Minggu, 27 Desember 2009

Konon Namanya Natal

Seorang antropolog dan teolog Kristen, Marko Mahin, menyumbangkan buah pikirannya tentang Natal berjudul "Natal adalah Cerita Nakal" yang dimuat dalam Kompas, Rabu, 23 Desember 2009 halaman 2.

Di awal tulisannya Marko menulis "[p]engutusan seorang bayi mungil yang ringkih untuk menyelamatkan dunia merupakan cerita utama Natal...Ia bertutur dan mengalirkan semangat bahwa dunia ini tidak boleh tumpas musnah oleh kekumuhan dosa. Tetap, kenapa seorang bayi lemah tanpa daya? Kenapa bukan seorang panglima perang kuat dan gagah perkasa? Kenapa bukan seorang politisi yang pandai bicara? Kenapa bukan akademisi atau cendekiawan yang bijaksana? Paling tidak, seorang aktivis yang penuh dengan daya dan dinamika? Natal adalah cerita nakal".

Bagaimana seorang bayi mungil ditambah ringkih mampu menyelamatkan dunia? Apakah kisah bayi Yesus seperti Dalai Lama yang sudah "ditakdirkan" sejak bayi bahkan sebelum lahirnya merupakan pemimpin umatnya? Tentu tidak. Kenapa seorang seorang bayi lemah tanpa daya? Kenapa bukan panglima perang kuat dan gagah perkasa? Karena sosok panglima adalah seorang yang keras bahkan mungkin kasar dan tentu tidak cengeng. Sementara ajaran Kristen mengedepankan kasih yang lemah lembut. Kenapa bukan seorang politisi yang pandai bicara? Karena sosok politisi identik curang, culas, dan tentu pertama-tama lebih mengutamakan kelompok/partainya. Kenapa bukan sosok-sosok seperti itu? Sementara ajaran Kristen mengedepankan kata-kata bijak dan keselamatan bukan hanya bagi orang-orang Kristen melainkan bagi seluruh dunia. Kenapa bukan akademisi atau cendekiawan yang bijaksana? Karena kebijaksanaan yang dimiliki seorang akademisi atau cendekiawan adalah kebijksanaan duniawi, yang berasal dari dunia. Sedangkan kebijaksanaan yang dimiliki Yesus adalah kebijak sanaan yang berasal dari Allah Bapa, berasal dari surga. Kenapa bukan seorang aktivis yang penuh dengan daya dan dinamika? Karena seorang aktivis membela kepentingan dunia. Sedangkan Yesus membela kepentingan Allah demi kehidupan di surga. Semuanya itu adalah pandangan yang dianut kuat oleh sebagian besar orang Kristen. Meskipun demikian, khusus mengenai kata "aktivis", bagi saya, Yesus saya anggap sebagai seorang aktivis dalam pengertian bahwa ia semasa hidupnya banyak kali memprotes kenyataan hidup di sekitarnya. Ia banyak kali memprotes sikap atau gaya orang-orang beragama di sekitarnya. Ia bahkan melakukan protes "besar" saat ia mengobrak-abrik Bait Allah (semuanya berdasar pada kisah-kisah dalam Injil-injil).

Kembali ke pertanyaan-pertanyaan tadi, "mengapa bukan seorang panglima perang dan gagah perkasa, dst" Jawaban yang paling tegasnya adalah karena para penulis Injil terinspirasi oleh penulis Kitab Yesaya 53. Masyarakat Yahudi di masa itu adalah masyarakat yang sangat mempercayai adanya Mesias ("Yang Diurapi"), seseorang yang dipercaya akan membawa mereka ke luar dari kesengsaraan hidup akibat penjajahan yang dilakukan bangsa Romawi untuk memasuki kehidupan yang lebih baik. Namun apa daya, Mesias yang dinanti-nantikan itu tidak kunjung datang. Sudah begitu banyak mereka menduga bahwa si A adalah Mesias yang dinantikan, si B adalah Mesias yang sesungguhnya, si C adalah Mesias itu, dst..., tapi mereka kecele karena mereka ternyata masih berada dalam kesengsaraan. Mereka sangat rindu untuk kembali pada masa-masa keemasan mereka ketika mereka di bawah pemerintahan Raja Daud dan Salomo. Oleh karena itu, akibat Mesias yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, maka para penulis Injil pun mengalihkan pandangan mereka bukan lagi kepada dunia masa kini, dunia ini, hal-hal yang terkait dengan jasmani, masa keemasan, pembebasan dari penjajahan, kesengsaran, dan ketidakadilan, melainkan kepada dunia yang akan datang, dunia setelah kematian, dunia di "atas" sana, bukan lagi pada hal-hal ragawi/jasmani/lahiriah, melainkan pada hal-hal rohani. Oleh karena itulah diciptakan dan dikisahkan figur Yesus yang rendah hati. Yesus yang lahir di kandang hewan. Yesus yang tidak gagah perkasa seperti panglima perang. Yesus yang tidak pandai bicara seperti seorang politisi. Yesus yang bukan seperti seorang akademi atau cendekiawan. Pada figur Yesus disematkan hal-hal yang bertolak-belakang dari hal-hal duniawi yang dimiliki oleh orang-orang tadi.

Lanjut Marko, "[n]atal adalah cerita nakal. Sejak awal dituturkan, ia menggugat kemapaman berpikir kita. Maria perawan desa mengandung oleh Roh El Kudus. Kemudian melahirkan Yesus Kristus yang konon akan menjadi Penebus. Ia dilahirkan bukan di tempat praktik bidan atau rumah sakit bersalin, tetapi di kandang domba. Kemudian ia menjadi tukang kayu". Bagi saya kalimat ini cukup menarik. Coba perhatikan frasa "...melahirkan Yesus Kristus yang konon...." Apakah Marko menyadari dan mengerti penggunaan kata "konon"? Kata "konon" digunakan jika seseorang tidak yakin pada cerita/tulisannya, sehingga ia menggunakan kata "konon" yang berarti bahwa ia hanya mendasarkan cerita/tulisannya pada tradisi yang telah ada sebelumnya tanpa melakukan penelitian yang lebih dalam terlebih dahulu. Jika Marko menggunakan kata "konon" pada frasa itu ("Kemudian melahirkan Yesus Kristus yang konon akan menjadi Penebus), mengapa ia tidak menggunakan kata "konon" pada frasa-frasa lainnya, sehingga kalimat utuhnya menjadi demikian: "Konon sejak awal dituturkan (kisah Natal), ia menggugat kemapanan berpikir kita. Konon Maria perawan desa mengandung oleh Roh El Kudus. Kemudian melahirkan Yesus Kristus yang akan menjadi Penebus. Konon ia dilahirkan bukan di tempat praktik bidan atau rumah sakit bersalin, tetapi konon di kandang domba. Kemudian konon ia menjadi tukang kayu.

Dalam tulisan Marko pun muncul kejanggalan. Dari awal sampai pertengahan dari tulisannya ia bercerita tentang Natal, kelahiran Yesus, kemudian mulai pertengahan ia tiba-tiba loncat dengan menceritakan kisah di seputar kematian Yesus. Mengapa tiba-tiba loncat? Di mana kisah kehidupan "pelayanan" Yesus yang dipenuhi dengan ajaran-ajaran bijaksana dengan segala perumpamaannya itu? Kenapa dari kelahiran langsung loncat pada kematian? Apakah kisah mengenai kehidupan Yesus tidak penting menurut Marko, seperti kebanyakan orang Kristen lainnya yang lebih mengutamakan kisah kelahiran dan kematian Yesus? Bahkan jika diperas lagi, maka sebagian besar orang Kristen lebih mengutamakan Natal. Lihat saja bagaimana kemeriahah dan kehebohan perayaan Natal setiap tahunnya! Bisa dibayangkan orang Kristen akan menjawab, "kan Natal adalah perayaan menyambut kelahiran seseorang, jadi tentu harus meriah dong...masak Paska yang adalah mengenang kematian seseorang dirayakan dengan meriah sih?!? Sepertinya Marko sengaja "menyingkirkan" kisah kehidupan Yesus agar tulisannya tidak terlalu panjang-lebar dan memang tujuannya adalah untuk mengaitkan kisah Natal dan kematian Yesus sehingga dapat melahirkan "permainan" warna yang akan kita lihat berikutnya.

Dalam tulisannya yang bercerita tentang kematian Yesus Marko berujar "[p]ada masa kini, simbol-simbol perlawanan itu muncul dalam warna hijau (green) yang beroposisi dengan warna kelabu atau kelam. Bukan perlawanan cengeng, tetapi perlawanan darah". Apa dasarnya sehingga warna hijau yang digunakan? Bagaimana asal-mulanya sehingga warna hijau-lah yang digunakan sebagai warna yang melambangkan perlawanan?
Kenapa yang dipilih warna hijau? Kenapa bukan biru atau kuning atau oranye atau coklat? Bukankah warna-warna seperti biru, kuning, oranye, dan coklat juga beroposisi dengan warna kelabu atau kelam? Lebih lanjut Marko menulis "[g]ergaji gemeretak ketika dipakai memotong kayu salib-Nya, palu berdentam saat dipakai memukul paku untuk menghujam daging kaki dan tangan-Nya. Darah segar berwarna merah pun mengalir. Inilah merah (red) simbol pengorbanan sekaligus perlawanan". Tentu, darah berwarna merah. Yang coba ditampilkan oleh Marko mengenai warna hijau dan merah dalam kaitannya dengan Natal dan kematian Yesus tidak lebih dari permainan warna dan kata saja. Tidak ada kaitan antara warna hijau dengan peristiwa Natal dan kematian Yesus. Tidak ada hubungan antara warna merah dengan peristiwa Natal dan kematian Yesus.

Di paragraf akhir tulisannya Marko menulis "[h]ijau dan merah Natal adalah warna harapan bagi kaum yang lemah, tak berdaya dan tertindas, kesepian, dan merasa dirinya hampa. Warna kehidupan bagi mereka berbeban berat. Semangat yang dilambangkan dengan lilin menyala, yang rela hancur luluh untuk menghadirkan terang dan kehangatan". Dengan demikian jelas, hijau dan merah yang berasal dari kematian Yesus ditempatkan Marko pada Natal sehingga bagi Marko, Natal bercirikan hijau dan merah. Hijau dan merah menjadi warna perlawanan dan harapan. Di mana relevansi antara warna hijau dan merah dengan perlawanan dan harapan? Bagaimana mereka yang tertindas, lemah, tak berdaya, merasa hampa, dan kesedihan ketika melihat warna hijau dan merah menjadi memiliki harapan kembali? Jangan lupa, warna hijau bukan hanya milik Natal tetapi juga menjadi ciri gerakan Go Green bahkan juga agama lain.


Setelah membaca tulisan Marko Mahin sekarang izinkan saya membahasakan ulang cerita Natal menurut versi saya. "Konon sejak dituturkan (cerita Natal), ia menggugat kemapanan berpikir kita. Konon ada seorang Maria perawan desa mengandung oleh Roh El Kudus. Kemudian konon lahirlah Yesus Kristus yang konon akan menjadi Penebus. Konon ia dilahirkan bukan di tempat praktik bidan atau rumah sakit bersalin, tetapi konon di kandang domba. Konon kemudian ia menjadi tukang kayu. Konon Tuhan Yang Maha Mulia mengosongkan diri menjadi serupa dengan hamba sahaya melalui peristiwa Natal, kelahiran Yesus. Konon Tuhan berpihak pada kaum jelata, budak belian yang hina-dina. Konon dalam sosok seorang bayi, Ia mengkritik para penguasa yang rakus. Konon kandang, palungan, jerami kering, kain lampin, gembala, tukang nujum dari Timur adalah simbol-simbol rakyat yang dipakai-Nya. Konon Ia hadir bersama dengan kekurangan dan keterbatasan rakyat jelata sedangkan konon istana dan tentara adalah simbol Herodes, seorang kaisar yang konon kejam, pemarah, dan jauh dari rakyat jelata. Konon warna hijau beroposisi dengan warna kelabu dan kelam. Konon Yesus disalib di kayu salib dan darah segar berwarna merah pun mengalir. Konon merah merupakan simbol pengorbanan sekaligus perlawanan. Konon hijau dan merah Natal bukanlah warna-warna cantik nan romantis, tetapi konon warna-warna itu merupakan warna subversif, warna perlawanan atas kekumuhan dan kedekilan dosa. Konon hijau dan merah juga merupakan warna harapan bagi kaum lemah, tak berdaya, tertindas, kesepian, dan yang merasa hampa. Bagaikan lilin menyala yang konon rela hancur luluh untuk menghadirkan terang dan kehangatan, konon itulah yang namanya Natal".

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.