Sabtu, 15 Mei 2010

Memangnya Kenapa?

Antara News edisi, Sabtu, 15 Mei 2010 memberikan judul “Petugas Sensus Temukan Warga Berusia 120 tahun” mengenai seorang warga Kabupaten Sukabumi yang mengaku telah berusia 120 tahun.

Sukabumi (ANTARA) - Petugas Badan Pusat Statistik Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, menemukan seorang pria bernama Nur berusia 120 tahun saat melakukan sensus penduduk tahun 2010 di Kecamatan Cidolog, Kabupaten Sukabumi beberapa waktu lalu.

"Pada awalnya, warga tersebut mengaku usianya mencapai 160 tahun. Namun, setelah diteliti oleh petugas di lapangan, ternyata usia Nur 120 tahun," kata Penanggungjawab Humas dan Pengolahan Data BPS Kabupaten Sukabumi, Anwar Hidayat, di Sukabumi, Jumat. Nur tinggal di daerah pedalaman Sukabumi yang lokasinya sangat jauh, bahkan berada dalam suatu komunitas yang diduga mempunyai bahasa tersendiri, kata Anwar.

"Untuk memastikan usia Nur, maka kami akan melakukan pengecekan lebih lanjut, salah satunya dengan mengecek keturunan Nur mulai dari anak-anak hingga cucunya," katanya. Selain itu, pihaknya juga akan mengecek kemampuan wawasan Nur tentang peristiwa-peristiwa zaman dahulu. "Kedua faktor tersebut nantinya akan menentukan kebenaran dari pengakuan Nur kepada petugas SP," katanya seraya mengatakan selain Nur ada warga Sukabumi lainnya yang mengaku berusia 116 tahun di Kecamatan Bantargadung. (Penekanan ditambahkan)

============

Mengapa sepertinya usia lanjut seseorang dianggap sebagai sesuatu yang istimewa? Mengapa panjangnya usia dan lamanya seseorang hidup diperhitungkan sebagai hal yang luar biasa? Setidaknya ada dua alasan yang dapat dikemukakan. Pertama, pemikiran yang berkembang di masyarakat populer adalah bahwa semakin lanjut usia seseorang, maka semakin bijak-lah orang tersebut. Ada adagium yang berbicara mengenai keberadaan orang-orang yang berusia lanjut: "mereka (orang-orang lanjut usia) bagaikan jendela untuk melihat ke masa depan". Kedua, "kemampuan" seseorang bisa hidup sampai lanjut usia dianggap sebagai kemampuan bertahan hidup karena memiliki ketahanan fisik yang didukung oleh pola hidup yang sehat. Hal ini biasa dikumandangkan oleh orang-orang yang sangat mengedepankan pola makan, khususnya pikiran yang sehat demi panjangnya usia.

Setelah membaca berita di atas, saya menemukan dua kalimat yang janggal (diberi penekanan/dicetak tebal). Kalimat pertama yang terdapat dalam paragraf kedua menyatakan bahwa pada awalnya orang itu mengaku berusia 160 tahun. Sedangkan kalimat kedua yang terdapat di paragraf berikutnya (paragraf ketiga) menyatakan bahwa petugas akan mengecek wawasan orang itu peristiwa-peristiwa di masa lalu. Jika pengakuan awal orang tersebut bisa dikatakan salah karena tidak didukung oleh bukti-bukti yang kuat, maka bagaimana mungkin pengakuan berikut orang yang sama bisa diterima? Terlebih, tolok ukur yang (akan) digunakan adalah wawasan orang itu mengenai berbagai peristiwa yang terjadi di masa. Perlu diketahui bahwa wawasan (dhi. ingatan) seseorang tidak bisa diandalkan. Bisa saja ingatan orang tersebut salah. Hal ini sama sekali tidak bertendensi untuk meremehkan ataupun menyerang pribadi orang tersebut (meragukan 'kemampuan' ingatan orang yang sudah lanjut usia). Namun, ini juga tidak berarti bahwa ingatan seseorang sudah pasti salah. Oleh karena itu, yang hendak ditekankan adalah bahwa ingatan seseorang tidak bisa dijadikan tolok ukur untuk menilai dan menentukan banyak, termasuk berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu. Karena bisa saja apa yang dianggap orang sebagai ingatan yang berasal dari pengalaman tidak lain dari pengetahuan yang berasal atau diperolehnya dari sesuatu yang pernah dibaca atau didengarnya dari orang lain.

Ini artinya - kembali pada kasus orang yang berusia lanjut di atas - kalaupun orang tersebut mampu menjelaskan beberapa atau berbagai peristiwa yang terjadi di masa lalu, maka bisa saja karena pengetahuan itu diperolehnya (didengar) dari orang lain ataupun tulisan yang pernah dibacanya. Hal ini juga bisa dikatakan sebagai ingatan. Namun, ingatan dalam konteks ini bukanlah ingatan mengenai sesuatu yang dialaminya sendiri melainkan ingatan yang diperoleh dari sumber lain. Sementara yang dimaksud dalam berita di atas adalah ingatan yang dialami orang itu sendiri. Namun, ini pun tidak bisa dijadikan tolok ukur karena bisa saja orang tersebut mengaku/menganggap/mengklaim bahwa ingatan tersebut berasal dari pengalamannya sendiri, padahal berasal dari sumber lain. Maka sejauh yang dapat dikatakan bahwa setidaknya orang tersebut memiliki daya ingat yang panjang atau kuat mengenai banyak hal yang pernah diterimanya.

Jika demikian, tolok ukur apakah yang bisa digunakan untuk menguji dan menilai kebenaran pernyataan seseorang? Dilakukan pengujian terhadap kelompok yang lebih luas dari keluarga sendiri, yakni masyarakat. Artinya, dilihat apakah pernyataan-pernyataan orang tersebut konsisten dan sejajar dengan kenyataan yang terjadi pada masa lalu dalam konteks yang lebih luas. Sementara mengenai pembuktian terhadap usia lanjut seperti dalam berita di atas adalah - seperti telah diutarakan dalam berita - menghitung usia seluruh keturunan orang tersebut dengan lebih mendasarkan pengujian pada sumber-sumber yang bisa dipercaya, seperti: KTP, Kartu Tanda Keluarga, dan/atau, surat-surat berharga, bukannya pada cerita-cerita yang beredar di masyarakat. Dengan demikian, setidaknya, tingkat kemungkinan (probabilitas) pembuktian kebenaran usia orang tersebut bisa ditentukan.

[Ah...buat apa juga sih, capek-capek dan ribet menguji kebenaran orang yang mengatakan dirinya berusia 120 atau bahkan 160 tahun? Biar masuk Muri terus bahkan sampai tercatat di Guiness Book of Record sebagai orang tertua yang pernah hidup? Memangnya kenapa? Keren kan, ada orang Indonesia yang bisa masuk Guiness Book of Record. Bangga dong...]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.