Minggu, 21 Maret 2010

Fundamentalisme Agama & Interaksi Sosial

Darren Sherkat, seorang dosen Sosiologi di Southern Illinois University melakukan penelitian yang didasarkan pada General Social Survey (badan survei resmi Amerika Serikat yang mendata hal-hal yang berkaitan dengan semua bidang kehidupan masyarakat Amerika Serikat) mengenai tingkat kecerdasan masyarakat Amerika Serikat. Hasil penelitian Sherkat sangat mencengangkan karena terungkap bahwa warga Amerika Serikat yang beragama secara keras (fundamentalistik) cenderung miskin dan berpendidikan rendah (hanya tamat SMA). Namun, kenyataan tersebut belum seberapa jika dibandingkan dengan kenyataan berikutnya yang mengungkapkan bahwa ternyata warga Amerika Serikat yang memeluk agamanya sangat kuat memiliki kemampuan berbahasa yang sangat minim. Artinya, kemampuan interaksi sosial warga Amerika Serikat yang beragama fundamentalistik sangat rendah.

Jika kenyataan berbicara demikian, lalu di mana hubungan antara fundamentalisme agama dan kemampuan interaksi sosial seseorang yang memeluk agamanya dengan begitu kuat? Setidaknya ada dua penjelasan yang bisa dikemukakan untuk melihat kaitan antara fundamentalisme agama di Amerika Serikat dan kemampuan interaksi sosial yang dimiliki oleh para pemeluk agama yang fundamentalistik.

Pertama, umumnya kehidupan keagamaan fundamentalistik di Amerika Serikat ditopang oleh berbagai kelompok kecil yang saling mendukung dan mengayomi. Berbagai jargon yang kerapkali terdengar, seperti: "Kita tidak sempurna, tetapi allah kita sempurna", "syukurilah kekuranganmu karena tuhan akan menyempurnakanmu", "kita harus tetap kecil, biarlah allah yang selalu besar", dan "engkau tidak kekurangan karena allah akan memenuhimu" sedikit banyaknya mempengaruhi pola pikir orang-orang yang termasuk ke dalam kategori tidak mampu, baik secara akademis maupun ekonomis. Mereka bukannya meningkatkan dan mengembangkan kemampuan akademis mereka melainkan melibatkan diri ke dalam kelompok-kelompok keagamaan yang lebih sering memberikan penguatan/penghiburan ketimbang mendorong anggotanya untuk mengembangkan dirinya.

Kedua, kelompok-kelompok keagamaan yang fundamentalistik di Amerika Serikat cenderung berpikiran sempit dan memisahkan diri dari kelompok masyarakat yang lebih luas dan dinamis. Kelompok-kelompok tersebut bukannya mendorong para anggotanya untuk terlibat dalam kehidupan masyarakat yang lebih luas demi meningkatkan dan mengembangkan kemampuan interaksi sosial mereka melalui bahasa, diskusi, dan dialog, tetapi malah cenderung menutup diri. Hal ini mengakibatkan kemampuan berbahasa para pemeluk agama fundamentalistik di Amerika Serikat cenderung minim, di mana hal yang serupa tidak ditemukan pada orang-orang yang tidak beragama secara fundamentalistik. Artinya, warga Amerika Serikat yang beragama secara fundamentalistik memiliki kemampuan interaksi sosial (bahasa) lebih minim dibandingkan warga Amerika Serikat yang tidak memeluk agamanya begitu kuat.

Berikut adalah ciri-ciri warga Amerika Serikat yang beragama secara fundamentalistik dan memiliki kemampuan interaksi sosial yang minim:

* Muda
* Laki-laki
* Bukan dari kalangan kulit putih
* Berasal dari kalangan imigran
* Miskin
* Hanya lulusan SMA
* Menikah muda
* Sudah memiliki anak
* Tinggal bukan di kota-kota besar
* Menetap di wilayah selatan Amerika Serikat

Bagaimana dengan warga Amerika Serikat yang tidak beragama (tidak sama dengan tidak percaya tuhan)? Hasil penelitian mengungkapkan fakta yang merupakan kebalikan dari hasil penelitian terhadap warga Amerika Serikat yang beragama secara fundamentalistik. Artinya, warga Amerika Serikat yang tidak beragama memiliki kemampuan interaksi sosial yang lebih baik dibandingkan saudara-saudaranya yang beragama secara fundamentalistik (keras).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.