Seri tulisan kali ini membahas perkembangan tradisi berpikir kritis di abad 19 dan 20 sekaligus bagian terakhir seri tulisan “Sejarah Singkat Pemikiran Kritis.”
Di abad ke-19 pemikiran kritis meluas memasuki kehidupan sosial masyarakat yang dilahirkan melalui pemikiran Comte dan Spencer. Dalam bidang ekonomi dan sosial lahir pemikiran kritis Marx yang menelisik masalah kapitalisme. Sementara itu, dalam bidang sejarah perkembangan budaya manusia yang berdasar pada kehidupan biologis lahir karya Darwin yang berjudul Descent of Man. Sedangkan dalam bidang kesadaran dicirikan melalui tokoh Sigmund Freud. Abad ini ditandai dengan semakin berkembangnya kajian-kajian kritis dalam bidang antropologi-budaya serta linguistik yang menganalisis berbagai fungsi simbol dan bahasa dalam kehidupan manusia.
Pada abad 20, pemahaman dan kesadaran akan pentingnya berpikir kritis semakin kuat dan muncul dalam bentuk-bentuknya yang semakin eksplisit. Tahun 1906 William Graham Sumner meluncurkan tulisan yang mendobrak mengenai dasar-dasar sosiologi dan antropologi dalam Folkway. Dalam karyanya tersebut Sumner menjelaskan kecenderungan pikiran manusia untuk berpikir secara sosiosentris dan kecenderungan sejajar dengan dunia pendidikan (sekolah-sekolah) demi melayani fungsi sosial yang tidak kritis.
Sejalan dengan pemikiran Sumner, John Dewey mengungkapkan bahwa manusia sepatutnya meningkatkan kesadaran berpikir dengan menggunakan pikirannya yang jernih dan terutama mendasarkannya pada tujuan, harapan, dan hal-hal yang sesuai dengan pikiran sehat. Ludwig Wittgenstein juga menekankan pentingnya bagi manusia untuk meningkatkan kesadarannya, bukan hanya melalui konsep-konsep berpikir yang jernih, melainkan juga melalui analisis terhadap konsep-konsep tersebut dan menilai segala kekuatan dan kelemahannya. Sementara itu Piaget menyadarkan kita bahwa kecenderungan-kecenderungan egosentrisme dan sosiosentrisme dalam pikiran manusia harus diredam dengan menerapkan dan mengembangkan gaya berpikir kritis sehingga manusia mampu memandang, menilai, dan menjelaskan sesuatu hal dari banyak sudut pandang. Ini menjadikan manusia, dalam istilah Piaget, menjadi “menyadari kesadarannya.”
Setelah memperhatikan sejarah perkembangan tradisi pemikiran kritis dari akarnya hingga abad 20 kita semakin mengetahui dan menyadari bahwa setiap bidang kehidupan manusia lahir dari pemikiran kritis. Semangat berpikir kritis yang diusung dan dikembangkan para pemikir di masa lalu telah menyumbangkan banyak hal bermanfaat dalam kehidupan manusia. Melalui ilmu pengetahuan, manusia didorong untuk menyadari pentingnya mengumpulkan data dan informasi dengan hati-hati serta selalu disadari terhadap kemungkinan adanya ketidaktepatan, distorsi, dan penyalahgunaan data dan informasi tersebut. Sedangkan psikologi mengajak manusia untuk selalu rendah hati menyadari bahwa pikirannya dapat mengecoh atau mengelabui diri sendiri dan secara tidak sadar membangun berbagai ilusi dan delusi serta cenderung mudah terjebak pada stereotipe, terburu-buru mengambil kesimpulan, berpikir sempit, dan melakukan rasionalisasi. Dengan demikian, jelas, pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia bisa berkembang karena manusia senantiasa mengembangkan gaya berpikir kritisnya.
Di abad ke-19 pemikiran kritis meluas memasuki kehidupan sosial masyarakat yang dilahirkan melalui pemikiran Comte dan Spencer. Dalam bidang ekonomi dan sosial lahir pemikiran kritis Marx yang menelisik masalah kapitalisme. Sementara itu, dalam bidang sejarah perkembangan budaya manusia yang berdasar pada kehidupan biologis lahir karya Darwin yang berjudul Descent of Man. Sedangkan dalam bidang kesadaran dicirikan melalui tokoh Sigmund Freud. Abad ini ditandai dengan semakin berkembangnya kajian-kajian kritis dalam bidang antropologi-budaya serta linguistik yang menganalisis berbagai fungsi simbol dan bahasa dalam kehidupan manusia.
Pada abad 20, pemahaman dan kesadaran akan pentingnya berpikir kritis semakin kuat dan muncul dalam bentuk-bentuknya yang semakin eksplisit. Tahun 1906 William Graham Sumner meluncurkan tulisan yang mendobrak mengenai dasar-dasar sosiologi dan antropologi dalam Folkway. Dalam karyanya tersebut Sumner menjelaskan kecenderungan pikiran manusia untuk berpikir secara sosiosentris dan kecenderungan sejajar dengan dunia pendidikan (sekolah-sekolah) demi melayani fungsi sosial yang tidak kritis.
Sejalan dengan pemikiran Sumner, John Dewey mengungkapkan bahwa manusia sepatutnya meningkatkan kesadaran berpikir dengan menggunakan pikirannya yang jernih dan terutama mendasarkannya pada tujuan, harapan, dan hal-hal yang sesuai dengan pikiran sehat. Ludwig Wittgenstein juga menekankan pentingnya bagi manusia untuk meningkatkan kesadarannya, bukan hanya melalui konsep-konsep berpikir yang jernih, melainkan juga melalui analisis terhadap konsep-konsep tersebut dan menilai segala kekuatan dan kelemahannya. Sementara itu Piaget menyadarkan kita bahwa kecenderungan-kecenderungan egosentrisme dan sosiosentrisme dalam pikiran manusia harus diredam dengan menerapkan dan mengembangkan gaya berpikir kritis sehingga manusia mampu memandang, menilai, dan menjelaskan sesuatu hal dari banyak sudut pandang. Ini menjadikan manusia, dalam istilah Piaget, menjadi “menyadari kesadarannya.”
Setelah memperhatikan sejarah perkembangan tradisi pemikiran kritis dari akarnya hingga abad 20 kita semakin mengetahui dan menyadari bahwa setiap bidang kehidupan manusia lahir dari pemikiran kritis. Semangat berpikir kritis yang diusung dan dikembangkan para pemikir di masa lalu telah menyumbangkan banyak hal bermanfaat dalam kehidupan manusia. Melalui ilmu pengetahuan, manusia didorong untuk menyadari pentingnya mengumpulkan data dan informasi dengan hati-hati serta selalu disadari terhadap kemungkinan adanya ketidaktepatan, distorsi, dan penyalahgunaan data dan informasi tersebut. Sedangkan psikologi mengajak manusia untuk selalu rendah hati menyadari bahwa pikirannya dapat mengecoh atau mengelabui diri sendiri dan secara tidak sadar membangun berbagai ilusi dan delusi serta cenderung mudah terjebak pada stereotipe, terburu-buru mengambil kesimpulan, berpikir sempit, dan melakukan rasionalisasi. Dengan demikian, jelas, pemikiran dan ilmu pengetahuan manusia bisa berkembang karena manusia senantiasa mengembangkan gaya berpikir kritisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.