Sabtu, 26 Desember 2009

Gelar Paus

Koran Tempo edisi Senin, 21 Desember 2009 memuat sebuah artikel yang bertajuk "Dua Paus Jadi Santo" (hlm. B6). Dalam artikel tersebut ditulis "Paus Benediktus XVI dua hari lalu menyetujui segera diberikannya gelar 'Yang Patut Dimuliakan' kepada dua paus pendahulunya: Paus Johanes Paulus II dan Paus Pius XII. Keduanya telah melakukan sejumlah 'kebajikan heroik' semasa hidupnya. Gelar 'Yang Patut Dimuliakan' merupakan tahap pertama dari tiga tahap sebelum seseorang resmi ditabalkan menjadi santo atau 'Orang Suci' menurut keyakinan Katolik Roma. Tahun depan kedua mendiang paus itu diharapkan dapat dibeatifikasi setelah ada pengakuan tentang mukjizat yang mereka lakukan. Beatifikasi merupakan tahap kedua sebelum menjadi santo".


Apakah "kebajikan heroik" yang dimaksud? "Kebajikan heroik" yang dimaksud berlandaskan nilai-nilai kristiani. Nilai-nilai kristiani itu sendiri tentu berasal dari Allah. Artinya, sikap hidup seorang kristiani haruslah bertolak dan bercirikan keilahian. Semua hal baik, bagi sebagian besar orang Kristen berasal dari Allah. Setidaknya ada empat "kebajikan heroik" dalam gereja Katolik Roma. Ciri dan contoh pertama dari seseorang yang memiliki "kebajikan heroik" ilahi bahwa ia memiliki kebijaksanaan. Kebijaksaan itu haruslah mengatasi hasrat akal budi manusia. "Kebajikan heroik" kedua kesederhanaan, di mana kesederhanaan itu mengatasi bahkan menyingkirkan hasrat-hasrat duniawi. "Kebajikan heroik" yang ketiga adalah keadilan yang dicirikan dari keadilan Allah bagi seluruh ciptaan-Nya. "Kebajikan heroik" yang keempat adalah ketabahan. Ketabahan ini memampukan manusia bertahan dalam dunia ini sekaligus menyingkirkan ketakutan manusia ketika ia akan meninggalkan dunia ini dan menghadapi kehidupan setelah kematian. Empat "Kebajikan heroik" ini merupakan kesempurnaan yang terdapat di surga dan hanya segelintir orang yang mampu mencapainya dalam kehidupan di dunia.

Kedua paus yang telah tiada tersebut disematkan gelar "Yang Patut Dimuliakan". Apakah arti frasa "Yang Patut Dimuliakan"? Apakah berarti mereka patut disembah? Gelar "Yang Patut Dimuliakan" tidak berarti bahwa mereka patut disembah melainkan dikagumi dan dipandang sebagai perantara/penengah antara "dunia atas" atau surga dan Allah dengan manusia yang hidup di dunia atau "dunia bawah". Mereka yang memperoleh gelar "Yang Patut Dimuliakan" dianggap sebagai perantara karena status mereka yang "lebih tinggi" dibandingkan manusia yang masih berada di dunia.

Pandangan janggal yang sangat sulit dijelaskan. Namun, agar dapat dijelaskan mari kita andaikan saja figur-figur atau tokoh-tokoh yang diberi gelar "Yang Patut Dimuliakan"
memang ada. Hal janggal yang pertama adalah, apa gunanya mereka sebagai perantara? Apa keuntungan yang dapat mereka peroleh dengan menjadi perantara bagi manusia? Mereka telah memilik status yang "lebih tinggi" dari manusia lainnya. Mereka telah memperoleh "kehormatan" atau "kemuliaan". Apalagi yang mereka kehendaki? Oh, jadi mereka hanya melakukan "perintah Allah"? Jika demikian, sebutan mereka bukan perantara dong...tapi pesuruh/pembantu/budak! Hal janggal yang kedua adalah bagaimana mungkin Allah menjadi lebih mudah "dihubungi" atau "didekati" atau "dihampiri" melalui mereka yang memiliki gelar "Yang Patut Dimuliakan" dibandingkan mereka yang masih hidup di dunia? Apakah karena mereka yang bergelar itu dianggap sebagai "orang dalam" sehingga memiliki akses yang memudahkan dan mempercepat keinginan atau permohonan manusia di dunia yang dilakukan melalui doa-doa? Ajaran Kristen mengatakan bahwa Allah dapat dihampiri/didatangi kapan saja, oleh siapa saja, dan dalam keadaan apa saja. Jika demikian, buat apa memerlukan mereka yang bergelar "Yang Patut Dimuliakan"? Apa fungsinya mereka? Hal janggal yang ketiga adalah, jika Allah tidak sudi mendengarkan doa atau permohonan orang yang tidak layak, lalu mengapa Ia sudi mendengarkan doa atau permohonan yang disampaikan oleh orang yang tidak layak itu melalui perantara ("Yang Patut Dimuliakan")? Seharusnya doa atau permohonan orang yang tidak layak itu tidak didengar, baik oleh Allah maupun perantara/pesuruh/pembantunya. Jika demikian maka, para perantara itu sama sekali tidak ada gunanya.

Setelah tahap dan proses "Yang Patut Dimuliakan" maka seorang figur akan memasuki tahap berikut yang disebut beatifikasi. Syaratnya adalah figur tersebut harus terbukti telah melakukan sekian mukjizat. Jadi, sikap hidup kudus seperti diutarakan di atas belumlah cukup sehingga juga diperlukan syarat mukjizat. "Salah satu petugas untuk proses beatifikasi, Uskup Agung Slawomis Oder, tahun lalu telah menyelesaikan 2.000 halaman laporan yang menunjukkan bahwa Paus Johanes Paulus II...Disebutkan dalam laporan itu, adanya 250 klaim mukjizat yang telah dilakukan mendiang Paus Johanes Paulus II. Salah satu mukjizat yang telah diselidiki pada tahun 2006 adalah penyembuhan Suster Marie-Simon-Pierre asal Prancis dari penyakit Parkinson. Para dokter menyatakan kesembuhan itu 'tak dapat dijelaskan secara ilmiah'. Sang suster mendapat kesembuhan setelah mendoakan mendiang Paus dan dia secara tiba-tiba mampu mengangkat pena dan menulis".

Woooww 250 klaim mukjizat yang telah dilakukan mendiang paus mampu mengalahkan jumlah mukjizat Yesus padahal telah digabungkan dari semua Injil!! Meskipun baru klaim tapi jumlah mukjizat yang dilakukan paus sangatlah fenomenal! Yesus pun kalah banyak dalam melakukan mukjizat! Lebih luar biasanya mukjizat itu bukan dilakukan oleh paus tetapi seorang suster mengalami kesembuhan setelah mendoakan paus. Jadi terbalik, bukannya Paus yang mendoakan lalu seseorang sembuh, tetapi orang yang mendoakan paus-lah yang mengalami kesembuhan. Bertambah luar biasa karena paus yang didoakan telah meninggal! Dalam kisah-kisah Yesus saja tidak ditemukan orang yang mendoakan Yesus mengalami kesembuhan, baik semasa Yesus masih hidup maupun setelah kematian Yesus.

Apakah mukjizat itu? Apakah mukjizat sungguh-sungguh terjadi? Jika ya, apakah ukurannya? Jika tidak, lalu mengapa banyak orang bercerita tentang mukjizat? Mengapa ada begitu banyak laporan terjadinya mukjizat di berbagai tempat di belahan dunia ini? Pertanyaan-pertanyaan ini akan saya coba jawab dalam kesempatan lain karena membutuhkan tempat yang juga cukup panjang. Jika digabungkan dengan tulisan ini akibatnya tulisan ini akan menjadi begitu panjang dan luas.

Kembali ke gelar paus. Mengapa yang memberikan gelar adalah "orang-orang dalam"? Artinya, yang memberikan gelar adalah Vatikan, sebagai pusat pemerintahan gereja Katolik Roma? Mengapa bukan institusi/kelompok/masyarakat lain? Jika yang memberikan gelar berasal dari kelompok yang sama, bukankah sangat bersifat subjektif? Mengapa harus ada pemberian gelar-gelar seperti itu? Apa gunanya, baik buat mereka yang telah tiada maupun mereka yang masih hidup? Toh, yang digelari sudah tidak hidup lagi alias tidak tahu lagi. Manfaat bagi mereka yang masih hidup? Agar meneladani orang yang bergelar tertentu? Jika hendak meneladani, maka tidak perlu ada pemberian gelar kepada orang-orang tertentu, tetapi langsung saja meneladani orang itu. Atau, mengikuti jejak Yesus, yang diberi gelar setelah kematiannya?

Pemberian gelar-gelar tertentu bagi manusia (tentu dilakukan juga oleh manusia) merupakan fenomena wajar dalam masyarakat, baik pra-modern maupun modern. Pengakuan terhadap diri seseorang bahkan diri sendiri sesungguhnya merupakan hal yang cukup wajar. Menjadi tidak wajar karena dilakukan oleh kelompok/organisasi/institusi di mana orang tersebut berada. Yesus pun digelari Kristus tentu oleh orang-orang Yahudi yang memujanya, yang mempercayainya sebagai Tuhan penyelamatnya. Yesus tidak digelari Kristus atau bahkan Tuhan oleh orang-orang Romawi atau Yunani. Pemberian gelar hanya bermanfaat bagi kelompok yang mengidolakan atau memuja atau menyembah orang yang bersangkutan, baik orang tersebut masih hidup maupun telah meninggal. Pemberian gelar terhadap orang-orang tertentu tidak bermanfaat bagi kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya yang terjadi adalah setiap kelompok berlomba-lomba memberikan penghargaan gelar bagi anggotanya untuk menyaingi gelar yang disematkan kepada orang lain dari kelompok-kelompok lainnya. Pemberian gelar merupakan legitimasi bagi anggota kelompok bahwa kelompok mereka adalah kelompok yang benar. Pemberian gelar kepada orang-orang tertentu merupakan pembenaran bahwa mereka yang memperoleh gelar adalah figur-figur yang baik dalam masyarakat khususnya bagi kelompoknya.
Pemberian gelar merupakan penegasan bahwa anggota kelompok pernah/masih memiliki seorang pemimpin besar atau anggota kelompok yang patut diteladani bukan saja oleh kelompoknya tetapi juga oleh seisi dunia. Apakah gelar "paus" itu belum cukup sehingga perlu ditambahkan dengan gelar lainnya?

2 komentar:

  1. Aliena 4 : menunjukkan bahwa penulis adalah orang yang ditunjuk dalam I.Korinthus 13.1-3 tidak mempunyai Cinta kasih. Gong besar.... Tiga ukuran yang dikritisi: 1."keuntungan" apa ? 2.penilaian terhadap solidaritas tidak kelihatan. 3.nilai hubungan / relasi dimiskinkan.
    Aliena 6 : Kalau menurutku kita semua harus bisa lebih banyak lagi membuat mukzizat seperti Yesus menggandakan 5 roti dan dua ikan bisa mengenyangkan sekian ribu orang. Apa bedanya dengan jumlah mukzizat yang bisa kita buat atas namaNya.?
    Kesimpulan penulis memang menunjukkan tidak pahamnya (atau memang tidak setujunya secara theologis, ini memang tidak bisa lagi dijembatani kali?)justru Gereja Roma membuat pengamatan dan arahan beatifikasi dst itu untuk mengkritisi liarnya selera umat.

    BalasHapus
  2. Terima kasih Astoko karena telah meluangkan waktu untuk membaca bahkan menanggapi tulisan saya.

    Maaf, saya sama sekali tidak mengerti kalimat anda yang menanggapi alinea ke-4 dari tulisan saya. Mungkin Astoko hanya mempertegas bukannya bertanya. Jika bertanya, mungkin pertanyaannya bisa diperjelas/dipertajam.

    Mengenai mukjizat, mungkin yang dimaksudkan Astoko adalah manusia harus lebih banyak berbuat kebajikan. Dengan demikian, kisah "mukjizat" Yesus yang menggandakan lima roti dan dua ikan dibaca sebagai metafor.

    Oleh karena itu, kisah-kisah mukjizat Yesus hendaklah tidak baca sebagai laporan sejarah melainkan metafor karena Injil-injil bukanlah buku-buku sejarah melainkan kumpulan refleksi iman para penulisnya.

    BalasHapus

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.