Selasa, 22 Desember 2009

Selamat Bersukacita!

Beberapa hari lalu saya melayat ke rumah salah seorang teman dekat karena papanya meninggal akibat serangan jantung. Seperti biasa pada saat itu berdatangan teman-teman lainnya. Setelah berjumpa dengan keluarga yang berduka, saya dan teman-teman berkumpul di belakang rumah duka sambil ngobrol-ngobrol santai. Awalnya kami membicarakan tentang keluarga masing-masing (beberapa teman sudah berkeluarga), pekerjaan dan aktifivitas sehari-hari, serta hal-hal ringan yang terjadi di sekitar (sepakbola dan berita-berita di TV atau koran) sebelum salah seorang teman berkata, "Tadi gua mah ga ngucapin 'turut berduka' tuh...tapi 'selamat bersukacita'! karena orang sebagai orang Kristen kita ga perlu bahkan ga boleh berduka akibat kematian. Seharusnya orang Kristen malah bersukacita karena dengan kematian kita akan berjumpa dengan Allah Bapa dan Yesus!" Seorang teman pun berujar, "Yoi...kan setelah meninggal kita malah akan berjumpa wajah dengan wajah dengan Yesus di surga!" Satu teman juga menimpali, "Betul banget tuh...keluarga seharusnya ga berduka karena yang meninggal malah udah seneng karena udah ketemu Yesus di surga, ga kaya kita yang masih di dunia ini!" Singkat kata, semua teman sangat setuju - mengamini - bahwa kematian, dalam kamus iman Kristen, bukanlah suatu peristiwa yang harus disedihkan melainkan suatu peristiwa yang menggembirakan - membawa sukacita, kebahagiaan. Saya lumayan kaget mendengar pandangan teman-teman tadi (seharusnya ga perlu kaget lagi karena orang-orang yang beragama secara kaku biasa mengucapkan hal-hal seperti itu!).

Di bawah ini saya kemukakan pandangan-pandangan saya menanggapi semua perkataan teman-teman tadi:

1. Dari mana orang Kristen tau kalo orang yang meninggal PASTI akan ketemu Allah Bapa dan Yesus?
Segera dapat diduga bahwa kebanyakan orang Kristen akan cepat menjawab bahwa 'Alkitab telah mengatakannya'. Alkitab menjadi buku 'ilmu pengetahuan' bagi orang-orang Kristen yang beragama secara kaku - tertutup. Masalahnya, Alkitab bukanlah buku ilmu pengetahuan melainkan berisi refleksi iman para penulisnya yang ketika menulis berada dalam situasi sosial, budaya, dan sejarah tertentu, yang berbeda dari situasi sosial, budaya, dan sejarah manusia yang hidup di abad ke-21.

Dimana disebutkan/dikatakan/dikisahkan bahwa orang yang meninggal PASTI akan berjumpa dengan Allah Bapa/Yesus? Banyak orang Kristen mendasarkan jawabannya pada ucapan Yesus di kayu salib ketika Yesus berkata kepada salah seorang penjahat yang disalibkan di sebelahnya (hanya terdapat di Luk. 23:42-43). Yang disebutkan dalam bagian Injil Lukas tersebut bahwa "...engkau akan ada bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus." Apakah Firdaus adalah nama lain dari surga? Tidak ada catatan dalam Alkitab yang mengindikasikan ke arah itu.

Belum lagi ditambah dengan serentetan ayat yang biasa digunakan oleh orang-orang Kristen untuk menunjukkan bahwa orang yang meninggal PASTI akan berjumpa Allah Bapa dan Yesus. Semua ayat itu dipakai dengan seenaknya, sebebas mungkin, dengan tidak menghiraukan konteks cerita dan konteks sejarah ayat tersebut. Yang terjadi malah 'pemerkosaan' terhadap ayat-ayat Alkitab demi mendukung pandangan golongan beriman tertentu.

Yang bisa menjadi pertanyaan berikut dalam kaitannya dengan poin pertama ini adalah: Apa yang menjadi ukuran/standar/tolok ukur yang bisa memastikan bahwa seorang yang telah meninggal akan berjumpa Allah Bapa dan Yesus? Iman? Iman yang seperti apa? Apa ukuran iman itu? Apakah ketaatan pada Alkitab? Atau, ketaatan pada doktrin-doktrin agama Kristen? Doktrin yang mana sajakah itu? Dan, ada begitu banyak pertanyaan yang membuntutinya.

2. Jika dikatakan akan bertemu Allah Bapa dan Yesus, ini 'menjadi batu sandungan' atau achilles heel bagi orang-orang Kristen karena, tepatlah seperti yang selama ini dituduhkan oleh orang-orang Muslim bahwa 'Tuhannya orang Kristen ada 3: Allah Bapa, Yesus, dan Roh Kudus'. Dengan demikian, orang Kristen menganut politeisme!

Orang yang meninggal akan bertemu Allah Bapa dan Yesus? Berarti orang yang meninggal akan bertemu dua figur yang berbeda? 1. Allah Bapa dan 2. Yesus. Jika demikian, berati tepatlah perkataan orang-orang Muslim bahwa orang Kristen menyembah tiga Tuhan. Eh, Tuhan yang satu lagi dimana? Roh Kudus mana? Ah, Roh Kudus tertinggal di dunia yah....

Ada juga orang Kristen yang menjawab, "Allah Bapa dan Yesus adalah satu", persis seperti yang terdapat dalam Injil-injil kanonik (lupa di bagian mana). Ada juga yang menjawab seperti yang terdapat dalam Yoh. 1:1-4. Wow, khusus mengenai Injil Yohanes kita tidak bisa melepaskan Injil tersebut dari genrenya. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa penulis Injil Yohanes sangat dipengaruhi/terpengaruh oleh kisah-kisah figur ilahi yang berasal dan turun dari langit/surga (?) kemudian masuk ke dalam dunia untuk 'menyelamatkan' manusia melalui 'pengetahuan' yang dibawanya. Paham/ajaran ini disebut gnostisisme (dari kata Yunani gnosis = pengetahuan).

Poin kedua ini pun menjadi subjek yang sangat sulit dijelaskan oleh orang-orang Kristen yang menganut agamanya secara kaku atau orang-orang Kristen yang memang tidak mengerti apa yang dianutnya.

3. Bagaimana orang Kristen bisa yakin bahwa yang meninggal PASTI akan masuk surga? Apakah surga itu? Dimanakah surga berada?

Apakah surga sama dengan Firdaus, seperti poin no. 1? Seperti apakah surga itu? Tempat yang indah, seperti dikisahkan dalam agama-agama? Dalam tradisi Kristen digambarkan sebagai tempat yang berlimpah susu dan madu (kalo ga salah terdapat di kitab Wahyu deh...). Tempat di mana ga ada lagi kesengsaraan, kesedihan, kesialan, nestapa, dll, pokoknya tempat yang selalu dipenuhi kegirangan. Lalu, dimanakah surga itu? Di langit? Di atas langit? Di awan? Di atas bumi? Di atas lapisan-lapisan langit? Di lapisan ke berapa? 7? 11? 15? ...?? Di atas langit ya...langit. Ada awan, planet-planet, bintang-bintang. Apakah di luar jagat raya? Saya ga tau! Atau, surga berada di bawah telapak kaki ibu? Tentu ini adalah metafor lahyaaah....

Apakah memang surga merupakan sebuah/suatu tempat tertentu yang terdiri dari ruang dan waktu tertentu? Seperti kamar tidur? ruang tamu? Sepertinya tidak. Surga bukanlah sebuah/suatu tempat tertentu yang terdiri dari ruang dan waktu tertentu. Jika demikian, apakah dan dimanakah surga itu?

Kata "surga" dilahirkan/dimunculkan oleh orang-orang kuno yang hidup ribuan tahun yang telah lampau ketika pengetahuan mereka tentang alam semesta masih sangat terbatas (tentu kecuali Phytagoras, Galileo Galilei, Kopernikus yang sudah memiliki pengetahuan alam yang mumpuni pada masanya). Orang-orang itu berpandangan bahwa dunia ini datar dan dunia yang datar ini ditopang oleh tiang-tiang raksasa yang tidak dapat dilihat mata sehingga dunia yang datar ini tentu memiliki 'ruang' baik di berada di bawah maupun di atasnya. 'Ruang' yang berada di bawah disebut neraka dan 'ruang' yang berada di atas disebut surga. Tentu, tanpa harus didukung oleh ilmu pengetahuan alam yang rumit dan canggih orang segera dapat langsung mengatakan, "Ah, yang ada di atas kita kan awan, langit, planet-planet, dan tata surya."

Dengan demikian, istilah surga dan neraka adalah produk manusia zaman baheula yang masih berpikir bahwa bumi ini datar. Ketika ditemukan bahwa bumi ini bulat maka pada saat itu juga pandangan mengenai surga dan neraka pun seharusnya menguap.

4. Ada kecenderungan dan kekhwatiran, setidaknya bagi saya, bahwa pemahaman akan kematian dan segala hal yang berkaitan dengannya (seperti surga dan neraka) membawa/mendorong orang-orang beragama membenci atau setidaknya berusaha 'menjauhi' kehidupan di dunia ini dengan ingin buru-buru mati agar bisa masuk surga dan bertemu Allah Bapa dan Yesus.

Kematian tentu merupakan hal yang wajar dan norma karena semua makhluk hidup pasti akan mengalami kematian (kematian biologis = otak berhenti beraktivitas, jantung berhenti memompa dan mengalirkan darah, dan nafas pun terhenti). Tidak ada satu makhluk hidup pun yang dapat menghindari kematian. Suatu saat dan apa pun caranya setiap makhluk hidup akan mengalami kematian. Kapan itu waktunya? Tidak ada yang tahu. Pandang dan hadapi kematian sebagai peristiwa yang normal - wajar. Tidak perlu dicari-cari apalagi sampai 'dipuja-puji' sebagai proses untuk bertemu yang ilahi. Bagaimana dengan kehidupan di dunia ini? Apakah sudah tidak bermakna lagi? Tidak penting lagi? Tidak indah lagi untuk dijalani? Hal itu memang bergantung pada masing-masing orang memandang dan memaknai hidup dan kehidupannya.

Biarlah kematian datang dan terjadi secara wajar. Artinya, ga perlu diharap-harapkan (toh setiap makhluk hidup PASTI akan alami kematian), dicita-citakan, apalagi sampai dicintai. Namun, tidak berarti juga bahwa kematian adalah sesuatu yang menyeramkan, menakutkan, sehingga harus dihindari bagaimana pun caranya. Janganlah lonceng kematian terlalu dan hanya bergoyang di sisi kiri ataupun kanan melainkan berada di tengah-tengah, tidak berat sebelah. Dengan begitu, yang dicari manusia sejagat bukanlah kematian dan menghindari dunia dan kehidupan di dalamnya melainkan menjalani dan menikmati hidup dalam dunia ini tanpa memikirkan terus-menerus bahwa kematian akan mendatanginya.

5. Ada kecenderungan yang juga cukup kuat bahwa kematian bukanlah suatu peristiwa yang menyedihkan malah seharusnya menjadi peristiwa yang menggembirakan.

Keluarga yang ditinggalkan seharusnya gembira? Mungkin ya, jika yang meninggal adalah orang yang selama hidupnya menyusahkan dan memalukan keluarganya. Namun, bagaimana jika yang meninggal adalah orang yang baik, misalnya: seorang ayah yang selama ini menjadi satu-satunya tumpuan ekonomi bagi keluarganya? Bagaimana jika yang meninggal adalah seorang nenek yang selalu menjadi tempat curhat dan 'perlindungan' bagi cucu-cucunya? Bagaimana jika yang meninggal adalah anak tunggal dalam keluarga? Bagaimana jika yang meninggal merupakan satu-satunya anak perempuan dalam keluarga yang memiliki lima anak laki-laki? Apakah keluarga-keluarga tersebut seharusnya tidak bersedih, berduka? Apakah mereka seharusnya tetap gembira, bersukacita karena anggota keluarga mereka yang meninggal akan berjumpa Allah Bapa dan Yesus di surga?

'Doktrin'/keharusan/dorongan untuk tetap bergembira ketika ada anggota keluarga yang meninggal adalah 'ajaran' yang tidak manusiawi, jika tidak ingin dikatakan sesat. Mengapa demikian? Karena peristiwa kematian sudah sewajarnya diikuti oleh emosi kesedihan. Tentu maksudnya, kesedihan yang wajar, tidak berlebihan, misalnya, bersedih sampai berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu. Emosi kesedihan yang muncul akibat kematian seseorang merupakan hal yang sangat wajar karena antara orang yang mengalami kesedihan dan yang meninggal memiliki ikatan psikologis ingatan-memori, misalnya, akan hal-hal yang pernah dilalui bersama (tentu maksudnya, yang mengalami kesedihan adalah orang yang masih hidup, bukannya yang sudah meninggal).

Setelah semuanya, apakah tetap akan mengatakan 'Selamat bersukacita' kepada keluarga yang mengalami kedukaan? Saya jadi membayangkan bagaimana jika ketika dalam kata-kata sambutan ada seseorang yang mengatakan "saya tidak akan mengucapkan 'turut berdukacita' tetapi 'selamat bersukacita' kepada keluarga yang ditinggalkan oleh seseorang yang paling dikasihinya...." Reaksi saya paling-paling menarik nafas panjang seraya mengerenyitkan dahi dan berkata sangat pelan, "Gebleeeeek geblek!"


2 komentar:

  1. Mungkin maksud sebenarnya dr kata2 'selamat bersukacita' adl utk menghibur ya tp maknanya malah jadi rancu krn pemakaian yg berlebihan dan maknanya mengalami degradasi seiring wkt..

    BalasHapus
  2. Hannah, terimakasih atas kunjungan, khususnya tanggapanmu.

    Gua tanggapi yah...

    Selamat bersukacita adalah kata2 untuk menghibur?! Di mana "letak" kata2 penghiburannya?

    Jika dibaca dengan teliti kata-kata temen gua yang mengatakan "selamat bersukacita" itu, maksudnya bukan sebagai kata2 penghiburan melainkan merupakan pernyataan iman dengan keyakinan penuh bahwa seseorang yang sudah meninggal tidak perlu ditangisi apalagi diratapi, tetapi malah "disyukuri". Artinya, seharusnya bukanlah kata-kata penghiburanlah yang diucapkan oleh mereka yang melayat melainkan kata-kata sukacita.

    "Selamat bersukacita" sudah sering diucapkan orang dalam konteks kedukaan? Masak sih, ah? Gua baru denger tuh kalo kata2 itu diucapkan dalam konteks kedukaan...

    Sekali lagi, terima kasih yah Hannah atas kunjungan dan tanggapannya. Ditunggu loh tanggapan2 lainnya...

    BalasHapus

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.