Setelah bagian pertama dari seri tulisan “Sejarah Singkat Pemikiran Kritis” yang membahas akar pemikiran kritis yang dipelopori oleh Sokrates yang kemudian dilanjutkan oleh para filsuf Yunani setelahnya, maka bagian kedua ini membahas para pemikir kritis yang hidup di Abad Pertengahan sampai masa Renaissance.
Pada Abad Pertengahan, tradisi pemikiran kritis terkandung dalam berbagai tulisan dan pengajaran para pemikir yang hidup di zaman itu, salah seorangnya adalah Thomas Aquinas. Dalam karyanya, Sumna Theologica, Aquinas menyatakan bahwa gaya berpikirnya sejalan dengan semangat kritisisme yang dicirikan oleh kerunutan penyampaian pendapatnya, penuh pertimbangan, dan selalu menjawab semua kritik yang ditujukan terhadap pandangan-pandangannya. Hal-hal ini dianggapnya sebagai tahap penting dalam membangun gaya berpikirnya. Aquinas menegaskan bahwa kesadaran manusia bukan hanya melibatkan kekuatan proses berpikir yang jernih dan runut, namun juga melibatkan perlunya berpikir jernih dan runut tersebut disajikan dengan bijak dan bertanggung jawab serta mampu diuji. Pemikiran Aquinas tidak selalu berarti bahwa seseorang yang berpikir kritis selalu menolak keyakinan-keyakinan yang telah ada, melainkan menolak keyakinan-keyakinan yang tidak dilandaskan pada dasar-dasar yang kuat.
Pada masa Renassaince (abad ke-15 dan 16), banyak para pemikir Eropa mulai berpikir secara kritis mengenai seni, masyarakat, hakikat manusia, hukum, kebebasan, dan agama. Ini didasarkan pada pemikiran bahwa sebagian besar kehidupan manusia perlu dikaji kembali dan dikritisi. Di antara para pemikir tersebut adalah Colet, Erasmus, dan Moore.
Salah seorang pemikir asal Inggris, Francis Bacon, secara gamblang mengungkapkan keprihatinannya terhadap bagaimana manusia keliru menggunakan pikirannya dalam mencari pengetahuan. Ia menyatakan bahwa pikiran (manusia) tidak bisa ditumpukan pada kecenderungan-kecenderungan yang seringkali mengecoh dan menyesatkan. Dalam bukunya, The Advancement of Learning, ia menekankan pentingnya mempelajari dunia secara empiris. Bacon meletakkan dasar bagi ilmu pengetahuan modern dengan menekankan pada proses-proses mengumpulkan informasi. Ia juga memberikan perhatian pada kenyataan bahwa sebagian besar orang, jika hidup hanya berdasar pada kecenderungan-kecenderungan tadi sangat mudah terjatuh pada kebiasaan-kebiasaan berpikir yang salah dan menyesatkan. Kebiasaan-kebiasaan ini disebutnya “berhala-berhala.”
“Berhala-berhala” itu adalah
1. “Berhala suku” = bagaimana pikiran manusia cenderung mudah mengelabui dirinya sendiri
2. “Berhala pasar” = bagaimana manusia keliru menggunakan kata-kata
3. “Berhala (gedung) teater” = kecenderungan manusia untuk terjebak dalam sistem-sistem pemikiran yang kuno
4. “Berhala aliran pemikiran” = masalah-masalah dalam berpikir ketika didasarkan pada aturan-aturan yang kaku dan membuat bodoh
Buku Bacon tersebut bisa diperhitungkan sebagai salah satu karya mula-mula dalam pemikiran kritis karena tujuan yang terkandung di dalamnya menampilkan tradisi pemikiran kritis yang sudah dimulai oleh Sokrates.
Sekitar 50 tahun setelah munculnya karya Francis Bacon, Di Prancis, René Descartes melahirkan sebuah buku – Rules For the Direction of the Mind – yang bisa dianggap sebagai tulisan kedua dalam pemikiran kritis. Dalam buku tersebut Descartes menegaskan perlunya sebuah cara sistematis khusus untuk melatih pikiran demi menghasilkan pemikiran yang jernih dan tepat karena itulah tujuan berpikir kritis. Ia mengemukakan sebuah metode berpikir kritis yang dilandaskan pada prinsip meragukan sistematis. Ia menegaskan pentingnya untuk mendasarkan cara berpikir yang baik pada asumsi-asumsi yang mendasar. Setiap bagian dalam berpikir harus dipertanyakan, diragukan, dan diuji.
Pada masa yang sama, Sir Thomas Moore (asal Inggris) mengajukan sebuah model baru dari tatanan sosial dalam karyanya Utopia. Di dalamnya ia menyatakan bahwa setiap bagian dari dunia masa kini harus (bisa) dikritisi. Secara tersirat ia mengungkapkan bahwa sistem-sistem sosial perlu dianalisis dan dikritisi secara mendasar.
Sementara itu di masa Renaissance di Italia ditandai oleh karya Machiavelli, The Prince, yang mengkritisi politik pada masanya dan meletakkan dasar bagi pemikiran politik modern yang kritis. Machiavelli menolak jika pemerintah berfungsi sebagaimana dikatakan oleh pihak yang memiliki kekuatan dan berkuasa. Oleh karena itu, ia dengan kritis ia mengkaji bagaimana pemerintah berfungsi dan meletakkan dasar bagi pemikiran politik yang memperhatikan semua hal, baik berbagai tujuan para politikus, pertentangan dan ketidaksesuaian dari para politikus yang licik dan jahat pada saat itu.
Perkembangan tradisi berpikir kritis pada masa Renaissance telah membuka jalan bagi lahirnya ilmu pengetahuan, perkembangan demokrasi, hak-hak manusia, dan kebebasan berpikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.