Selasa, 26 Januari 2010

Argumen Deduktif

Ada dua macam argumen yang orang selalu kemukakan, entah disadari maupun tidak disadari.

1. Argumen deduktif : premis-premis yang dikemukakan dalam argumen ini melahirkan kesimpulan yang pasti.

2. Argumen induktif : premis-premis yang dikemukakan dalam argumen ini hanya melahirkan kesimpulan yang sangat mungkin.

Dalam tulisan ini akan dijelaskan secara sederhana mengenai argumen deduktif.


Jika premis-premisnya benar dan berhasil menghasilkan kesimpulan yang pasti, maka argumen tersebut sahih. Namun jika premis-premisnya benar tetapi gagal menghasilkan kesimpulan yang pasti, maka argumen tersebut tidak sahih. Berikut contohnya:

1. Semua mamalia memiliki paru-paru.

2. Semua paus adalah mamalia.

3. Dengan demikian, semua paus memiliki paru-paru.

Argumen di atas adalah argumen deduktif yang sahih karena kesimpulan yang mengikutinya memiliki kepastian jika premis-premis yang mendahuluinya benar. Dengan demikian, dalam argumen deduktif tidak mungkin premis-premis yang dibuat benar, tetapi kesimpulannya salah.

Perhatikan contoh berikut:

1. Semua binatang berkaki delapan memiliki sayap.

2. Laba-laba adalah binatang berkaki delapan.

3. Dengan demikian, laba-laba memiliki sayap.

Argumen di atas adalah benar karena jika premis-premisnya benar, maka seharusnya kesimpulannya juga benar. Namun masalahnya di sini adalah bukan karena argumen di atas tidak sahih melainkan premis-premisnya yang salah.

Sekarang perhatikan sebuah argumen yang memiki premis-premis yang benar dan sebuah kesimpulan benar yang tidak sahih:

1. Jika saya memiliki semua emas di Freeport, saya adalah orang kaya.

2. Saya tidak memiliki semua emas di Freeport.

3. Dengan demikian, saya bukan orang kaya.

Kedua premis di atas benar, tetapi kesimpulan yang mengikutinya tidak memiliki kepastian . Mengapa demikian? Karena ada banyak cara lain yang dapat dilakukan untuk menjadi orang kaya tanpa memiliki semua emas di Freeport.

Sebuah argumen deduktif yang sahih dengan premis-premis yang benar adalah sebuah argumen yang masuk akal. Argumen yang masuk akal seringkali disebut orang sebagai "bukti", tetapi istilah ini juga bisa menyesatkan. Jika premis-premisnya sangat pasti, maka sebuah argumen yang masuk akal tentu melahirkan/memberikan bukti, seperti contoh berikut:

1. Semua bujang tidak/belum menikah.

2. Semua bujang adalah laki-laki.

3. Dengan demikian, semua bujang adalah laki-laki yang tidak/belum menikah.

Premis-premis yang yang diungkapkan di atas adalah pasti karena benar secara definisi/pengertian, dan argumen yang dikemukakan masuk akal, jadi kesimpulannya merupakan bukti. Namun, perhatikan contoh berikut:

1. Semua bujang tidak/belum menikah.

2. Budi adalah seorang bujang.

3. Dengan demikian, Budi tidak/belum menikah.

Contoh di atas juga merupakan sebuah argumen yang masuk akal (sebuah argumen yang sahih disertai premis-premis yang benar), tetapi kesimpulannya bukanlah bukti. Mengapa demikian? Karena premis kedua merupakan klaim empiris mengenai keberadaan sesuatu, bukan semata-mata sebuah pernyataan mengenai makna dari istilah yang digunakan. Oleh karena itu, kekeliruan mungkin saja terjadi. Misalnya, mungkin saja ketika sedang berpesiar ke Las Vegas dalam keadaan mabuk Budi menikahi seorang penghibur dan tidak ingat dengan peristiwa tersebut.

Inti argumen deduktif adalah selalu menguji dan meneliti, apakah premis-premis dalam argumen ini benar atau salah, atau sangat mungkin atau sangat tidak mungkin, dan bukannya, apakah argumen tersebut sahih atau tidak sahih. Dengan demikian, bahkan sebuah argumen deduktif tidak menawarkan 100% bukti jika salah satu premis membuat sebuah klaim mengenai keberadaan sesuatu. Harus diakui bahwa cara kerja argumen deduktif cukup sulit dipahami. Oleh karena itu, diperlukan waktu yang cukup untuk mempelajari cara kerja argumen ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.