Minggu, 25 April 2010

Ujilah Setiap Pandangan

Setiap orang yang menganggap bahwa pandangan yang dimilikinya benar sudah sepatutnya tidak berkeberatan jika pandangannya tersebut dinilai atau diuji oleh orang lain. Namun, mengapa umumnya orang tidak suka atau bahkan tersinggung jika pandangannya diuji orang lain, terlebih jika pandangannya dikritisi atau dinilai salah oleh orang lain? Sejauh yang dapat dikemukakan bahwa umumnya orang merasa terganggu jika keberadaannya (yang nyaman) “diusik” atau diutak-atik oleh orang lain. Oleh karena itu, umumnya orang memilih mempertahankan diri dengan membentengi diri dengan berbagai argumen yang cenderung bernuansa emosional ketimbang menggunakan argumen-argumen yang dilandaskan pada akal sehat.


Salah satu “benteng” yang biasa digunakan orang saat mempertahankan pandangannya secara emosional adalah dengan mengucapkan kata-kata, seperti: “Yah, itu kan pandanganmu, tetapi pandangan saya adalah tetap itu” atau “Pandangan setiap orang tentu berbeda, oleh karenanya, tidak mungkin disamakan” atau “Namanya juga pendapat, jadi pendapat setiap orang itu bersifat subjektif”. Ketiga ucapan tersebut sangat sering terdengar ketika orang mencoba mempertahankan pandangannya tanpa memberikan argumen lebih lanjut. Setidaknya, kedua pernyataan “mempertahankan diri” tersebut tidaklah relevan dengan semangat diskusi apalagi semangat kritis yang seyogianya dikembangkan dalam dunia saat ini sehingga setiap orang mampu menguji dan menilai, baik pandangan orang lain maupun pandangannya sendiri.


Terhadap pernyataan pertama, tanggapan yang dapat dikemukakan bahwa oleh karena pandangan itulah, maka saya (orang lain) perlu menilai dan mengujinya; apakah pandangan tersebut benar atau salah, apakah pandangan tersebut didukung oleh bukti-bukti relevan yang kuat, dan dilandasi oleh akal sehat. Jika pandangan tersebut tidak didukung oleh berbagai bukti relevan dan akal sehat, maka dapat dinyatakan bahwa pandangan tersebut salah, oleh karenanya, harus ditolak.


Terhadap pernyataan kedua, tanggapan yang dapat dikemukakan bahwa tujuan pengujian dan penilaian terhadap suatu pandangan bukanlah untuk menyamakan setiap pandangan orang. Tentu, setiap orang memiliki pandangan yang berbeda. Namun yang hendak dicari dalam menilai dan menguji suatu pandangan adalah argumen yang cermat, logis, dan jernih. Artinya, apakah suatu pandangan dikemukakan berdasar pada berbagai bukti yang relevan dan nalar manusia atau tidak berdasar pada hal-hal tersebut. Harus selalu diperhatikan dan diingat bahwa penilaian dan pengujian terhadap suatu pandangan bukanlah demi memperoleh penyamaan pandangan melainkan demi memperoleh kejernihan dan kejelasan pandangan tersebut.


Terhadap pernyataan ketiga, tanggapan yang dapat dikemukakan oleh karena setiap pandangan bersifat subjektif, maka subjektivitas inilah yang hendak dihilangkan, atau setidaknya diminimalisasi melalui penilaian dan pengujian yang dilakukan oleh orang lain. Oleh karena itu, diskusi yang dilandasi oleh semangat kritisisme yang sehat sepatutnya bisa menjadi pendorong lahirnya berbagai pandangan yang cermat, logis, dan jernih. Tentu, setiap orang memiliki subjektivitasnya masing-masing. Namun, orang yang kritis dan skeptis tidak enggan untuk membiarkan dirinya dibimbing oleh berbagai bukti yang ada (relevan) dengan didukung oleh akal sehatnya. Seorang yang kritis dan skeptis tidak pernah ragu untuk selalu menilai dan menguji setiap pandangannya termasuk pandangan orang lain.


Tulisan ini segera mengingatkan saya pada salah satu ucapan yang terdapat dalam Alkitab yang kira-kira berkata demikian: “Ujilah setiap roh” (sayangnya saya tidak ingat pernyataan itu terdapat di kitab apa). Dengan demikian, semangat tulisan ini saya kira tidak bertentangan dengan pernyataan tadi bahkan mempertegasnya. Dengan agak mengacu pada pernyataan Alkitab tadi dan setelah melakukan sedikit improvisasi, maka tulisan ini pun diakhiri dengan pernyatan: “Ujilah setiap pandangan”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.