Minggu, 14 Agustus 2011

Seni Berpikir Kritis (Bagian Pertama)

Dalam tulisan yang lalu dibahas mengenai pertayaan Sokratik sebagai suatu seni. Untuk melengkapi dan memperluas seni dalam berpikir kritis, maka mulai tulisan kali ini akan dibahas secara khusus mengenai berpikir kritis sebagai suatu seni. Dengan kata lain, proses berpikir kritis juga bisa dipertimbangkan sebagai kegiatan seni. Pembahasan mengenai seni berpikir kritis akan disajikan ke dalam tiga seri tulisan.

Seperti layaknya kegiatan lainnya, berpikir adalah salah satu kegiatan yang selalu dilakukan manusia, namun sebagian besar orang tidak menyadarinya atau menganggapnya sebagai suatu yang biasa saja. Bahkan tidak sedikit orang yang menganggap berpikir bukanlah kegiatan yang harus dilakukan, apalagi membutuhkan latihan dan terlebih, dipertimbangkan sebagai (kegiatan) seni. Oleh karena itulah banyak orang tidak memahami apa itu berpikir.

Apapun situasi, tujuan, harapan, keberadaan, posisi, ataupun masalah yang dihadapi, manusia sesungguhnya senantiasa berpikir walaupun hal tersebut tidak disadarinya secara penuh. Baik sebagai pimpinan, karyawan, warga negara, pasangan, teman, orangtua, maupun anak, manusia berpikir. Bukan “sekadar” berpikir, tetapi berpikir secara layak (fair thinking) karena dengan berpikir layak menghasilkan banyak hal yang bermanfaat. Pendek kata, berpikir layak bermanfaat. Namun harus disadari, untuk mampu berpikir layak orang perlu berlatih karena hal itu tidak dapat dicapai hanya dalam satu atau beberapa hari bahkan bulan, melainkan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebaliknya, berpikir secara asal-asalan mengakibatkan berbagai masalah, membuang-buang waktu dan tenaga, serta dapat menyebabakan kesesatan dan kecemasan.

Berpikir kritis dapat dianggap sebagai sebagai seni yang melatih dan mendorong orang supaya dapat menggunakan pikirannya dengan layak untuk digunakan dalam setiap situasi yang beragam. Oleh karena tujuan utama berpikir adalah memahami situasi di mana seseorang berada, maka orang membutuhkan informasi relevan demi memberikan penilaian atau mengambil kesimpulan yang sesuai dengan situasi.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah ia/mereka sedang berusaha memanfaatkan saya? Apakah ia/mereka peduli terhadap saya? Apakah saya menipu diri sendiri dengan mempercayai hal tersebut? Apakah akibat-akibat yang akan terjadi jika saya mempercayai hal itu? Apakah yang harus dilakukan? Mengapa hal itu bisa terjadi? Bagaimana melakukannya dengan sesuai? Apakah ini merupakan masalah utama, ataukah ada masalah yang lebih utama? Apakah hal ini penting untuk ditanggapi, ataukah ada hal lebih penting lainnya yang seharusnya saya tanggapi? Terhadap poin (penting) manakah saya harus berfokus? Ini semua adalah beberapa contohpertanyaan yang patut diajukan ketika orang menganalisis suatu hal sehingga penilaian bisa dilakukan secara layak. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas maka sesungguhnya orang telah mengambil langkah awal dalam berpikir.

Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu dilanjutkan dengan mencari jawab terhadapnya. Mampu memberikan tanggapan dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu merupakan proses berpikir selanjutnya. Artinya, berbagai pertanyaan yang diajukan tidak dibiarkan atau ditinggalkan begitu saja melainkan dicari jawaban relevannya sehingga penilaian yang sesuai dan tepat dapat dilakukan.

Namun demikian, untuk memaksimalkan kualitas dalam berpikir, seorang harus terlebih dahulu belajar bagaimana menjadi kritikus yang layak bagi pikirannya sendiri. Ini dilakukan supaya orang tersebut mampu, bukan hanya berpikir melainkan juga bertindak seturut  dengan pikirannya yang sesuai serta mampu mempertanggungjawabkan pikiran serta tindakannya. Artinya, ia mempertimbangkan dampak-dampak yang dihasilkan dari pikiran dan tindakannya tersebut. Oleh karena itu, agar seseorang dapat menjadi kritikus yang layak bagi pikirannya, ia harus secara sadar menggunakan pikirannya yang sesuai dan menjadikan berpikir sebagai kegiatan yang utama. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa demi menjadi kritikus yang layak bagi pikirannya, orang harus belajar mengenai pikirannya sendiri.

Cobalah tanyakan pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut:
  • Apa yang telah saya pelajari mengenai pikiran saya?
  • Apakah saya pernah mempelajari pikiran saya sendiri?
  • Apa yang saya ketahui mengenai cara pikiran mengolah berbagai informasi?
  • Apakah yang saya ketahui mengenai cara menganalisis, mengevaluasi, atau membangun pikiran saya?
  • Dari manakah pikiran saya berasal?
  • Apa itu kualitas yang “baik”? Apa ukurannya? Bagaimana mengukurnya?
  • Apa itu kualitas yang “buruk”? Apa ukurannya? Bagaimana mengukurnya?
  • Apakah saya dapat mengendalikan pikiran saya?
  • Bagaimanakah mengujinya?
  • Apakah saya memiliki tolok ukur dalam menentukan seberapa “baik” dan “buruk” saya melakukan penilaian?
  • Apakah saya menyadari jika ada masalah dalam proses berpikir saya?
  • Apakah saya secara sadar kemudian memperbaikinya?
  • Seberapa jauh saya bisa mengetahui dan menyadari ketidakjernihan, ketidakkonsistenan, ketidaktepatan, atau kedangkalan pikiran saya?
  • Apakah saya sadar jika saya berpikir? Apakah saya menyadari pikiran saya?
  • Jika seseorang meminta saya untuk mengajarinya bagaimana cara berpikir efektif, apakah saya memahami apa itu berpikir efektif?
  • Bagaimana cara (efektif) membimbing orang tersebut?
Dapat diduga kuat jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas akan berkisar seputar: “Saya tidak tahu banyak mengenai pikiran saya sendiri”, “Saya tidak tahu apa itu berpikir”, “Saya tidak tahu bagaimana pikiran saya bekerja karena saya tidak pernah mempelajarinya”, “Saya tidak tahu bagaimana menguji pikiran saya”, “Saya tidak menganggap berpikir itu penting karena pikiran saya (sudah) bekerja dengan sendirinya/otomatis.”

Tulisan berikut akan membahas mengapa orang perlu mempelajari pikirannya sendiri untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.