Rabu, 14 April 2010

Kritisisme & Popularitas


Beberapa orang pernah berkata kepada saya bahwa berbagai kritik tajam yang saya alamatkan pada agama dan para pemeluknya serta budaya populer hanyalah untuk menarik perhatian orang lain. Artinya, mereka beranggapan bahwa saya mengkritik agama dan budaya populer agar saya menjadi perhatian banyak orang, dan mungkin saja menjadi populer. Jadi, banyak kritik sama dengan upaya untuk menjadi populer.

Ada juga yang mengatakan bahwa saya mengkritik agama dan para pemeluknya karena saya kurang kerjaan atau kecentilan. Artinya, berbagai kritik yang saya lontarkan terhadap agama dan para pemeluknya serta budaya populer akibat saya memiliki banyak waktu luang dan saya bingung hendak diapakan waktu luang tersebut sehingga saya mengkritik hal-hal tersebut.

Tidak jarang juga ada orang yang mengatakan bahwa berbagai kritikan yang saya arahkan pada agama dan para pemeluknya serta budaya populer karena saya saja yang terlalu banyak protes akibat selalu merasa kurang puas terhadap agama. Artinya, berbagai kritik saya terhadap agama dan para pemeluknya dianggap sebagai protes saya terhadap agama dan budaya populer. Lebih lanjut bahkan dikatakan bahwa saya hanya bisa protes tanpa sama sekali mampu memberikan solusi.

Kata-kata yang juga sering dialamatkan kepada saya – dalam kaitannya dengan pikiran kritis saya terhadap agama dan budaya populer – bahwa kritisisme saya tersebut akibat kebencian saya terhadap agama dan para pemeluknya serta budaya populer. Artinya, berbagai kritik saya terhadap agama akibat kebencian saya terhadap agama yang sudah ada sejak lama dan semakin lama semakin bertambah.

Apakah semua pertanyaan di atas benar adanya?

Terhadap pernyataan pertama : Saya tidak melakukan kritik terhadap agama dan budaya populer untuk menarik perhatian banyak orang sehingga saya menjadi populer. Apakah kritisisme yang saya lakukan bisa membuat orang lain tertarik pada saya? Jawabannya: bukan popularitas saya terima melainkan ketidaksukaan banyak orang terhadap sayalah yang saya tuai karena dianggap sebagai “orang yang berisik dan mengganggu” (annoying).

Terhadap pernyataan kedua : Saya tidak melakukan kritik terhadap agama dan budaya populer karena kurang kerjaan akibat waktu luang yang begitu banyak. Saya memiliki cukup banyak kegiatan dan untuk melontarkan sebuah kritikan saja saya meluangkan waktu yang cukup dan tentu membutuhkan konsentrasi yang juga cukup intens. Ini saya lakukan supaya kritikan yang saya lontarkan tidak terkesan asal-asalan atau yang penting mengkritik. Oleh karena itu, saya selalu harus meningkatkan kemampuan saya dengan memperluas pengetahuan saya dan melatih daya kritis saya dengan sesering mungkin menyampaikan kritisisme saya, baik secara lisan maupun tulisan. Dengan demikian, saya bukanlah seorang yang kurang kerjaan dan kecentilan sehingga rela mengisi waktu dengan melakukan hal yang malah membuat saya tidak disukai banyak orang.

Terhadap pernyataan ketiga : Kritisisme tidak sama dengan “tukang protes” walaupun tentu kritisisme yang saya lakukan berdasar pada ketidakpuasan saya terhadap institusi agama dan para pemeluknya serta budaya populer. Kritisisme adalah suatu upaya memberikan penilaian yang didasarkan pada berbagai unsur dan kaidah berpikir yang cermat dan tepat. Kritisisme dilakukan demi perubahan ke arah yang semakin baik. Oleh karena itu, pernyataan bahwa saya tidak memberikan solusi sangatlah tidak tepat karena pada dirinya sendiri kritisisme sesungguhnya menawarkan solusi.

Terhadap pernyataan keempat : Saya tidak membenci agama dan para pemeluknya serta budaya populer dalam pengertian yang sempit dan dangkal melainkan lebih pada ungkapan keprihatinan saya terhadap agama dan para pemeluknya serta budaya populer yang seringkali mengakibatkan ketidakadilan, pembodohan, penipuan, dan manipulasi dalam dunia dunia. Saya tidak mau membenci agama karena jika saya membenci agama, maka pada saat itulah saya berlaku sama seperti orang-orang yang beragama secara fundamentalis yang menebarkan kebencian terhadap umat yang beragama lain. Saya juga tidak memendam kebencian terhadap agama sejak lama karena kehidupan beragama saya sejak di masa kanak-kanak hingga dewasa berjalan cukup baik dan karenanya saya tidak memiliki “sakit hati” tertentu pada agama.

Setelah melihat penjelasan di atas, maka jelaslah sekarang bahwa langkah kritis yang telah dan terus saya tempuh terhadap agama dan para pemeluknya serta budaya populer sama sekali tidak didasarkan pada upaya untuk memperoleh popularitas. Sebaliknya, kritisisme yang saya lakukan selama ini malah membuat diri saya tidak disukai banyak orang, yang akibatnya kepada saya diberikan berbagai cap yang bernuansa negatif, seperti: kecentilan, kurang kerjaan, memendam sakit hati, tukang protes, berisik, bahkan orang yang berlebihan. Dengan demikian, jelas, kritisisme yang menjadi jalan pilihan hidup saya tidaklah membuat saya populer melainkan membuat saya tidak disukai banyak orang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.