Tina : "Amiiin".
Tono : "Semoga cepet sembuh ya, Rini..."
Rini : "Amiiin".
Ina : "Semoga sukses yah, Mala..."
Mala : "Amiiin".
Sonya : "Semoga cepat dapat pasangan yah, Dodi..."
Dodi : "Amiiin".
Teman-teman : "Semoga berbahagia yah, kalian berdua..."
Pasangan yang baru menikah : "Amiiin".
Keluarga : "Semoga segera dapat momongan yah..."
Suami-istri : "Amiiin".
Pendeta : "Firman tuhan adalah benar! Amin, saudara-saudara?!"
Jemaat : "Amiiin!!!"
Pendeta : "Yesus mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita manusia, saudara-saudara! Yang
percaya katakan "amin" sekarang juga!Jemaat : "Amiiin!!!"
Pendeta : "Kita pasti masuk surga bukannya neraka. Amin, saudara-saudara?!"
Jemaat : "Amiiin!!!"
Mengapa banyak orang seringkali mengucapkan kata "amin"? Apakah arti kata "amin" itu? Apakah mereka yang mengucapkan kata "amin" memahami kata tersebut?
Kata "amin" berasal dari kata Yunani klasik ameen yang artinya "ya" atau "benar demikian" atau "benar adanya". Kata "amin" digunakan dalam konteks keagamaan karena dalam konteks sehari-hari untuk pengertian yang sama digunakan kata lain, yakni nai. Kata ameen dan nai sama-sama menunjuk pada jawaban/tanggapan yang positif atau memberikan penegasan pada pernyataan yang mendahuluinya. Namun demikian, sepertinya mereka yang menggunakan kata "amin" sama sekali tidak menyadari jika kata tersebut sesungguhnya hanya digunakan dalam konteks keagamaan. Sedangkan jika mereka hendak menyatakan "ya" dalam konteks sehari-hari, maka seharusnya yang digunakan adalah kata "nai". Namun demikian, ini bukanlah masalah yang pertama dan terutama.
Mari kita perhatikan kembali beberapa penggunaan kata "amin" seperti telah dicontohkan di atas seraya mengaitkannya dengan pengertian yang telah diberikan. Anggaplah kata "amin" yang digunakan bisa juga digunakan dalam konteks sehari-hari. Artinya, kata "amin" yang digunakan tidak dibatasi hanya pada konteks keagamaan atau sehari-hari. Jika ucapan-ucapan di atas diulangi kembali dengan menyertakan jawaban atau tanggapan yang merupakan arti dari kata "amin" tersebut, maka hasilnya adalah seperti berikut:
Budi : "Semoga panjang umur yah, Tina..."
Tina : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Tono : "Semoga cepat sembuh ya, Rini..."
Rini : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Ina : "Semoga sukses yah, Mala..."
Mala : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Sonya : "Semoga cepat dapat pasangan yah, Dodi..."
Dodi : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Teman-teman : "Semoga berbahagia yah, kalian berdua..."
Pasangan yang baru menikah : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Keluarga : "Semoga cepat dapat momongan yah..."
Suami-istri : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Pendeta : "Firman tuhan adalah benar! Amin, saudara-saudara?!"
Jemaat : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya!".
Pendeta : "Yesus mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita, saudara-saudara! Yang percaya
katakan "amin" sekarang juga!
Jemaat : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya!".
Pendeta : "Kita pasti surga bukannya neraka! Amin, saudara-saudara?!"
Jemaat : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya!"
Masalah yang kedua dan terutama muncul. Perhatikan enam kalimat pertama. Apakah jawaban atau tanggapan "amin" yang dikemukakan relevan atau nyambung dengan kata-kata yang mendahuluinya? Sepertinya penggunaan kata "amin" oleh Tina, Rini, Dodi, Mala, pasangan yang baru menikah, dan suami-istri lebih dimaksudkan sebagai "harapan", bukannya "penegasan" atau sesuatu yang positif karena kalimat-kalimat yang mendahuluinya merupakan ucapan-ucapan yang bernada harapan.
Sementara itu, penggunaan kata "amin" dalam tiga kalimat yang terakhir (antara pendeta dan jemaat) lebih tepat karena menunjukkan kaitan antara jawaban/tanggapan "amin" dengan ucapan-ucapan yang mendahuluinya. Namun demikian, jelas, dalam konteks tersebut, kata "amin" digunakan sebagai konfirmasi/penegasan tanpa adanya kemungkinan bagi seseorang untuk mempertanyakan apalagi meragukan ucapan-ucapan pendeta tadi. Inilah masalahnya, penggunaan kata "amin" dalam konteks keagamaan merupakan pertanda bahwa orang yang mengatakannya telah sama sekali menyingkirkan atau meniadakan kemampuan berpikir kritisnya. "Amin" dalam konteks keagamaan tidaklah mengajak apalagi menuntun orang pada berbagai pertanyaan melainkan memaksa orang untuk serta-merta mengiyakan, mempercayai, dan menegaskan, baik pernyataan, kepercayaan, maupun ajaran tertentu.
"Amin" dalam konteks keagamaan menuntun orang pada ketidaktahuan, dan ketidakmengertian. Namun demikian, itulah hakikat agama, membawa para pemeluk dan pengikutnya pada segala hal yang tidak (boleh/perlu) dipertanyakan karena hakikat agama adalah "mengiyakan dan mempercayai" tanpa sama sekali mempertanyakan apalagi meragukan hal-hal yang ada ada di dalamnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola pikir dan kerja "amin" sama sekali bertentangan dengan semangat berpikir kritis, di mana "amin" tidak memerlukan pertanyaan sedangkan berpikir kritis salah satunya ditandai oleh serentetan pertanyaan.
[Seseorang: "Amin, saudaraku?!" Saya: "Tunggu dulu! Saya harus mengujinya terlebih dahulu!"]
Kata "amin" berasal dari kata Yunani klasik ameen yang artinya "ya" atau "benar demikian" atau "benar adanya". Kata "amin" digunakan dalam konteks keagamaan karena dalam konteks sehari-hari untuk pengertian yang sama digunakan kata lain, yakni nai. Kata ameen dan nai sama-sama menunjuk pada jawaban/tanggapan yang positif atau memberikan penegasan pada pernyataan yang mendahuluinya. Namun demikian, sepertinya mereka yang menggunakan kata "amin" sama sekali tidak menyadari jika kata tersebut sesungguhnya hanya digunakan dalam konteks keagamaan. Sedangkan jika mereka hendak menyatakan "ya" dalam konteks sehari-hari, maka seharusnya yang digunakan adalah kata "nai". Namun demikian, ini bukanlah masalah yang pertama dan terutama.
Mari kita perhatikan kembali beberapa penggunaan kata "amin" seperti telah dicontohkan di atas seraya mengaitkannya dengan pengertian yang telah diberikan. Anggaplah kata "amin" yang digunakan bisa juga digunakan dalam konteks sehari-hari. Artinya, kata "amin" yang digunakan tidak dibatasi hanya pada konteks keagamaan atau sehari-hari. Jika ucapan-ucapan di atas diulangi kembali dengan menyertakan jawaban atau tanggapan yang merupakan arti dari kata "amin" tersebut, maka hasilnya adalah seperti berikut:
Budi : "Semoga panjang umur yah, Tina..."
Tina : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Tono : "Semoga cepat sembuh ya, Rini..."
Rini : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Ina : "Semoga sukses yah, Mala..."
Mala : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Sonya : "Semoga cepat dapat pasangan yah, Dodi..."
Dodi : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Teman-teman : "Semoga berbahagia yah, kalian berdua..."
Pasangan yang baru menikah : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Keluarga : "Semoga cepat dapat momongan yah..."
Suami-istri : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya".
Pendeta : "Firman tuhan adalah benar! Amin, saudara-saudara?!"
Jemaat : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya!".
Pendeta : "Yesus mati di kayu salib untuk menyelamatkan kita, saudara-saudara! Yang percaya
katakan "amin" sekarang juga!
Jemaat : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya!".
Pendeta : "Kita pasti surga bukannya neraka! Amin, saudara-saudara?!"
Jemaat : "Ya...atau benar demikian atau benar adanya!"
Masalah yang kedua dan terutama muncul. Perhatikan enam kalimat pertama. Apakah jawaban atau tanggapan "amin" yang dikemukakan relevan atau nyambung dengan kata-kata yang mendahuluinya? Sepertinya penggunaan kata "amin" oleh Tina, Rini, Dodi, Mala, pasangan yang baru menikah, dan suami-istri lebih dimaksudkan sebagai "harapan", bukannya "penegasan" atau sesuatu yang positif karena kalimat-kalimat yang mendahuluinya merupakan ucapan-ucapan yang bernada harapan.
Sementara itu, penggunaan kata "amin" dalam tiga kalimat yang terakhir (antara pendeta dan jemaat) lebih tepat karena menunjukkan kaitan antara jawaban/tanggapan "amin" dengan ucapan-ucapan yang mendahuluinya. Namun demikian, jelas, dalam konteks tersebut, kata "amin" digunakan sebagai konfirmasi/penegasan tanpa adanya kemungkinan bagi seseorang untuk mempertanyakan apalagi meragukan ucapan-ucapan pendeta tadi. Inilah masalahnya, penggunaan kata "amin" dalam konteks keagamaan merupakan pertanda bahwa orang yang mengatakannya telah sama sekali menyingkirkan atau meniadakan kemampuan berpikir kritisnya. "Amin" dalam konteks keagamaan tidaklah mengajak apalagi menuntun orang pada berbagai pertanyaan melainkan memaksa orang untuk serta-merta mengiyakan, mempercayai, dan menegaskan, baik pernyataan, kepercayaan, maupun ajaran tertentu.
"Amin" dalam konteks keagamaan menuntun orang pada ketidaktahuan, dan ketidakmengertian. Namun demikian, itulah hakikat agama, membawa para pemeluk dan pengikutnya pada segala hal yang tidak (boleh/perlu) dipertanyakan karena hakikat agama adalah "mengiyakan dan mempercayai" tanpa sama sekali mempertanyakan apalagi meragukan hal-hal yang ada ada di dalamnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pola pikir dan kerja "amin" sama sekali bertentangan dengan semangat berpikir kritis, di mana "amin" tidak memerlukan pertanyaan sedangkan berpikir kritis salah satunya ditandai oleh serentetan pertanyaan.
[Seseorang: "Amin, saudaraku?!" Saya: "Tunggu dulu! Saya harus mengujinya terlebih dahulu!"]
Met Sore ndi,
BalasHapusTrima kasih untuk pemberitahuannya mengenai arti kata Amin, gw setuju dengan pemikiran elu mengenai kata amin lebih tepat dipergunakan untuk keagamaan seperti yang elu katakan di atas,
Sedangkan untuk apa yg elu sebut sebagai"permasalahan" kalau boleh gw kutip tulisan elu di atas, gw ga setuju ndi,
gw pribadi sebagai orang awam merasa tidak ada masalah dengan gw mengatakan amin dengan apa yg pendeta ucapkan itu, dan gw rasa elu doang kali yang merasa itu jadi masalah...
Yang gw tau kebanyakan orang sepertinya tidak sempat berfikir apakah amin yang mereka katakan cocok atau tidak dengan pertanyaan atau kalimat yang ditujukan pada mereka, yang penting orang yang bertanya pun mengerti tujuan jawaban yang mereka berikan, seperti contoh elu diatas
Budi : "Semoga panjang umur yah, Tina..."
Tina : "Amiiin".
gw pikir tina berkata seperti itu karena merasa budi juga mengerti maksud yg dikatakan oleh tina, ada rasa trima kasih disitu dan memang betul ada "harapan" yg terkandung dari kalimat dan nada yang diucapkan, tapi itu sah saja menurut gw, bukankah manusia itu harus selalu punya harapan? apalagi bagi seorang nasrani
Mengucapkan kata amin bagi sebagian orang juga lebih banyak disebabkan kebiasaan, dan juga mereka merasa (barangkali) senang bisa menjawab secara religius, apa yang ditanyakan orang seperti contoh elu diatas dari pertama sampai ke enam,memang gak cocok kalau dengan pemikiran elu ndi, tapi gw rasa mereka yang telah menjawab itu merasa bahwa itu cocok2 aja tuh...mereka gak perlu harus seperti elu yang kalau ditanya trus bilang ; "tunggu dulu ! saya harus mengujinya terlebih dahulu" rasanya malah lebih gak relevan lagi ndi
Yang gw tau tidak semua jawaban harus dijawab dengan berfikir kritis seperti elu ndi...make it simple aja bro..,yang penting si budi dan tina sama2 ngerti dan nyambung, bayangkan kalau budi terima jawaban "tunggu dulu ! saya harus mengujinya terlebih dahulu"...bisa bengong si budi....
GBU
RF
Terimakasih Roy atas tanggapannya.
BalasHapusLu tulis: "ada rasa trima kasih disitu". Ah, lu baru saja memberikan atau memunculkan pengertian yang baru mengenai kata "amin" karena lu bilang "terimakasih". Dengan demikian, menurut lu kata "amin" juga bisa berarti "terimakasih". Waaah baru tau nih! :-)
Di paragraf berikutnya lu juga tulis: "Mengucapkan kata amin bagi sebagian orang juga lebih banyak disebabkan kebiasaan". Inilah dia Roy masalahnya lagi, "kebiasaan" seringkali mengakibatkan makna suatu hal (dhi. kata "amin") menjadi kabur atau bahkan sama sekali tidak dipahami penggunaannya dalam konteks tertentu.
Di paragraf yang sama lu tulis: "mereka gak perlu harus seperti elu yang kalau ditanya trus bilang ; "tunggu dulu ! saya harus mengujinya terlebih dahulu" rasanya malah lebih gak relevan lagi ndi". Apa yang lu maksud dengan "ga relevan", Roy?
Itulah yang menjadi kritikan gua terhadap "kebiasaan orang menggunakan kata amin". Begitu banyak orang sudah sangat "terbiasa" menggunakan kata "amin" sehingga makna kata tersebut menjadi kabur, bahkan tidak tahu maknanya sama sekali. Sangat menyedihkan!
Berlanjut...
Lanjutan:
BalasHapusRoy, tujuan gua menulis di blog ini adalah untuk mengedepankan dan mengutamakan berpikir kritis. Jadi, semua tulisan dalam blog ini adalah hasil dari berpikir kritis.
Itulah konsekuensi orang yang selalu berupaya berpikir kritis terhadap/dalam segala hal, Roy. Dan gua sangat menyadari hal tersebut. Jelas, bagi sebagian besar orang, yang gua lakukan ini terlihat atau "terasa" aneh/janggal/lucu, tetapi biarlah begitu.
Di paragraf terakhir lu tulis: "Yang gw tau tidak semua jawaban harus dijawab dengan berfikir kritis seperti elu ndi...make it simple aja bro..". Gua malah berpikir sangat berbeda dari lu karena bagi gua, semua hal atau jawaban harus dipikir, ditanggapi, or dijawab secara kritis. Mungkin tidak berarti secara harfiah, tetapi dalam pikiran. Naaah gua sama sekali ga bisa bilang seperti lu: "make it simple aja!" Karena bagi gua, yang simple bisa salah. Masalahnya, konteks kata "amin" dalam enam percakapan awal tidak nyambung dengan pengertian kata "amin" tersebut.
Dan sepertinya yang menjadi masalah adalah kalimat terakhir gua, yang mungkin seharusnya: "Tunggu dulu! Saya harus memikirkannya dulu!" dan itu tidak diucapkan secara verbal melainkan dalam pikiran.
Betul..betul....gw lupa kalau tujuan dari blog elu ini adalah mengedepankan pemikiran seseorang untuk berfikir kritis dengan tidak menggampangkan suatu peristiwa, kejadian atau pernyataan tertentu...gw sangat setuju dengan tambahan kolom mengenai tujuan, sasaran, misi dan visi dari blog elu ditulis didepan sebagai pengantar...harus gitu ndi supaya tiap orang yg masuk mambaca tau dan nyambung maunya elu apa dengan tulisan yg elu buat, gw ralat untuk perkataan gw dengan mengatakan "make it Simple" ke elu....silahkan lanjutkan cara berfikir elu bro..Gbu
BalasHapus