Tampilkan postingan dengan label Sosiologis. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Sosiologis. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 Juni 2010

Kesurupan Massal

Beberapa waktu lalu diangkat tulisan mengenai kesurupan. Kali ini fenomena yang serupa bukan hanya dialami oleh satu orang melainkan belasan orang lainnya. Mereka adalah para pegawai pabrik sepatu di Cianjur, Jawa Barat. Ternyata kesurupan bisa dialami oleh lebih dari satu orang (bahkan massal) di tempat yang sama. Artinya, kesurupan dialami oleh banyak orang di satu tempat (sekolah atau tempat kerja seperti pabrik). Fenomena kesurupan massal ini semakin membuat orang percaya bahwa kesurupan tersebut memang diakibatkan "roh /makhluk halus" yang merasuki tubuh orang banyak itu. Hal ini biasanya didukung oleh pernyataan orang-orang setempat yang mengatakan bahwa dulu di tempat tersebut ada orang yang meninggal akibat kecelakaan (kerja atau lalu lintas) atau meninggal akibat dibunuh. Pernyataan-pernyataan semacam itu semakin menebalkan kepercayaan orang terhadap adanya "roh/makhluk halus" yang bisa merasuki tubuh manusia. Apakah benar demikian?

Tulisan mengenai kesurupan yang lalu sebenarnya telah menyinggung kaitan antara psikososial seseorang dengan tubuh, khususnya otak orang yang bersangkutan (rekan Moralizm, di kolom tanggapan, telah menjelaskan hal tersebut dengan cukup rinci). Artinya, berbagai hal yang terjadi atau dialami sehari-hari (sosial) oleh manusia disimpan dalam otak, khususnya hal-hal yang sangat baik dan sangat buruk. Hal-hal inilah yang direkam oleh dan dalam otak setiap manusia. Ketika ingatan-ingatan mengenai hal yang sangat buruk (menyakitkan) muncul dan orang itu tidak kuasa mengendalikan ingatan dan "perasaan" menyakitkan itu, maka motoriknya bergerak tidak beraturan dan biasanya sangat kuat. Ini terjadi akibat rangsangan yang dikirimkan dari otak yang menyimpan berbagai ingatan buruk tersebut.

Dengan demikian, sekali lagi dapat dinyatakan bahwa sesungguhnya fenomena kesurupan yang dipercaya begitu banyak orang sebagai akibat "roh/makhluk halus" yang merasuki tubuh manusia adalah keliru. Sesungguhnya yang terjadi dalam fenomena kesurupan adalah gejala psikososial yang tidak mampu dikendalikan oleh orang-orang tertentu sehingga mereka dikatakan mengalami kesurupan.

Mengapa banyak orang dengan mudah mencari penjelasan supernatural terhadap banyak hal yang terjadi di sekitarnya, seperti kesurupan? Karena banyak kelompok masyarakat yang sedari kecil dijejali dan di-"indoktrinasi" oleh berbagai kisah supernatural, seperti adanya tuyul, hantu, setan, wewe gombel, dan sejenisnya. Ditambah, penjelasan supernatural tidak njelimet alias sederhana sehingga memudahkan orang untuk mencerna bahkan mempercayainya. Selain itu, penjelasan secara supernatural, oleh banyak orang dianggap lebih menarik dan dramatis dibandingkan penjelasan saintifik yang dianggap kaku dan dingin. Oleh karena itu, tidak heran jika lebih banyak orang lebih memilih dan mempercayai berbagai penjelasan supernatural ketimbang penjelasan saintifik. Akibatnya, sebagian besar orang lebih mempercayai bahwa kesurupan massal terjadi kerena "roh/makhluk halus" telah merasuki tubuh orang banyak itu daripada mempercayai bahwa hal tersebut terjadi karena dipicu oleh latar belakang ekonomi dan sosial (sulit dan menghimpit) yang dialami orang-orang malang tersebut.

Minggu, 06 Juni 2010

Ketika Agama Ikut Campur

Setelah MUI ikut campur dengan menanggapi kasus Alter, tidak lama berselang pihak Katolik pun tidak mau kalah dengan turut campur menanggapi kasus yang sama. Semua orang tentu berhak memberikan pendapat, pandangan, dan argumennya terhadap semua hal yang terjadi di dunia. Namun alangkah lebih baiknya jika pandangan-pandangan yang dikemukakan dilandasi oleh berbagai argumen yang masuk akal dan jernih serta lebih mengutamakan sisi kemanusiaan ketimbang doktrin agama yang menekan, menghakimi, dan tidak adil.

Menanggapi kasus Alterina, Amidhan dan Benny mengutarakan pernyataan yang serupa bahwa seharusnya Alter menyempurnakan diri/identitasnya dan bukannya mengubah diri dari perempuan menjadi laki-laki karena itu melanggar kodrat. Namun sayangnya, pernyataan kedua petinggi agama Islam dan Katolik tersebut tidak disertai dengan penjelasan lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan "sempurna", "identitas", dan "kodrat." Hal apakah yang harus di-sempurna-kan Alter? DNA, gen-nya, atau apanya? Jika ya, apakah DNA atau gen atau apanya dari seseorang itu bisa diubah, bahkan di-sempurna-kan? Ini mengasumsikan berarti ada yang sempurna dan tidak sempurna. Apakah tolok ukur yang sempurna dan tidak sempurna itu? Ah...bisa diduga, lagi-lagi (ajaran) agama-lah yang menjadi tolok ukur untuk menilai "kesempurnaan" dan "ketidaksempurnaan" suatu hal.

Selain itu, Amidhan dan Benny tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan "identitas" dan "kodrat." Apakah jenis kelamin seseorang bisa dijadikan ukuran orang tersebut sebagai perempuan atau laki-laki? Apa itu "kodrat"? Takdir? Nasib? Hal yang sudah ditentukan dari sono-nya? Artinya, setiap orang
sejak awal sudah ditentukan oleh tuhannya sebagai ini, itu, atau anu, termasuk menjadi perempuan atau laki-laki. Kalaupun setiap orang sudah "ditentukan" sejak awal (dari kandungan), bukankah manusia diberikan otak untuk berpikir dan menentukan "pilihannya" di kemudian hari? Bukankah setiap agama memberikan "kebebasan" kepada umatnya untuk menentukan pilihannya sendiri? Jika tidak, berarti jelas, agama memang tidak memiliki semangan yang membebaskan, namun sebaliknya, malah membelenggu.

Namun, Benny mengutarakan sesuatu bernuansa positif dengan menyatakan bahwa negara [Indonesia] harus mengatur persoalan ini. Ya, semoga saja pemerintah bisa mengambil keputusan jernih dan seimbang dengan mendasarkannya pada kemanusiaan, bukan pada ajaran agama. (Mengingat mayoritas penduduk Indonesia memeluk agama Islam (secara "keras"), maka sepertinya harapan tersebut akan menjadi sia-sia belaka.) Jika negara bijak maka seyogianyalah ia
akan lebih menitikberatkan pada tanggung jawab yang harus dilakukan oleh setiap warga negaranya. Peraturan, hukum, ataupun undang-undang yang dibuat seharusnya bisa mengatur setiap warga negara secara adil alias tidak memihak sehingga setiap warga negara memperoleh hak kenyamanannya. Semoga saja negara tidak diintervensi oleh agama yang seringkali tidak adil, keras, dan otoriter. (Sekali lagi, harapan yang sepertinya hanya akan tetap tinggal semata-mata sebagai harapan.)

Kasus yang dialami Alter seharusnya dipandang dan disikapi secara hukum, biologis, dan sosiologis. Sama sekali tidak perlu melibatkan agama karena memang tidak ada hubungannya. Jika orang bertuhan mempercayai bahwa setiap orang bertuhan bertanggung jawab secara pribadi terhadap tuhannya, maka biarkanlah keputusan yang telah diambil Alter menjadi pertanggungjawabannya secara pribadi terhadap tuhannya. Hal yang terpenting adalah bahwa ia (Alter) bertanggung jawab melaksanakan semua kewajibannya sebagai manusia, suami, dan warga negara.

Dengan demikian, jelas, agama sama sekali tidak dibutuhkan dalam kasus Alter. Kasus Alter adalah murni kasus kemanusiaan (hukum, biologis, dan sosiologis), bukannya kasus keagamaan. Maka tepat sekali kata-kata kuasa hukum Alter yang mengatakan bahwa agar semua pihak berbicara sesuai dengan keilmuannya. Biarlah kasus yang melibatkan ilmu hukum, biologis, dan sosiologis ini dijelaskan oleh orang-orang yang kompeten di bidangnya. Ini sama sekali tidak berarti mengeksklusifkan ilmu-ilmu tersebut, tetapi itulah akibatnya ketika agama ikut campur, ia bukannya menjelaskan atau memberikan keterangan yang jernih melainkan membuat suatu hal menjadi tidak jelas.