Senin, 28 Desember 2009

Fakta yang Memprihatinkan!

Kejaksaan Agung kembali membuat "gebrakan" dengan meresmikan larangan terbit terhadap lima buku: Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (ditulis oleh John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis oleh Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise), Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (ditulis oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis oleh Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan Mengungkap Misteri Keragamaan Agama (ditulis oleh Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi). Ini dikatakan oleh Jaksa Agung Muda Pembinaan, Iskamto. Kabar mencengangkan tersebut dimuat dalam harian Kompas edisi Sabtu, 26 Desember 2009 (hlm. 4) dengan tajuk "Buku-buku Ini Dilarang!".

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Didiek Darmanto, "larangan terbit atas lima judul buku tersebut ditujukan kepada penerbit. Penerbit tidak boleh lagi menerbitkan dan mengedarkan buku-buku itu. Kalau yang sudah beredar, kami minta kepada penerbit agar ditarik." Lanjutnya lagi, "buku-buku tersebut dilarang karena melanggar ketertiban umum. Substansi buku dinilai tidak sesuai dengan aturan." Kompas menulis bahwa buku-buku itu sudah diteliti dalam tim penyeleksian (clearing house) Kejaksaan Agung sejak Mei 2009 dan telah melalui rapat kerja Jaksa Agung dengan Komisi III DPR pada 11 Mei 2009.

Berdasar berita dari Kompas tersebut maka ada beberapa pertanyaan yang penting dijawab terkait dengan - lagi-lagi - pelarangan, entah hak berbicara/berpendapat/bersuara maupun berekspresi yang terjadi di negeri ini:

1. Dikatakan bahwa buku-buku yang dilarang terbit itu telah melanggar ketertiban umum. Apa yang sesungguhnya telah terjadi akibat penjualan dan penyebaran buku-buku tersebut? Ketertiban umum apa yang dilanggar akibat penjualan buku-buku tersebut? Apakah telah terjadi kerusuhan atau chaos yang ditimbulkan setelah masyarakat luas membaca buku-buku tersebut? Sejauh yang dapat saya ingat belum pernah terjadi kekacauan/kerusuhan secara luas yang diakibatkan oleh sebuah buku. Paling-paling kekacauan yang diakibatkan para pendukung kesebelasan sepak bola yang kecewa karena timnya mengalami kekalahan. Itu pun kekacauan yang terjadi hanyalah bersifat lokal dan tidak berkepanjangan (misalnya sampai berhari-hari). Dengan demikian, pernyataan bahwa buku-buku tersebut dianggap telah melanggar ketertiban umum sangatlah tidak tidak berdasar pada kenyataan yang ada.

2. Dikatakan bahwa substansi buku-buku tersebut dinilai tidak sesuai dengan aturan. Aturan mana dan apa yang digunakan sebagai tolok ukur dalam menilai substansi sebuah buku? Bahwa buku tersebut tidak menampilkan pornografi? Pornografi pun tidak sebatas pornografi seksual, tetapi juga kekerasan. Dibaca dari judulnya saja kelima buku tersebut sangat tidak mungkin berisikan pornografi, entah seksual maupun kekerasan. Dari judulnya dapat dipastikan bahwa kelima buku tersebut bergenre sejarah-politik dan agama/teologi. Jika diperhatikan, buku-buku yang dilarang terbit merupakan buku-buku bergenre sejarah-politik atau novel yang sarat dengan muatan sejarah (misalnya buku-buku Ananta Toer, bahkan penulisnya pun sempat dicekal oleh pemerintah yang berkuasa). Perhatika saja, buku-buku yang pernah dan kemungkinan besar masih akan ada banyak buku yang dilarang terbit memiliki alur cerita yang berbeda/bertolak belakang dengan "sejarah" yang telah selama ini dianut, khususnya oleh penguasa.

3. Dikatakan bahwa buku-buku itu sudah diteliti dalam tim penyeleksian Kejaksaan Agung. Siapa saja orang-orang yang duduk dalam tim penyeleksi itu? Apa latar belakang mereka? Mengapa mereka bisa duduk dalam tim tersebut? Mengapa harus ada yang dinamakan tim penyeleksi? Mengapa Kejaksaan Agung yang mengadakan tim tersebut? dlsb. Lagi-lagi yang menjadi pertanyaan adalah: apa tolok ukur/standar/ukuran dalam menilai substansi sebuah buku? Bukan baru kali ini saja Kejaksaan Agung melarang terbit buku, setidaknya tahun 2006 telah terjadi larangan serupa yang menimpa buku Menembus Gelap Menuju Terang 2, Atlas Lengkap Indonesia (33 provinsi) dan Dunia, serta Aku Melawan Teroris. Dan tahun 2007, kejaksaan melarang sejumlah buku pelajaran sejarah untuk sekolah akibat antara lain, tidak menyebutkan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tahun 1948 dan hanya memuat keterlibatan G30S tanpa menyebut PKI pada tahun 1965.

4. Apakah terhadap semua buku yang dijual dan diterbitkan di Indonesia diperlakukan hal yang sama? Bagaimana dengan buku-buku impor atau terjemahan? Bagaimana dengan buku-buku yang bergenre New Age atau yang termasuk ke dalam Self Help/Self Improvement? Pernahkah terpikir bahwa tidak semua buku impor "baik" dikonsumsi oleh pembaca? Saya cenderung yakin bahwa buku-buku impor tidak mengalami hal serupa dengan buku-buku yang ditulis dan diterbitkan di Indonesia. Mengapa saya dapat mengatakan hal tersebut? Karena buku-buku tersebut sangat mahal. Biaya masuknya saja sudah begitu tinggi dan tentu memberikan pemasukan yang cukup berarti bagi negeri ini. Terkait dengan masalah ini, mengapa di negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat, tidak ada larangan terbit terhadap buku tertentu (sejauh yang yang saya ketahui)? Mengapa buku yang ditulis oleh Mary Baker Eddy, Science and Health with Key to the Scriptures atau karya Salman Rushdie yang pernah mengguncang dunia sastra The Satanic Verses tidak dilarang terbit di negeri Obama tersebut? Meski banyak pihak menolak buku-buku tertentu tapi buku-buku tersebut tetap dibiarkan terbit dan dijual. Yang dilakukan oleh mereka yang menolaknya adalah dengan menulis dan menerbitkan buku lain sebagai tandingannya. Itulah salah satu ciri masyarakat dan bangsa yang cerdas dan bijak.

Ketika bangsa-bangsa lain berlomba meningkatkan kecerdasan rakyatnya melalui berbagai usaha, salah satunya dengan memajukan budaya baca, bangsa Indonesia bukan hanya jalan di tempat melainkan berjalan mundur. Dengan begitu bangga bangsa ini mengklaim sebagai bangsa demokrasi, yang mengedepankan Hak Asasi Manusia, dan toleran, tetapi kenyataannya tidaklah sejalan dengan yang dibanggakan. Bukankah setiap warga negara berhak memperoleh informasi dan pengetahuan yang luas dan bebas? Mungkin ada yang mengatakan, "ya tentu, tapi tidak sebebas-bebasnya! Bebas tapi terkendali." Tetap saja itu bukan bebas namanya! Ketika orang mengatakan bebas, itu artinya sebebas-bebasnya. Bagaimana jika kebablasan? Biarkan masyarakat sendirilah yang menjadi pengawas, penjaga, dan rem-nya. Itu ciri masyarakat yang telah dewasa. Namun pasti ada orang yang akan menanggapi, "tapi kan masyarakat kita belum dewasa!" Jika demikian, mulailah dari sekarang! Jika tidak, kapan lagi? Hentikan segala bentuk larangan. Hentikan segala bentuk fatwa!

Jika sekarang saja buku-buku tertentu dilarang tertentu, maka jangan heran jika besok-besok penerbit tertentu dilarang beroperasi, atau bahkan orang-orang tertentu dilarang menulis buku. Atau yang lebih edan, jangan-jangan esok hari di negeri ini dilarang menulis dan menerbitkan buku selain buku yang ditulis dan diterbitkan oleh penguasa. Jika demikian yang terjadi maka negeri ini tidak ada bedanya dengan Korea Utara.


Biarkan masyarakat berpikir secara bebas, mandiri, dan kritis. Dari sekarang biarkan masyarakat menentukan dirinya sendiri. Ciri bangsa yang bebas dan cerdas, salah satunya adalah mampu menentukan nasib dirinya sendiri dan berpikir kritis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.