Jumat, 15 Januari 2010

Si Vis Pacem, Protege Creaturam

Si vis pacem, protege creaturam (bila mau damai, lindungilah ciptaan) merupakan kata-kata Paus Benediktus XIV yang dikutip oleh B. S. Mardiatmadja, SJ, seorang rohaniwan Katolik, dalam tulisannya berjudul "Ekodamai" yang dimuat di harian Kompas, Jumat, 15 Januari 2010 (hlm. 6).

Di awal tulisannya Mardiatmadja mengatakan, "film Avatar mungkin sarat dengan fiksi, tetapi nada-nada dasarnya seperti menggemakan film The Mission dan perjuangan kelompok orang di sejumlah bagian Papua sejak beberapa puluh tahun terakhir: konflik bersenjata yang dijiwai oleh kekerasan ideologis. (Sekelompok) orang dengan ideologi tertentu menggagahi orang (-orang) yang memiliki keyakinan lain. Tindakan menggagahi itu kerap dikemas dengan kosmetik modern, seperti demokrasi, kebebasan berpendapat, dan persaingan sah. Terjadilah apa yang dulu disebut "perang yang dapat dipertanggungjawabkan". Dapat ditekankan dalam pernyataan Mardiatmadja adalah mengenai ". . . ideologi tertentu menggagahi orang (-orang) yang memiliki keyakinan lain (penekanan saya). Bukankah dengan demikian dapat dikatakan bahwa penggagahan yang dilakukan sekelompok orang terhadap masyarakat Papua ataupun masyarakat lainnya akibat masyarakat yang digagahi itu memiliki keyakinan yang berbeda dari pihak yang menggagahi? Dengan berdasar pada pernyataan Mardiatmadja di atas, maka dapat dikatakan bahwa penindasan yang dilakukan oleh sekelompok orang terhadap kelompok (masyarakat) lainnya akibat adanya perbedaan keyakinan (agama/ideologi) di antara kedua kelompok tersebut. Kelompok yang merasa superior menganggap bahwa kelompok yang berbeda keyakinannya dengan mereka adalah kelompok yang perlu ditaklukkan (ditobatkan) dengan didasarkan pada klaim bahwa hanya merekalah yang benar, sedangkan kelompok lainnya salah. Jadi sesungguhnya, perang terjadi akibat adanya perbedaan keyakinan di antara bangsa-bangsa.

Mardiatmadja juga mengatakan mengenai "kosmetik modern", seperti demokrasi, kebebasan berpendapat, dan persaingan sah tanpa menjelaskan sama sekali apa yang dimaksudkannya dengan "kosmetik modern". Saya hanya akan menyoroti satu unsur "kosmetik modern" menurut Mardiatmadja, yakni "kebebasan berpendapat". Apa yang keliru dengan kebebasan berpendapat? Apakah manusia tidak memiliki kebebasan dalam mengutarakan berpendapat, berkespresi, bahkan berpikir? Apakah kebebasan berpendapat merupakan produk modern? Sama sekali tidak. Kebebasan berpendapat sudah dilakoni sejak zaman para filsuf Yunani klasik. Jika dikaitkan dengan agama, tentu, kebebasan berpendapat memperoleh tempat yang begitu sempit, kalau tidak mau sampai dikatakan tidak ada sama sekali kebebasan berpendapat dalam agama-agama. Mengapa dikatakan demikian? Karena agama, bagi para pemeluknya merupakan hal yang pasti, mutlak, absolut, normatif, dan tidak bisa berubah. Pendapat jemaat adalah pendapat Allah.

Dalam bagian berikutnya
Mardiatmadja mengutip seruan damai tradisional Paus di tanggal 1 Januari 2010 dengan mengatakan dalam tulisannya bahwa pelestarian ciptaan bukanlah sekadar alternatif; mencintai dan melestarikan ciptaan adalah suatu keharusan kalau kita mau damai. "Nyatanya, sejak akhir abad ke-20 banyak pertempuran mengambil berbagai dalih yang bunyinya saja demokratis, tetapi pada intinya dasar perang akhir-akhir ini adalah perebutan sumber alam untuk memeras madu alam: pemiskinan ciptaan". Lebih lanjut ia mengatakan, "[e]kologi mutlak agar dunia jadi oikos kita bersama, rumah kita bersama: damai di Bumi.

Mardiatmadja sama sekali tidak mendukung pernyataannya tersebut dengan contoh-contoh yang nyata, di mana kekerasan senjata (perang) terjadi akibat bangsa-bangsa yang memperebutkan sumber alam untuk memeras madu alam, yang mengakibatkan pemiskinan ciptaan. Kalaupun perang terjadi akibat bangsa-bangsa memperebutkan sumber alam itu pun bukan karena bangsa-bangsa itu hendak memeras madu alam, tetapi karena sumber alam sangatlah penting demi kemakmuran dan kekayaan bagi suatu bangsa. (Ingat: sejarah penjajahan Belanda ke Indonesia. Bangsa Belanda menjajah Indonesia bukan karena ingin memeras madu alam Indonesia, tetapi karena memang hendak memperkaya dirinya.) Sumber daya alam begitu penting bagi banyak bangsa di dunia. Namun tetap tidak dapat dipungkiri bahwa banyak peperangan terjadi akibat perebutan kekuasaan politik, wilayah, kekuatan (pengaruh), dan kebencian terhadap pihak-pihak tertentu (lawan politik dan suku tertentu).

Di bagian lain dalam tulisannya Mardiatmadja mengatakan, "[k]udusnya alam ciptaan tampak dalam pandangan banyak bangsa di mana pun. Tentu saja film Avatar menghidangkannya dengan kecanggihan elektronik dan koreografi baru serta nada-nada New Age. Namun, paparan Avatar sudah lama dapat kita temukan dalam Kisah Penciptaan; ketika kepada manusia diserahkan tidak hanya alam semesta untuk dipergunakan, tetapi juga untuk dipelihara" (penekanan saya). Kitab Kejadian 1:28 mengatakan, "Beranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi" (penekanan saya). Dalam ayat tersebut yang berbicara dalam konteks kisah penciptaan - seperti dikatakan Mardiatmadja - tidak ditemukan kata "dipelihara" seperti yang ditulis Mardiatmadja. Sebaliknya, dalam kitab Kejadian ditulis "taklukkanlah" dan "berkuasalah". Manusia diperbolehkan, bahkan diperintahkan untuk menaklukkan dan menguasai alam semesta. Setelah membaca tulisan Mardiatmadja dan kitab Kejadian dalam konteks kisah penciptaan, maka jelas sekali, Mardiatmadja telah melakukan domestikasi terhadap ayat (kata-kata) dalam Alkitab.

Tema-tema ekologi, pelestarian alam, dan kedamaian manusia (dunia) yang diangkat Mardiatmadja sama sekali tidak didukung oleh argumen atau alasan yang kuat. Pertama, seperti tanpa disadarinya Mardiatmadja menulis bahwa perang terjadi akibat adanya sekelompok orang yang merasa superior akan keyakinan (agama/ideologi) yang dimilikinya sehingga mereka menjajah ("menggagahi" kata yang digunakan Mardiatmadja) kelompok yang berbeda keyakinannya dengan mereka. Kedua, Mardiatmadja mengatakan bahwa perang terjadi akibat bangsa-bangsa saling memperebutkan sumber alam untuk memeras alam yang mengakibatkan pemiskinan alam. Kalaupun bangsa-bangsa berperang untuk memperebutkan sumber alam, itu dilakukan bukannya untuk memeras alam melainkan karena dengan menguasai sumber alam, maka sebuah bangsa akan menjadi (lebih) kaya dan makmur. Dengan demikian jelas, penguasaan terhadap sumber alam akan memperkaya sebuah bangsa. Ketiga, Mardiatmadja mengatakan bahwa dalam kisah penciptaan manusia diberikan kuasa untuk memelihara alam. Namun setelah membaca kisah penciptaan Kristen, ternyata manusia tidak pernah diberikan kuasa untuk memelihara alam melainkan diperintahkan untuk menaklukkan dan menguasai alam. Jelas, pernyataan bahwa manusia diberikan kuasa untuk memelihara alam merupakan tafsiran Mardiatmadja yang sama sekali tidak didasarkan pada kisah penciptaan. Bahkan kisah penciptaan sama sekali berbicara hal yang bertolak belakang dari yang dikatakan Mardiatmadja. 


Dengan demikian, kisah penciptaan Kristen sama sekali tidak dapat digunakan sebagai dasar bagi manusia (dhi. orang beragama Kristen) untuk memelihara alam. Lebih dari itu, kisah penciptaan ini dapat menjadi batu sandungan atau bumerang bagi umat Kristen karena ternyata kitab sucinya tidak mendorong manusia untuk bertanggung jawab memelihara alam. Oleh karena itu, tidak perlu heran/kaget/aneh jika masih banyak orang Kristen enggan memelihara alam, wong kitab sucinya malah bilang hal yang sebaliknya, kok!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.