Tidak sedikit orang yang percaya terhadap ramalan bintang atau astrologi. Apakah itu astrologi? Secara sangat sederhana dapat dikatakan bahwa astrologi adalah “pengetahuan” tertentu mengenai waktu dan tempat lahir seseorang yang dipercaya mempengaruhi atau setidaknya berkaitan dengan karakter orang yang bersangkutan. Contohnya saja Libra, maka seseorang yang memiliki bintang Libra (waktu lahirnya berada di antara rentang tertentu) dipercaya memiliki karakter yang diplomatis, idealistis, dan mudah bersosialisasi, sedangkan Capricorn dikatakan berkarakter bertanggungjawab, disiplin, pekerja keras, dan penuntut.
Saya juga menemukan kaitan yang menarik antara rasisme dan astrologi. Sampai saat ini masih cukup banyak orang menilai karakter orang lain berdasar pada warna kulit, latar belakang suku, dan waktu serta tempat di mana seseorang dilahirkan. Ini adalah penilaian yang sangat menyesatkan karena tidak ada seorang pun yang lahir di dunia ini dapat menentukan sebelumnya atau memilih ia ingin dilahirkan sebagai, baik seseorang yang memiliki kulit berwarna tertentu, dilahirkan dalam keluarga yang berlatar belakang suku tertentu, maupun pada waktu dan tempat tertentu. Artinya, tidak ada seorang pun di dunia ini mampu mengendalikan bagaimana, kapan, dan di mana ia dilahirkan dan tumbuh dewasa. Oleh karena itu, orang cukup sering mendengar adagium yang berkata: “Saya dapat ‘membaca’ atau mengenal orang lain tanpa perlu mengenalnya terlebih dahulu”. Yang hendak dikatakan melalui adagium tersebut adalah bahwa orang-orang yang beranggapan bahwa mereka dapat menilai karakter seseorang tanpa terlebih dulu bergaul intim dengan orang tersebut percaya bahwa sesungguhnya mereka dapat mengenal karakter orang tersebut.
Hal tersebut dapat dengan mudah orang temukan saat seseorang membaca astrologinya di hari tertentu. Seseorang yang sudah terlebih dahulu mempercayai bahwa astrologi dapat memberikan keterangan mengenai hal-hal tertentu yang akan dialami atau telah dialaminya akan cenderung mengatakan bahwa apa yang dikatakan melalui astrologinya merupakan sesuatu yang benar. Setiap orang memiliki berbagai asumsi tertentu, baik mengenai dirinya sendiri maupun orang lain. Namun, ketika asumsi tersebut atau keterangan yang diperoleh melalui astrologi tersebut tidak tepat, maka dengan mudah orang tersebut mencari-cari alasan demi membenarkan ketidaktepatan ramalan bintang yang telah dibacanya. Sebagai contoh yang sangat sederhana, banyak ramalan bintang mengatakan mengenai sikap orang yang malas dan boros. Kedua hal tersebut cenderung dimiliki oleh setiap orang, tetapi dalam tingkatan yang berbeda. Namun anehnya, dalam ramalan-ramalan bintang tidak pernah dijelaskan seberapa malas atau boros seseorang pada hari-hari tertentu. Artinya, tidak ada tolok ukur yang jelas dan pasti mengenai kemalasan dan keborosan seseorang. Sayangnya, tanpa adanya pikiran yang kritis dan sikap skeptis tidak sedikit orang yang mudah percaya dan menerima apa yang dikatakan orang lain mengenai “bintang”-nya.
Apa sebenarnya yang hendak disampaikan melalui tulisan ini? Dan mengapa tulisan ini diberi judul “Astrologi dan Asumsi?” Kegemaran orang membaca tanda-tanda atau ramalan bintang (astrologi) sangat didukung oleh adanya prasangka yang sebelumnya sudah dimiliki oleh orang tersebut. Tanpa adanya pikiran yang kritis, maka asumsi orang tersebut dapat dengan mudah mengendalikan penilaian dan kesimpulan yang dibuatnya, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Mungkin tidak terlalu menjadi masalah jika ia menilai karakternya sendiri dengan berdasar pada astrologi yang dimilikinya. Jika orang tersebut masih memiliki akal sehat, maka nyaris dapat dipastikan bahwa ia serta-merta menolak ramalan bintang yang dibacanya seraya, mungkin, mencoba memperbaikinya. Namun, akan menjadi masalah jika ramalan bintang tersebut membuatnya menilai dan menyimpulkan karakter orang lain yang sama sekali belum dikenalnya secara dekat (intim). Jika orang tersebut tidak berpikir kritis, sebaliknya hanya mempercayai apa yang dibaca atau didengarnya mengenai ramalan bintang orang lain, maka bisa saja ia memberikan generalisasi atau stereotipe yang keliru mengenai orang lain.
Tentu, tidak semua stereotipe bernada negatif, namun apa jadinya jika stereotipe yang dibuat bernada negatif, seperti: orang-orang Sumatera Utara keras/kasar atau orang-orang Tionghoa pelit atau orang-orang Arab teroris atau orang-orang Kristen kaya. Stereotipe seperti itu sangatlah menyesatkan karena stereotipe dapat menggiring orang pada opini seseorang yang berujung pada opini publik. Dan stereotipe seperti itu tidak jarang didasarkan pada asumsi-asumsi yang keliru. Oleh karena itu, penilaian terhadap orang lain dengan berdasar pada warna kulit, latar belakang suku, apalagi waktu dan tempat di mana orang tersebut dilahirkan haruslah disingkirkan bahkan ditentang karena bukan hanya salah, terlebih menyesatkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.