Selasa, 14 September 2010

"Bukti"

Seorang pemuda dan kelima temannya mengaku telah melihat sesosok yang dikenal dengan nama kuntilanak di sebuah tempat yang diyakini angker dan ada penunggunya. Di bawah  ada sekian keterangan yang bisa dianggap banyak orang sebagai "bukti" bahwa penglihatannya tersebut sungguh-sungguh terjadi alias ia dan kelima temannya tidak melakukan kebohongan:
1. Areal tersebut sudah diyakini angker dan ada penunggunya.
2. Sepi (pemukiman penduduk agak ke dalam).
3. Dekat dengan kuburan.
4. Malam Jumat.
5. Terjadi subuh (sekitar pukul. 04.00).
6. Dilihat dari jarak yang sangat dekat yakni 10 meter.
7. Disaksikan lebih dari 2 orang.
8. Sama persis dengan gambaran cerita banyak orang sebelumnya.
9. Pernah diceritakan oleh para orangtua sebagai tempat yang angker dan ada penunggunya.
10. Pertanda akan ada korban jiwa dan terbukti besoknya terjadi kecelakaan di tempat itu.
11. Tiga minggu tidak berani ke tempat itu lagi.

Ke-11 poin di atas merupakan ciri umum yang biasa orang baca atau dengar setiap kali seseorang/sekelompok orang mengaku telah melihat penampakan "makhluk halus" atau peristiwa misterius. Bagi beberapa orang atau banyak orang semua poin di atas dengan mudah membentuk gambaran awal seseorang mengenai hal-hal yang serba misterius sehingga mengaitkannya dengan penampakan "makhluk halus." Sejauh ini belum ada berita/cerita mengenai sekelompok orang yang melihat hantu pada siang hari "bolong" di tengah keramaian jalan atau pasar karena hal tersebut bisa dianggap sebagai lelucon yang sengaja dibuat oleh orang-orang itu. Atau, mereka akan dianggap hanya mencari perhatian banyak orang dengan membuat cerita picisan. Namun, hal serupa tidak akan terjadi jika diceritakan bahwa peristiwa tersebut terjadi di kegelapan malam yang sunyi. Tentu, cerita yang kedua memberikan efek dramatis yang sangat pas khususnya bagi mereka yang sangat demen dengan cerita-cerita misterius.
Hal yang harus diperhatikan bahwa peristiwa tersebut disaksikan lebih dari dua orang, dan semua orang yang menyaksikannya adalah teman. Ini artinya sangat mungkin peristiwa yang sebetulnya hanya disaksikan oleh satu orang, namun karena yang menyaksikan memiliki kedekatan psikologis, entah teman, keluarga, ataupun pasangan, maka orang yang menyaksikan secara tidak disadari mempengaruhi orang-orang yang memiliki kedekatan dengannya. Demikian pula halnya dengan orang-orang lain tersebut, karena mereka memiliki kedekatan psikologis dengan orang yang menyaksikan peristiwa tersebut maka mereka tanpa disadari segera atau mudah percaya dengan pengakuan yang dikatakan oleh orang itu. Ini adalah pola yang sangat mudah terbaca, khususnya berkaitan dengan pengakuan orang mengenai hal-hal tertentu, termasuk pengakuan dalam dunia kejahatan (pengadilan). Maksudnya, ketika mengambil keputusan untuk percaya atau tidak percaya, mendukung atau tidak mendukung orang tertentu bukannya menggunakan akal sehatnya dengan berdasar pada bukti-bukti yang jelas dan kuat melainkan mendasarkannya pada emosi, seberapa dekat, intim, atau jauh hubungan yang dimilikinya dengan orang tersebut. Ini merupakan hal yang sangat salah dan sesat.

Hal berikut yang harus diperhatikan bahwa setiap orang memiliki asumsi yang berasal dan/atau dibentuk dari berbagai hal yang sudah diterimanya, misalnya berupa cerita dan/atau ingatan. Cerita dan/atau ingatan ini bisa berasal dari otoritas tertentu, misalnya: orangtua, pemuka dalam masyarakat, atau guru/dosen yang dianggap ahli dalam bidangnya. Selain itu, cerita dan/atau ingatan bisa dibentuk oleh opini publik. Artinya, karena banyak orang mengaku sudah mengalaminya langsung maka hal tersebut dianggap sebagai kebenaran. Kedua hal tersebut - otoritas dan opini publik - disadari ataupun tidak disadari seringkali digunakan banyak orang untuk menyimpulkan bahwa sesuatu itu sungguh-sungguh terjadi dan benar adanya. Penggunaan otoritas yang didukung oleh opini publik seringkali mengecoh bahkan menyesatkan banyak orang dalam banyak hal, termasuk hal-hal yang misterius. Oleh karena otoritas dan opini publik yang digunakan dengan menggantikan akal sehat seseorang, maka pikiran banyak orang pun dibentuk oleh pandangan-pandangan orang lain tanpa terlebih dahulu menguji apakah pandangan-pandangan (termasuk keyakinan) itu benar atau salah. Maka dari itu tidak perlu kaget jika banyak orang yakin dan percaya pada keberadaan hantu karena hal itu diturunkan dari orangtua dan/atau mendengar cerita banyak orang mengenai hal itu sehingga di kepalanya pun muncul "gambaran" mengenai hantu yang dimaksud. Kedua hal ini pun salah dan sesat karena telah menggunakan otoritas dan opini publik sebagai ukuran untuk menilai kebenaran suatu hal.

Cerita kuntilanak seperti dalam berita di atas pun diakhiri oleh kenyataan bahwa peristiwa itu menjadi pertanda terjadinya kecelakaan. Padahal seperti telah diungkapkan dalam berita yang sama, tanpa "kehadiran" kuntilanak pun tempat tersebut tergolong rawan kecelakaan akibat bentuk jalan yang menikung tajam, dan mungkin diperparah oleh minimnya rambu lalu-lintas atau lampu jalan yang bisa membantu para pengendara sehingga resiko kecelakaan pun bisa ditekan. Jika setiap kecelakaan, entah kecil ataupun besar, yang terjadi di tempat itu dikaitkan dengan penampakan kuntilanak, maka bisa dibayangkan sudah berapa ratus kali kuntilanak yang sama memperlihatkan dirinya kepada orang banyak. Jika ini yang terjadi maka tentu cerita mengenai kuntilanak tersebut tidak pudar dimakan waktu karena kecelakaan selalu terjadi dan semakin banyak orang percaya bahwa kuntilanak tersebut sebagai sesuatu yang nyata bahkan mempengaruhi "nasib" manusia.

Ke-11 poin di atas bisa dianggap sebagai "bukti" penampakan kuntilanak bagi mereka yang sudah percaya bahwa kuntilanak atau segala macam dan nama "makhluk halus" itu ada. Keberadaan mereka ("makhluk halus") itu diturunkan dari para orangtua yang dipertegas oleh opini publik. "Oleh karena nenek saya mengatakannya dan banyak orang lain sudah menyaksikannya serta teman-teman saya pun mempercayainya maka kuntilanak itu memang ada." Jika demikian yang terjadi, sia-sialah otak manusia karena tidak berfungsi secara maksimal akibat hanya percaya pada orang lain dan bukan dipergunakan sebagai daya nalar untuk menguji banyak hal yang terjadi di sekitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.