Kamis, 04 Agustus 2011

Sejarah Singkat Pemikiran Kritis (Bagian Pertama)


Berikut adalah sejarah singkat perkembangan pemikiran kritis yang disajikan dalam beberapa seri tulisan.

Akar pemikiran kritis bisa ditelusuri jauh sampai pada visi dan praktik yang terdapat dalam diri seorang filsuf Yunani, Sokrates, 2500 tahun lalu dengan cara mengajukan pertanyaan supaya orang mampu memberikan argumen masuk akal dan meyakinkan demi mendukung pendapat yang dikemukakannya. Argumen tersebut harus didasarkan pada pengetahuan yang jernih, relevan, bisa dibuktikan kesahihannya, dan mampu dipertanggungjawabkan. Pemahaman-pemahaman yang tidak jelas/kabur, bukti yang lemah dan tidak relevan, serta keyakinan-keyakinan yang saling bertentangan pada dirinya sendiri seringkali dianggap hal sepele sehingga luput dari pengamatan banyak orang, sekalipun seseorang yang berpendidikan tinggi. Ketiga hal tersebut mengakibatkan seseorang tidak bisa dikategorikan sebagai orang yang berpikir kritis. Sokrates menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mendasarkan argumennya pada, contohnya, ketiga hal tadi. Artinya, ketiga hal tersebut tidak bisa dijadikan “otoritas”, di mana pengetahuan dan pemikiran yang layak berasal. Oleh karena itulah Sokrates menekankan perlu dan pentingnya mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan relevan sebagai dasar pemikiran sebelum seseorang tiba pada kesimpulan atau sebelum seseorang menerima pemikiran-pemikiran (termasuk kepercayaan) orang lain. 

Demi menegaskan pandangannya mengenai berpikir kritis Sokrates menekankan pentingnya bagi seseorang untuk selalu mencari bukti-bukti, mengkaji berbagai ide atau  pemikiran dan asumsi yang melatarbelakangi pandangan orang lain, menganalisis konsep-konsep dasar, serta menelusuri berbagai dampak yang bisa terjadi, baik yang berasal dari ucapan maupun perbuatan. Metode pertanyaan yang diajukan Sokrates itu dikenal dengan “Pertanyaan Sokratik.” Dalam pertanyaan (-pertanyaan) tersebut Sokrates menekankan perlunya bagi manusia untuk berpikir secara jernih dan lurus demi pemahaman yang jelas, relevan, dan masuk akal. 

Sokrates meletakkan dasar-dasar dalam tradisi pemikiran kritis, seperti: mempertanyakan secara mendalam berbagai penjelasan dan keyakinan yang umum, hati-hati membedakan antara berbagai keyakinan yang masuk akal dan lurus/runut secara argumentatif dengan keyakinan-keyakinan – walaupun sepertinya menarik – yang tidak lebih dari mengedepankan agenda-agenda tertentu (seperti: popularitas atau uang) dan terlebih tidak didukung oleh bukti-bukti relevan dan jelas serta tidak berdasar pada argumen yang lurus dan masuk akal. 

Visi dan semangat Sokrates dalam berpikir kritis dilanjutkan oleh Plato, Aristoteles, dan kaum Skeptik Yunani, yang semuanya menekankan bahwa begitu banyak hal seringkali terlihat berbeda dari penampakannya. Oleh karena itu, hanya orang-orang yang selalu mau melatih dan menggunakan daya pikir kritisnya yang mampu melihat dan memahami banyak hal dengan jernih dan mendalam. Orang-orang seperti itu tidak mudah dikecoh atau dikelabui hanya dengan melihat hal-hal yang nampak dari luar seperti dialami sebagian besar orang, melainkan mampu melihat hal-hal yang berada di “bawah” penampakan tersebut atau mampu melampaui hal-hal yang nampak dari luar itu. Artinya, orang-orang yang berpikir kritis tidak mau hanya berhenti pada “penampakan luar” melainkan terus bergerak ke dalam bahkan melampaui “penampakan luar” tersebut demi pemahaman yang jernih dan masuk akal.

Para pemikir dari tradisi Yunani klasik di atas telah mendorong dan menginspirasi generasi setelahnya untuk menyadari bahwa manusia perlu memahami berbagai kenyataan di sekitarnya secara mendalam, berpikir secara sistematis/runut/lurus, menelusuri berbagai dampak yang bisa terjadi secara luas dan mendalam, berpikir secara menyeluruh, berpikir hati-hati, dan terbuka terhadap perbedaan pendapat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.