Setelah MUI ikut campur dengan menanggapi kasus Alter, tidak lama berselang pihak Katolik pun tidak mau kalah dengan turut campur menanggapi kasus yang sama. Semua orang tentu berhak memberikan pendapat, pandangan, dan argumennya terhadap semua hal yang terjadi di dunia. Namun alangkah lebih baiknya jika pandangan-pandangan yang dikemukakan dilandasi oleh berbagai argumen yang masuk akal dan jernih serta lebih mengutamakan sisi kemanusiaan ketimbang doktrin agama yang menekan, menghakimi, dan tidak adil.
Menanggapi kasus Alterina, Amidhan dan Benny mengutarakan pernyataan yang serupa bahwa seharusnya Alter menyempurnakan diri/identitasnya dan bukannya mengubah diri dari perempuan menjadi laki-laki karena itu melanggar kodrat. Namun sayangnya, pernyataan kedua petinggi agama Islam dan Katolik tersebut tidak disertai dengan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan "sempurna", "identitas", dan "kodrat." Hal apakah yang harus di-sempurna-kan Alter? DNA, gen-nya, atau apanya? Jika ya, apakah DNA atau gen atau apanya dari seseorang itu bisa diubah, bahkan di-sempurna-kan? Ini mengasumsikan berarti ada yang sempurna dan tidak sempurna. Apakah tolok ukur yang sempurna dan tidak sempurna itu? Ah...bisa diduga, lagi-lagi (ajaran) agama-lah yang menjadi tolok ukur untuk menilai "kesempurnaan" dan "ketidaksempurnaan" suatu hal.
Selain itu, Amidhan dan Benny tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan "identitas" dan "kodrat." Apakah jenis kelamin seseorang bisa dijadikan ukuran orang tersebut sebagai perempuan atau laki-laki? Apa itu "kodrat"? Takdir? Nasib? Hal yang sudah ditentukan dari sono-nya? Artinya, setiap orang sejak awal sudah ditentukan oleh tuhannya sebagai ini, itu, atau anu, termasuk menjadi perempuan atau laki-laki. Kalaupun setiap orang sudah "ditentukan" sejak awal (dari kandungan), bukankah manusia diberikan otak untuk berpikir dan menentukan "pilihannya" di kemudian hari? Bukankah setiap agama memberikan "kebebasan" kepada umatnya untuk menentukan pilihannya sendiri? Jika tidak, berarti jelas, agama memang tidak memiliki semangan yang membebaskan, namun sebaliknya, malah membelenggu.
Namun, Benny mengutarakan sesuatu bernuansa positif dengan menyatakan bahwa negara [Indonesia] harus mengatur persoalan ini. Ya, semoga saja pemerintah bisa mengambil keputusan jernih dan seimbang dengan mendasarkannya pada kemanusiaan, bukan pada ajaran agama. (Mengingat mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam (secara "keras"), maka sepertinya harapan tersebut akan menjadi sia-sia belaka.) Jika negara bijak maka seyogianyalah ia akan lebih menitikberatkan pada tanggung jawab yang harus dilakukan oleh setiap warga negaranya. Peraturan, hukum, ataupun undang-undang yang dibuat seharusnya bisa mengatur setiap warga negara secara adil alias tidak memihak sehingga setiap warga negara memperoleh hak kenyamanannya. Semoga saja negara tidak diintervensi oleh agama yang seringkali tidak adil, keras, dan otoriter. (Sekali lagi, harapan yang sepertinya hanya akan tetap tinggal semata-mata sebagai harapan.)
Kasus yang dialami Alter seharusnya dipandang dan disikapi secara hukum, biologis, dan sosiologis. Sama sekali tidak perlu melibatkan agama karena memang tidak ada hubungannya. Jika orang bertuhan mempercayai bahwa setiap orang bertuhan bertanggung jawab secara pribadi terhadap tuhannya, maka biarkanlah keputusan yang telah diambil Alter menjadi pertanggungjawabannya secara pribadi terhadap tuhannya. Hal yang terpenting adalah bahwa ia (Alter) bertanggung jawab melaksanakan semua kewajibannya sebagai manusia, suami, dan warga negara.
Dengan demikian, jelas, agama sama sekali tidak dibutuhkan dalam kasus Alter. Kasus Alter adalah murni kasus kemanusiaan (hukum, biologis, dan sosiologis), bukannya kasus keagamaan. Maka tepat sekali kata-kata kuasa hukum Alter yang mengatakan bahwa agar semua pihak berbicara sesuai dengan keilmuannya. Biarlah kasus yang melibatkan ilmu hukum, biologis, dan sosiologis ini dijelaskan oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya. Ini sama sekali tidak berarti mengeksklusifkan ilmu-ilmu tersebut, tetapi itulah akibatnya ketika agama ikut campur, ia bukannya menjelaskan atau memberikan keterangan yang jernih melainkan membuat suatu hal menjadi tidak jelas.
Menanggapi kasus Alterina, Amidhan dan Benny mengutarakan pernyataan yang serupa bahwa seharusnya Alter menyempurnakan diri/identitasnya dan bukannya mengubah diri dari perempuan menjadi laki-laki karena itu melanggar kodrat. Namun sayangnya, pernyataan kedua petinggi agama Islam dan Katolik tersebut tidak disertai dengan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan "sempurna", "identitas", dan "kodrat." Hal apakah yang harus di-sempurna-kan Alter? DNA, gen-nya, atau apanya? Jika ya, apakah DNA atau gen atau apanya dari seseorang itu bisa diubah, bahkan di-sempurna-kan? Ini mengasumsikan berarti ada yang sempurna dan tidak sempurna. Apakah tolok ukur yang sempurna dan tidak sempurna itu? Ah...bisa diduga, lagi-lagi (ajaran) agama-lah yang menjadi tolok ukur untuk menilai "kesempurnaan" dan "ketidaksempurnaan" suatu hal.
Selain itu, Amidhan dan Benny tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan "identitas" dan "kodrat." Apakah jenis kelamin seseorang bisa dijadikan ukuran orang tersebut sebagai perempuan atau laki-laki? Apa itu "kodrat"? Takdir? Nasib? Hal yang sudah ditentukan dari sono-nya? Artinya, setiap orang sejak awal sudah ditentukan oleh tuhannya sebagai ini, itu, atau anu, termasuk menjadi perempuan atau laki-laki. Kalaupun setiap orang sudah "ditentukan" sejak awal (dari kandungan), bukankah manusia diberikan otak untuk berpikir dan menentukan "pilihannya" di kemudian hari? Bukankah setiap agama memberikan "kebebasan" kepada umatnya untuk menentukan pilihannya sendiri? Jika tidak, berarti jelas, agama memang tidak memiliki semangan yang membebaskan, namun sebaliknya, malah membelenggu.
Namun, Benny mengutarakan sesuatu bernuansa positif dengan menyatakan bahwa negara [Indonesia] harus mengatur persoalan ini. Ya, semoga saja pemerintah bisa mengambil keputusan jernih dan seimbang dengan mendasarkannya pada kemanusiaan, bukan pada ajaran agama. (Mengingat mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam (secara "keras"), maka sepertinya harapan tersebut akan menjadi sia-sia belaka.) Jika negara bijak maka seyogianyalah ia akan lebih menitikberatkan pada tanggung jawab yang harus dilakukan oleh setiap warga negaranya. Peraturan, hukum, ataupun undang-undang yang dibuat seharusnya bisa mengatur setiap warga negara secara adil alias tidak memihak sehingga setiap warga negara memperoleh hak kenyamanannya. Semoga saja negara tidak diintervensi oleh agama yang seringkali tidak adil, keras, dan otoriter. (Sekali lagi, harapan yang sepertinya hanya akan tetap tinggal semata-mata sebagai harapan.)
Kasus yang dialami Alter seharusnya dipandang dan disikapi secara hukum, biologis, dan sosiologis. Sama sekali tidak perlu melibatkan agama karena memang tidak ada hubungannya. Jika orang bertuhan mempercayai bahwa setiap orang bertuhan bertanggung jawab secara pribadi terhadap tuhannya, maka biarkanlah keputusan yang telah diambil Alter menjadi pertanggungjawabannya secara pribadi terhadap tuhannya. Hal yang terpenting adalah bahwa ia (Alter) bertanggung jawab melaksanakan semua kewajibannya sebagai manusia, suami, dan warga negara.
Dengan demikian, jelas, agama sama sekali tidak dibutuhkan dalam kasus Alter. Kasus Alter adalah murni kasus kemanusiaan (hukum, biologis, dan sosiologis), bukannya kasus keagamaan. Maka tepat sekali kata-kata kuasa hukum Alter yang mengatakan bahwa agar semua pihak berbicara sesuai dengan keilmuannya. Biarlah kasus yang melibatkan ilmu hukum, biologis, dan sosiologis ini dijelaskan oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya. Ini sama sekali tidak berarti mengeksklusifkan ilmu-ilmu tersebut, tetapi itulah akibatnya ketika agama ikut campur, ia bukannya menjelaskan atau memberikan keterangan yang jernih melainkan membuat suatu hal menjadi tidak jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.