Jalan Keluar
Bagi Schopenhauer kehendak tidaklah rasional. Kehendak merupakan dorongan yang tidak akan pernah bisa terpuaskan dan buta. Kehendak itu terjebak dalam kehidupan manusia yang membuatnya frustrasi karena dipenuhi dengan kerja keras tiada henti. Kehidupan, bagi Schopenhauer, seharusnya tidak perlu ada karena menyengsarakan manusia. Jika demikian, apa yang bisa dilakukan manusia agar bisa keluar dari kesengsaraannya? Schopenhauer mengajukan dua jalan keluar: pertama, kontemplasi estetik (bersifat sementara) dan kedua, penyangkalan estetik (bersifat abadi).
Individu yang melakukan kontemplasi estetis mampu melampaui apa yang dilihat atau didengarnya dari sebuah objek. Individu tersebut memperoleh kesadaran lebih tentang unsur dasar dan sejati dari realitas. Kontemplasi membebaskan individu tersebut dari subjek yang berusaha menguasai objek. Namun jika individu melihat objek bukan sebagai objek yang ditentukan oleh kategori pemahaman atau representasi melainkan memandangnya lebih dari sekadar objek maka individu tersebut bisa tiba pada tipe dasar objek tersebut. Menurut Schopenhauer ketika kehendak memanifestasikan dirinya ke dalam objek partikular dari dunia ini akibatnya ia terobjektifikasi ke dalam objek-objek universal. Inilah yang disebut dengan Ide-ide Platonik.
Pemahaman Schopenhauer tersebut akan mudah dipahami jika dianalogikan ke dalam bidang atau konteks seni. Seniman bisa menjadi lebih dari sekadar subjek ketika ia mampu membebaskan dirinya dari tuntutan kehendak dengan berhenti dari semata-mata pribadi dan menjadi subjek pengetahuan yang tidak lagi memiliki kehendak. Pada saat itulah seorang seniman dapat mengkomunikasikan pengetahuannya mengenai objek seni melalui karya seni yang mengagumkan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika pelaku dan penikmat seni bisa mengalami perasaan tertentu terhadap objek seni karena mereka mampu melampaui objek yang dilihat atau didengarnya. Namun demikian, kontemplasi estetik sifatnya sementara, sedangkan penyangkalan estetik bersifat abadi.
Pada saat individu mengenali dunia sebagaimana adanya dunia, pada momen itulah ia melihat kehidupan sebagai sebagai ruang dan waktu yang di dalamnya harus diisi dengan kerja keras tanpa akhir. Menurut Schopenhauer ketika individ mampu menyadari hal ini maka dirinya sesungguhnya telah terbebas dari kesengsaraannya karena pada titik ini ia telah sadar penuh. Ia bahkan menjadi individu yang sadar untuk menghargai, menghormati, dan mencintai subjek lain sebagaimana ia menghargai, menghormati, dan mencintai dirinya sendiri. Kesadaran ini menuntun individu pada pembebasan dari kehendak yang sifatnya ilusif. Pembebasan dari kehendak – pengosongan diri – ini dapat dicapai melalui penyangkalan diri. Ini yang disebut Schopenhauer sebagai penyangkalan estetik. Pernyataan Schopenhauer mengenai “penyangkalan diri” merangsang pertanyaan, apa itu “penyangkalan”? Apa yang disangkal?
Menurut Schopenhauer proses mengetahui menuntut keberadaan subjek sebagai yang mengetahui dan objek sebagai yang diketahui, sementara setiap kali Schopenhauer menyebut “pengosongan” atau “penyangkalan” ia sedang berupaya, bukan hanya meniadakan subjek dan objek, namun juga meniadakan ruang, waktu, pengertian, dan kehendak itu sendiri. Dengan kata lain ia mengatakan bahwa tidak ada kehendak, tidak ada representasi, dan juga tidak ada dunia (bukan kehidupan). Apakah dengan demikian Schopenhauer seorang nihilis? Sama sekali bukan, karena ia tidak mengatakan bahwa “yang ada hanyalah ketiadaan” namun sebaliknya, “ketiadaan tidaklah pernah ada.”
Kesimpulan
Setelah mencoba memahami Schopenhauer, maka dengan demikian, pertanyaan “apakah Schopenhauer seorang filsuf yang memandang kehidupan secara pesimistis?” bisa dijawab dengan “tidak.” Mungkin saja Schopenhauer memahami kehidupan agak negatif, namun itu tidak berarti manusia lain yang hidup di dalamnya juga bersikap negatif terhadap kehidupan. Ini tidak dapat dilepaskan dari pandangannya mengenai bunuh diri. Jika kehidupan ini sama sekali tidak bernilai dan manusia seharusnya tidak perlu berada di dalamnya, apakah dengan demikian bunuh diri menjadi sah? Jika kehidupan ini tidak bermakna mengapa tidak bunuh diri saja?! Menurut Schopenhauer, tindakan bunuh diri merupakan kesalahan karena ketika individu melakukan bunuh diri berarti dirinya menyerah dan kalah terhadap kehendaknya. Lebih dari itu, tindakan bunuh diri adalah bentuk afirmasi atas kehendak dan penerimaan atas duka cita. Yang dikatakan Schopenhauer adalah “penyangkalan kehendak” bukan “penyangkalan (terhadap) kehidupan.” Dengan berdasar pada argumen inilah maka tindakan bunuh diri hanya akan menghancurkan diri sendiri dalam dunia representatif yang justru ditolak Schopenhauer.
Hal penting yang perlu dicatat dari pandangan Schopenhauer – meski ia secara agak negatif memandang kehidupan – bahwa ia mengajukan pengalaman estetik (bukan mistik) sebagai alternatif atau jalan keluar bagi manusia dari kesengsaraan hidupnya. Harus diperhatikan bahwa jalan keluar tersebut bukanlah pelarian apalagi melakukan tindakan bunuh diri. Ini dilakukan dengan berdasar pada kesadaran bahwa manusia tidak hidup seorang diri di dunia ini karena ada makhluk hidup lainnya dan alam. Manusia juga bukanlah subjek sementara yang lainnya adalah objek(-nya), melainkan semuanya adalah subjek. Kesadaran inilah yang memampukan manusia melihat, memahami, dan menilai dunia sekitarnya sebagaimana adanya.
Dengan demikian dari Arthur Schopenhauer kita belajar bahwa manusia bukanlah satu-satunya subjek di jagat ini karena ada subjek-subjek lainnya. Meski manusia selalu berusaha memahami dan memaknai dengan menilai subjek-subjek sekitarnya, namun adalah langkah yang bijak jika penilaian itu dilakukan dengan sesuai alias layak. Artinya, manusia tidak memberikan penilaian yang semena-mena terhadap subjek-subjek itu. Bagaimana penilaian sesuai/layak itu dilakukan? Dengan berpikir kritis individu akan dituntun ke dalam (proses) penilaian yang sesuai sehingga, baik dirinya maupun sesamanya tidak akan terkecoh dan tersesat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.