Senin, 15 Agustus 2011

Seni Berpikir Kritis (Bagian Ketiga - Terakhir)


Pada bagian akhir seri tulisan seni berpikir kritis yang lalu disinggung empat kunci utama yang merupakan ciri berpikir kritis, yakni: berusaha berpikir jernih dan lurus, berusaha fokus pada ide-ide atau poin-poin utama, berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang relevan, dan berusaha berpikir terbuka. Tulisan kali - seri terakhir - berfokus pada empat kunci utama tersebut.

1.   Berusaha berpikir secara jernih dan lurus

Seorang yang berpikir kritis selalu awas terhadap berbagai pernyataan, ide, atau pemikiran yang tidak jelas/jernih alias kabur dengan tidak puas sekadar memahami penampakan luar setiap hal melainkan selalu berusaha memahami apa yang terkandung di dalamnya. Artinya, orang tersebut mau berpikir mendalam. Namun sayangnya,  banyak orang lebih suka berpikir dangkal sehingga mudah dikelabui dan disesatkan oleh berbagai pernyataan, ide, atau pemikiran yang tidak jernih, ambigu (bermakna ganda), dan tidak lurus. Sebaliknya, orang yang berpikir jernih gemar berpikir secara mendalam dengan selalu menguji setiap pernyataan, ide, atau pemikiran, baik yang bukan berasal dari dirinya maupun berasal dari dirinya. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah selalu berusaha menjelaskan setiap hal dengan kata-kata sendiri demi pemahaman yang jernih, lurus, dan mendalam.

2.   Berusaha fokus pada ide-ide atau poin-poin utama

Seorang yang berpikir kritis selalu berusaha menghindari cara berpikir parsial. Artinya, ia selalu awas terhadap berbagai pernyataan, ide, atau pemikiran yang tidak fokus. Oleh karena itu, ia selalu berfokus hanya pada ide-ide atau poin-poin utama sehingga ia selalu berada dalam konteks. Dengan demikian, seorang pemikir kritis senantiasa berusaha berpikir dalam konteks tertentu, baik ketika mengajukan pertanyaan, memberikan contoh, analogi, metafor, mengemukakan hipotesis/hipotesa, menawarkan jalan keluar, maupun mengambil keputusan. Bagaimana fokus terhadap berbagai ide atau poin utama bisa dicapai? Dengan selalu mengajukan beberapa pertanyaan, seperti: “Apakah ini adalah ide pokok atau masalah utamanya?”, “apakah saya fokus pada ide atau masalah pokok?”, dan “apakah konteksnya?”

3.  Berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang relevan

Seorang yang berpikir kritis tidak jemu mengajukan pertanyaan relevan terhadap semua hal. Ini dilakukan demi pemahaman dan penilaian yang sesuai. Seorang pemikir kritis selalu awas dan sadar bahwa ada begitu banyak hal yang seringkali berbeda dari penampilannya. Artinya, ia tidak mau pikirannya dikecoh oleh penampakan luar dari setiap hal. Oleh karena itulah ia mengajukan berbagai pertanyaan mendasar, penting, dan sesuai konteks. Selain bertanya, seorang pemikir kritis juga selalu siap menanggapi berbagai pertanyaan relevan yang mempertanyakan pertanyaannya. Dengan demikian, ia bukan hanya mau bertanya, melainkan tidak bosan menghadapi pertanyaan, baik yang berasal dari dirinya maupun dari luar dirinya.

4.   Berusaha berpikir terbuka

Seorang yang berpikir kritis selalu bersedia mendengar pandangan orang lain sekalipun pandangan tersebut berbeda dari pandangannya. Dan jika memungkinkan ia mempertimbangkan ide atau pemikiran yang berbeda dari ide atau pemikirannya. Seorang pemikir kritis tidak ragu dan segan mengakui kesalahannya serta mengubah pandangannya ketika bukti datang bukti baru yang lebih masuk akal, kuat, dan dapat dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, seorang pemikir kritis adalah individu yang selalu terbuka terhadap berbagai ide atau pemikiran baru yang telah dan dapat diuji kebenarannya. Dengan demikian, seorang yang kritis memiliki kerendahan hati untuk menyadari dan mengakui kesalahannya dalam berpikir.

Setelah memperhatikan keempat kunci utama dalam berpikir kritis, maka dapat disimpulkan bahwa seorang yang berpikir kritis adalah individu yang sadar penuh menggunakan pikirannya dengan sesuai dan menjadikan berpikir sebagai kegiatan yang bukan hanya diterapkan pada subjek-subjek di luar dirinya, melainkan pertama-tama dan terutama dialamatkan pada dirinya sendiri sebagai subjek yang berpikir. Akhirnya, yang harus selalu diingat bahwa semuanya itu dilakukan tanpa mengenal kata “stop” karena merupakan bagian hidup yang terus berlangsung.

Minggu, 14 Agustus 2011

Makna Kehidupan (2)


Jalan Keluar
Bagi Schopenhauer kehendak tidaklah rasional. Kehendak merupakan dorongan yang tidak akan pernah bisa terpuaskan dan buta. Kehendak itu terjebak dalam kehidupan manusia yang membuatnya frustrasi karena dipenuhi dengan kerja keras tiada henti. Kehidupan, bagi Schopenhauer, seharusnya tidak perlu ada karena menyengsarakan manusia. Jika demikian, apa yang bisa dilakukan manusia agar bisa keluar dari kesengsaraannya? Schopenhauer mengajukan dua jalan keluar: pertama, kontemplasi estetik (bersifat sementara) dan kedua, penyangkalan estetik (bersifat abadi).

Individu yang melakukan kontemplasi estetis mampu melampaui apa yang dilihat atau didengarnya dari sebuah objek. Individu tersebut memperoleh kesadaran lebih tentang unsur dasar dan sejati dari realitas. Kontemplasi membebaskan individu tersebut dari subjek yang berusaha menguasai objek. Namun jika individu melihat objek bukan sebagai objek yang ditentukan oleh kategori pemahaman atau representasi melainkan memandangnya lebih dari sekadar objek maka individu tersebut bisa tiba pada tipe dasar objek tersebut. Menurut Schopenhauer ketika kehendak memanifestasikan dirinya ke dalam objek partikular dari dunia ini akibatnya ia terobjektifikasi ke dalam objek-objek universal. Inilah yang disebut dengan Ide-ide Platonik.

Pemahaman Schopenhauer tersebut akan mudah dipahami jika dianalogikan ke dalam bidang atau konteks seni. Seniman bisa menjadi lebih dari sekadar subjek ketika ia mampu membebaskan dirinya dari tuntutan kehendak dengan berhenti dari semata-mata pribadi dan menjadi subjek pengetahuan yang tidak lagi memiliki kehendak. Pada saat itulah seorang seniman dapat mengkomunikasikan pengetahuannya mengenai objek seni melalui karya seni yang mengagumkan. Dengan demikian, tidak mengherankan jika pelaku dan penikmat seni bisa mengalami perasaan tertentu terhadap objek seni karena mereka mampu melampaui objek yang dilihat atau didengarnya. Namun demikian, kontemplasi estetik sifatnya sementara, sedangkan penyangkalan estetik bersifat abadi.

Pada saat individu mengenali dunia sebagaimana adanya dunia, pada momen itulah ia melihat kehidupan sebagai sebagai ruang dan waktu yang di dalamnya harus diisi dengan kerja keras tanpa akhir. Menurut Schopenhauer ketika individ mampu menyadari hal ini maka dirinya sesungguhnya telah terbebas dari kesengsaraannya karena pada titik ini ia telah sadar penuh. Ia bahkan menjadi individu yang sadar untuk menghargai, menghormati, dan mencintai subjek lain sebagaimana ia menghargai, menghormati, dan mencintai dirinya sendiri. Kesadaran ini menuntun individu pada pembebasan dari kehendak yang sifatnya ilusif. Pembebasan dari kehendak – pengosongan diri – ini dapat dicapai melalui penyangkalan diri. Ini yang disebut Schopenhauer sebagai penyangkalan estetik. Pernyataan Schopenhauer mengenai “penyangkalan diri” merangsang pertanyaan, apa itu “penyangkalan”? Apa yang disangkal?

Menurut Schopenhauer proses mengetahui menuntut keberadaan subjek sebagai yang mengetahui dan objek sebagai yang diketahui, sementara setiap kali Schopenhauer menyebut “pengosongan” atau “penyangkalan” ia sedang berupaya, bukan hanya meniadakan subjek dan objek, namun juga meniadakan ruang, waktu, pengertian, dan kehendak itu sendiri. Dengan kata lain ia mengatakan bahwa tidak ada kehendak, tidak ada representasi, dan juga tidak ada dunia (bukan kehidupan). Apakah dengan demikian Schopenhauer seorang nihilis? Sama sekali bukan, karena ia tidak mengatakan bahwa “yang ada hanyalah ketiadaan” namun sebaliknya, “ketiadaan tidaklah pernah ada.”

Kesimpulan
Setelah mencoba memahami Schopenhauer, maka dengan demikian, pertanyaan “apakah Schopenhauer seorang filsuf yang memandang kehidupan secara pesimistis?” bisa dijawab dengan “tidak.” Mungkin saja Schopenhauer memahami kehidupan agak negatif, namun itu tidak berarti manusia lain yang hidup di dalamnya juga bersikap negatif terhadap kehidupan. Ini tidak dapat dilepaskan dari pandangannya mengenai bunuh diri. Jika kehidupan ini sama sekali tidak bernilai dan manusia seharusnya tidak perlu berada di dalamnya, apakah dengan demikian bunuh diri menjadi sah? Jika kehidupan ini tidak bermakna mengapa tidak bunuh diri saja?! Menurut Schopenhauer, tindakan bunuh diri merupakan kesalahan karena ketika individu melakukan bunuh diri berarti dirinya menyerah dan kalah terhadap kehendaknya. Lebih dari itu, tindakan bunuh diri adalah bentuk afirmasi atas kehendak dan penerimaan atas duka cita. Yang dikatakan Schopenhauer adalah “penyangkalan kehendak” bukan “penyangkalan (terhadap) kehidupan.” Dengan berdasar pada argumen inilah maka tindakan bunuh diri hanya akan menghancurkan diri sendiri dalam dunia representatif yang justru ditolak Schopenhauer.

Hal penting yang perlu dicatat dari pandangan Schopenhauer – meski ia secara agak negatif memandang kehidupan – bahwa ia mengajukan pengalaman estetik (bukan mistik) sebagai alternatif atau jalan keluar bagi manusia dari kesengsaraan hidupnya. Harus diperhatikan bahwa jalan keluar tersebut bukanlah pelarian apalagi melakukan tindakan bunuh diri. Ini dilakukan dengan berdasar pada kesadaran bahwa manusia tidak hidup seorang diri di dunia ini karena ada makhluk hidup lainnya dan alam. Manusia juga bukanlah subjek sementara yang lainnya adalah objek(-nya), melainkan semuanya adalah subjek. Kesadaran inilah yang memampukan manusia melihat, memahami, dan menilai dunia sekitarnya sebagaimana adanya.

Dengan demikian dari Arthur Schopenhauer kita belajar bahwa manusia bukanlah satu-satunya subjek di jagat ini karena ada subjek-subjek lainnya. Meski manusia selalu berusaha memahami dan memaknai dengan menilai subjek-subjek sekitarnya, namun adalah langkah yang bijak jika penilaian itu dilakukan dengan sesuai alias layak. Artinya, manusia tidak memberikan penilaian yang semena-mena terhadap subjek-subjek itu. Bagaimana penilaian sesuai/layak itu dilakukan? Dengan berpikir kritis individu akan dituntun ke dalam (proses) penilaian yang sesuai sehingga, baik dirinya maupun sesamanya tidak akan terkecoh dan tersesat.

Makna Kehidupan (1)

Apakah makna kehidupan? Tidak sedikit orang bertanya dan mencari jawaban terhadap pertanyaan seperti itu, termasuk seorang filsuf Jerman, Arthur Schopenhauer (1788-1860). Namun demikian, banyak orang (secara keliru) menafsirkan pandangannya mengenai kehidupan sehingga ia dianggap sebagai seorang yang pesimis. Tidak jarang orang mengatakan jika Schopenhauer memiliki pandangan negatif terhadap kehidupan dan menganggap dunia sebagai sesuatu yang seharusnya tidak ada. Apakah benar Schopenhauer filsuf yang pesimis terhadap kehidupan? Jika ya, mengapa ia berpikir demikian? Jika tidak, apakah pandangannya mengenai kehidupan, dan adakah jalan keluar yang ditawarkan kepada manusia untuk memaknai kehidupannya? Pembahasan makna kehidupan menurut Arthur Schopenhauer akan dibagi ke dalam dua bagian tulisan

Dualisme
Siapa saja yang hendak menyelami pemikiran Schopenhauer terlebih dulu perlu memahami karya Immanuel Kant (1724-1804) agar tidak tersesat, karena pandangan Schopenhauer berangkat dari penolakannya terhadap pemikiran Kant. Dalam karyanya (“Kritik terhadap Akal Budi Murni”) Kant mengatakan bahwa pikiran itu aktif dan kekuatan apriori yang berasal dari pikiran itu yang memainkan peranan dalam pembentukan sifat dunia yang dialami manusia. Berbagai bentuk yang berasal dari intuisi inderawi manusia berlangsung di dalam ruang dan waktu. Artinya, semua objek yang dialami manusia selalu berada dalam ruang/tempat dan waktu tertentu. Namun demikian, intuisi inderawi manusia tidak cukup memberikan pengetahuan mengenai objek yang dialami manusia sehingga intuisi tersebut harus dibawa ke dalam konsep-konsep sehingga membentuk pengalaman inderawi. Pengalaman inderawi ini dibentuk dan diatur oleh kerja mental yang disebut kategori (Menurut Kant ada 12 kategori, yakni: kesatuan, pluralitas, totalitas, kenyataan, negasi, pembatasan, substansi, sebab-akibat, kesalingan, kemungkinan, aktualitas, dan kebutuhan), sedangkan menurut Schopenhauer hanya ada satu, yaitu kausalitas. Kategori-kategori ini memampukan manusia untuk memahami bahwa setiap objek yang dicerapnya berada dalam ruang dan waktu. Hal-hal inilah yang memungkinkan manusia dapat melihat dan memahami dunia bukan hanya dalam ruang dan waktu namun secara keseluruhan. Dengan demikian, Kant memandang dunia sebagai objek yang menampakkan diri kepada manusia (subjek). Artinya, semua hal yang bisa diketahui manusia tidak lain hanyalah berupa sifat representasi dari sebuah objek.

Lebih lanjut Kant mengatakan bahwa makna terutama dunia sebagaimana ia menampakkan dirinya kepada manusia menunjukkan sesuatu yang lain/berbeda, yakni adanya realitas di balik penampakan tersebut. Inilah yang disebut Kant dengan fenomena (penampakan) dan noumena (“sesuatu pada dirinya sendiri”). Menurut Kant noumena merupakan hal yang tidak sama dengan pengalaman manusia. Artinya, pengalaman manusia berasal dari dunia objek dan dikonstruksi di dalam pikiran manusia. Dengan demikian, manusia bisa memiliki pengetahuan mengenai fenomena, namun tidak bisa memiliki pengetahuan mengenai noumena karena samar-samar. Oleh karena itulah manusia tidak dapat mengatakan hal-hal mengenai noumena selain hanya menyadari bahwa hal tersebut ada. Noumena itulah yang berinteraksi dengan pikiran manusia sehingga melahirkan pengalaman.

Pada momen inilah Schopenhauer menolak pandangan Kant. Pernyataan Kant bahwa noumena merupakan tempat dalam rangkaian kausalitas yang menjadi dasar pengalaman manusia, bagi Schopenhauer dianggap sebagai konsep yang menunjuk bahwa ada sesuatu lain yang berada di luar pengalaman manusia. Penolakan Schopenhauer tersebut jika dirumuskan ke dalam sebuah pertanyaan menjadi: bagaimana mungkin sungguh-sungguh ada yang disebut dengan noumena jika ia sendiri lahir karena konstruksi pikiran manusia? Dengan demikian, seandainya Kant benar dan kategori kausalitas sesuai hanya pada objek sebagaimana ia menampakkan dirinya, bagaimana kita bisa memahami pernyataan Kant bahwa noumena dapat melahirkan sesuatu? Berdasar pada hal ini Schopenhauer mengatakan bahwa tetap diperlukan adanya konsepsi lain dari hubungan antara fenomena dan noumena.

Dunia (sebagai) Kehendak
Dualisme fenomena dan noumena Kant, bagi Schopenhauer, merupakan sesuatu yang absurd dan tidak mungkin dilakukan sehingga harus ditolak. Berbeda dari Kant, Schopenhauer berpendapat bahwa penampakan dan noumena tidak dapat dipisahkan karena merupakan realitas yang sama, hanya saja dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Bagi Schopenhauer, relasi bukanlah sebab-akibat melainkan identitas itu sendiri. Pada satu sisi dunia adalah representasi sekaligus pada sisi lainnya dunia pada dirinya sendiri merupakan kehendak. Pandangan Schopenhauer tersebut berdampak pada pengertian bahwa manusia sebagai subjek menerima tubuhnya sebagai objek sebagaimana objek lain dalam dunia (fisik) ini. Pengertian tersebut menampakkan diri dalam ruang dan waktu, berada dalam hubungan kausal, selalu berubah, dan demikian seterusnya. Dengan demikian, manusia melihat hal tersebut sebagai representasi, penampakan yang berada dalam dunia eksternal sekaligus empiris. Artinya, terhadap semua objek dalam dunia yang menampakkan diri sebagai representasi, manusia memiliki akses terhadap tubuhnya. Manusia mengetahui tubuhnya sebagaimana tubuhnya berada, terlepas dari tubuh manusia sebagai representasi karena ia memilikinya. Schopenhauer pun mengatakan dalam tubuhnya manusia menemukan kehendak.

Namun demikian, orang harus berhati-hati untuk tidak menafsirkan pernyataan Schopenhauer tersebut dengan mengatakan bahwa kehendak manusia merupakan penyebab aktivitas tubuh karena baginya tubuh dan kehendak adalah dua aspek dari realitas yang tidak berbeda alias sama. Schopenhauer mengatakan bahwa hasrat menghendaki itu adalah tubuh. Dengan kata lain dapat dikatakan bahwa tubuh manusia adalah kehendak yang terobjektifikasi. Dengan demikian, pada poin ini ia sependapat dengan Kant yang menyatakan bahwa dunia pada dirinya sendiri mengakibatkan representasi.

Pernyataan Schopenhauer bahwa tubuh adalah kehendak yang terobjektifikasi berimplikasi pada gagasan bahwa seluruh dunia berdasarkan penampakannya tidak lain dan tidak lebih merupakan kehendak yang terobjektifikasi. Hal ini didasarkan pada penolakan Schopenhauer terhadap paham solipsisme yang mengatakan “yang ada hanyalah noumena dan representasinya.” Oleh karena itulah ia menegaskan bahwa tubuh manusia merupakan bagian dari dunia sebagaimana dunia menampakkan dirinya, dan keseluruhan manusia adalah kehendak itu. Dalam bahasa Schopenhauer, ketika individu menyadari dan mengenali hal ini, maka ia akan memahami bahwa sifat terdalam yang dimilikinya adalah kehendak.

Seni Berpikir Kritis (Bagian Kedua)


Tulisan bagian pertama membahas mengenai manfaat berpikir sesuai/tepat demi memberikan penilaian dan mengambil kesimpulan yang tepat dalam situasi tertentu. Namun sayangnya, banyak orang tidak menyadari pikirannya sendiri bahkan tidak jarang orang menganggap berpikir bukanlah hal yang penting karena pikirannya berproses dengan sendirinya alias otomatis. Tulisan bagian kedua ini mengangkat seberapa penting orang mempelajari pikirannya sendiri demi menanggapi berbagai pertanyaan yang diangkat di akhir tulisan bagian pertama.

Harus diakui hanya segelintir orang menganggap berpikir mengenai pikirannya adalah sesuatu yang penting. Sebagian besar orang “berpikir” bahwa pikirannya tidaklah perlu dipikirkan karena tidak ada manfaatnya. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa tidak sedikit orang menganggap berpikir mengenai pikirannya sendiri adalah hal yang aneh. Ini mengakibatkan berpikir hanya dilakukan sebagian kecil orang karena berpikir tidak dijadikan bagian dari budaya manusia. Namun jika diperhatikan dan disadari, (kegiatan) berpikir memainkan peran yang banyak dalam kehidupan manusia; pernyataan, keyakinan, dan “perasaan” dipengaruhi dan dihasilkan dari proses berpikir manusia. Ini adalah keniscayaan. Dengan demikian, orang harus sadar penuh bahwa berpikir merupakan bagian hidup manusia yang sangat penting, karena dengan berpikir manusia menentukan keberadaannya. 

Setelah menyadari pentingnya berpikir, berikutnya adalah bagaimana berpikir yang sesuai itu? Bagaimana berpikir secara efektif? Ketika berbicara mengenai “sesuai” dan “efektif” berarti berkaitan dengan kualitas. Artinya, berpikir menjadi semakin penting karena kualitas ditentukan oleh, salah satunya, latihan demi keterampilan. Oleh karena itu, dibutuhkan ketekunan dan waktu untuk seseorang mencapai tahap berpikir yang baik. Kemampuan berpikir sesuai tidak bisa diperoleh hanya dalam satu atau beberapa hari, bahkan bulan karena dibutuhkan kemauan untuk mengembangkan kemampuan dan kerja keras tiada henti.

Berpikir haruslah diperlakukan sebagai kegiatan seni yang terus berlangsung sehingga setiap kali kesulitan, masalah, tantangan, dan ketidaknyamanan muncul, orang tidak berhenti apalagi mundur dalam berpikir, melainkan terus melatih keterampilan berpikirnya. Layaknya seorang atlit atau seniman yang terus berlatih dan meningkatkan keterampilannya demi hasil yang maksimal bahkan sempurna, maka hal yang serupa berlaku bagi orang yang mau berpikir efektif. Tidak ada yang lain kecuali kesungguhan, latihan, dan kerja keras tiada henti demi tercapainya proses berpikir yang sesuai dan efektif.

Setidaknya ada empat kunci utama yang menjadi ciri berpikir efektif, yakni: 

  • Berusaha berpikir secara jernih dan lurus
  • Berusaha fokus pada ide-ide atau poin-poin utama
  • Berusaha mengajukan pertanyaan-pertanyaan mendalam yang relevan
  • Berusaha berpikir terbuka

Jika seorang menerapkan empat hal tersebut maka ia sudah berada dalam jalur yang sesuai/tepat dalam proses berpikir efektif bahkan kritis. Harus disadari penuh bahwa keempat hal di atas tidak berfungsi sebagai tongkat ajaib atau mantra yang ketika diterapkan serta-merta mengubah seorang menjadi pemikir kritis. Harus terus diingat, kesungguhan, latihan dan kerja keras tiada henti adalah daya utama bagi mereka yang ingin dapat berpikir efektif bahkan kritis sedangkan keempat kunci utama di atas adalah rambu-rambu yang tugasnya mengarahkan dan menuntun untuk sampai pada tahap berpikir efektif dan kritis.

Seni Berpikir Kritis (Bagian Pertama)

Dalam tulisan yang lalu dibahas mengenai pertayaan Sokratik sebagai suatu seni. Untuk melengkapi dan memperluas seni dalam berpikir kritis, maka mulai tulisan kali ini akan dibahas secara khusus mengenai berpikir kritis sebagai suatu seni. Dengan kata lain, proses berpikir kritis juga bisa dipertimbangkan sebagai kegiatan seni. Pembahasan mengenai seni berpikir kritis akan disajikan ke dalam tiga seri tulisan.

Seperti layaknya kegiatan lainnya, berpikir adalah salah satu kegiatan yang selalu dilakukan manusia, namun sebagian besar orang tidak menyadarinya atau menganggapnya sebagai suatu yang biasa saja. Bahkan tidak sedikit orang yang menganggap berpikir bukanlah kegiatan yang harus dilakukan, apalagi membutuhkan latihan dan terlebih, dipertimbangkan sebagai (kegiatan) seni. Oleh karena itulah banyak orang tidak memahami apa itu berpikir.

Apapun situasi, tujuan, harapan, keberadaan, posisi, ataupun masalah yang dihadapi, manusia sesungguhnya senantiasa berpikir walaupun hal tersebut tidak disadarinya secara penuh. Baik sebagai pimpinan, karyawan, warga negara, pasangan, teman, orangtua, maupun anak, manusia berpikir. Bukan “sekadar” berpikir, tetapi berpikir secara layak (fair thinking) karena dengan berpikir layak menghasilkan banyak hal yang bermanfaat. Pendek kata, berpikir layak bermanfaat. Namun harus disadari, untuk mampu berpikir layak orang perlu berlatih karena hal itu tidak dapat dicapai hanya dalam satu atau beberapa hari bahkan bulan, melainkan membutuhkan waktu yang cukup lama. Sebaliknya, berpikir secara asal-asalan mengakibatkan berbagai masalah, membuang-buang waktu dan tenaga, serta dapat menyebabakan kesesatan dan kecemasan.

Berpikir kritis dapat dianggap sebagai sebagai seni yang melatih dan mendorong orang supaya dapat menggunakan pikirannya dengan layak untuk digunakan dalam setiap situasi yang beragam. Oleh karena tujuan utama berpikir adalah memahami situasi di mana seseorang berada, maka orang membutuhkan informasi relevan demi memberikan penilaian atau mengambil kesimpulan yang sesuai dengan situasi.

Apa yang sesungguhnya terjadi? Apakah ia/mereka sedang berusaha memanfaatkan saya? Apakah ia/mereka peduli terhadap saya? Apakah saya menipu diri sendiri dengan mempercayai hal tersebut? Apakah akibat-akibat yang akan terjadi jika saya mempercayai hal itu? Apakah yang harus dilakukan? Mengapa hal itu bisa terjadi? Bagaimana melakukannya dengan sesuai? Apakah ini merupakan masalah utama, ataukah ada masalah yang lebih utama? Apakah hal ini penting untuk ditanggapi, ataukah ada hal lebih penting lainnya yang seharusnya saya tanggapi? Terhadap poin (penting) manakah saya harus berfokus? Ini semua adalah beberapa contohpertanyaan yang patut diajukan ketika orang menganalisis suatu hal sehingga penilaian bisa dilakukan secara layak. Dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan seperti di atas maka sesungguhnya orang telah mengambil langkah awal dalam berpikir.

Pertanyaan-pertanyaan di atas perlu dilanjutkan dengan mencari jawab terhadapnya. Mampu memberikan tanggapan dan jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan seperti itu merupakan proses berpikir selanjutnya. Artinya, berbagai pertanyaan yang diajukan tidak dibiarkan atau ditinggalkan begitu saja melainkan dicari jawaban relevannya sehingga penilaian yang sesuai dan tepat dapat dilakukan.

Namun demikian, untuk memaksimalkan kualitas dalam berpikir, seorang harus terlebih dahulu belajar bagaimana menjadi kritikus yang layak bagi pikirannya sendiri. Ini dilakukan supaya orang tersebut mampu, bukan hanya berpikir melainkan juga bertindak seturut  dengan pikirannya yang sesuai serta mampu mempertanggungjawabkan pikiran serta tindakannya. Artinya, ia mempertimbangkan dampak-dampak yang dihasilkan dari pikiran dan tindakannya tersebut. Oleh karena itu, agar seseorang dapat menjadi kritikus yang layak bagi pikirannya, ia harus secara sadar menggunakan pikirannya yang sesuai dan menjadikan berpikir sebagai kegiatan yang utama. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa demi menjadi kritikus yang layak bagi pikirannya, orang harus belajar mengenai pikirannya sendiri.

Cobalah tanyakan pada diri sendiri pertanyaan-pertanyaan berikut:
  • Apa yang telah saya pelajari mengenai pikiran saya?
  • Apakah saya pernah mempelajari pikiran saya sendiri?
  • Apa yang saya ketahui mengenai cara pikiran mengolah berbagai informasi?
  • Apakah yang saya ketahui mengenai cara menganalisis, mengevaluasi, atau membangun pikiran saya?
  • Dari manakah pikiran saya berasal?
  • Apa itu kualitas yang “baik”? Apa ukurannya? Bagaimana mengukurnya?
  • Apa itu kualitas yang “buruk”? Apa ukurannya? Bagaimana mengukurnya?
  • Apakah saya dapat mengendalikan pikiran saya?
  • Bagaimanakah mengujinya?
  • Apakah saya memiliki tolok ukur dalam menentukan seberapa “baik” dan “buruk” saya melakukan penilaian?
  • Apakah saya menyadari jika ada masalah dalam proses berpikir saya?
  • Apakah saya secara sadar kemudian memperbaikinya?
  • Seberapa jauh saya bisa mengetahui dan menyadari ketidakjernihan, ketidakkonsistenan, ketidaktepatan, atau kedangkalan pikiran saya?
  • Apakah saya sadar jika saya berpikir? Apakah saya menyadari pikiran saya?
  • Jika seseorang meminta saya untuk mengajarinya bagaimana cara berpikir efektif, apakah saya memahami apa itu berpikir efektif?
  • Bagaimana cara (efektif) membimbing orang tersebut?
Dapat diduga kuat jawaban terhadap pertanyaan-pertanyaan di atas akan berkisar seputar: “Saya tidak tahu banyak mengenai pikiran saya sendiri”, “Saya tidak tahu apa itu berpikir”, “Saya tidak tahu bagaimana pikiran saya bekerja karena saya tidak pernah mempelajarinya”, “Saya tidak tahu bagaimana menguji pikiran saya”, “Saya tidak menganggap berpikir itu penting karena pikiran saya (sudah) bekerja dengan sendirinya/otomatis.”

Tulisan berikut akan membahas mengapa orang perlu mempelajari pikirannya sendiri untuk menanggapi pertanyaan-pertanyaan di atas.

Rabu, 10 Agustus 2011

Pertanyaan Sokratik (Bagian Keempat - Penutup)


Tulisan yang lalu membahas berbagai unsur yang harus digunakan seorang yang hendak membangun dialog Sokratik, entah dengan pernyataan, keyakinan, ataupun berita tertentu demi memperoleh pemahaman dan memberikan penilaian yang akurat dan jernih. Tulisan kali ini akan menutup seri “Pertanyaan Sokratik” dengan membahas beberapa hal penting lain yang perlu diperhatikan sebagai kelengkapan demi tercipta dan terbangunnya dialog Sokratik yang baik.

Salah satu hal yang perlu disadari dan dipersiapkan ketika seorang akan menciptakan dan membangun dialog Sokratik yang baik adalah dengan mengajukan pertanyaan awal sebagai pembuka yang akan didiskusikan lebih lanjut dan jauh. Seperti telah kita pelajari bahwa semua setiap pertanyaan saling berkaitan, dan pertanyaan tertentu berasal dari pertanyaan lainnya. Artinya, pertanyaan awal menentukan pertanyaan berikutnya. Contoh, jika ada pertanyaan, “Apa itu multikulturalisme? Maka harus jelas lebih dulu jawaban untuk pertanyaan, “Apa itu kebudayaan”? dan, untuk menjawab pertanyaan tersebut, harus dijelaskan dulu pertanyaan, “Apa yang menjadi dasar kebudayaan?” “Apa karakter kebudayaan?” atau, “Apa saja unsur-unsur dalam diri seorang yang menentukan budayanya”?

Demi dibangunnya proses berpikir yang lurus dan jernih, susunlah pertanyaan-pertanyaan relevan yang tertuju pada ide pokok yang hendak didiskusikan lebih lanjut. Proses yang sama bisa diterapkan setiap kali orang akan menganalisis, menilai, dan menjelaskan semua hal, termasuk pernyataan, keyakinan, bahkan berita tertentu. Jika proses berpikir seperti ini dilakukan setiap kali orang berdiskusi dengan subjek tertentu, maka dialog Sokratik pun terjadi. Dengan demikian, dialog Sokratik merupakan penuntun agar orang memahami sesuatu secara mendalam dan menyeluruh.

Pertanyaan-pertanyaan di bawah merupakan penuntun demi terbangunnya dialog Sokratik yang terfokus. Pertanyaan utamanya adalah, “Apa itu sejarah?”

  •  Apa yang ditulis para sejarawan?
  • Apa itu masa lalu?
  • Apakah mungkin memasukkan semua hal yang terjadi di masa lalu ke dalam satu buku sejarah?
  • Bagaimana sejarawan menentukan hal-hal yang penting dan tidak penting?
  • Bagaimana sejarawan menekankan hal tertentu yang hendak didiskusikan lebih dalam dan menyeluruh?
  • Apakah para sejarawan memiliki penilaian-penilaian tertentu dalam mengajukan pandangannya?
  • Bagaimana menentukan atau membedakan antara opini dan fakta?
  • Bagaimana membedakan antara opini dan fakta?
  • Mengapa opini dan fakta harus dibedakan?
  • Bagaimana melakukan penafsiran sejarah?
  • Apa itu penafsiran (sejarah)?
  • Bagaimana membangun sudut pandang sejarah?
  • Apa itu sudut pandang (sejarah)?

Setelah memperhatikan berbagai ciri, bentuk pertanyaan, prinsip, unsur, dan contoh pertanyaan dalam menciptakan dan membangun dialog Sokratik yang baik, maka orang diharapkan menyadari bahwa semua hal, baik pernyataan, keyakinan, dan berita setidaknya memiliki tiga fungsi, yakni:
  • Untuk menyatakan pandangan subjektif
  • Untuk membangun fakta objektif
  • Untuk menyajikan jawaban-jawaban atau pernyatan-pernyataan yang dianggap lebih baik

Demi memperoleh pemahaman dan penilaian yang jernih dan mendalam, maka ketiga hal tersebut harus dianalisis dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan relevan, seperti sudah disajikan dalam tulisan sebelumnya (bagian ketiga). Akhirnya, harus disadari penuh bahwa setiap kali orang berjumpa dengan kenyataan tertentu dan ketika ia memberikan penilaian, orang tersebut berada dalam konteks tertentu. Artinya, ia memiliki pemikirannya dilatarbelakangi hal-hal tertentu, dan latar belakang tertentu, entah pengalaman, pandangan, budaya, keyakinan, atau pengetahuan yang dimilikinya. Dengan memahami hal-hal tersebut diharapkan seseorang menyadari posisinya sebagai makhluk yang (sesungguhnya selalu) berpikir.

Senin, 08 Agustus 2011

Pertanyaan Sokratik (Bagian Ketiga)


Tulisan sebelumnya (bagian kedua) mendiskusikan pertanyaan-pertanyaan Sokratik yang bisa dianggap sebagai seni serta prinsip-prinsip yang perlu dipertimbangkan ketika orang hendak membangun dialog Sokratik. Kali ini tema tulisan mengangkat unsur-unsur berpikir yang harus diperhatikan jika hendak membangun dialog Sokratik. 

Mereka yang hendak terlibat dalam atau mau membangun dialog Sokratik perlu membangun secara rapi (sistematis) pertanyaan-pertanyaan yang dilandaskan pada kelurusan berpikir dan akal sehat yang terus dilatih. Di bawah ini adalah unsur-unsur yang akan mengarahkan dan memfokuskan pikiran ketika dialog Sokratik akan dibangun.

  • Menyadari dan mengenali bahwa semua hal mengarah pada sesuatu yang hendak dicapai. Dengan demikian, seorang yang hendak membangun dialog Sokratik, entah dengan pernyataan, keyakinan, atau berita tertentu perlu terlebih dulu secara mendalam dan menyeluruh memahami tujuan hal tertentu. Oleh karena itu, perlu diajukan pertanyaan-pertanyaan, seperti: apa yang hendak diperoleh melalui pernyataan tersebut? Apa tujuan utama dalam keyakinan atau berita tersebut?
  • Menyadari dan mengenali bahwa semua hal dilandaskan pada informasi tertentu. Dengan demikian, seorang yang hendak membangun dialog Sokratik, entah dengan pernyataan, keyakinan, atau berita tertentu perlu terlebih dulu secara mendalam sekaligus menyeluruh memahami dasar informasi yang digunakan untuk mendukung hal tertentu. Oleh karena itu, pertanyaan yang bisa dikemukakan, seperti: informasi apa yang digunakan untuk mendukung hal tersebut? Bagaimana kita bisa tahu jika informasi itu tepat atau relevan?
  • Menyadari dan mengenali bahwa untuk memahami dan menilai sesuatu secara menyeluruh sekaligus mendalam perlu membuat definisi, membangun opini, dan menarik kesimpulan. Dengan demikian, seorang yang hendak membangun dialog Sokratik, entah dengan pernyataan, keyakinan, atau berita tertentu perlu terlebih dulu secara mendalam memahami definisi, opini, bahkan asumsi yang membentuk hal tertentu. Oleh karena itu, beberapa contoh pertanyaan yagn bisa diajukan adalah: bagaimana kesimpulan itu dibuat/diambil? Seberapa jauh kesimpulan itu bisa dipertanggungjawabkan, baik secara logis maupun etis? Apakah ada kemungkinan jika diajukan kesimpulan yang berbeda atau lain?
  • Menyadari dan mengenali bahwa semua hal melibatkan konsep-konsep tertentu.  Dengan demikian, seorang yang hendak membangun dialog Sokratik, entah dengan pernyataan, keyakinan, atau berita tertentu perlu terlebih dulu secara mendalam sekaligus menyeluruh memahami konsep-konsep yang mendefinisikan dan membentuk hal tertentu. Oleh karena itu, contoh-contoh pertanyaan yang bisa diangkat, seperti: apakah ide pokok yang hendak disampaikan? Bisakah ide tersebut cukup jelas?
  • Menyadari dan mengenali bahwa semua hal saling terkait alias satu hal bergantung pada hal lainnya. Dengan demikian, seorang yang hendak membangun dialog Sokratik, entah dengan pernyataan, keyakinan, atau berita tertentu perlu terlebih dulu secara mendalam sekaligus menyeluruh memahami keterkaitan tersebut. Oleh karena itu, pertanyaan yang bisa diajukan adalah: apakah hubungan antara hal ini dengan dengan itu? Bagaimanakah menjelaskan hubungan di antara keduanya?
  • Menyadari dan mengenali bahwa semua hal mengarah pada tujuan tertentu yang berkaitan dengan suatu hasil atau dampak. Dengan demikian, seorang yang hendak membangun dialog Sokratik, entah dengan pernyataan, keyakinan, atau berita tertentu perlu terlebih dulu secara mendalam sekaligus menyeluruh membayangkan hasil atau dampak yang akan terjadi. Oleh karena itu, contoh pertanyaan yang relevan adalah: apa yang hendak disampaikan?
  • Menyadari dan mengenali bahwa semua hal terjadi dan/atau dibentuk dalam sudut pandang tertentu. Dengan demikian, seorang yang hendak membangun dialog Sokratik, entah dengan pernyataan, keyakinan, atau berita tertentu perlu terlebih dulu secara mendalam sekaligus menyeluruh sudut pandang yang membentuk hal tertentu. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang cocok adalah: apakah sudut pandang hal tersebut? Adakah sudut pandang lain yang bisa dipertimbangkan?
  • Menyadari dan mengenali bahwa semua hal bisa dipertanyakan. Artinya, tidak ada hal yang tabu atau kebal dari pertanyaan. Oleh karena itu, jika sesuatu hal belum jelas atau jernih, perlu dipertanyakan kembali. Dua contoh pertanyaannya adalah: saya belum mengerti, apakah ada informasi lain yang bisa dipercaya untuk memperjelas hal itu? Apakah hal tersebut cukup masuk akal?

Minggu, 07 Agustus 2011

Pertanyaan Sokratik (Bagian Kedua)


Tulisan bagian pertama membahas apa itu pertanyaan dan jawaban serta ciri-ciri pertanyaan Sokratik. Tulisan kali ini membahas pertanyaan Sokratik sebagai suatu seni dan prinsip-prinsip pertanyaan Sokratik.

Mengolah pertanyaan Sokratik sehingga menjadi sebuah seni merupakan hal yang sangat penting dan bernilai karena di dalamnya melibatkan aktivitas yang dilakukan secara intens dan tiada henti, bagaikan seorang pelukis atau pematung yang terus mengasah keterampilannya sehingga ia semakin fasih dan karyanya dipertimbangkan sebagai master piece. Orang yang ingin memiliki kemampuan berpikir kritis juga harus terus melatih pikirannya sehingga ia mampu berpikir dengan jernih, tajam, dan lurus. Dalam konteks inilah seorang yang berpikir kritis berarti selalu menggunakan pikirannya dengan teratur, dalam, dan menilai semua hal secara hati-hati dengan menggunakan akal sehatnya. 

Ada kaitan yang khas antara berpikir kritis dan pertanyaan Sokratik karena keduanya memiliki tujuan yang sama. Dengan berpikir kritis seorang memiliki pandangan yang menyeluruh dan rinci mengenai pikirannya dalam melakukan penilaian dan untuk memperoleh kebenaran, sementara pertanyaan-pertanyaan Sokratik memberikan bingkai terhadap hal-hal tersebut dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan relevan sehingga kegiatan penilaian dan upaya memperoleh kebenaran itu menjadi terarah. Dengan kata lain dapat dinyatakan bahwa melalui berpikir kritis seorang memperoleh gambaran luas dan tujuan yang hendak dicapai, sedangkan melalui pertanyaan Sokratik upaya orang tersebut menjadi lebih fokus.

Tujuan berpikir kritis adalah membangun suatu proses berpikir disiplin yang mampu mengumpulkan, memisahkan/membedakan, menyusun, mengawasi, dan menilai, baik pikiran sendiri maupun pandangan, keyakinan, dan pikiran orang lain, dalam kerangka berpikir yang lurus, jernih, dan mampu dipertanggungjawabkan. Sementara itu, pertanyaan Sokratik memberikan model atau kerangka atau bingkai terhadap semua hal yang telah disebutkan di atas.

Ada sekian prinsip yang perlu dipertimbangkan untuk menuntun mereka yang hendak terlibat dalam dialog Sokratik:

  • Menanggapi setiap (sedapat mungkin) pertanyaan dengan pertanyaan lanjutan yang relevan, yang bisa merangsang si penanya mengembangkan pikirannya lebih dalam dan menyeluruh
  • Berusaha memahami dasar-dasar penting yang berasal dari suatu pernyataan, keyakinan, peristiwa, atau kenyataan, dan mengikuti seraya mengawasi dampak-dampak yang bisa muncul dari hal-hal tersebut dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan relevan
  • Perlakukan semua pernyataan sebagai poin atau ide yang menghubungkan pada proses berpikir selanjutnya
  • Perlakukan semua proses berpikir sebagai suatu perkembangan
  • Menyadari bahwa pemikiran yang kemudian selalu dipengaruhi pemikiran sebelumnya. Artinya, setiap pemikiran saling berkaitan dan saling mempengaruhi
  • Sadar penuh bahwa pertanyaan berasal dari pertanyaan-pertanyaan sebelumnya dan semua proses berpikir berawal dari proses yang serupa. Ketika muncul sebuah pertanyaan terbukalah pada pertanyaan yang melatarbelakanginya

Pertanyaan Sokratik (Bagian Pertama)


Seperti telah kita pelajari dari seri tulisan “Sejarah Singkat Pemikiran Kritis” bahwa Sokrates-lah orang pertama yang secara sadar menekankan pentingnya berpikir kritis. Metode berpikir kritis yang dikembangkannya adalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dikenal dengan “pertanyaan Sokratik.” Tema tulisan kali membahas ciri, fungsi, dan tujuan pertanyaan Sokratik – seperti telah dibangun dan dikembangkan oleh Sokrates – dalam proses berpikir dan belajar, yang akan disajikan dalam beberapa tulisan (serial). 

Masih cukup banyak orang beranggapan jika proses berpikir dan belajar disebabkan, didorong, dan dipengaruhi oleh jawaban-jawaban yang akurat tanpa menyadari bahwa sesungguhnya berbagai pertanyaan yang mendahului jawaban-jawaban itulah yang jauh lebih penting. Artinya, proses berpikir dan belajar dibangun dengan berdasar pada pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka. Lebih dari itu, berbagai pertanyaan yang muncul mendorong seseorang, juga ilmu pengetahuan, semakin berkembang. Andaikan tidak pernah ada pertanyaan-pertanyaan – misalnya, Biologi atau Fisika – maka kedua bidang tersebut tidak akan pernah ada dan berkembang. Namun kenyataannya adalah bahwa setiap bidang ilmu pengetahuan muncul karena disebabkan dan didorong oleh adanya sederet pertanyaan yang membutuhkan jawaban-jawaban yang akurat. Lebih jauh bahkan dapat dikatakan bahwa kelangsungan setiap bidang ilmu pengetahuan ditentukan oleh seberapa jauh pertanyaan-pertanyaan baru muncul dan ditanggapi secara serius dalam proses berpikir dan belajar manusia. Dengan demikian, manusia perlu terus bertanya dan mempertanyakan ulang banyak hal supaya proses berpikir dan belajar itu senantiasa berlangsung.

Apakah itu pertanyaan? Pertanyaan berarti menunjukkan adanya keingintahuan dan/atau masalah yang membutuhkan jawaban dan penjelasan. Apakah itu jawaban? Seringkali jawaban menunjukkan tanda berhenti. Namun jika sebuah jawaban mendorong pada pertanyaan selanjutnya berarti jawaban tersebut mampu merangsang terjadinya proses berpikir dan belajar lebih lanjut. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa seseorang yang (selalu) bertanya adalah orang yang (terus) berpikir dan belajar. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa kualitas pertanyaan seseorang menunjukkan seberapa jauh ia berpikir dan belajar. Oleh karena itu, ketika sebuah jawaban berhenti pada jawaban itu sendiri alias tidak mendorong pertanyaan lebih lanjut, berarti pertanyaan yang mendahului jawaban tadi tidak tergolong ke dalam jenis pertanyaan Sokratik.

Berpikir akan menjadi kegiatan yang sia-sia jika tidak membawa manusia kepada pertanyaan-pertanyaan baru dan pengetahuan yang luas sekaligus mendalam. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan baru harus terus dirangsang untuk muncul demi proses berpikir dan belajar yang berkesinambungan. Dengan demikian, ketika kegiatan berpikir membawa kita pada sesuatu yang lebih baru dan mendalam berarti kita belajar sesuatu yang bernilai. 

Pertanyaan-pertanyaan mendalam mendorong pikiran kita menganalisis dan mempelajari berbagai secara lebih mendalam alias kita tidak puas hanya dengan melihat dan menganalisis sesuatu hal hanya dari penampakan luarnya. Pertanyaan-pertanyaan mendalam merangsang kita selalu terlibat dalam persoalan-persoalan yang sulit dipahami. Dengan mempertanyakan segala hal secara mendalam artinya kita terus berpikir dan belajar.

Di bawah ini beberapa contoh bentuk pertanyaan yang bisa dilakukan dalam proses dan belajar berikut fungsinya:
·         Pertanyaan tujuan = menjelaskan tujuan
·        Pertanyaan informasi = menjelaskan sumber-sumber informasi dan sejauh mana sumber-sumber tersebut bisa digunakan (kualitas sumber)
·         Pertanyaan penafsiran = menyusun dan menganalisis sumber-sumber yang diperoleh demi penilaian yang akurat
·         Pertanyaan asumsi = menganalisis hal-hal yang seringkali dianggap sepele
·         Pertanyaan implikasi = mengikuti dan mengawasi arah berpikir
·        Pertanyaan sudut pandang = menganalisis sudut pandang pribadi dan sudut pandang lain yang relevan
·         Pertanyaan relevansi = memisahkan antara yang relevan dari yang tidak relevan
·         Pertanyaan ketepatan = mengevaluasi dan menguji demi ketepatan dan kebenaran
·         Pertanyaan kejelasan = menganalisis secara rinci setiap hal demi kejernihan
·         Pertanyaan konsistensi = memeriksa dan mengawasi berbagai pertentangan dalam proses berpikir
·         Pertanyaan logika = menyusun seluruh proses berpikir ke dalam satu kesatuan yang utuh agar menjadi sistem yang masuk akal dan dapat dipertanggungjawabkan

Opini atau Fakta?


Banyak orang setelah membaca berita, mendengar pandangan (orang lain), atau menyaksikan peristiwa sampai pada kesimpulan opini atau fakta. Artinya, orang menilai apakah sebuah berita, pandangan, atau peristiwa, entah opini atau fakta. Sesungguhnya ada pilihan ketiga, yakni penilaian kritis. Inilah penilaian yang paling penting, namun sayangnya luput dari pengamatan banyak orang. Apakah yang dimaksud dengan penilaian kritis? Apakah cirinya? Mengapa ia dikatakan paling penting? Bagaimana seseorang bisa tiba sampai pada penilaian yang masuk akal? Apakah contohnya?

Seorang hakim pengadilan diharapkan mampu memiliki penilaian kritis dalam menilai dan mengambi keputusan. Artinya, penilaian yang dilakukan dan keputusan yang diambilnya harus didasarkan pada berbagai data dan bukti yang relevan, argumen yang jernih dan lurus, serta sahih seturut konteks hukum. Dengan demikian, seorang hakim sepatutnya tidak mendasarkan penilaian dan keputusannya pada keinginan-keinginan pribadi atau kelompok tertentu, melainkan pada penilaian kritisnya.

Bukankah fakta sudah cukup mencerminkan penilaian yang baik dan kuat? Bukankah juga semua yang ada tidak lain merupakan opini? Fakta, walaupun merupakan unsur sangat penting dan bermanfaat dalam mengambil keputusan, namun fakta pada dirinya sendiri tidak lebih dari sederetan/sekumpulan data atau informasi yang jika tidak diolah melalui pemikiran jernih dan tidak memperlihatkan relevansi bisa menyesatkan. Sementara itu, suatu posisi yang didasarkan pada pemikiran yang dibangun oleh argumen yang masuk akal, lurus, dan mengikuti kaidah-kaidah yang sesuai dengan konteks yang berlaku tidak dapat dinyatakan sebagai “opini”, melainkan penilaian kritis. Dengan demikian, opini adalah pernyataan atau pendapat seseorang atau kelompok tertentu yang jelas, bukanlah merupakan penilaian kritis.

Untuk memperkuat pentingnya penilaian kritis sehingga orang tidak hanya berkutat dalam perdebatan antara opini atau fakta, berikut adalah tiga bentuk pertanyaan yang sekiranya memperjelas perbedaan antara opini, fakta, dan penilaian kritis:

  • Apakah kepemimpinan itu penting? Bentuk pertanyaan seperti ini hanya membutuhkan satu jawaban, ya atau tidak. Pertanyaan yang membutuhkan satu jawaban yang benar berarti tergolong ke dalam fakta. Apakah fakta itu relevan atau tidak relevan adalah urusan lain, yang penting ia membutuhkan satu jawaban.
  • Manakah yang lebih enak, sate bumbu kacang atau sate bumbu kecap? Jawaban terhadap jawaban ini adalah pendapat karena berdasar pada selera setiap orang yang beragam. Dengan demikian, jelas, jawaban terhadap bentuk pertanyaan seperti ini termasuk ke dalam opini. 
  • Bagaimanakah cara terbaik mengatasi krisis bangsa? Jawaban terhadap pertanyaan ini membutuhkan penilaian kritis agar setiap jawaban bisa diuji kekuatan dan kebenarannya menggunakan kaidah-kaidah intelektual, seperti: kejernihan, kedalaman, dan kelurusan argumen serta didukung oleh berbagai data dan fakta yang relevan.
Setelah memperhatikan ketiga bentuk pertanyaan di atas, maka kita dapat sampai pada kesimpulan bahwa sudah selayaknya orang tidak terjebak pada “pertengkaran” antara dua kutub, opini atau fakta, yang tidak kunjung berakhir, melainkan diharapkan mampu melampui kedua hal itu dengan tiba pada penilaian kritis. Mengapa penilaian kritis? Karena ia mengatasi dengan melampaui dikotomisasi opini atau fakta. Penilaian kritis menjadi begitu penting karena dengannya manusia dituntun untuk berpikir mendalam, lurus, hati-hati, dan bisa mempertanggungjawabkannya. Bagaimana kita bisa sampai pada penilaian kritis? Senantiasa mengawasi dan menyadari kelemahan pikiran kita, seperti: mudah jatuh pada delusi, rasionalisasi, dan terburu-buru mengambil kesimpulan. Selalu awas terhadap opini dan tidak segera puas terhadap fakta merupakan pintu gerbang yang membawa kita pada penilaian kritis. Dengan demikian, pilihannya bukan lagi opini atau fakta, melainkan penilaian kritis.