Setiap kali bertemu orang-orang beragama yang "keras" saya selalu mendengar beberapa pernyataan mengenai tuhan, seperti berikut:
"Tuhan ada karena terdapat di dalam kitab suci." (Argumen yang berdasar pada otoritas tertentu.)
"Tuhan saya rasakan hadir dalam hati saya." (Argumen yang berdasar pada pengalaman pribadi.)
"Tuhan tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata manusia yang begitu terbatas." (Argumen yang berdasar pada keterbatasan kata-kata manusia.)
"Tuhan tidak bisa dijelaskan, baik oleh akal manusia maupun bukti-bukti karena pengetahuan manusia sangat terbatas." (Argumen yang berdasar pada keterbatasan pengetahuan manusia.)
"Tuhan adalah penyayang." (Argumen yang berdasar pada suatu prinsip yang abstrak.)
"Tuhan dipercaya sebagian besar orang di dunia." (Argumen yang berdasar pada angka/mayoritas/kuantitas.)
Berikut adalah beberapa pertanyaan kritis saya terhadap semua pernyataan di atas:
* Jika "tuhan" terdapat dalam berbagai kitab suci, bukankah kitab suci ditulis oleh manusia? Jika demikian, bukankah yang orang-orang baca dalam kitab suci merupakan pengalaman atau refleksi atau tafsiran orang lain mengenai tuhannya dalam hubungannya dengan konteks kehidupan di masa tertentu yang belum tentu sama dengan konteks kehidupan masa kini? Walaupun lema "tuhan" ditemukan dalam sebuah tulisan (buku), itu tidak serta-merta menunjukkan bahwa tuhan itu ada. Seandainya tuhan pun ada, bagaimana orang dapat mengetahui bahwa tuhan yang ditulis dan disembah oleh orang lain dalam zaman yang berbeda adalah tuhan yang sama yang dibaca dan disembah oleh para pengikutnya dari zaman sekarang?
* Jika "tuhan" bisa dirasakan kehadirannya dalam hidup seseorang, bagaimana membuktikan bahwa hal itu sungguh terjadi? Apakah ada tolok ukur tertentu (yang pasti)? Jika ada, apakah yang bisa dijadikan tolok ukur tersebut? Penelitian psikologi terkini mengatakan bahwa apa yang banyak orang sebut dengan "perasaan" sesungguhnya tidak lebih dari emosi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup. Artinya, emosi setiap makhluk hidup berbeda karena bergantung pada kondisi biologis, fisik, dan sosiologis di mana orang itu hidup. Pengalaman pribadi adalah salah satu unsur penting dalam hidup setiap orang. Namun, pengalaman tersebut tidak boleh dijadikan sebagai kata akhir dalam menjelaskan semua hal dalam hidup manusia. Mengapa demikian? Karena pengalaman hidup manusia sangat bersifat subjektif akibat pengaruh dari berbagai emosi yang dimiliki masing-masing orang.
* Jika "tuhan" tidak bisa dijelaskan menggunakan kata-kata manusia akibat keterbatasan kata yang dimiliki manusia, maka harus dijelaskan menggunakan kata-kata siapa atau apakah "tuhan" itu? Apakah memang tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan "tuhan" sehingga yang muncul berulang-ulang hanyalah kata-kata, seperti: "ajaib", "rahasia", atau "misteri"? Mengapa manusia bisa mengucapkan kata "ajaib", "rahasia", dan "misteri" untuk menjelaskan "tuhan", tetapi sepertinya kehabisan kata untuk menjelaskannya lebih lanjut. Bukankah kata "tuhan" hanya ditemukan/diciptakan dan diucapkan oleh manusia? Lalu, mengapa manusia tidak bisa menjelaskan sesuatu yang sesungguhnya ditemukan/diciptakan dan diucapkan olehnya? Atau, mungkin manusia saja yang terlalu malas menjelaskan "tuhan" itu.
* Jika "tuhan" tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia, maka bisa dijelaskan oleh apakah "tuhan" itu? Harus disadari penuh bahwa memang pengetahuan manusia terbatas, namun apakah hal tersebut harus selalu dijadikan alasan untuk "menolak" menjelaskan "tuhan"? Apakah keterbatasan manusia perlu dipandang sebagai suatu penghalang atau hambatan yang mengakibatkan seseorang tidak mampu menjelaskan "tuhan"-(nya)? Bukankah "tuhan" ada sebagai bagian dari "pengetahuan" yang dimiliki manusia, setidaknya bagi mereka yang menyembah dan mempercayainya? Tentu ya. Oleh karena itu, baiklah manusia menjelaskan "tuhan" menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.
* Jika "tuhan" digambarkan sebagai figur yang penyayang, mengapa figur "tuhan" dalam beberapa (jika tidak mau dikatakan banyak) tulisan di kitab suci digambarkan sebagai figur yang keras, kejam, pemarah, dan pencemburu? Bukankah gambaran abstrak tersebut bertolak belakang dengan beberapa gambaran tersebut? Belum lagi jika ditambah dengan sikap para penyembah dan pengikutnya yang tidak jauh berbeda dari gambaran mengenai tuhannya sendiri.
* Jika "tuhan" dipercaya sebagian besar orang di dunia, bukankah hal tersebut tidak membuktikan apa-apa mengenai "tuhan"? Angka/kuantitas tidak berarti apa-apa karena belum tentu suatu hal yang dipercaya benar oleh sebagian besar orang membuat hal tersebut benar adanya. Sama sekali tidak ada hubungan antara angka/jumlah/kuantitas orang yang mendukung suatu hal dan hal itu sendiri. Banyaknya orang tidak menentukan benar atau salahnya suatu subjek, tetapi data dan akal sehatlah yang menentukan penilaian seseorang, apakah subjek tersebut benar atau salah. Bukankah sebuah adagium mengatakan: "Yang terpenting bukan kuantitasnya melainkan kualitasnyalah yang terutama". Jika demikian, pertanyaannya adalah: apakah kualitas para penyembah dan pengikut yang disebut tuhan itu baik? Jika ya, coba tolong ingat kembali berbagai pertikaian yang terjadi antar para penyembah tuhan itu. Dengan demikian, argumen ini pun sangatlah lemah karena sama sekali tidak didukung oleh alasan-alasan kuat yang relevan, malah bisa menjadi bumerang terhadap para penyembah dan pengikut tuhan.
Argumen-argumen dibuat dan dikemukakan untuk mendukung dan memperkuat suatu posisi, bukannya malah memperlemah posisi tersebut. Mendengar argumen-argumen yang biasa diucapkan orang-orang beragam bukannya memperkuat argumen mereka melainkan sesungguhnya memperlemah argumen mereka sendiri. Argumen juga dibuat untuk menjelaskan dan memperjelas sebuah pandangan atau subjek, bukannya mengaburkan pandangan atau subjek tersebut.
"Tuhan ada karena terdapat di dalam kitab suci." (Argumen yang berdasar pada otoritas tertentu.)
"Tuhan saya rasakan hadir dalam hati saya." (Argumen yang berdasar pada pengalaman pribadi.)
"Tuhan tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata manusia yang begitu terbatas." (Argumen yang berdasar pada keterbatasan kata-kata manusia.)
"Tuhan tidak bisa dijelaskan, baik oleh akal manusia maupun bukti-bukti karena pengetahuan manusia sangat terbatas." (Argumen yang berdasar pada keterbatasan pengetahuan manusia.)
"Tuhan adalah penyayang." (Argumen yang berdasar pada suatu prinsip yang abstrak.)
"Tuhan dipercaya sebagian besar orang di dunia." (Argumen yang berdasar pada angka/mayoritas/kuantitas.)
Berikut adalah beberapa pertanyaan kritis saya terhadap semua pernyataan di atas:
* Jika "tuhan" terdapat dalam berbagai kitab suci, bukankah kitab suci ditulis oleh manusia? Jika demikian, bukankah yang orang-orang baca dalam kitab suci merupakan pengalaman atau refleksi atau tafsiran orang lain mengenai tuhannya dalam hubungannya dengan konteks kehidupan di masa tertentu yang belum tentu sama dengan konteks kehidupan masa kini? Walaupun lema "tuhan" ditemukan dalam sebuah tulisan (buku), itu tidak serta-merta menunjukkan bahwa tuhan itu ada. Seandainya tuhan pun ada, bagaimana orang dapat mengetahui bahwa tuhan yang ditulis dan disembah oleh orang lain dalam zaman yang berbeda adalah tuhan yang sama yang dibaca dan disembah oleh para pengikutnya dari zaman sekarang?
* Jika "tuhan" bisa dirasakan kehadirannya dalam hidup seseorang, bagaimana membuktikan bahwa hal itu sungguh terjadi? Apakah ada tolok ukur tertentu (yang pasti)? Jika ada, apakah yang bisa dijadikan tolok ukur tersebut? Penelitian psikologi terkini mengatakan bahwa apa yang banyak orang sebut dengan "perasaan" sesungguhnya tidak lebih dari emosi yang dimiliki oleh setiap makhluk hidup. Artinya, emosi setiap makhluk hidup berbeda karena bergantung pada kondisi biologis, fisik, dan sosiologis di mana orang itu hidup. Pengalaman pribadi adalah salah satu unsur penting dalam hidup setiap orang. Namun, pengalaman tersebut tidak boleh dijadikan sebagai kata akhir dalam menjelaskan semua hal dalam hidup manusia. Mengapa demikian? Karena pengalaman hidup manusia sangat bersifat subjektif akibat pengaruh dari berbagai emosi yang dimiliki masing-masing orang.
* Jika "tuhan" tidak bisa dijelaskan menggunakan kata-kata manusia akibat keterbatasan kata yang dimiliki manusia, maka harus dijelaskan menggunakan kata-kata siapa atau apakah "tuhan" itu? Apakah memang tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan "tuhan" sehingga yang muncul berulang-ulang hanyalah kata-kata, seperti: "ajaib", "rahasia", atau "misteri"? Mengapa manusia bisa mengucapkan kata "ajaib", "rahasia", dan "misteri" untuk menjelaskan "tuhan", tetapi sepertinya kehabisan kata untuk menjelaskannya lebih lanjut. Bukankah kata "tuhan" hanya ditemukan/diciptakan dan diucapkan oleh manusia? Lalu, mengapa manusia tidak bisa menjelaskan sesuatu yang sesungguhnya ditemukan/diciptakan dan diucapkan olehnya? Atau, mungkin manusia saja yang terlalu malas menjelaskan "tuhan" itu.
* Jika "tuhan" tidak bisa dijelaskan oleh pengetahuan manusia, maka bisa dijelaskan oleh apakah "tuhan" itu? Harus disadari penuh bahwa memang pengetahuan manusia terbatas, namun apakah hal tersebut harus selalu dijadikan alasan untuk "menolak" menjelaskan "tuhan"? Apakah keterbatasan manusia perlu dipandang sebagai suatu penghalang atau hambatan yang mengakibatkan seseorang tidak mampu menjelaskan "tuhan"-(nya)? Bukankah "tuhan" ada sebagai bagian dari "pengetahuan" yang dimiliki manusia, setidaknya bagi mereka yang menyembah dan mempercayainya? Tentu ya. Oleh karena itu, baiklah manusia menjelaskan "tuhan" menggunakan pengetahuan yang dimilikinya.
* Jika "tuhan" digambarkan sebagai figur yang penyayang, mengapa figur "tuhan" dalam beberapa (jika tidak mau dikatakan banyak) tulisan di kitab suci digambarkan sebagai figur yang keras, kejam, pemarah, dan pencemburu? Bukankah gambaran abstrak tersebut bertolak belakang dengan beberapa gambaran tersebut? Belum lagi jika ditambah dengan sikap para penyembah dan pengikutnya yang tidak jauh berbeda dari gambaran mengenai tuhannya sendiri.
* Jika "tuhan" dipercaya sebagian besar orang di dunia, bukankah hal tersebut tidak membuktikan apa-apa mengenai "tuhan"? Angka/kuantitas tidak berarti apa-apa karena belum tentu suatu hal yang dipercaya benar oleh sebagian besar orang membuat hal tersebut benar adanya. Sama sekali tidak ada hubungan antara angka/jumlah/kuantitas orang yang mendukung suatu hal dan hal itu sendiri. Banyaknya orang tidak menentukan benar atau salahnya suatu subjek, tetapi data dan akal sehatlah yang menentukan penilaian seseorang, apakah subjek tersebut benar atau salah. Bukankah sebuah adagium mengatakan: "Yang terpenting bukan kuantitasnya melainkan kualitasnyalah yang terutama". Jika demikian, pertanyaannya adalah: apakah kualitas para penyembah dan pengikut yang disebut tuhan itu baik? Jika ya, coba tolong ingat kembali berbagai pertikaian yang terjadi antar para penyembah tuhan itu. Dengan demikian, argumen ini pun sangatlah lemah karena sama sekali tidak didukung oleh alasan-alasan kuat yang relevan, malah bisa menjadi bumerang terhadap para penyembah dan pengikut tuhan.
Argumen-argumen dibuat dan dikemukakan untuk mendukung dan memperkuat suatu posisi, bukannya malah memperlemah posisi tersebut. Mendengar argumen-argumen yang biasa diucapkan orang-orang beragam bukannya memperkuat argumen mereka melainkan sesungguhnya memperlemah argumen mereka sendiri. Argumen juga dibuat untuk menjelaskan dan memperjelas sebuah pandangan atau subjek, bukannya mengaburkan pandangan atau subjek tersebut.
Selamat Pagi ndi,
BalasHapusbanyak pertanyaan dari gw setelah membaca tulisan elu ini,
yang Pertama ; Apa Agama/kepercayaan yang elu anut atau ikuti saat ini? sekedar bantuan mungkin elu bisa lihat di KTP elu bro..
yang kedua ; kenapa setiap perkataan "tuhan" elu selalu menggunakan huruf kecil, apa ini artinya bukan tuhan seperti yg gw maksud? atau maksud elu 'tuhan"ini adalah ilah yang lain?
yang ketiga ; apakah pemikiran kritis elu ini untuk semua agama dan kepercayaan yang ada di Dunia atau hanya menyoroti dari 1 kepercayaan saja?
yang keempat ; apabila benar kalau pemikiran elu hanya untuk 1 agama / 1 kepercayaan saja, pertanyaan gw, kenapa mesti agama itu? kan masih ada agama yang lain, kenapa tidak semua juga elu fikirkan secara kritis, kenapa mesti cuma kepercayaan yang satu ini?
Apapun pendapat elu tentang suatu kepercayaan atau agama tertentu bisa berdampak sangat negatif terhadap kepercayaan/agama itu, bisa saja hal ini dapat dijadikan landasan dari pihak tertentu untuk menyerang pemahaman agama tersebut dan akhirnya menjadi SARA
Tolong berfikir kritis juga tentang apa yang elu tulis di media bebas seperti ini dengan memikirkan dampak yang dapat ditimbulkan,apakah hal ini sudah elu pikirkan masak2 atau elu menganut paham sebodo amat, yang penting ada tulisan yang bisa gw hasilkan...apabila elu bisa bertanya secara kritis mengenai Tuhan, tolong berfikir kritis juga untuk jawabannya...
terakhir, tolong jawab dengan jujur, apa elu udah menjadi seorang atheis bro?
Trims.
RF
Hai Roy... Thanks atas tanggapan lu. Gua jawab yah...
BalasHapus1. Walaupun di KTP tertulis gua beragama tertentu, tapi ga serta-merta berarti gua "menganut" hal itu. Awalnya, keterangan "agama" di KTP dibuat untuk memisahkan antara orang-orang beragama dan orang-orang yang menganut paham komunisme. Apa hubungan KTP dengan kepercayaan seseorang, jika lu mengamini bahwa kepercayaan seseorang (memeluk agama tertentu dan menyembah tuhan) adalah urusan pribadi antara lu dan tuhan lu. Buat apa ditulis segala di KTP.
2. Lema "tuhan" ga gua ketik pake huruf besar karena itu bukan menunjuk pada nama seseorang. Penggunaan huruf besar di setiap huruf pertama dari sebuah kata hanya digunakan setiap kali menulis nama, seperti: nama tempat, nama orang, nama bulan. Dan "tuhan" itu bukan nama, tapi sebutan yang digunakan orang-orang beragama tertentu ketika menyapa tuhannya.
Berlanjut...
Lanjutan:
BalasHapusKalo gitu, siapa namanya tuhan orang Kristen? Orang Kriten seharusnya bertanya lagi. Tuhan yang mana, tuhan dalam Perjanjian Lama or Perjanjian Baru. Kalo tuhan dalam PL, jelas, tak bernama (coba baca lagi Alkitabnya). Sedangkan tuhan dalam PB adalah Yesus (menurut orang-orang Kristen tentunya).
3. Tidak ditujukan pada satu kepercayaan (agama).
4. Coba baca tulisan-tulisan gua yang lain. (Ada penyebutan tuhan, allah, dan dewa, itu berarti menunjuk pada kepercayaan-kepercayaan lain.)
Berlanjut...
Lanjutan:
BalasHapusRoy, kepercayaan atau agama pada dirinya sendiri (an sich) bukan siapa2, karena kepercayaan atau agama hanyalah kata (-kata), tetapi para penganutnyalah yang siapa2. Kalo ada seorang penganut/pemeluk kepercayaan tertentu menganggap tulisan gua lemah argumentasinya, silahkan memberikan argumen yang lebih kuat. Jika demikian, mari kita berdiskusi. Ini kan tujuan gua.
Karena lu bilang ini (blog dan internet) media bebas, bukankah setiap orang bebas juga untuk berekspresi, mengeluarkan pendapat, dan berargumen melalui media yang bebas, seperti yang lu sendiri tulis? Semua tulisan gua didasarkan pada data, akal sehat, dan tentu, argumen, jadi ga asal tulis. Karena gua ga asal tulis, jadi gua ga sebodo amat.
5. Sejauh ini ya.
Trims atas Jawabannya,sekarang semuanya jadi jelas, karena terus terang jawaban dari pertanyaan gw yang terakhir adalah kunci jawaban yang sesungguhnya atas apa yang gw pertanyakan dengan apa yang elu tuliskan,
BalasHapusSetelah melihat jawaban dari pertanyaan gw yang terakhir bahwa elu adalah seorang Atheis,untuk itu gw :
1. setuju dgn jawaban elu karena untuk seorang Atheis penulisan Agama di KTP hanyalah untuk formalitas saja
2. Gw ngerti dan paham karena bagi seorang Atheis tidak masalah menulis kata tuhan dengan huruf kecil, toh doi ga percaya tuhan kan? lain dengan kita yang beragama
3. Cukup jelas
4. Dengan melihat pengakuan elu untuk pertanyaan gw bahwa memang sejauh ini elu ternyata telah menjadi seorang Atheis maka sudah terjawab apa yang gw tanyakan dan tidak ada kekuatiran dengan apa yang gw pikirkan dengan hal tersebut bahwa itu bisa menjadi suatu tulisan SARA
Kenapa gw katakan tolong berfikir mengenai bicara di media bebas seperti ini dikarenakan kekuatiran gw pada awalnya karena gw berfikir elu masih menganut Agama yang sama dengan gw dan apa yang elu tulis adalah untuk membahas 1 agama saja, ternyata gw keliru dan hal itu sudah elu jawab juga pada pertanyaan gw yang ke 3
5. Thanks untuk kejujuran elu,jadi next time gw ga minta elu lagi untuk pimpin ibadah.
RF
Roy, gua tanggapi poin no. 2 lu. Bagi gua, itu sama sekali tidak berkaitan dengan posisi (atheis or tidak atheis-nya) seseorang, tapi masalah bahasa or penggunaan kata.
BalasHapusPoin 5 lu tulis: "Thanks untuk kejujuran elu,jadi next time gw ga minta elu lagi untuk pimpin ibadah". Thanks Roy karena udah tanya gua. Aaaha, itu adalah sikap yang bijak. Gua berterimakasih untuk sikap bijaksana lu (ga minta gua lagi untuk pimpin kebaktian).
Menurut saya agama itu hanya merupakan kebudayaan saja. Tuhan dijadikan simbol dari "harapan berlebih" dari orang2 masa lalu (primitif) atas keterbatasan / ketidakberdayaan menghadapi kondisi alam & persaingan pada waktu itu. Lantas kenapa bisa terbawa sampai sekarang? Tentu saja, di sekitar kita masih banyak orang2 primitif atau setidaknya mempunyai sisa2 pemikiran primitif yg dengan sadar melestarikannya.
BalasHapusKalo saya lebih memilih menggunakan kata "delusinasi" untuk menggambarkan orang-orang yang beragama.
BalasHapus