Banyak orang seringkali dengan keliru menghubungkan antara keberimanan dan pengetahuan yang dimiliki seseorang karena kedua hal tersebut sesungguhnya seringkali tidak saling mempengaruhi. Inilah yang terjadi di AS - berdasar pada sebuah survei - di mana kaum ateis AS memiliki pengetahuan yang cukup, bahkan mereka memiliki pengetahuan agama (dhi. Agama Kristen) yang lebih dalam daripada kaum teis dan/atau beragama itu sendiri. Hal ini menegaskan pernyataan seorang fisikawan AS yang mengatakan bahwa warga AS - walaupun bukanlah keseluruhan warga AS - tertarik untuk mengetahui landasan agama Kristen.
Berdasar pada hasil sebuah survei yang dilakukan dari Mei sampai Juli tahun ini dan pernyataan fisikawan tadi, orang bisa melihat bahwa yang dibicarakan adalah "pengetahuan," bukannya "iman" atau keberimanan. Jadi, kata kuncinya adalah "pengetahuan" dan bukannya "iman." Meski pengetahuan dalam pengertian tertentu (dibentuk/dipengaruhi oleh tradisi atau otoritas) yang dimiliki seseorang bisa saja mempengaruhi keberimanannya, entah mempertegas ataupun malah menolak imannya, namun seringkali atau bahkan lebih sering jika iman dan pengetahuan tidak saling mempengaruhi alias tidak berkaitan. Alasannya? Lihat saja banyaknya orang yang beragama dan/atau bertuhan, entah secara sadar ataupun tidak sadar, secara tersistematisasi (belajar serius) ataupun hanya ikut-ikutan karena tradisi atau diturunkan beragama karena keturunan. Dengan masih banyaknya orang yang, entah yang mengaku ataupun tidak mengaku beragama dan/atau bertuhan, maka dengan demikian bisa dikatakan bahwa iman seseorang tidak dipengaruhi oleh pengetahuan walaupun pengetahuan (berbagai bukti yang ada) yang bertolak belakang dengan iman seseorang sangatlah banyak. Namun hal tersebut tidak membuat banyak orang beragama/bertuhan mengubah pendirian/pandangan/kepercayaannya terhadap agama dan/atau keberimanan yang dianutnya.
Bagaimana dengan orang-orang yang mengubah pendirian atau kepercayaannya terhadap agamanya sendiri, entah dengan memeluk agama lain (pindah agama) ataupun meninggalkan agama sama sekali dengan menjadi, misalnya, ateis? Bukankah orang-orang yang berpindah ataupun meninggalkan agama, sedikit-banyaknya dipengaruhi oleh pengetahuan yang dimilikinya? Kemungkinan besar ya, namun bukan pengetahuan-lah yang menyebabkan mereka memutuskan untuk mengubah pandangan dan pendiriannya melainkan argumentasi-argumentasi yang berasal dari pemikiran akal sehat mereka. Pengetahuan pada dirinya sendiri sesungguhnya tidak memiliki kekuatan atau pengaruh apapun pada diri seseorang jika orang tersebut tidak mengolah pikiran dan melakukan permenungan. (Permenungan yang dimaksud di sini bukanlah berfokus pada meditasi walaupun hal itu sah-sah saja dilakukan orang dan membuatnya mengubah pandangan dan pendiriannya setelah bermeditasi. "Permenungan" yang dimaksud di sini adalah melakukan analisis yang serius dan mendalam terhadap objek tertentu.)
Dengan demikian, pengetahuan saja tidak cukup mampu mengubah pandangan seseorang karena yang dibutuhkan lebih dari itu. Oleh karena itu, yang dibutuhkan adalah kemampuan untuk berpikir secara cermat dan tajam serta keberanian menyatakan diri dengan jelas dan tegas, setidaknya, terhadap diri sendiri, di mana semuanya itu dilakukan dengan kesadaran penuh dan tersistematisasi dengan baik. Apapun posisi seseorang, entah ia adalah seorang percaya yang beriman terhadap figur yang disebut, dipanggil, dan dinamakan Tuhan atau Allah atau Brahma atau yang ilahi, ataupun ia seorang ateis yang tidak mempercayai keberadaan figur yang lebih "tinggi" yang melampaui, bahkan mengendalikan hidup dan alam semesta ini, orang tersebut harus mampu menjelaskan posisinya tersebut dengan jelas dan tegas (sekali lagi, setidaknya, pada dirinya sendiri) dengan mengemukakan berbagai argumentasi yang runut, masuk akal, dan jelas.
Apakah dengan demikian pengetahuan tidak diperlukan karena tidak penting? Pengetahuan sangatlah penting karena bisa merangsang orang untuk berpikir lebih dalam sekaligus luas dan tiada henti. Namun, pengetahuan jika tidak ditopang oleh argumentasi-argumentasi yang runut dan jelas serta keputusan diri yang dilakukan secara sadar, mandiri, dan disistematasi, maka sesungguhnya pengetahuan menjadi sesuatu yang kosong dan sia-sia belaka. Pengetahuan pada dirinya sendiri merupakan sesuatu yang baik, namun yang baik itu menjadi semakin nyata dan bermanfaat ketika orang mampu menyerap dan menggunakan pengetahuan itu untuk menjelaskan posisinya secara sadar dan bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.