Kamis, 24 Desember 2009

Natal yang Memberdayakan?

Harian Kompas edisi Sabtu, 19 Desember 2009 di halaman 2 memuat tulisan atau refleksi iman Natal dari seorang pecinta film dan meditasi, Marselli Sumarno, yang bertajuk "Natal, Semoga Berdaya". Ia menulis, "Keindahan ajaran Kristiani adalah pandangannya tentang kesatuan, bahwa semua manusia telah disatukan oleh Kristus dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus. Dengan menghayati ajaran tentang kesatuan, kita dapat mengatasi semua bentuk dualisme dalam diri kita, dan mengatasi rasa keterasingan yang memisahkan diri kita dengan orang lain". Kata-kata ini merupakan rangkaian setelah sebelumnya ia menulis bahwa perayaan Natal semakin diwarnai pesta duniawi yang gegap-gempita dalam arus mewah konsumerisme yang melanda dunia.

Sepertinya Marselli Sumarno hendak memberikan penyeimbang antara hidup dan kehidupan manusia yang ragawi-duniawi-materiil dengan yang rohani. Menurutnya Kristus telah mempersatukan manusia dalam kesatuannya dengan Bapa dan Roh Kudus. Bagi saya pernyataannya ini cukup aneh karena dari mana dan bagaimana ia dapat mengatakan bahwa yang mempersatukan manusia dengan Bapa dan Roh Kudus adalah Kristus. Bukankah yang mempersatukan manusia dengan Bapa adalah melalui pemahaman yang ditolong dan ditopang oleh Roh Kudus? Bagaimana Kristus mempersatukan antara manusia dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus tidak dijelaskan oleh Marselli. Ia pun mengatakan bahwa "dengan menghayati ajaran tentang kesatuan, kita dapat mengatasi semua bentuk dualisme dalam diri kita, dan mengatasi keterasingan yang memisahkan kita dengan orang lain". Apakah ajaran kesatuan yang dimaksudkannya? Apakah Yesus yang mengajarkan kesatuan itu? Di Injil bagian mana?

Ia pun berbicara mengenai dualisme? Dualisme yang mana? Saya hanya menduga kuat mungkin yang dimaksudkan Marselli adalah antara duniawi dan rohani. Ah, ini pemahaman gnostik yang mempercayai adanya dua natur, tarik-menarik, sifat dasariah dalam setiap diri manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pandangan gnostik mempercayai bahwa dalam setiap diri manusia terkandung unsur ilahi di dalamnya karena manusia dalam pemahaman gnostik berasal dari yang ilahi. Ketika dahulu kala terjadi "pertempuran" kosmik maka manusia terpental dan masuk ke dalam dunia. Oleh karena manusia dalam pandangan gnostik berasal dari yang ilahi maka tentu tujuan akhirnya adalah kembali kepada yang ilahi, kembali kepada asalnya, yakni dunia "atas". Dengan pemahaman sederhana dan singkat ini maka dapat dikatakan bahwa dualisme yang mungkin dimaksudkan oleh Marselli adalah manusia yang selalu berada dalam ketegangan antara yang rohani dan yang duniawi.

Ketegangan duniawi diwarnai oleh gaya hidup manusia yang cenderung konsumtif, penuh kemewahan, mengejar kenikmatan dan kebahagiaan ragawi. Sedangkan ketegangan rohani diwarnai oleh gaya hidup bersahaja, sederhana yang ditampilkan oleh dan melalui peristiwa kelahiran Yesus di kandang hewan. Gaya hidup duniawi-mewah inilah yang hendak diimbangi/dilawan dengan gaya hidup yang rohani-bersahaja seperti termaktub dengan sangat jelas dalam tulisan Marselli.

Hal yang dilakukan oleh Marselli dengan latar belakangnya sebagai pecinta meditasi merupakan hal yang lumrah. Inilah ciri manusia timur (sebetulnya saya tidak menyukai polarisasi timur-barat) yang selalu bergerak antara dua kutub; kiri-kanan, baik-jahat, rohani-ragawi. Dua kosmik Ying dan Yang. Masalahnya, kita masih berada dalam dunia ini dalam segala hingar-bingarnya. Perayaan Natal yang gegap-gempita merupakan kenyataan dan keniscayaan. Gambaran Yesus yang lahir di kandang hewan seperti yang dilukiskan oleh penulis Injil Lukas (Injil Matius tidak menceritakan jika Yesus lahir di kandang hewan) merupakan upaya perlawanan terhadap situasi konkret-riil yang dialami penulis pada masa itu ketika wilayah Palestina berada di bawah penjajahan Romawi. Nilai sejarah kelahiran Yesus adalah hal lain yang patut dipertanyakan. Bagaimana dengan keadaan konkret-riil manusia Indonesia masa kini, apakah kita berada di bawah penjajahan bangsa lain? Tentu tidak! Namun kita (kebanyakan orang mungkin) menderita akibat dunia yang korup, tidak adil. Apakah keadaan kita sejajar dengan keadaan saat Yesus lahir? Pada masa itu sebagian besar rakyat Palestina miskin akibat ketidakadilan. Bagaimana dengan keadaan kita sekarang, apakah juga demikian? Yang miskin makin miskin atau jalan di tempat sedangkan yang kaya semakin kaya. Bagaimana dengan orang Kristen yang kaya?

Lalu apa kaitan peristiwa Natal, ketika Yesus lahir di kandang hewan, dengan kehidupan masa kini? Marselli mengangkat dan menekankan bahwa hidup harus hebat, kuat, luas, besar, dan bermanfaat tapi sikap dalam hidup itu yang harusnya sederhana. Apa maksudnya dengan sikap hidup yang sederhana? Bagaimana seharusnya menjalani hidup dengan sikap yang sederhana itu? Bagaimana merayakan Natal secara sederhana itu? Dengan tidak pesta-pora? Tidak gegap-gempita? Bagaimana?

Sangat jelas tulisan Marselli berangkat dari kecintaan dirinya pada meditasi. Sejauh yang saya ketahui semua penggiat meditasi cenderung hidup dalam kesederhanaan. Walaupun saya sendiri kurang tahu apakah yang menjadi tolok ukur dari hidup sederhana itu. Para selebriti luar negeri juga melakukan meditasi dalam kegelimangan harta mereka. Jadi, hidup sederhana yang seperti apa? Perayaan Natal sederhana yang seperti bagaimana? Kenapa tidak menjual seluruh harta bendanya saja baru kemudian hidup secara sederhana. Saya jadi teringat pada kisah Yesus saat ditanya oleh seorang pemuda yang ingin masuk surga/kerajaan Allah, yang kemudian dijawab Yesus agar pemuda itu menjual seluruh harta bendanya. Atau juga seperti Gautama Buddha atau Mahatma Gandhi atau Bunda Theresa yang hidup dalam kesahajaan.

Di bagian akhir tulisannya Marselli menulis (berdasarkan SMS dari seorang temannya), "...Manusia berharga di mata Allah. Dia (Allah) menyapa lewat Yesus bayi yang tak berdaya. Selamat Natal, semoga berdaya". Apa kaitan kata-kata ini dengan bagian tulisan sebelumnya yang berbicara tentang hidup dan merayakan Natal dengan sederhana? Kenapa di bagian akhir muncul frasa "semoga berdaya"? Manusia dengan seluruh kapasitasnya memiliki daya, entah baik maupun buruk bagi lingkungannya. Apa hubungan peristiwa Natal dan kelahiran Yesus dengan keberdayaan? Figur bayi Yesus tentu tidak memiliki daya apapun, tapi figur Yesus sebagai manusia dewasa tentu berdaya! Yesus sebagai manusia dewasa berdaya saat mengkritik pemerintahan yang lalim pada masanya. Namun jika yang hendak dikatakan bahwa semoga peristiwa Natal memberdayakan, bagaimana caranya? Natal yang sederhana dapat memberdayakan manusia sehingga turut dalam kesederhanaan? Saya sangat meragukan hal ini dapat terjadi.

Rayakanlah Natal dengan segala kemampuan yang ada, mungkin itu yang hendak dicapai dan ditekankan. Tidak berlebihan karena sudah sepatutnya manusia turut prihatin dengan segala yang ada di sekitarnya. Itulah yang dinamakan dengan belarasa. Allah berbela rasa dengan manusia maka ia pun hadir ke dalam dunia dengan cara yang sederhana-bersahaja sebagai bentuk perlawanan terhadap kehidupan yang mewah namun dipenuhi ketidakadilan. Inilah yang dinamakan teologi belarasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.