Senin, 17 Mei 2010

Kemanusiaan yang Mencerahkan

Berikut adalah salah satu contoh ketika kemanusiaan lebih diutamakan dibandingkan keagamaan seseorang ketika BBC News edisi Sabtu, 15 Mei 2010 menurunkan berita yang bertajuk “US Church ordains lesbian bishop Mary Glasspool”.

“The US Episcopal Church has ordained an openly lesbian bishop in a move likely to increase the turmoil in the Anglican Communion.”

Saturday's ordination came despite warnings from the Archbishop of Canterbury that it would deepen an already bitter dispute on sexuality. Mary Glasspool, 56, became an assistant bishop at a ceremony attended by 3,000 people in Long Beach, California.

Gene Robinson became the first openly gay US bishop in November 2003.

BBC religious affairs correspondent Robert Pigott says that since then the Anglican Communion has been on course for a permanent split.

'Snub'

Mary Glasspool was ordained with another woman bishop, Rev Canon Diane Jardine Bruce. Both were elected last December and become the first two women bishops in the Diocese of Los Angeles's 114-year history.

Church spokesman Bob Williams said that those attending burst into applause after the ordination. "The event was joyful and well attended," he said.

The election of Mary Glasspool - who has been with her partner Becki for 22 years - represented a snub by the liberal Episcopal Church to other Anglican Churches around the world, our correspondent says.

Archbishop of Canterbury Rowan Williams had urged the American Church not to proceed with the ordination, warning that it would further alienate traditionalists who believe active homosexuality to be a sin.

Our correspondent says the latest ordination is likely to accelerate the gradual marginalisation of the Episcopal Church within a two-tier Communion and increase tensions between Anglicans elsewhere.

Gene Robinson was elected as the first openly US gay bishop in November 2003 in New Hampshire. The Episcopal Church at first agreed to suspend the creation of gay bishops but reversed that decision last July.

============

Keputusan Gereja Episkopal Amerika Serikat menabiskan dua perempuan (salah seorangnya bahkan lesbian) sebagai uskup merupakan keputusan yang sangat berani dan patut dipuji karena gereja (baca: orang-orangnya) mau membuka diri terhadap kenyataan bahwa jenis kelamin dan status seks (dhi. homo atau lesbian) seseorang. Tindakan mereka ini tentu memperoleh, baik pujian maupun celaan. Dipuji oleh pihak yang menyetujui keberanian dan ketegasan gereja yang menahbiskan perempuan, namun dicela oleh pihak yang tidak menyetujui keputusan Gereja Episkopal Amerika Serikat. Bukan hanya patut dipuji, namun gereja harus terus didukung untuk membuka diri terhadap berbagai perkembangan yang terjadi di sekitarnya.


Hal yang patut menjadi penekanan dan penegasan terhadap sikap dan keputusan Gereja Episkopal Amerika Serikat adalah bahwa manusia sudah seyogianyalah tidak menilai orang berdasar pada jenis kelamin dan status seksual mereka karena kedua hal tersebut tidak bisa membuktikan apakah seseorang mampu menjadi pemimpin dalam gereja atau tidak. Seharusnya yang menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah seseorang mampu menjadi pemimpin, baik dalam gereja maupun masyarakat adalah sikap keseharian mereka. Sikap yang bisa menjadi panutan dan membawa orang lain pada perubahan hidup yang lebih baik. Ketika gereja mampu membuka diri terhadap berbagai kenyataan yang terjadi di masyarakat (baca: bukan semata-mata mengadopsi), maka pada saat itulah gereja bisa dianggap sebagai salah satu kekuatan yang bisa menjadi pemicu atau pembawa perubahan dalam konteks yang lebih luas.


Sudah selayaknyalah gereja kritis terhadap berbagai kenyataan dalam masyarakat. Harus selalu diingat bahwa kritis bukan berarti menolak segala hal yang dianggapnya tidak sesuai dengan ajaran gereja. Dengan demikian, gereja lebih mengedepankan dan mengutamakan nilai kemanusiaan dibandingkan doktrin gereja yang seringkali “membelenggu”-nya di dalam tembok-tembok gedung gereja yang dingin. Keadaan ini, menurut saya, sangat dihindari oleh gereja.


Gereja Episkopal Amerika Serikat telah menjadi contoh gamblang ketika kemanusiaan lebih diutamakan dan dipentingkan daripada keagamaan. Gereja tidak akan menjadi "buruk" ketika dipimpin oleh perempuan, sekalipun lesbian atau homo. Namun sebaliknya, gereja bisa dipandang sebagai organisasi yang memperjuangkan kemanusiaan demi perubahan yang mencerahkan. Sebelum bisa mengubah dunia sekitarnya, tentu, gereja harus terlebih dulu mampu mengubah dirinya. Jika bukan gereja (baca: orang-orang di dalamnya) yang mengubah dirinya, maka siapakah yang bisa?


Semoga keputusan Gereja Episkopal Amerika Serikat bisa menginspirasi gereja-gereja lainnya dan sikap tersebut bukanlah yang pertama dan terakhir, tetapi terus diperjuangkan dan diwujudnyatakan sehingga kemanusiaan menjadi sesuatu yang nyata, bukan sekadar semboyan atau kata-kata bijak yang kosong.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.