasi semua bentuk dualisme dalam diri kita, dan mengatasi rasa keterasingan yang memisahkan diri kita dengan orang lain". Kata-kata ini merupakan rangkaian setelah sebelumnya ia menulis bahwa perayaan Natal semakin diwarnai pesta duniawi yang gegap-gempita dalam arus mewah konsumerisme yang melanda dunia.

Sepertinya Marselli Sumarno hendak memberikan penyeimbang antara hidup dan kehidupan manusia yang ragawi-duniawi-materiil dengan yang rohani. Menurutnya Kristus telah mempersatukan manusia dalam kesatuannya dengan Bapa dan Roh Kudus. Bagi saya pernyataannya ini cukup aneh karena dari mana dan bagaimana ia dapat mengatakan bahwa yang mempersatukan manusia dengan Bapa dan Roh Kudus adalah Kristus. Bukankah yang mempersatukan manusia dengan Bapa adalah melalui pemahaman yang ditolong dan ditopang oleh Roh Kudus? Bagaimana Kristus mempersatukan antara manusia dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus tidak dijelaskan oleh Marselli. Ia pun mengatakan bahwa "dengan menghayati ajaran tentang kesatuan, kita dapat mengatasi semua bentuk dualisme dalam diri kita, dan mengatasi keterasingan yang memisahkan kita dengan orang lain". Apakah ajaran kesatuan yang dimaksudkannya? Apakah Yesus yang mengajarkan kesatuan itu? Di Injil bagian mana?

Ia pun berbicara mengenai dualisme? Dualisme yang mana? Saya hanya menduga kuat mungkin yang dimaksudkan Marselli adalah antara duniawi dan rohani. Ah, ini pemahaman gnostik yang mempercayai adanya dua natur, tarik-menarik, sifat dasariah dalam setiap diri manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pandangan gnostik mempercayai bahwa dalam setiap diri manusia terkandung unsur ilahi di dalamnya karena manusia dalam pemahaman gnostik berasal dari yang ilahi. Ketika dahulu kala terjadi "pertempuran" kosmik maka manusia terpental dan masuk ke dalam dunia. Oleh karena manusia dalam pandangan gnostik berasal dari yang ilahi maka tentu tujuan akhirnya adalah kembali kepada yang ilahi, kembali kepada asalnya, yakni dunia "atas". Dengan pemahaman sederhana dan singkat ini maka dapat dikatakan bahwa dualisme yang mungkin dimaksudkan oleh Marselli adalah manusia yang selalu berada dalam ketegangan antara yang rohani dan yang duniawi.

Ketegangan duniawi diwarnai oleh gaya hidup manusia yang cenderung konsumtif, penuh kemewahan, mengejar kenikmatan dan kebahagiaan ragawi. Sedangkan ketegangan rohani diwarnai oleh gaya hidup bersahaja, sederhana yang ditampilkan oleh dan melalui peristiwa kelahiran Yesus di kandang hewan. Gaya hidup duniawi-mewah inilah yang hendak diimbangi/dilawan dengan gaya hidup yang rohani-bersahaja seperti termaktub dengan sangat jelas dalam tulisan Marselli.

Hal yang dilakukan oleh Marselli dengan latar belakangnya sebagai pecinta meditasi merupakan hal yang lumrah. Inilah ciri manusia timur (sebetulnya saya tidak menyukai polarisasi timur-barat) yang selalu bergerak antara dua kutub; kiri-kanan, baik-jahat, rohani-ragawi. Dua kosmik Ying dan Yang. Masalahnya, kita masih berada dalam dunia ini dalam segala hingar-bingarnya. Perayaan Natal yang gegap-gempita merupakan kenyataan dan keniscayaan. Gambaran Yesus yang lahir di kandang hewan seperti yang dilukiskan oleh penulis Injil Lukas (Injil Matius tidak menceritakan jika Yesus lahir di kandang hewan) merupakan upaya perlawanan terhadap situasi konkret-riil yang dialami penulis pada masa itu ketika wilayah Palestina berada di bawah penjajahan Romawi. Nilai sejarah kelahiran Yesus adalah hal lain yang patut dipertanyakan. Bagaimana dengan keadaan konkret-riil manusia Indonesia masa kini, apakah kita berada di bawah penjajahan bangsa lain? Tentu tidak! Namun kita (kebanyakan orang mungkin) menderita akibat dunia yang korup, tidak adil. Apakah keadaan kita sejajar dengan keadaan saat Yesus lahir? Pada masa itu sebagian besar rakyat Palestina miskin akibat ketidakadilan. Bagaimana dengan keadaan kita sekarang, apakah juga demikian? Yang miskin makin miskin atau jalan di tempat sedangkan yang kaya semakin kaya. Bagaimana dengan orang Kristen yang kaya?

Lalu apa kaitan peristiwa Natal, ketika Yesus lahir di kandang hewan, dengan kehidupan masa kini? Marselli mengangkat dan menekankan bahwa hidup harus hebat, kuat, luas, besar, dan bermanfaat tapi sikap dalam hidup itu yang harusnya sederhana. Apa maksudnya dengan sikap hidup yang sederhana? Bagaimana seharusnya menjalani hidup dengan sikap yang sederhana itu? Bagaimana merayakan Natal secara sederhana itu? Dengan tidak pesta-pora? Tidak gegap-gempita? Bagaimana?

Sangat jelas tulisan Marselli berangkat dari kecintaan dirinya pada meditasi. Sejauh yang saya ketahui semua penggiat meditasi cenderung hidup dalam kesederhanaan. Walaupun saya sendiri kurang tahu apakah yang menjadi tolok ukur dari hidup sederhana itu. Para selebriti luar negeri juga melakukan meditasi dalam kegelimangan harta mereka. Jadi, hidup sederhana yang seperti apa? Perayaan Natal sederhana yang seperti bagaimana? Kenapa tidak menjual seluruh harta bendanya saja baru kemudian hidup secara sederhana. Saya jadi teringat pada kisah Yesus saat ditanya oleh seorang pemuda yang ingin masuk surga/kerajaan Allah, yang kemudian dijawab Yesus agar pemuda itu menjual seluruh harta bendanya. Atau juga seperti Gautama Buddha atau Mahatma Gandhi atau Bunda Theresa yang hidup dalam kesahajaan.

Di bagian akhir tulisannya Marselli menulis (berdasarkan SMS dari seorang temannya), "...Manusia berharga di mata Allah. Dia (Allah) menyapa lewat Yesus bayi yang tak berdaya. Selamat Natal, semoga berdaya". Apa kaitan kata-kata ini dengan bagian tulisan sebelumnya yang berbicara tentang hidup dan merayakan Natal dengan sederhana? Kenapa di bagian akhir muncul frasa "semoga berdaya"? Manusia dengan seluruh kapasitasnya memiliki daya, entah baik maupun buruk bagi lingkungannya. Apa hubungan peristiwa Natal dan kelahiran Yesus dengan keberdayaan? Figur bayi Yesus tentu tidak memiliki daya apapun, tapi figur Yesus sebagai manusia dewasa tentu berdaya! Yesus sebagai manusia dewasa berdaya saat mengkritik pemerintahan yang lalim pada masanya. Namun jika yang hendak dikatakan bahwa semoga peristiwa Natal memberdayakan, bagaimana caranya? Natal yang sederhana dapat memberdayakan manusia sehingga turut dalam kesederhanaan? Saya sangat meragukan hal ini dapat terjadi.

Rayakanlah Natal dengan segala kemampuan yang ada, mungkin itu yang hendak dicapai dan ditekankan. Tidak berlebihan karena sudah sepatutnya manusia turut prihatin dengan segala yang ada di sekitarnya. Itulah yang dinamakan dengan belarasa. Allah berbela rasa dengan manusia maka ia pun hadir ke dalam dunia dengan cara yang sederhana-bersahaja sebagai bentuk perlawanan terhadap kehidupan yang mewah namun dipenuhi ketidakadilan. Inilah yang dinamakan teologi belarasa.

Olga Lydia & Natal

Tulisan berikut merupakan komentar terhadap pernyataan aktris cantik Olga Lydia yang terdapat dalam harian Kompas, Sabtu, 19 Desember 2009 pada halaman 3 yang berjudul "Kurangi Kado Natal".

"Olga berencana mereformasi kebiasaan bagi-bagi kado untuk keponakan-keponakannya karena bagi-bagi kado itu membuat keponakannya lupa makna Natal yang sesungguhnya . . . ini harus diubah. Sebab, kata Olga, yang penting dari acara (Natal) itu adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan. Ia juga berharap tahun 2010 akan lebih baik dari tahun sebelumnya." (kutipan dari Kompas).

Hal yang membuat saya bertanya-tanya dari pernyataan Olga Lydia adalah ketika ia mengatakan bahwa yang penting dari acara Natal adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan. Saya menduga kuat bahwa itulah makna Natal menurut Olga.

Apakah makna Natal adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan, entah ketika seseorang berada di tengah-tengah keluarga, orang-orang yang dikasihi dan mengasihi kita, di perantauan, pengasingan mungkin, dlsb? Dari mana datangnya tradisi makna Natal yang membawa "kebersamaan" dan "kehangatan" ini? Apakah berasal dari kisah kelahiran Yesus seperti yang dinyatakan dalam Injil Matius dan Lukas? Atau, berasal dari tradisi-tradisi kemudian? Ah, kalau begitu harus ditanyakan kepada Olga Lydia karena dialah yang mengatakan hal tersebut.

"Ah, makna Natal atau makna peristiwa apapun kan terserah masing-masing dong...mungkin orang akan mengatakannya. Kamu saja yang tidak ada kerjaan mengkritisi dan cerewet jadi kebanyakan tanya!"


Oleh karena jika kita hendak bertanya ke Olga mengapa ia mengatakan hal tersebut merupakan hal yang nyaris tidak mungkin karena ia adalah seorang aktris/pelaku seni/selebriti yang sibuk, ditambah kita bukanlah termasuk ke dalam komunitas tersebut, maka saya akan "menduga-duga/menebak-nebak" atau bahasa tingginya, berusaha menafsirkan mengapa dia mengatakan bahwa yang penting dari Natal adalah terciptanya "kebersamaan" dan kehangatan".


Semua orang sudah tahu bahwa Natal adalah merayakan kelahiran Yesus yang diberi gelar Kristus. Tradisi mengatakan bahwa Yesus bukan lahir di tempat yang nyaman/enak/layak, seperti di rumah atau di tenda melainkan di palungan, kandang ternak. Menurut tradisi juga (setidaknya tidak ada gambaran dalam Injil-injil) bahwa Maria (ibu Yesus) melahirkan Yesus dibantu oleh bidan/orang yang cukup ahli membantu proses kelahiran melainkan hanya ditemani oleh Yusuf. Berdasarkan tradisi yang sederhana itu maka saya menduga muncullah perkataan bahwa Natal, setidaknya bagi seorang aktris seperti Olga Lydia, bermakna menjadi peristiwa yang penuh "kebersamaan" dan "kehangatan. Mengapa demikian?

Ditilik dari tempat Yesus lahir saja sudah tidak layak bagi manusia (palungan, kandang ternak), yang tentu bagi banyak orang sudah pasti merupakan tempat yang dingin, tidak hangat seperti di rumah atau tenda karena pasti akan ditemani oleh tempat pembaringan yang empuk dan kain-kain (selimut) yang tebal. Namun demikian, Yesus dilahirkan dalam situasi yang "hangat" dalam dekapan ayah bundanya. Ditambah, ketika lahir Maria tidak mendapat pertolongan dari bidan atau perempuan lain yang paham betul dengan proses kelahiran melainkan hanya ditemani oleh suaminya, Yusuf, seorang tukang kayu (juga menurut tradisi). Namun, walaupun hanya ditemani oleh suaminya, Maria tetap melahirkan Yesus dengan selamat tanpa kurang suatu apapun dan "kebersamaan" keluarga kecil tersebut pun menjadi nyata.


Kandang ternak yang seharusnya dingin, tidak lagi dingin melainkan menjadi hangat karena kehadiran bayi mungil (memang ada ya...bayi yang besar?!) yang lucu dan menggemaskan (memang ada juga ya...bayi yang tidak lucu dan menggemaskan?!). Walaupun hanya bertiga (Maria, Yusuf, dan Yesus) kebersamaan mereka tetap nampak serasi.

Tentu, tafsiran saya sangat bersifat teologis bukan sejarah. Saya hanya menduga, yah...kira-kira begitu mungkin yang dipikirkan oleh Olga Lydia dan mungkin kebanyakan orang Kristen lainnya setiap kali mengatakn bahwa makna Natal salah satunya adalah terciptanya "kebersamaan" dan kehangatan". Itu baru ditilik dari sudut tradisi zaman dahulunya. Sekarang, bagaimana jika Natal dipahami dan dimaknai pada abad 21? Apakah Natal memang cukup dirasa, dialami, dan dimaknai membawa "kebersamaan" dan "kehangatan"? Tentu ya, jika yang merayakan Natal adalah keluarga besar yang rukun, kompak, serasi, dan tinggal di rumah yang nyaman. Bagaimana dengan keluarga atau orang-orang yang hidup dalam keterasingan dan kesendirian, misalnya, mereka yang berada di penjara atau sedang merantau di luar negeri dan hidup seorang diri (maksudnya, tidak ada kerabat yang tinggal di dekatnya)? Bagaimana dengan para lansia yang tinggal di panti jompo, anak-anak yatim piatu, korban bencana alam dan perang, janda - duda, mereka yang disisihkan dan diasingkan oleh keluarga dan masyarakat karena mengidap HIV/AIDS atau kusta atau penyakit lainnya, bahkan keterbatasan-keterbatasan fisik tertentu? Bagaimana dengan mereka?

Orang mengatakan dengan mudah bahwa Natal seharusnya membawa "kebersamaan" dan "kehangatan" tapi hal itu dikatakan cuma sebagai lip service, tidak ada maknanya. "Kebersamaan" dan "kehangatan" Natal sekadar tradisi bagi mereka yang mengalami "kebersamaan" dan "kehangatan" Natal, tidak lebih dari itu. Karena keluarga kami adalah keluarga yang rukun jadi tentu memiliki kebersamaan dan keluarga kami hidup nyaman di rumah yang nyaman jadi tentu juga merasakan kehangatan. Karena "kebersamaan" dan "kehangatan" Natal hanyalah tradisi maka bagi-bagi kado atau cross kado pada saat perayaan Natal juga biarkan saja terus berlangsung, toh juga tradisi dan tidak merugikan siapa-siapa bahkan menyenangkan walaupun saya sama sekali tidak tahu dari mana lagi tradisi bagi-bagi atau cross kado itu berasal saat perayaan Natal.

Ah...ada begitu banyak tradisi keagamaan yang sebetulnya tidak diketahui oleh mereka yang merayakannya, tapi mereka terus saja melakukkannya, seperti mendirikan pohon Natal, menempatkan bintang di ujung atas pohon Natal itu, Santa Claus, Zwarte Piet (Piet Hitam), dan bagi-bagi atau Cross kado. Tradisi yang membuat senang anak-anak. Orang beragama pun menjadi seperti anak-anak karena menyenangi hal-hal tertentu tanpa mengetahui bahkan sama sekali tidak peduli dengan mempertanyakan dari mana tradisi tersebut berasal dan mengapa orang melakukannya (sampai sekarang). [Ah...kamu aja yang cerewet dan kurang kerjaan dengan banyak tanya!!]

Artikel tentang Olga Lydia pun diakhiri dengan perkataannya "Ia juga berharap tahun 2010 akan lebih baik dari tahun sebelumnya". Lha, kok tiba-tiba bicara itu? Apa hubungannya dengan makna perayaan Natal dan rencana mereformasi perayaan Natal di tengah-tengah keluarganya? Betul-betul tidak nyambung.... Saya jadi teringat perkataan teman dulu, "Artis ga usah ngomong (maksudnya jika diwawancara mengenai hal-hal lain selain pekerjaannya) aja deh...jadi ketauan begonya!" Saya pikir...teman saya itu ada betulnya.