Senin, 15 Agustus 2011

Seni Berpikir Kritis (Bagian Ketiga - Terakhir)


Pada bagian akhir seri tulisan seni berpikir kritis yang lalu disinggung empat kunci utama yang merupakan ciri berpikir kritis, yakni: berusaha berpikir jernih dan lurus, berusaha fokus pada ide-ide atau poin-poin utama, berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang relevan, dan berusaha berpikir terbuka. Tulisan kali - seri terakhir - berfokus pada empat kunci utama tersebut.

1.   Berusaha berpikir secara jernih dan lurus

Seorang yang berpikir kritis selalu awas terhadap berbagai pernyataan, ide, atau pemikiran yang tidak jelas/jernih alias kabur dengan tidak puas sekadar memahami penampakan luar setiap hal melainkan selalu berusaha memahami apa yang terkandung di dalamnya. Artinya, orang tersebut mau berpikir mendalam. Namun sayangnya,  banyak orang lebih suka berpikir dangkal sehingga mudah dikelabui dan disesatkan oleh berbagai pernyataan, ide, atau pemikiran yang tidak jernih, ambigu (bermakna ganda), dan tidak lurus. Sebaliknya, orang yang berpikir jernih gemar berpikir secara mendalam dengan selalu menguji setiap pernyataan, ide, atau pemikiran, baik yang bukan berasal dari dirinya maupun berasal dari dirinya. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah selalu berusaha menjelaskan setiap hal dengan kata-kata sendiri demi pemahaman yang jernih, lurus, dan mendalam.

2.   Berusaha fokus pada ide-ide atau poin-poin utama

Seorang yang berpikir kritis selalu berusaha menghindari cara berpikir parsial. Artinya, ia selalu awas terhadap berbagai pernyataan, ide, atau pemikiran yang tidak fokus. Oleh karena itu, ia selalu berfokus hanya pada ide-ide atau poin-poin utama sehingga ia selalu berada dalam konteks. Dengan demikian, seorang pemikir kritis senantiasa berusaha berpikir dalam konteks tertentu, baik ketika mengajukan pertanyaan, memberikan contoh, analogi, metafor, mengemukakan hipotesis/hipotesa, menawarkan jalan keluar, maupun mengambil keputusan. Bagaimana fokus terhadap berbagai ide atau poin utama bisa dicapai? Dengan selalu mengajukan beberapa pertanyaan, seperti: “Apakah ini adalah ide pokok atau masalah utamanya?”, “apakah saya fokus pada ide atau masalah pokok?”, dan “apakah konteksnya?”

3.  Berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang relevan

Seorang yang berpikir kritis tidak jemu mengajukan pertanyaan relevan terhadap semua hal. Ini dilakukan demi pemahaman dan penilaian yang sesuai. Seorang pemikir kritis selalu awas dan sadar bahwa ada begitu banyak hal yang seringkali berbeda dari penampilannya. Artinya, ia tidak mau pikirannya dikecoh oleh penampakan luar dari setiap hal. Oleh karena itulah ia mengajukan berbagai pertanyaan mendasar, penting, dan sesuai konteks. Selain bertanya, seorang pemikir kritis juga selalu siap menanggapi berbagai pertanyaan relevan yang mempertanyakan pertanyaannya. Dengan demikian, ia bukan hanya mau bertanya, melainkan tidak bosan menghadapi pertanyaan, baik yang berasal dari dirinya maupun dari luar dirinya.

4.   Berusaha berpikir terbuka

Seorang yang berpikir kritis selalu bersedia mendengar pandangan orang lain sekalipun pandangan tersebut berbeda dari pandangannya. Dan jika memungkinkan ia mempertimbangkan ide atau pemikiran yang berbeda dari ide atau pemikirannya. Seorang pemikir kritis tidak ragu dan segan mengakui kesalahannya serta mengubah pandangannya ketika bukti datang bukti baru yang lebih masuk akal, kuat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, seorang pemikir kritis adalah individu yang selalu terbuka terhadap berbagai ide atau pemikiran baru yang telah dan dapat diuji kebenarannya. Dengan demikian, seorang yang kritis memiliki kerendahan hati untuk menyadari dan mengakui kesalahannya dalam berpikir.

Setelah memperhatikan keempat kunci utama dalam berpikir kritis, maka dapat disimpulkan bahwa seorang yang berpikir kritis adalah individu yang sadar penuh menggunakan pikirannya dengan sesuai dan menjadikan berpikir sebagai kegiatan yang bukan hanya diterapkan pada subjek-subjek di luar dirinya, melainkan pertama-tama dan terutama dialamatkan pada dirinya sendiri sebagai subjek yang berpikir. Akhirnya, yang harus selalu diingat bahwa semuanya itu dilakukan tanpa mengenal kata “stop” karena merupakan bagian hidup yang terus berlangsung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.