Kamis, 17 Juni 2010

Bukan "Orang Pintar", tapi Akal Sehat

Seorang warga di Sumatera Selatan sangat terkejut karena foto di kamera ponsel temannya muncul "penampakan" seperti pocong di belakang anaknya. Foto anak Suharno - Jesika - tersebut diambil oleh temannya dan menggunakan kamera ponsel temannya itu. Dan menurut pengakuan Suharno dan kemungkinan juga temannya, foto di ponsel tersebut terjadi begitu saja alias sama sekali tanpa ada rekayasa.

Ketika orang melihat hasil foto tersebut memang akan melihat seperti adanya "penampakan" pocong yang membelakangi kamera ponsel. Mengapa ada benda seperti pocong muncul di hasil kamera ponsel tersebut? Secara sangat sederhana jawaban saya adalah: tidak tahu. Namun yang pasti, kamera, entah ponsel, otomatis, ataupun yang menggunakan "tele" saat pertama kali dibuat bukan bertujuan untuk "menangkap" benda-benda atau objek-objek yang oleh banyak orang dikatakan sebagai "makhluk halus" melainkan untuk mengabadikan semua objek yang nyata. Oleh karena itu, ketika dewasa ini ketika banyak orang mengklaim dengan begitu yakin bahwa kamera bisa juga menangkap objek-objek "halus" maka hal itu sangatlah janggal.

Hal masuk akal yang bisa dicari penjelasannya mengenai hal tersebut adalah bahwa sangat mungkin jika teman Suharno telah dengan sengaja membuat dan menempatkan benda atau patung yang menyerupai pocong tersebut di belakang Jesika tanpa sepengetahuan anak tersebut. Dan ketika foto tersebut diperlihatkan oleh Jesika kepada ayahnya, kemungkinan besar teman Suharno tidak mengakui perbuatannya. Hal ini dilakukan mungkin karena ia tidak menyukai jika ada anak-anak, khususnya Jesika, bermain di sekitar rumahya. Namun hal ini sangat bersifat dugaan, walaupun masih lebih masuk akal daripada ada "penampakan" seperti pocong di belakang Jesika

Diberitakan saat itu Jesika sedang bermain bersama teman-temannya. Namun, mengapa hanya ada Jesika di hasil kamera ponsel tersebut? Hal ini semakin menebalkan kecurigaan jika teman Suharno tersebut sesungguhnya tidak menyukai keberadaan Jesika atau ia (teman Suharno) memiliki kebencian tertentu terhadap Suharno dan sedang berupaya membuat Suharno resah, mungkin melalui menakut-nakuti anaknya. Hal ini pun bersifat dugaan, meski tetap jauh lebih masuk akal dibandingkan "penampakan" pocong di belakang Jesika.

Hal yang patut disoroti dalam berita tersebut adalah sikap Suharno terhadap hasil kamera ponsel temannya tersebut, di mana ia mencari "orang pintar" untuk memperoleh petunjuk mengenai langkah apa yang harus dilakukannya. Ini adalah hal yang ironis, jika Suharno seorang beragama, karena ia lebih memilih mencari "orang pintar" ketimbang langsung "mencari petunjuk Tuhan" atau bertanya kepada pemimpin agama yang dipercayainya. Apakah sikapnya tersebut menunjukkan bahwa ia lebih mempercayai "orang pintar" ketimbang pemimpin agama atau bahkan Tuhan yang selama ini dipuji dan dipujanya? Akhirnya, ia segera berdoa demi keselamatan anaknya setelah memperoleh petunjuk dari "orang pintar." Ternyata, seorang beragama lebih mendahulukan petunjuk "orang pintar" daripada arahan pemimpin agama, bahkan "suara" Tuhan yang selama ini disembahnya.

Sikap Suharno tersebut, selain ironis juga sangat janggal karena ia mempercayai Tuhan sebagai kekuatan terakbar, namun takut pada sesuatu yang tidak nyata. Ia percaya pada Tuhan sekaligus takut pada pocong. Sangat memprihatinkan. Sesungguhnya yang dibutuhkan oleh orang-orang seperti Suharno bukanlah "orang pintar", tapi akal sehat. Ketika akal sehat seseorang sudah sama sekali tidak jalan, maka ia mudah percaya dan takut pada semua hal.

Orang beragama selalu menggaungkan bahwa Tuhan yang disembahnya adalah kekuatan tertinggi dan pelindung terakbar dalam hidup bahkan dunia ini, walaupun ia sendiri belum pernah melihat dan berjumpa dengan Tuhannya itu. Namun, ketika melihat sesuatu yang tidak nyata (seperti pocong, hantu, atau segala jenis "makhluk halus" lainnya) ia segera "takjub" (baca: percaya sekaligus ketakutan). Dengan demikian, meski tidak pernah melihat Tuhan, ia mempercayainya sekaligus mempercayai hal-hal yang sesungguhnya tidak nyata. Hal inilah yang ternyata dialami oleh sebagian besar orang beragama, walaupun mereka tidak menyadarinya, yakni mudah percaya terhadap hal-hal gaib (baca: tidak nyata), baik Tuhan, malaikat, maupun tuyul, pocong, hantu, dan sejenisnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.