Rupa-rupanya fenomena amuk massa bukan hanya dimonopoli kaum laki-laki melainkan juga dilakukan oleh kaum perempuan. Bahkan para perempuan yang mengamuk itu adalah ibu-ibu pengajian. Mereka mengamuk dengan merusak warung remang-remang di kawasan perkebunan kelapa sawit. Hal ini dilakukan ibu-ibu tersebut karena marah akibat warung remang-remang tersebut dijadikan tempat "jajan" oleh suami mereka.
Salah seorang ibu bahkan mengatakan bahwa warung remang-remang tersebut sudah lima tahun belakangan dijadikan tempat mangkal suaminya. Pernyataan ibu tersebut sangatlah aneh dan lucu, mengapa baru sekarang (setelah lima tahun) ia mengamuk dengan merusak warung remang-remang tersebut? Mengapa bukan sejak dulu atau sejak awal ia melabrak warung remang-remang itu? Mengapa juga yang diamuk adalah warung remang-remang tersebut? Mengapa bukan suaminya yang diamuk atau setidaknya "dinasihati" olehnya?
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud membela keberadaan warung remang-remang di mana pun itu. Namun, hendak memperlihatkan bahwa sasaran amuk seseorang atau sekelompok orang seringkali tidak pada tempatnya alias salah sasaran. Bukankah para ibu pengajian itu adalah orang-orang beriman yang memiliki Tuhan dan agama serta pemimpin agamanya? Mengapa mereka tidak meminta bantuan Tuhan atau agama atau pemimpin agamanya untuk "menegur" dan memimpin para suami mereka ke jalan yang benar? Dengan demikian, mereka tidak perlu main hakim sendiri dengan melampiaskan amarah mereka terhadap keberadaan warung remang-remang tersebut. Ataukah, Tuhan atau agama atau pemimpin agama mereka sudah tidak mampu lagi "mengendalikan" libido para suaminya?
Jangan-jangan ada masalah begitu dalam dan rumit yang terjadi di dalam rumah tangga mereka yang tidak bisa dicapai dan dipecahkan oleh para pemimpin agama bahkan Tuhan mereka. Jika demikian yang terjadi, bukankah pasangan yang telah menikah dianggap sudah dewasa sehingga diharapkan bisa menyelesaikan setiap masalah dengan "kepala dingin" (baca: akal sehat)? Seandainya akal sehat digunakan maka permasalahan tidak perlu diselesaikan dengan cara kekerasan apalagi sampai mengamuk, salah sasaran pula. Malu ah, kan dilihat banyak orang tuh!
Salah seorang ibu bahkan mengatakan bahwa warung remang-remang tersebut sudah lima tahun belakangan dijadikan tempat mangkal suaminya. Pernyataan ibu tersebut sangatlah aneh dan lucu, mengapa baru sekarang (setelah lima tahun) ia mengamuk dengan merusak warung remang-remang tersebut? Mengapa bukan sejak dulu atau sejak awal ia melabrak warung remang-remang itu? Mengapa juga yang diamuk adalah warung remang-remang tersebut? Mengapa bukan suaminya yang diamuk atau setidaknya "dinasihati" olehnya?
Tulisan ini sama sekali tidak bermaksud membela keberadaan warung remang-remang di mana pun itu. Namun, hendak memperlihatkan bahwa sasaran amuk seseorang atau sekelompok orang seringkali tidak pada tempatnya alias salah sasaran. Bukankah para ibu pengajian itu adalah orang-orang beriman yang memiliki Tuhan dan agama serta pemimpin agamanya? Mengapa mereka tidak meminta bantuan Tuhan atau agama atau pemimpin agamanya untuk "menegur" dan memimpin para suami mereka ke jalan yang benar? Dengan demikian, mereka tidak perlu main hakim sendiri dengan melampiaskan amarah mereka terhadap keberadaan warung remang-remang tersebut. Ataukah, Tuhan atau agama atau pemimpin agama mereka sudah tidak mampu lagi "mengendalikan" libido para suaminya?
Jangan-jangan ada masalah begitu dalam dan rumit yang terjadi di dalam rumah tangga mereka yang tidak bisa dicapai dan dipecahkan oleh para pemimpin agama bahkan Tuhan mereka. Jika demikian yang terjadi, bukankah pasangan yang telah menikah dianggap sudah dewasa sehingga diharapkan bisa menyelesaikan setiap masalah dengan "kepala dingin" (baca: akal sehat)? Seandainya akal sehat digunakan maka permasalahan tidak perlu diselesaikan dengan cara kekerasan apalagi sampai mengamuk, salah sasaran pula. Malu ah, kan dilihat banyak orang tuh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.