Apa yang di dalam benak kaum laki-laki yang sepertinya senang sekali melarang-larang atau membatasi gerak kaum perempuan, khususnya para lelaki yang memiliki otoritas tertentu di dalam masyarakat, seperti pemuka/pemimpin agama? Bahkan sepertinya para pemuka agama berlomba-lomba dalam menetapakan berbagai larangan yang berusaha mengatur, mengendalikan, dan menguasai bahkan mungkin menindas kaum perempuan. Contoh terkini mengenai hal tersebut ditemukan ketika salah seorang pemuka agama Yahudi di Israel melarang kaum perempuan Yahudi mengikuti pemilihan umum. Tentu hal yang tidak masuk akal sekaligus konyol tersebut dilakukan dengan berdasar pada alasan (-alasan) tertentu. Dan bisa diduga kuat bahwa alasan yang utama adalah karena adanya “hukum” agama tertentu yang menganggap kaum perempuan sebagai makhluk “kelas dua.”
Alasan agama – yang memang sering digunakan – merupakan hal yang biasa diterapkan orang-orang beragam untuk membatasi, menekan, menguasi, dan mengendalikan kaum yang dianggapnya tidak lebih penting (minoritas) daripada kaum/kelompoknya. Namun, ada alasan lain yang sesungguhnya bisa dikemukakan terkait dengan “kegemaran” kaum laki-laki dalam melarang-larang dan membatasi gerak kaum perempuan, yakni fobia. Artinya, kaum laki-laki yang suka melarang-larang dan membatasi gerak kaum perempuan terdiri dari orang-orang yang takut terhadap kaum perempuan. Laki-laki yang takut terhadap perempuan sesungguhnya menyadari penuh bahwa perempuan memiliki hak, kekuatan, dan kemampuan yang sama dengan mereka. Mereka (laki-laki) takut dan berusaha menghindari kenyataan bahwa perempuan pun bisa berkarya, memimpin, dan berkuasa bukan saja atas kaumnya tetapi juga atas kaum laki-laki.
Kenyataan bahwa banyak lelaki fobia terhadap perempuan sangatlah disayangkan dan memprihatinkan karena itu merupakan warisan zaman baheula yang seharusnya sudah sejak lama dikikis bahkan dihapus dari benak seluruh lelaki. Kaum perempuan bukanlah “warga kelas dua” di dunia ini. Mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laki-laki. Bahkan setiap orang memiliki hak dan kewajiban yang sejajar. Oleh karena itu, ketika alasan agama selalu digunakan untuk melarang, membatasi, mengatur, dan menguasai kelompok lain yang dianggap lebih lemah, tidak berdaya, berbeda, dan “tidak suci”, maka pada saat itulah agama (baca: orang-orang yang beragama dan mengaku bertuhan) mengalami kemandekan bahkan menemukan kuburannya. Dengan demikian, agama ternyata tidak mampu menjadi kekuatan pendorong demi perubahan sosial ke arah yang lebih baik melainkan membawa para penganutnya kembali pada zaman kuno dan tenggelam dalam pandangan-pandangan kolot yang ketinggalan zaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.