Sabtu, 10 April 2010

Kritisisme = Penilaian


Seorang teman dengan nada bicara yang agak tinggi berkata kepada saya: “Ah, lu bisanya cuma mengkritik agama dan ga pernah kasih solusi!” Padahal yang saya lakukan 65% adalah bertanya banyak hal yang berkaitan dengan agama seraya di sana-sini mencoba memperjelas definisi atau keterangan yang diberikan teman saya tersebut. Saya sama sekali tidak menghina, mengata-ngatai, melecehkan, atau merendahkan argumen-argumen yang dikemukakannya. Bahkan saya beberapa kali mencoba memberikan batasan supaya penjelasan teman saya itu tidak ke mana-mana. (Kecenderungan orang yang kurang memahami dan menguasai topik tertentu adalah mencoba mengalihkan topik tersebut pada pembahasan yang lain/baru.)

Teman saya tersebut berkata lebih lanjut dengan nada bicara yang sedikit lebih tinggi: “Jangan cuma agama dong yang dikritik, tapi apakah lu juga mengkritik pendapat lu sendiri?!” Sayang sekali pada saat itu saya belum membuat blog ini, di mana ia bisa melihat berbagai pandangan saya bukan hanya terhadap agama, tetapi fenomena populer yang terjadi di tengah-tengah masyarakat termasuk berbagai hal yang berkaitan dengan apa, mengapa, dan bagaimana berpikir kritis itu. Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik membahas segala hal yang berkaitan dengan agama karena bagi saya argumen-argumen yang dikemukakan oleh mereka yang “membela” agama tidak pernah berkembang melainkan hanya berputar di argumen yang sudah ada sejak dulu. Hal ini mengakibatkan agama buat saya menjadi artefak yang berasal dari masa lalu dan tidak memberikan pengaruh yang baru serta lebih baik buat manusia, bahkan dunia secara lebih luas. Namun, ketertarikan saya pada fenomena yang terjadi di dan dialami masyarakat membuat saya tidak bisa dengan mudah mengalihkan pandangan dan perhatian saya dari berbagai hal yang berkaitan dengan agama. Ini bisa terjadi karena agama sendiri merupakan salah satu fenomena yang ada di tengah-tengah masyarakat. Oleh karena itulah saya, bukannya terpaksa, tetapi dengan cukup antusias mencoba tetap mengamati dan menganalisis semua hal yang berkaitan dengan agama.

Memperhatikan reaksi teman tadi terhadap sikap saya, maka saya beranggapan bahwa teman saya terganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang saya ajukan terhadapnya. Padahal semua pertanyaan yang saya ajukan bukanlah bertujuan untuk menyudutkan apalagi menyerangnya melainkan berusaha memperoleh keterangan yang jelas mengenai suatu hal yang diakui dan dipercayainya dengan keyakinan penuh. Dan ketika saya mengajukan beberapa pernyataan/pandangan yang berbeda dari keyakinannya, maka saya dianggap sesat karena pandangan saya tidak sejalan dengan keyakinannya. Ketika saya mengemukakan argumen yang mempertanyakan penjelasannya, maka ia mencap saya sebagai seseorang yang tidak sopan karena telah menyerang keyakinannya.

Begitu banyak orang berpandangan bahwa kritisisme merupakan sesuatu yang tidak baik, tidak sopan, negatif bahkan jahat. Sebagian besar orang beranggapan bahwa kritisisme berarti menyerang pribadi orang yang dikritiknya padahal sesungguhnya kritisisme adalah upaya menilai argumen-argumen dan pandangan-pandangan orang lain dengan didasarkan pada berbagai bukti dan didukung oleh akal sehat manusia. Kritisisme dilakukan bukan untuk menyerang, menyudutkan, “menjatuhkan”, apalagi menghina, merendahkan, atau mempermalukan orang yang kepadanya kritik itu dialamatkan. Namun sebaliknya, kritisisme dilakukan untuk memperoleh keterangan/penjelasan yang jernih dengan berdasar pada logika, bukti-bukti relevan, dan akal sehat.

Sangat banyak orang menganggap bahwa jika suatu hal dipercaya dan dianut oleh begitu banyak orang karena diklaim memberikan hal-hal yang positif bagi mereka yang mempercayai dan menganut hal tersebut, maka hal tersebut benar adanya. Namun, ketika ada pandangan yang yang berbeda atau tidak sesuai bahkan menentang/melawan keyakinan orang banyak tersebut, maka pandangan yang berbeda tersebut dianggap salah dan orang (-orang) yang mendukung pandangan yang berbeda itu dicap sebagai sesat atau pemberontak. Ini adalah hal yang memprihatikan, bukannya mencoba mencari tahu mengapa pandangan tersebut berbeda dan didukung hanya oleh beberapa orang melainkan langsung memberikan stigma tertentu pada mereka yang berbeda pendapat dari kebanyakan orang. Terlebih jika hal tersebut (kritisisme) dilakukan terhadap agama, maka orang yang melakukan kritisisme akan serta-merta dicap pembangkang atau tidak sopan.

Kembali pada pertanyaan pertama teman saya tadi, apakah saya bisanya hanya mengkritik tanpa memberikan solusi? Seharusnya orang-orang yang mengaku beragamalah yang berupaya memberikan solusi terhadap berbagai hal yang terjadi di dunia ini jika memang mereka mempercayai bahwa sesosok pribadi mahakuasa yang mampu mengatasi segala hal di alam raya ini. Mengapa (harus) manusia yang memberikan solusi jika memang pribadi itu mahakuasa, terlebih ketika manusia sudah tidak mampu melakukan apa-apa, maka seharusnya si mahakuasa itulah yang turun tangan.

Apakah saya hanya mengkritik agama dan segala hal yang terkait dengannya? Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik (lagi) membahas agama dengan alasan yang sudah saya utarakan di atas. Namun karena agama merupakan salah satu fenomena yang ada dalam dunia dan dipercaya serta dipeluk oleh sebagian besar penduduk bumi ini, maka tak pelak lagi saya pun menganalisisnya. Bagi saya, semua hal yang berkaitan dengan agama sama sekali tidak berbeda dari semua teori sains, pandangan dan teori politik, serta keyakinan-keyakinan lainnya (perbintangan, hantu, grafologi, pengobatan-pengobatan alternatif, dlsb). Artinya, semua subjek tersebut tidak ada yang luput dari pertanyaan dan kritisisme – semua subjek tidak ada yang kebal terhadap kritikan. Dan kritisisme dilakukan demi memperoleh pengetahuan dan penilaian apakah suatu hal itu benar atau tidak.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.