Jika daya kritis seseorang terus dilatih tanpa kenal lelah dan bosan, maka orang tersebut dapat membedakan dan memilih kata-kata yang tepat untuk digunakan dalam kalimat ketika mengemukakan pendapat atau argumen. Demikian halnya ketika skeptisisme terus dibangun dan dikedepankan seseorang, maka sesungguhnya orang tersebut dapat memilah-milah kata-kata bahkan kalimat apa saja, baik yang hendak digunakan maupun tidak hendak digunakan.
Sebagai contoh, lema "percaya" dan "iman". Saya sangat berhati-hati terhadap penggunaan lema tersebut, terlebih jika kata tersebut digunakan dalam konteks ilmu pengetahuan atau ketika saya sedang berbicara mengenai sains (misalnya: ilmu-ilmu sosial, biologi, dan fisika). Bahkan saya cenderung tidak akan menggunakan kata "percaya" dalam konteks tersebut karena ilmu pengetahuan berbicara hal-hal, seperti: eksperimen, penelitian, logika, dan uji coba yang dilakukan tiada henti. Dalam ilmu pengetahuan, ketika semua hal tersebut (eksperimen, penelitian, logika, dan uji coba) dilakukan dan memperoleh hasil yang valid dengan didukung oleh akal sehat, barulah seseorang dan/atau masyarakat "menerimanya". Dengan demikian, dalam ilmu pengetahuan kata yang seharusnya digunakan adalah "menerima", bukan "percaya" atau "mempercayai". Jadi, kalimat yang tepat adalah: "Saya menerima hasil penelitian itu sebagai sesuatu yang valid karena telah diuji ketepatannya oleh beberapa orang dengan menggunakan pola yang acak" atau "saya bisa menerima kesimpulan tersebut karena saya sendiri pun telah melakukan penelitian yang sama dan memperoleh hasil yang sejajar dengan kesimpulan tersebut".
Sedangkan untuk lema "iman", sesungguhnya saya cenderung enggan menggunakannya karena lema tersebut berasal dari ranah agama. Mengapa demikian? Bagi saya, ranah agama merupakan ranah yang tidak terlalu jelas, seringkali samar-samar, berbagai kata dan istilah bisa memiliki arti lebih dari satu atau sangat bersifat cair. Artinya, sebuah lema atau istilah bisa memiliki pengertian yang berbeda ketika digunakan oleh kelompok orang yang berbeda. Contoh: "alam baka". Bagi para penganut agama Abrahamik, "alam baka" menunjuk pada surga-neraka, sedangkan bagi para penganut Buddhisme menunjuk pada nirvana, atau menurut para pemeluk Hindu menunjuk pada reinkarnasi. Sedangkan untuk lema "iman" ditemukan beberapa pengertian yang biasa dikatakan orang, seperti: "iman" = tidak membutuhkan bukti fisik atau "iman" = percaya atau "iman" = tidak bisa dilihat secara kasat mata atau "iman" = pengalaman pribadi/kelompok. Oleh karena sifatnya yang sangat tidak stabil atau lebih tepatnya, tidak memiliki tolok ukur atau standar yang pasti, maka saya cenderung tidak menggunakan lema tersebut. Meskipun lema "iman" ditemukan dalam beberapa tulisan dalam blog ini (misalnya tulisan sebelumnya), namun saya mendasarkannya pada pandangan sebagian besar orang. Artinya, saya menggunakan lema tersebut karena masyarakat umum menggunakannya, tetapi tanpa menerima atau menyetujui pengertian yang dikatakan atau berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Penggunaan kata dan bahasa dalam budaya masa kini merupakan hal yang sangat vital karena menunjukkan atau menggambarkan posisi orang yang menggunakannya. Penggunaan kata yang tidak tepat atau penggunaan kalimat yang tidak cermat akan mengakibatkan pesan tidak diterima secara jernih oleh pihak lain atau pihak lain keliru memahami kata-kata atau ungkapan yang disampaikan pihak lain. Ini bisa terjadi karena kata atau ungkapan yang sama ketika diterima oleh beberapa orang bisa menghasilkan pemahaman yang saling berbeda. Oleh karena itu, kritis juga diawali/dimulai dari hal-hal sangat kecil yang seringkali dianggap remeh oleh banyak orang yang mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman atau jurang komunikasi antara pihak-pihak yang berhubungan. Kritis terhadap kata-kata merupakan salah satu langkah paling awal sekaligus sangat sederhana bagi orang-orang yang tidak enggan berpikir kritis terhadap kata-kata yang hendak digunakannya.
Sebagai contoh, lema "percaya" dan "iman". Saya sangat berhati-hati terhadap penggunaan lema tersebut, terlebih jika kata tersebut digunakan dalam konteks ilmu pengetahuan atau ketika saya sedang berbicara mengenai sains (misalnya: ilmu-ilmu sosial, biologi, dan fisika). Bahkan saya cenderung tidak akan menggunakan kata "percaya" dalam konteks tersebut karena ilmu pengetahuan berbicara hal-hal, seperti: eksperimen, penelitian, logika, dan uji coba yang dilakukan tiada henti. Dalam ilmu pengetahuan, ketika semua hal tersebut (eksperimen, penelitian, logika, dan uji coba) dilakukan dan memperoleh hasil yang valid dengan didukung oleh akal sehat, barulah seseorang dan/atau masyarakat "menerimanya". Dengan demikian, dalam ilmu pengetahuan kata yang seharusnya digunakan adalah "menerima", bukan "percaya" atau "mempercayai". Jadi, kalimat yang tepat adalah: "Saya menerima hasil penelitian itu sebagai sesuatu yang valid karena telah diuji ketepatannya oleh beberapa orang dengan menggunakan pola yang acak" atau "saya bisa menerima kesimpulan tersebut karena saya sendiri pun telah melakukan penelitian yang sama dan memperoleh hasil yang sejajar dengan kesimpulan tersebut".
Sedangkan untuk lema "iman", sesungguhnya saya cenderung enggan menggunakannya karena lema tersebut berasal dari ranah agama. Mengapa demikian? Bagi saya, ranah agama merupakan ranah yang tidak terlalu jelas, seringkali samar-samar, berbagai kata dan istilah bisa memiliki arti lebih dari satu atau sangat bersifat cair. Artinya, sebuah lema atau istilah bisa memiliki pengertian yang berbeda ketika digunakan oleh kelompok orang yang berbeda. Contoh: "alam baka". Bagi para penganut agama Abrahamik, "alam baka" menunjuk pada surga-neraka, sedangkan bagi para penganut Buddhisme menunjuk pada nirvana, atau menurut para pemeluk Hindu menunjuk pada reinkarnasi. Sedangkan untuk lema "iman" ditemukan beberapa pengertian yang biasa dikatakan orang, seperti: "iman" = tidak membutuhkan bukti fisik atau "iman" = percaya atau "iman" = tidak bisa dilihat secara kasat mata atau "iman" = pengalaman pribadi/kelompok. Oleh karena sifatnya yang sangat tidak stabil atau lebih tepatnya, tidak memiliki tolok ukur atau standar yang pasti, maka saya cenderung tidak menggunakan lema tersebut. Meskipun lema "iman" ditemukan dalam beberapa tulisan dalam blog ini (misalnya tulisan sebelumnya), namun saya mendasarkannya pada pandangan sebagian besar orang. Artinya, saya menggunakan lema tersebut karena masyarakat umum menggunakannya, tetapi tanpa menerima atau menyetujui pengertian yang dikatakan atau berkembang di tengah-tengah masyarakat.
Penggunaan kata dan bahasa dalam budaya masa kini merupakan hal yang sangat vital karena menunjukkan atau menggambarkan posisi orang yang menggunakannya. Penggunaan kata yang tidak tepat atau penggunaan kalimat yang tidak cermat akan mengakibatkan pesan tidak diterima secara jernih oleh pihak lain atau pihak lain keliru memahami kata-kata atau ungkapan yang disampaikan pihak lain. Ini bisa terjadi karena kata atau ungkapan yang sama ketika diterima oleh beberapa orang bisa menghasilkan pemahaman yang saling berbeda. Oleh karena itu, kritis juga diawali/dimulai dari hal-hal sangat kecil yang seringkali dianggap remeh oleh banyak orang yang mengakibatkan terjadinya kesalahpahaman atau jurang komunikasi antara pihak-pihak yang berhubungan. Kritis terhadap kata-kata merupakan salah satu langkah paling awal sekaligus sangat sederhana bagi orang-orang yang tidak enggan berpikir kritis terhadap kata-kata yang hendak digunakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.