Selasa, 31 Januari 2012

Anak Perempuan Membawa Beban?

Malang tak bisa dihindari oleh perempuan muda ini karena melahirkan seorang bayi perempuan. Secara kejam perempuan mudah tersebut diakhiri hidupnya, tak tanggung-tanggung, bukan hanya oleh ibu mertuanya melainkan juga oleh suaminya sendiri. Peristiwa tragis ini bukan hanya dikecam keras oleh para kepala suka tetapi juga oleh para pemuka agama di wilayah di mana peristiwa tersebut terjadi.

Setidaknya dua pertanyaan segera mengemuka terkait peristiwa biadab tersebut:  
  1. Apa salahnya jika perempuan muda itu melahirkan seorang bayi perempuan?
  2. Mengapa ibu mertua bahkan suami perempuan itu tega mengakhiri nyawa anak menantu dan istrinya sendiri?
Sejauh ini belum ada keterangan lebih lanjut mengenai alasan dibunuhnya perempuan itu oleh ibu mertua dan suaminya. Namun berdasarkan keterangan pendek yang terdapat dalam berita tersebut mengatakan bahwa di beberapa wilayah dan suku di Afganistan anak perempuan dianggap sebagai beban, sebaliknya, keberadaan anak laki-laki disambut dengan pesta yang meriah. Dengan demikian, jika seorang ibu melahirkan anak perempuan, maka keberadaan dan hidup ibu tersebut terancam karena keberadaan anak perempuan tidak diharapkan di tengah-tengah masyarakat. Hal yang serupa tidak akan dialami jika seorang ibu melahirkan anak laki-laki karena kehadiran anak laki-laki malah diharapkan bahkan dirayakan dengan meriah. 

Kenyataan yang sangat memprihatinkan tersebut mendorong lahirnya beberapa pertanyaan lanjutan; mengapa keberadaan (anak) perempuan dianggap sebagai beban dan bukan sebaliknya, (anak) laki-laki yang menjadi beban? Mengapa kehadiran anak laki-laki disambut meriah sedangkan kehadiran anak perempuan akan mengancam hidup sang ibu? Terhadap pertanyaan-pertanyaan tersebut dibutuhkan informasi relevan yang memadai. Namun demikian muncul kecurigaan yang masuk akal, jika kehadiran anak perempuan tidak diharapkan bahkan dianggap sebagai beban, diakibatkan oleh pemikiran tradisional yang sangat sesat dengan berlandaskan pada tradisi agama tertentu.

Tidak lagi menjadi rahasia jika tiga agama samawi menempatkan perempuan pada posisi yang lebih rendah daripada laki-laki dengan pemikiran bahwa perempuanlah yang digoda oleh "iblis" sehingga laki-laki dan manusia jatuh ke dalam "dosa." Jelas, pemikiran demikian berlandaskan pada kepercayaan yang berakar pada kisah mitologi yang lahir ribuan tahun yang lampau. Jika kepercayaan dan pemikiran masa lampau seperti itu masih dipercaya sampai saat ini oleh manusia modern, maka yang menjadi taruhannya adalah nyawa manusia. Dengan demikian, sangatlah tidak aneh jika peristiwa biadab seperti berita di atas (masih) terjadi pada masa kini. Ketika manusia modern lebih mengedepankan dan mengutamakan pemikiran tradisional yang sesat sekaligus membahayakan hidup orang lain, dan sebaliknya bukan mendasarkan hidupnya pada nilai-nilai kemanusiaan, maka pada saat itu sesungguhnya manusia tidak beradab alias tidak layak disebut manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.