Selasa, 29 Desember 2009

Agama & Perubahan Iklim

Konferensi Perubahan Iklim yang diadakan di Kopenhagen, Denmark telah berakhir dengan hasil yang oleh sebagian besar negara dan anggota konferensi dianggap membawa secercah harapan. Dalam konferensi itu hadir juga tokoh spiritual Tibet, Dalai Lama yang bergabung dengan tokoh agama-agama lainnya.

Dalam tulisannya berjudul "Agama dan Perubahan Iklim", yang dimuat di Kompas, Sabtu, 26 Desember 2009 (hlm 13), Fachruddin Mangunjaya, seorang Fellow The Climate Project Indonesia dan Staf Conservation International Indonesia untuk Conservation Religion Initiative mengatakan, "ternyata sains dan perundang-undangan tidak cukup untuk mencegah berlanjutnya kerusakan. Sains memang diperlukan sebagai sebuah landasan dan justifikasi ilmiah tentang interaksi sebab dan akibat, undang-undang mengatur segala kegiatan yang paralel dengan aturan main yang terkadang juga tidak dilandasi dasar sains yang absah. Adapun agama adalah soal keyakinan yang sangat membantu seseorang menemukan jati diri, berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakrakalan, ibadah, kejujuran, dan pengabdian atas dasar spiritualitas yang dianutnya".

Pernyataan Fachruddin di atas janggal dan tidak jelas. Apa yang dimaksudkannya dengan "undang-undang mengatur segala kegiatan yang paralel dengan aturan main yang terkadang juga tidak dilandasi dasar sains yang absah"? Apakah yang tidak absah di sini? undang-undang yang mengatur segala kegiatan atau segala kegiatan yang paralel dengan aturan main atau dasar sainsnya atau semuanya? Jika yang dimaksud Fachruiddin adalah undang-undang yang tidak absah, maka yang menjadi pertanyaan yang perlu dijawabnya adalah apakah pernah ada dimunculkan undang-undang yang tidak absah itu? Jika pernah, undang-undang apakah yang itu? Namun jika sains-lah yang tidak absah, maka pertanyaan yang sama juga harus dijawabnya, sains apa dan yang mana yang tidak absah? Sayang Fachruddin tidak memberikan contoh mengenai "undang-undang mengatur segala kegiatan yang paralel dengan aturan main yang terkadang juga tidak dilandasi dasar sains yang absah" tersebut.

Fachruddin juga mengatakan "agama adalah soal keyakinan yang sangat membantu seseorang menemukan jati diri, berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakralan, ibadah, kejujuran, dan pengabdian atas spiritualitas yang dianutnya". Dalam dan melalui agama seseorang dibantu menemukan jati dirinya. Jelas, ini adalah pandangan mistik/kejawen/gnostik, di mana seorang mistik menganggap dirinya adalah bagian dari yang ilahi. Dalam dirinya mengandung percikan-percikan ilahi. Keberadaannya di dunia membuatnya jauh dari sang ilahi. Oleh karena itu, ia perlu mengenali dirinya sendiri sehingga dapat mengetahui mengapa ia sampai berada di dunia ini, apa yang menjadi tujuan hidupnya, dan bagaimana caranya ia dapat "kembali" kepada sang ilahi. Ketika seorang mistik mampu menemukan jati dirinya maka pada saat itulah ia dianggap sudah bersatu kembali dengan yang ilahi. Lalu, jika seseorang beragama (mistik) itu telah menemukan jati dirinya dan bersatu kembali dengan sang ilahi, bagaimana orang itu menghubungkan dirinya dengan perubahan iklim yang melanda dunia saat ini? Apa kaitan antara penemuan jati diri seseorang dengan perubahan iklim? Apakah artinya jika seorang beragama (mistik) telah menemukan jati dirinya maka ia dengan serta-merta menjadi agen pembaru atau penggerak bagi perubahan iklim dunia?

"Agama sangat membantu seseorang berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakralan, ibadah, kejujuran, dan pengabdian atas spiritualitas yang dianutnya". Agama menolong orang beragama untuk berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakralan, dst? Saya cenderung yakin bahwa para anggota Green Peace didominasi oleh ateis atau setidaknya agnostik. Mereka berjuang tidak berlandaskan agama. Namun perjuangan mereka begitu gigih bahkan cenderung ekstrim. Apa yang telah dilakukan oleh negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara agama terhadap kelangsungan alam semesta dan perubahan iklim? Mengadakan konferensi seperti yang diadakan di Kopenhagen, setelah menyadari bahwa telah dan tengah terjadi perubahan iklim di dunia ini? Lalu, tindakan konkret apa yang telah dan sedang dilakukan oleh negara-negara beragama tersebut? Nyaris-nyaris tidak ada atau terlihat, setidaknya gerakan yang dilakukan sangatlah minim sehingga dampaknya pun sangatlah kecil.

Apa yang Fachruddin maksud dengan spiritualitas? Apakah bentuk spiritualitas itu? Ruh? Semangat? Hasrat? Dorongan? Sama sekali tidak jelas. Fachruddin juga tidak memberikan contoh. Jika ditanyakan kepada para anggota Green Peace, apakah spiritualitas yang mereka miliki? Menyelamatkan bumi. Dengan demikian, spiritualitas yang dimaksud oleh para anggota Green Peace adalah dorongan, hasrat, semangat untuk membuat bumi menjadi lebih baik. Sementara itu, apa yang dapat dilakukan manusia beragama dengan spiritualitas yang telah disebut oleh Fachruddin bagi bumi dan perubahan iklim yang telah dan tengah terjadi? Apa relevansi spiritualitas dan perubahan iklim? Para anggota Green Peace tidak beragama (dalam pengertian tidak rutin ke gereja/masjid), jadi mungkin tidak memiliki spiritualitas yang dimaksudkan oleh Fachruddin. Namun sekali lagi, sayang Fachruddin sama sekali tidak menjelaskan kata "spiritualitas" yang dimaksudkannya dan bagaimana hubungannya dengan perubahan iklim.

Fachruddin melanjutkan tulisannya dengan mengatakan "manusia memerlukan etika yang landasannya merujuk kepada agama. Kita juga melihat, agamalah yang mewariskan kepada manusia berbagai bentuk budaya dan tradisi yang dipelihara dengan baik sehingga manusia mampu hidup selaras dan berdampingan. Manusia di Bumi harus berterima kasih karena etika agama telah mengembangkan nilai-nilai positif mempertahankan eksistensi manusia di Bumi dengan adanya larang untuk saling membunuh antarsesama manusia (homicide), membunuh diri sendiri (suicide), atau pembunuhan suku atau bangsa lain (genocide). Apakah yang menjadi ukuran sehingga agama bisa menjadi landasan beretika? Apakah teks-teks kitab suci secara keseluruhan membicarakan atau mengajarkan hanya hal-hal kebaikan? Bukankah dalam kitab suci juga terkandung teks-teks yang mengandung kekerasan? Sebagai contoh dapat dilihat kitab suci orang Kristen di bagian Perjanjian Lama. Ada begitu banyak teks yang menggambarkan betapa kejamnya figur Allah dalam Perjanjian Lama, selain pencemburu, pemarah, dan egosentris. Allah seperti apa yang tega melenyapkan seisi dunia kecuali beberapa orang dan binatang? (kisah Nabi Nuh. Bahkan Allah membinasakan tumbuh-tumbuhan karena yang selamat hanya keluarga Nuh dan beberapa binatang). Allah seperti apa yang tega menurunkan 10 bencana bagi bangsa Mesir? (kisah keluarnya bangsa Israel dari bangsa Mesir). Belum lagi ditambah dalam perjalanan di padang gurun yang konon menghabiskan waktu 40 tahun Allah bersama bangsa Israel membasmi bangsa-bangsa yang dilalui dalam perjalanan itu. Bagaimana seorang beragama menanggapi teks-teks kekerasan seperti itu? Apakah itu yang dimaksud dengan etika yang berlandaskan agama?

"Agamalah yang mewariskan kepada manusia berbagai bentuk budaya dan tradisi yang dipelihara dengan baik sehingga manusia mampu hidup selaras dan berdampingan". Bukankah ini pernyataan yang terbalik? Bukankah yang terjadi malah sebaliknya, di mana manusialah yang membentuk berbagai budaya dan tradisi. Dan, agama merupakan salah satu hasil budaya yang diciptakan oleh manusia. Agama adalah salah satu hasil dan bentuk budaya tertua yang diciptakan manusia. Manusia kuno membentuk agama karena melaluinya manusia kuno mempercayai bahwa ada kekuatan supranatural yang melampui dirinya yang patut disembah (diberi sesajen). Oleh karena itulah muncul agama. Ini adalah teori sosial yang sadar dasar. Manusia menciptakan budaya (agama), namun pada akhirnya budaya (agama) itulah yang mengatur hidup manusia. Sepertinya inilah yang diangkat oleh Fachruddin sehingga menurutnya agama telah mewariskan kepada manusia berbagai bentuk budaya dan tradiri yang dipelihara dengan baik sehingga manusia mampu hidup selaras dan berdampingan. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah Fachruddin menutup mata dan telinga terhadap berbagai pembunuhan massal yang pernah terjadi dalam sejarah manusia sehingga ia mengatakan "manusia mampu hidup selaras dan berdampingan"?

Apakah manusia lupa dengan kenyataan yang bahkan masih terjadi sampai kini? Saling membunuh antarsesama masih terjadi di Afrika. Perang dan pembunuhan antar suku? Tentu kita tidak lupa ketika baru-baru ini terjadi pembunuhan terhadap sekian banyak orang di Filipina akibat pertarungan politik yang keji. Apakah dengan demikian pernyataan bahwa etika agama telah mengembangkan nilai-nilai positif masih sahih, tetap bisa dipertahankan? Terlebih, pertumpahan darah itu terjadi di Filipina, sebuah negara yang didominasi orang-orang beragama Katolik. Bagaimana dengan "tradisi" bunuh diri yang dilakukan di Jepang dan Korea Selatan yang dialami oleh para petinggi elit mereka akibat korupsi? Bagaimana juga pembantaian terkenal di abad lalu, bahkan sepanjang abad, ketika Hitler dan Nazi-nya membantai jutaan orang Yahudi? Bagaimana dengan George W. Bush, Jr. dengan segala "spiritualitas" kekristenannya telah menginvasi Afganistan konon demi membasmi Osama bin Laden dan terorismenya? Bukankah ini dilakukannya dengan berdasar pada "etika" agama (Kristen)? Apakah ini yang Fachruddin maksud dengan "etika agama telah mengembangkan nilai-nilai positif mempertahankan eksistensi manusia di Bumi dengan adanya larangan untuk saling membunuh antarsesama manusia, membunuh diri sendiri, atau pembunuhan suku atau bangsa lain?" Tentu tidak, bukan?!

Tulisan Fachruddin tersebut diperkuat dengan mengajukan lima landasan yang menurutnya agama mempunyai kekuatan karena memiliki modal kuat yang penting untuk terlibat di dalam gerakan penyelamatan lingkungan.
Pertama, tulisnya, "agama mempunyai referensi, yaitu modal berupa rujukan akan keyakinan yang diperoleh dari kitab-kitab suci yang mereka miliki. Kitab suci dan ajaran agama memiliki wisdom kehidupan yang berpotensi untuk diangkat sebagai bekal dalam penyadaran lingkungan." Oleh karena Fachruddin tidak menyebut secara spesifik agama apa dan kitab suci yang mana, maka tentu yang dimaksudkannya adalah semua agama yang ada di dunia. Apakah Fachruddin telah memeriksa dan membaca semua kitab suci yang dimiliki agama-agama? Dapat diduga kuat tidak. Apakah Al-Quran, Tripitaka, Bhagavad Gita, Alkitab, dll memuat rujukan-rujukan yang dimaksudkan oleh Fachruddin. Dalam Alkitab tidak ditemukan rujukan-rujukan "wisdom kehidupan yang berpotensi untuk diangkat sebagai bekal dalam penyadaran lingkungan", seperti tutur Fachruddin. Yang paling dekat adalah kata-kata "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu" (Kejadian 1:29). Malah dapat ditemukan perintah untuk "[b]eranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi". (Kejadian 1:28) Apakah ini yang dimaksud dengan "wisdom kehidupan yang berpotensi untuk diangkat sebagai bekal dalam penyadaran lingkungan"? Kedua teks tersebut sama sekali tidak berbicara mengenai penyadaran lingkungan, apalagi perubahan iklim. Kedua teks tersebut, terlebih teks kedua malah mendorong manusia untuk menaklukkan dan berkuasa yang mengakibatkan kehancuran. Dari dua teks Alkitab (Kristen) tersebut (dan memang hanya ada dua) tidak ditemukan wisdom yang dimaksud oleh Fachruddin.

Kedua, "agama terbukti mempunyai modal untuk saling menghormati atau mampu memberikan penghargaan terhadap segala jenis kehidupan". Di atas telah diberikan beberapa contoh bagaimana agama malah menjadi sumber kehancuran. Agama menjadi sumber pertikaian, perkelahian, dan perebutan kekuasaan. Oleh karena "spiritualitas" agamanyalah yang membuat para pejuang Salib gigih merebut Yerusalem. Oleh karena "spiritualitas" agama (Kristen)-nya George W. Bush, Jr. menginvasi Irak. Oleh karena "spiritualitas" agama Kristen "kulit putih"-nyalah yang membuat Klu Klux Klan masih tetap ada. Oleh karena agama Islam dan Hindu akibatnya Pakistan tetap "panas" hingga sekarang. Oleh karena agamalah para pejuang Islam di Timur Tengah tetap berjuang gigih melawan invasi "Barat". Dengan demikian, agama sama sekali tidak terbukti mempunyai modal untuk saling menghormati atau memberikan penghargaan terhadap segala jenis kehidupan.

Ketiga, "agama - selaras dengan gaya hidup yang ramah lingkungan - menganjurkan manusia untuk berperilaku hemat dan tidak boros serta mampu mengontrol pemanfaatan sesuatu agar tidak mubazir". Pernyataan ini sama sekali tidak didukung oleh hasil penelitian statistik atau setidaknya teks-teks kitab suci karena Fachruddin berbicara mengenai agama. Atau, didukung juga oleh tradisi-tradisi terntentu dari agama-agama yang ada. Kalaupun manusia berperilaku hemat dan tidak boros, tidak perlu dikaitkan atau bahkan karena didukung oleh agama. Gaya hidup yang boros, konsumtif, dan mewah di satu sisi tentu memperoleh penyeimbang dari gaya hidup yang melawannya, yakni gaya hidup hemat, tidak boros, dan sederhana. Ketika ada sisi kehidupan yang bersifat dan berbentuk A maka akan muncul "tandingannya" yang bersifat dan berbentuk B dan seterusnya. Ini merupakan gejala sosial yang wajar dan tidak ada kaitannya dengan agama.

Keempat, Fachruddin menulis "agama menganjurkan kita untuk selalu berbagi kemampuan untuk membagikan kebahagiaan, baik dalam bentuk harta, amal, maupun aksi sosial lainnya". Yang ditulis Fachruddin ini merupakan perkembangan psikologis dan sosiologis manusia yang sangat wajar. Manusia semakin lama berkembang ke arah kebersamaan. Artinya, manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bersama dengan makhluk hidup lainnya bahkan alam semesta. Manusia berbuat baik dan "membagikan" kebahagiaan karena dengan melakukannya manusia mengalami kebahagiaan. Manusia cenderung untuk selalu hidup dalam kedamaian, keharmonisan, dan kebahagiaan. Teror, perang, penderitaan, kesakitan, dan ketidakadilan membuat manusia tidak merasa nyaman. Itu bukan karena agama atau kitab suci mengatakannya, tetapi sudah menjadi bawaan manusia ketika melihat perang, dll ia merasa tidak nyaman, takut, dsb. Dorongan hasrat manusia untuk berbuat baik, entah dalam bentuk apapun merupakan sifat dasariah manusia sejak awal yang terus mengalami perkembangan. Kita dapat melihat bagaimana seorang anak yang masih sangat kecil akan dengan mudah berbagi makanan atau mainan dengan teman yang seumurannya, bahkan dengan orang yang lebih tua. Dengan demikian, pernyataan Fachruddin tidaklah kuat, setidaknya itu merupakan perkembangan psikologis yang secara wajar dialami oleh manusia.

Kelima, "agama, menurut Fachruddin, menganjurkan kita untuk bertanggung jawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam". Seperti telah diutarakan di atas, setidaknya dari sisi agama Kristen, tidak ditemukan anjuran yang berdasar pada teks (-teks) Alkitab bahwa manusia (Kristen) harus bertanggung jawab merawat kondisi lingkungan dan alam. Yang malah dianjurkan, bahkan diperintahkan agar manusia memenuhi bumi, menaklukkan, dan menguasai binatang!

Tulisan Fachruddin Mangunjaya yang mengaitkan agama dan perubahan iklim, bahkan menjadikan agama sebagai salah satu dasar pendorong untuk perubahan iklim demi kelangsungan bumi ini sama sekali tidak berdasar. Selain tidak didukung oleh data statistik dan penjelasan yang rinci, pandangan-pandangannya sangatlah umum. Artinya, apa yang ditulisnya sebetulnya tidak perlu didasarkan pada atau didukung atau dilegitimasi oleh agama dan kitab sucinya (Fachruddin malah sama sekali tidak mengutip teks kitab suci agama untuk mendukung pendapat-pendapatnya). Apa yang dilakukan manusia dewasa ini telah menjadi innate (bawaan) atau sifat dasar manusia. Apa yang dilakukan manusia dewasa ini dalam kaitannya dengan upaya meredam bahkan menekan perusakan lingkungan hidup merupakan hakikat dasar manusia yang cenderung untuk selalu berupaya hidup lebih baik, entah dengan sesama manusia, makhluk hidup lainnya maupun dengan alam lingkungannya. Fachruddin yang mendasarkan tulisannya pada etika agama sama sekali tidak kuat bahkan keliru, jika tidak mau dikatakan menyeskatkan, karena kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Agama seringkali malah menjadi sumber kehancuran, peperangan, dan malapetaka.

Perubahan iklim harus disikapi secara cermat dan kritis, bukan dengan dan melalui agama dan kitab sucinya, karena telah terbukti agama-agama tidak berdaya dalam menghadapi krisis yang dihadapi manusia. Jika agama-agama tidak berdaya menghadapi krisis kemanusiaan, bagaimana mungkin agama-agama mampu menjadi pendorong demi perbaikan iklim bumi ini? Krisis lingkungan hidup yang salah satunya berwujud pada perubahan iklim haruslah dicari jalan keluarnya melalui ilmu pengetahuan manusia yang terus mengalami perkembangan. Memang ilmu pengetahuan manusia belum dan tidak sempurna. Keadaan ini janganlah dijadikan alasan manusia untuk menyerah, namun sebaliknya perjuangan melalui berbagai penelitian harus terus dilakukan dan dikembangkan. Oleh karena itulah, ilmu pengetahuan manusia harus terus dimajukan, dikedepankan, bahkan ditingkatkan sehingga mampu menjawab dan mencari solusi bagi krisis lingkungan hidup yang telah dan tengah dialami manusia. Hal lain yang patut ditekankan dan diingat adalah bahwa perubahan iklim yang telah dan tengah terjadi di bumi bahkan jagat raya kita ini bukan semata-mata akibat kecerobohan dan keangkuhan manusia, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari keniscayaan bahwa jagat raya kita pun mengalami perkembangan dan perubahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.