Sabtu, 09 Januari 2010

Love Is Patient

Sebuah pesan pendek masuk ke dalam HP saya dengan tulisan demikian: ""Love is Patient". 1 Cor. 13:4. Patient is to believe and to allow others to grow according to their pace. Patient to be misunderstood. Patient in order to maintain peace. Patient not to get angry easily. Patient to be in service. Patient to teach, to care, to love and wait. We ought to learn from God, the Master of our Patience. Have a good day, friends. GBU."

1. Patient is to believe and to allow others to grow according to their pace. Apakah yang dimaksud dengan kalimat tersebut? Saya tidak mengerti. Mari kita ambil contoh dari konteks dunia pendidikan. Apakah yang dimaksud dengan kalimat itu berarti bahwa seorang guru membiarkan anak-anak didiknya berkembang seturut dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing anak? Jika seorang guru mendidik anak-anak didiknya sesuai dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing anak, lalu buat apa ada kurikulum sekolah bahkan kurikulum nasional? Apa gunanya membuang-buang tenaga, waktu, dan uang demi membuat kurikulum yang tidak relevan dengan kemampuan yang dimiliki masing-masing anak didik? Jika benar bahwa patient is to believe and to allow others to grow according to their pace berarti tepatlah seperti yang dikatakan beberapa orang, "lebih baik anak saya dididik di rumah saya melalui program home schooling dengan menyewa guru privat. Dengan mengacu pada kalimat tadi, maka home schooling mungkin menjadi salah satu alternatif yang bijak bagi para orangtua dalam mendidik anak-anak mereka.

Bagaimana jika kalimat yang sama diterapkan dalam situasi atau konteks kehidupan sehari-hari. Manusia selalu mengalami perkembangan. Segala hal yang berada dalam diri dan terkait dengan manusia mengalami perkembangan. Demikian juga dengan moral manusia. Moral manusia selalu berkembang. Dahulu kala sebagian besar manusia menganggap seks sebagai hal yang tabu, namun sekarang sebagian besar orang memperlakukan kata 'seks' atau segala hal yang berkaitan dengan seks sangat berbeda dari manusia yang dahulu kala. Dulu manusia menganggap penggunaan kondom tidaklah baik karena melanggar agama, namun sekarang penggunaan kondom malah ditekankan bahkan sangat didukung. (Tentu, tidak demikian dengan Gereja Katolik Roma karena masih melarang penggunaan kondom.) Dulu manusia menganggap bahwa homoseksualitas adalah sesuatu yang cemar, tidak baik, bahkan jahat (lagi-lagi karena ajaran agama), namun sekarang sebagian besar manusia menganggap bahwa homoseksualitas merupakan hal yang wajar bahkan manusiawi. Terkait dengan hal itu, dulu manusia menganggap bahwa pernikahan antar sesama seks adalah hal yang tabu, namun sekarang dengan didukung oleh adanya hak-hak kebebasan berekspresi dan memilih, maka pernikahan antar sesama seks telah dapat disetujui oleh beberapa negara tertentu atau beberapa wilayah tertentu. Dulu transplantasi terhadap organ-organ tubuh manusia sama sekali dilarang, namun sekarang hal tersebut sudah menjadi hal yang wajar terjadi dalam masyarakat demi kesehatan dan keselamatan orang lain. Dahulu kala hukuman mati terhadap manusia biasa dilakukan (bahkan didukung oleh agama tertentu), namun sekarang hal yang sama banyak mendapat perlawanan dan penolakan dari berbagai pihak, khususnya mereka yang mendasarkan penolakannya pada hak-hak asasi manusia. Hal-hal yang telah disebut tadi membuktikan bahwa moral manusia selalu mengalami perkembangan.

Jika kalimat patient is to believe and allow others to grow according to their pace kita tempatkan dalam konteks kehidupan sehari-hari, di mana manusia selalu mengalami perkembangan, termasuk perkembangan moralnya, maka kata patient (kesabaran) menjadi tidak relevan. Mengapa demikian? Karena tidak ditemukan hubungan antara kesabaran dan perkembangan manusia, termasuk moralnya. Oleh karena itu, pertanyaan yang muncul adalah: apa yang menyebabkan manusia mengalami perkembangan, termasuk moralnya? Pikiran. Pikiran manusia selalu membuatnya berkembang. (Tentu, perkembangan setiap orang berbeda.) Dahulu manusia berpikir bahwa dunia ini datar, namun sekarang tidak lagi. Dahulu manusia berpikir bahwa bumi merupakan pusat tata surya, namun sekarang tentu tidak lagi. Dahulu manusia berpikir bahwa hujan berasal dari dewa-dewi yang sedang mandi. Dahulu manusia berpikir tidak mungkin orang bisa pergi ke bulan, namun sekarang para ilmuwan sedang mencari kemungkinan jika manusia bisa tinggal di luar bumi. Pikiran manusia yang selalu mengalami perkembangan menyebabkan moral manusia berkembang. Inilah yang membuat manusia disebut sebagai makhuk yang selalu mengalami evolusi. Dengan mengacu pada beberapa contoh tadi, maka patient is to believe and allow others to grow according to their pace menjadi tidak bermakna karena sesungguhnya manusia pada dirinya sendiri selalu mengalami perkembangan. Pikiran manusia berkemban. Moral manusia berkembang. Manusia adalah makhluk yang berevolusi. Human brain is to think, that's why our moral is growing either.

2. Patient to be misunderstood. Kalimat yang sangat janggal, bukan karena saya tidak mampu memahaminya, namun karena kalimat ini 'tidak sempurna'. Tidak jelas apa yang hendak disampaikan dalam dan melalui kalimat patient to be misunderstood. Mungkin jika kelak saya telah mampu memahaminya akan saya angkat ke dalam sebuah tulisan di blog ini. Untuk sekarang, saya sama sekali tidak memahami arti kalimat ini.

3. Patient in order to maintain peace. Berdasar pada sejarah dan kenyataan sampai kini, maka kesimpulan sementara yang dapat ditarik adalah bahwa banyak orang yang kurang atau tidak sabar dalam kehidupan ini, sehingga pertentangan bahkan sampai kerusuhan dan peperangan masih saja terjadi. Menjadi semakin aneh karena manusia bisa sampai berperang karena perbedaan doktrin agama yang dianutnya. Orang saling kutuk, menghakimi, dan berujung pada perang, yang semuanya tidak jarang akibat agama, atau bahkan didasarkan pada dorongan agama. Sepertinya 'kesabaran' tidak cukup bagi manusia untuk tidak memerangi sesamanya. Sepertinya kata 'sabar' dan 'kesabaran' sudah tidak bermakna lagi dalam kehidupan manusia. Kata 'sabar' dan 'kesabaran' hanya merupakan kata-kata indah yang biasa diucapkan manusia demi kedamaian yang tak kunjung datang. Dengan demikian jelas, kesabaran tidak cukup ampuh bagi manusia untuk tidak memerangi sesamanya. Jika demikian, apa yang dibutuhkan manusia bahkan dunia ini sehingga peperangan tidak terjadi lagi, setidaknya dapat ditekan? Apa yang harus dilakukan sehingga kedamaian bersemi di dunia ini?

Dalam poin satu telah dikemukakan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu berevolusi. Moral manusia pun selalu mengalami perkembangan. Jika demikian, apakah pikiran manusia mengenai perang tidak mengalami perkembangan. Apakah moral manusia terhadap perang tidak mengalami perkembangan? Manusia selalu memikirkan akibat perang. Manusia selalu melihat dan mendengar akibat peperangan itu, namun mengapa perang masih terjadi? Sifat dasar manusia yang selalu curiga, tidak puas, dan berkecenderungan untuk menguasai orang lain bahkan benda yang mengakibatkan perang. Prapaham-prapaham yang belum dan bahkan tidak didukung oleh berbagai data dan bukti yang kuat telah mendorong manusia cenderung untuk selalu menyerang pihak lain. Itulah yang menyebabkan seorang George W. Bush, Jr. menyerang Afganistan dan menginvasi Irak. Itulah yang membuat Al-Qaeda 'menyerang' blok-blok 'Barat' yang 'diketuai' oleh Amerika Serikat. Itulah yang mengakibatkan kelompok-kelompok fundamentalisme agama menyerang pihak-pihak yang dianggapnya sebagai musuh yang harus dimusnahkan agar dunia menjadi aman.

Jika demikian, apa yang dibutuhkan manusia jika patient tidak lagi mumpuni demi mempertahankan kedamaian? Berpikirlah terbuka dengan melihat bahwa ada begitu banyak pendapat yang selalu berbeda dan mencoba memahami dari sudut pandang orang atau pihak yang berpendapat. Menerima kenyatan bahwa perbedaan dan pertentangan merupakan hal yang wajar, tetapi perang tentu bukanlah sesuatu yang wajar. Berlakulah secara bijak dengan selalu mempertanyakan apa yang menjadi dasar bagi sesorang/kelompok sehingga mereka berpendapat dan/atau berperilaku tertentu. Mengedepankan hal-hal yang jauh dari kekerasan, saya pikir, merupakan salah satu cara yang cukup bijak seraya terus berpikir kritis terhadap kenyataan perang. Dengan demikian, kalimat patient in order to maintain peace dapat diubah menjadi being open-minded so that human could live in peace.

4. We ought to learn from God, the Master of our Patience. Beberapa pertanyaan segera muncul: what and which God we ought to learn from? God of the Old Testament? God in Jesus? Apakah seseorang yang menulis dan membaca pesan pendek dalam HP saya pernah betul-betul membaca Alkitab bagian Perjanjian Lama? Apakah Allah dalam PL yang hendak diteladani? Allah yang menurunkan 10 bencana kepada bangsa Mesir? Allah yang menenggelamkan bumi dan hanya menyelamatkan beberapa binatang dan Nuh? Allah yang membunuh bangsa-bangsa yang dilalui Israel ketika dalam perjalanan ke Kanaan? Allah yang mengusir orang-orang Kanaan sehingga orang-orang Israel dapat tinggal di tanah Kanaan? Atau, Allah dalam Yesus yang memerintahkan babi-babi masuk ke jurang? Yesus yang ngamuk di Bait Allah? Yesus yang tidak menganggap keluarganya sendiri? Apakah Allah seperti ini yang harus diteladani? Allah yang pemarah, pencemburu, dan tidak segan-segan membunuh orang atau suatu bangsa? Apakah manusia perlu bahkan harus belajar dari Allah yang demikian? We ought to learn from God, the Master of our Patience since God is Love? I REALLY DON'T THINK SO, ladies and gents....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.