Tulisan berikut merupakan komentar terhadap pernyataan aktris cantik Olga Lydia yang terdapat dalam harian Kompas, Sabtu, 19 Desember 2009 pada halaman 3 yang berjudul "Kurangi Kado Natal".
"Olga berencana mereformasi kebiasaan bagi-bagi kado untuk keponakan-keponakannya karena bagi-bagi kado itu membuat keponakannya lupa makna Natal yang sesungguhnya . . . ini harus diubah. Sebab, kata Olga, yang penting dari acara (Natal) itu adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan. Ia juga berharap tahun 2010 akan lebih baik dari tahun sebelumnya." (kutipan dari Kompas).
Hal yang membuat saya bertanya-tanya dari pernyataan Olga Lydia adalah ketika ia mengatakan bahwa yang penting dari acara Natal adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan. Saya menduga kuat bahwa itulah makna Natal menurut Olga.
Apakah makna Natal adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan, entah ketika seseorang berada di tengah-tengah keluarga, orang-orang yang dikasihi dan mengasihi kita, di perantauan, pengasingan mungkin, dlsb? Dari mana datangnya tradisi makna Natal yang membawa "kebersamaan" dan "kehangatan" ini? Apakah berasal dari kisah kelahiran Yesus seperti yang dinyatakan dalam Injil Matius dan Lukas? Atau, berasal dari tradisi-tradisi kemudian? Ah, kalau begitu harus ditanyakan kepada Olga Lydia karena dialah yang mengatakan hal tersebut.
"Ah, makna Natal atau makna peristiwa apapun kan terserah masing-masing dong...mungkin orang akan mengatakannya. Kamu saja yang tidak ada kerjaan mengkritisi dan cerewet jadi kebanyakan tanya!"
"Olga berencana mereformasi kebiasaan bagi-bagi kado untuk keponakan-keponakannya karena bagi-bagi kado itu membuat keponakannya lupa makna Natal yang sesungguhnya . . . ini harus diubah. Sebab, kata Olga, yang penting dari acara (Natal) itu adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan. Ia juga berharap tahun 2010 akan lebih baik dari tahun sebelumnya." (kutipan dari Kompas).
Hal yang membuat saya bertanya-tanya dari pernyataan Olga Lydia adalah ketika ia mengatakan bahwa yang penting dari acara Natal adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan. Saya menduga kuat bahwa itulah makna Natal menurut Olga.
Apakah makna Natal adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan, entah ketika seseorang berada di tengah-tengah keluarga, orang-orang yang dikasihi dan mengasihi kita, di perantauan, pengasingan mungkin, dlsb? Dari mana datangnya tradisi makna Natal yang membawa "kebersamaan" dan "kehangatan" ini? Apakah berasal dari kisah kelahiran Yesus seperti yang dinyatakan dalam Injil Matius dan Lukas? Atau, berasal dari tradisi-tradisi kemudian? Ah, kalau begitu harus ditanyakan kepada Olga Lydia karena dialah yang mengatakan hal tersebut.
"Ah, makna Natal atau makna peristiwa apapun kan terserah masing-masing dong...mungkin orang akan mengatakannya. Kamu saja yang tidak ada kerjaan mengkritisi dan cerewet jadi kebanyakan tanya!"
Oleh karena jika kita hendak bertanya ke Olga mengapa ia mengatakan hal tersebut merupakan hal yang nyaris tidak mungkin karena ia adalah seorang aktris/pelaku seni/selebriti yang sibuk, ditambah kita bukanlah termasuk ke dalam komunitas tersebut, maka saya akan "menduga-duga/menebak-nebak" atau bahasa tingginya, berusaha menafsirkan mengapa dia mengatakan bahwa yang penting dari Natal adalah terciptanya "kebersamaan" dan kehangatan".
Semua orang sudah tahu bahwa Natal adalah merayakan kelahiran Yesus yang diberi gelar Kristus. Tradisi mengatakan bahwa Yesus bukan lahir di tempat yang nyaman/enak/layak, seperti di rumah atau di tenda melainkan di palungan, kandang ternak. Menurut tradisi juga (setidaknya tidak ada gambaran dalam Injil-injil) bahwa Maria (ibu Yesus) melahirkan Yesus dibantu oleh bidan/orang yang cukup ahli membantu proses kelahiran melainkan hanya ditemani oleh Yusuf. Berdasarkan tradisi yang sederhana itu maka saya menduga muncullah perkataan bahwa Natal, setidaknya bagi seorang aktris seperti Olga Lydia, bermakna menjadi peristiwa yang penuh "kebersamaan" dan "kehangatan. Mengapa demikian?
Ditilik dari tempat Yesus lahir saja sudah tidak layak bagi manusia (palungan, kandang ternak), yang tentu bagi banyak orang sudah pasti merupakan tempat yang dingin, tidak hangat seperti di rumah atau tenda karena pasti akan ditemani oleh tempat pembaringan yang empuk dan kain-kain (selimut) yang tebal. Namun demikian, Yesus dilahirkan dalam situasi yang "hangat" dalam dekapan ayah bundanya. Ditambah, ketika lahir Maria tidak mendapat pertolongan dari bidan atau perempuan lain yang paham betul dengan proses kelahiran melainkan hanya ditemani oleh suaminya, Yusuf, seorang tukang kayu (juga menurut tradisi). Namun, walaupun hanya ditemani oleh suaminya, Maria tetap melahirkan Yesus dengan selamat tanpa kurang suatu apapun dan "kebersamaan" keluarga kecil tersebut pun menjadi nyata.
Kandang ternak yang seharusnya dingin, tidak lagi dingin melainkan menjadi hangat karena kehadiran bayi mungil (memang ada ya...bayi yang besar?!) yang lucu dan menggemaskan (memang ada juga ya...bayi yang tidak lucu dan menggemaskan?!). Walaupun hanya bertiga (Maria, Yusuf, dan Yesus) kebersamaan mereka tetap nampak serasi.
Tentu, tafsiran saya sangat bersifat teologis bukan sejarah. Saya hanya menduga, yah...kira-kira begitu mungkin yang dipikirkan oleh Olga Lydia dan mungkin kebanyakan orang Kristen lainnya setiap kali mengatakn bahwa makna Natal salah satunya adalah terciptanya "kebersamaan" dan kehangatan". Itu baru ditilik dari sudut tradisi zaman dahulunya. Sekarang, bagaimana jika Natal dipahami dan dimaknai pada abad 21? Apakah Natal memang cukup dirasa, dialami, dan dimaknai membawa "kebersamaan" dan "kehangatan"? Tentu ya, jika yang merayakan Natal adalah keluarga besar yang rukun, kompak, serasi, dan tinggal di rumah yang nyaman. Bagaimana dengan keluarga atau orang-orang yang hidup dalam keterasingan dan kesendirian, misalnya, mereka yang berada di penjara atau sedang merantau di luar negeri dan hidup seorang diri (maksudnya, tidak ada kerabat yang tinggal di dekatnya)? Bagaimana dengan para lansia yang tinggal di panti jompo, anak-anak yatim piatu, korban bencana alam dan perang, janda - duda, mereka yang disisihkan dan diasingkan oleh keluarga dan masyarakat karena mengidap HIV/AIDS atau kusta atau penyakit lainnya, bahkan keterbatasan-keterbatasan fisik tertentu? Bagaimana dengan mereka?
Orang mengatakan dengan mudah bahwa Natal seharusnya membawa "kebersamaan" dan "kehangatan" tapi hal itu dikatakan cuma sebagai lip service, tidak ada maknanya. "Kebersamaan" dan "kehangatan" Natal sekadar tradisi bagi mereka yang mengalami "kebersamaan" dan "kehangatan" Natal, tidak lebih dari itu. Karena keluarga kami adalah keluarga yang rukun jadi tentu memiliki kebersamaan dan keluarga kami hidup nyaman di rumah yang nyaman jadi tentu juga merasakan kehangatan. Karena "kebersamaan" dan "kehangatan" Natal hanyalah tradisi maka bagi-bagi kado atau cross kado pada saat perayaan Natal juga biarkan saja terus berlangsung, toh juga tradisi dan tidak merugikan siapa-siapa bahkan menyenangkan walaupun saya sama sekali tidak tahu dari mana lagi tradisi bagi-bagi atau cross kado itu berasal saat perayaan Natal.
Ah...ada begitu banyak tradisi keagamaan yang sebetulnya tidak diketahui oleh mereka yang merayakannya, tapi mereka terus saja melakukkannya, seperti mendirikan pohon Natal, menempatkan bintang di ujung atas pohon Natal itu, Santa Claus, Zwarte Piet (Piet Hitam), dan bagi-bagi atau Cross kado. Tradisi yang membuat senang anak-anak. Orang beragama pun menjadi seperti anak-anak karena menyenangi hal-hal tertentu tanpa mengetahui bahkan sama sekali tidak peduli dengan mempertanyakan dari mana tradisi tersebut berasal dan mengapa orang melakukannya (sampai sekarang). [Ah...kamu aja yang cerewet dan kurang kerjaan dengan banyak tanya!!]
Artikel tentang Olga Lydia pun diakhiri dengan perkataannya "Ia juga berharap tahun 2010 akan lebih baik dari tahun sebelumnya". Lha, kok tiba-tiba bicara itu? Apa hubungannya dengan makna perayaan Natal dan rencana mereformasi perayaan Natal di tengah-tengah keluarganya? Betul-betul tidak nyambung.... Saya jadi teringat perkataan teman dulu, "Artis ga usah ngomong (maksudnya jika diwawancara mengenai hal-hal lain selain pekerjaannya) aja deh...jadi ketauan begonya!" Saya pikir...teman saya itu ada betulnya.
Ditilik dari tempat Yesus lahir saja sudah tidak layak bagi manusia (palungan, kandang ternak), yang tentu bagi banyak orang sudah pasti merupakan tempat yang dingin, tidak hangat seperti di rumah atau tenda karena pasti akan ditemani oleh tempat pembaringan yang empuk dan kain-kain (selimut) yang tebal. Namun demikian, Yesus dilahirkan dalam situasi yang "hangat" dalam dekapan ayah bundanya. Ditambah, ketika lahir Maria tidak mendapat pertolongan dari bidan atau perempuan lain yang paham betul dengan proses kelahiran melainkan hanya ditemani oleh suaminya, Yusuf, seorang tukang kayu (juga menurut tradisi). Namun, walaupun hanya ditemani oleh suaminya, Maria tetap melahirkan Yesus dengan selamat tanpa kurang suatu apapun dan "kebersamaan" keluarga kecil tersebut pun menjadi nyata.
Kandang ternak yang seharusnya dingin, tidak lagi dingin melainkan menjadi hangat karena kehadiran bayi mungil (memang ada ya...bayi yang besar?!) yang lucu dan menggemaskan (memang ada juga ya...bayi yang tidak lucu dan menggemaskan?!). Walaupun hanya bertiga (Maria, Yusuf, dan Yesus) kebersamaan mereka tetap nampak serasi.
Tentu, tafsiran saya sangat bersifat teologis bukan sejarah. Saya hanya menduga, yah...kira-kira begitu mungkin yang dipikirkan oleh Olga Lydia dan mungkin kebanyakan orang Kristen lainnya setiap kali mengatakn bahwa makna Natal salah satunya adalah terciptanya "kebersamaan" dan kehangatan". Itu baru ditilik dari sudut tradisi zaman dahulunya. Sekarang, bagaimana jika Natal dipahami dan dimaknai pada abad 21? Apakah Natal memang cukup dirasa, dialami, dan dimaknai membawa "kebersamaan" dan "kehangatan"? Tentu ya, jika yang merayakan Natal adalah keluarga besar yang rukun, kompak, serasi, dan tinggal di rumah yang nyaman. Bagaimana dengan keluarga atau orang-orang yang hidup dalam keterasingan dan kesendirian, misalnya, mereka yang berada di penjara atau sedang merantau di luar negeri dan hidup seorang diri (maksudnya, tidak ada kerabat yang tinggal di dekatnya)? Bagaimana dengan para lansia yang tinggal di panti jompo, anak-anak yatim piatu, korban bencana alam dan perang, janda - duda, mereka yang disisihkan dan diasingkan oleh keluarga dan masyarakat karena mengidap HIV/AIDS atau kusta atau penyakit lainnya, bahkan keterbatasan-keterbatasan fisik tertentu? Bagaimana dengan mereka?
Orang mengatakan dengan mudah bahwa Natal seharusnya membawa "kebersamaan" dan "kehangatan" tapi hal itu dikatakan cuma sebagai lip service, tidak ada maknanya. "Kebersamaan" dan "kehangatan" Natal sekadar tradisi bagi mereka yang mengalami "kebersamaan" dan "kehangatan" Natal, tidak lebih dari itu. Karena keluarga kami adalah keluarga yang rukun jadi tentu memiliki kebersamaan dan keluarga kami hidup nyaman di rumah yang nyaman jadi tentu juga merasakan kehangatan. Karena "kebersamaan" dan "kehangatan" Natal hanyalah tradisi maka bagi-bagi kado atau cross kado pada saat perayaan Natal juga biarkan saja terus berlangsung, toh juga tradisi dan tidak merugikan siapa-siapa bahkan menyenangkan walaupun saya sama sekali tidak tahu dari mana lagi tradisi bagi-bagi atau cross kado itu berasal saat perayaan Natal.
Ah...ada begitu banyak tradisi keagamaan yang sebetulnya tidak diketahui oleh mereka yang merayakannya, tapi mereka terus saja melakukkannya, seperti mendirikan pohon Natal, menempatkan bintang di ujung atas pohon Natal itu, Santa Claus, Zwarte Piet (Piet Hitam), dan bagi-bagi atau Cross kado. Tradisi yang membuat senang anak-anak. Orang beragama pun menjadi seperti anak-anak karena menyenangi hal-hal tertentu tanpa mengetahui bahkan sama sekali tidak peduli dengan mempertanyakan dari mana tradisi tersebut berasal dan mengapa orang melakukannya (sampai sekarang). [Ah...kamu aja yang cerewet dan kurang kerjaan dengan banyak tanya!!]
Artikel tentang Olga Lydia pun diakhiri dengan perkataannya "Ia juga berharap tahun 2010 akan lebih baik dari tahun sebelumnya". Lha, kok tiba-tiba bicara itu? Apa hubungannya dengan makna perayaan Natal dan rencana mereformasi perayaan Natal di tengah-tengah keluarganya? Betul-betul tidak nyambung.... Saya jadi teringat perkataan teman dulu, "Artis ga usah ngomong (maksudnya jika diwawancara mengenai hal-hal lain selain pekerjaannya) aja deh...jadi ketauan begonya!" Saya pikir...teman saya itu ada betulnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.