Sabtu, 06 Agustus 2011

Zaman Pencerahan (Bagian Ketiga)


Jika tulisan sebelumnya membahas Abad Pertengahan dan Renaissance, maka tulisan kali ini mengangkat masa-masa setelahnya, yakni abad ke-17 sampai ke-18.

Dua pemikir besar Inggris (abad ke-16 dan 17), Hobbes dan Locke mengusung semangat berpikir kritis yang sejajar dengan Machiavelli. Keduanya menolak cara berpikir tradisional yang dimiliki sebagian besar orang pada masanya, juga tidak menerima hal-hal yang dianggap “normal” dalam budaya masa itu. Hobbes dan Locke mengedepankan gaya berpikir kritis untuk membuka wawasan dalam mempelajari segala hal. Hobbes memandang dunia dari sisi naturalistik, di mana setiap hal harus dijelaskan melalui bukti dan daya pikir. Sementara Locke menyatakan bahwa pengamatan dan pengalaman harus digunakan setiap hari dalam kegiatan berpikir. Ia telah meletakkan dasar teoretik kritis mengenai hak-hak manusia dan semua kewajiban pemerintah untuk bersedia dikritik oleh warga negaranya yang kritis.

Semangat berpikir kritis dan kebebasan intelektual juga terdapat diri orang-orang seperti Richard Boyle (abad 17) dan Sir Isaac Newton (abad 17 dan 18). Dalam karyanya, Sceptical Chymist, dengan tajam Boyle mengkritik teori kimia yang sudah ada. Demikian juga Newton yang mengembangkan secara menyeluruh bingkai berpikir yang mengkritik dunia pandang yang telah sekian lama diterima banyak orang. Ia melanjutkan pemikiran kritis pada pendahulunya, seperti Copernicus, Galileo, dan Kepler. Sejak masa Boyle dan Newton semakin banyak orang berpikir serius mengenai dunia naturalistik dan pandangan-pandangan yang berpusat pada diri sendiri harus ditinggalkan demi pandangan-pandangan yang seluruhnya didasarkan pada bukti-bukti yang ada serta diperoleh melalui kegiatan berpikir yang jernih dan lurus.

Pada masa Pencerahan di Prancis juga muncul nama-nama, seperti Bayle, Montesquieu, Voltaire, dan Diderot, yang mengembangkan gaya berpikir kritis di dalam karya-karya mereka. Para pemikir kritis tersebut mengawali gaya berpikir kritis mereka dengan menyatakan bahwa pikiran manusia, ketika diatur oleh akal sehat, akan lebih mampu menjelaskan dunia sosial dan politik. Lebih jauh, akal sehat harus ditujukan pada diri sendiri demi menemukan berbagai kelemahan dan kekuatan dalam berpikir. Mereka mengutamakan diskusi intelektual yang teratur sehingga semua pandangan melalui analisis yang mendalam dan kritik yang tajam. Para pemikir Prancis ini percaya bahwa semua otoritas harus (bisa) dipertanyakan, dianalisis, dan diuji dengan akal sehat.

Pada abad ke-18 suasana berpikir kritis tidak mengendur, malah semakin meluas. Pada masa itu muncul Wealth of Nations yang ditulis oleh Adam Smith, yang di dalamnya membahas masalah ekonomi. Pada masa yang sama juga muncul Declaration of Independence yang mempertanyakan konsep tradisional tentang kesetiaan terhadap raja. Selain itu, Critique of Pure Reason dilahirkan dari filsuf besar Jerman, Kant.

Semangat berpikir kritis pada masa setelah Renaissance telah merambah ke berbagai bidang lain seperti hak-hak asasi manusia dan politik. Ini menjadi salah satu bukti bahwa kegiatan berpikir kritis menuntun orang pada hal-hal lebih luas yang lahir dari pemikiran yang mendalam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.