Kamis, 31 Desember 2009

Law of Attraction

Dalam tulisan yang membahas buku The Secret beberapa kali muncul kata-kata Law of Attraction. Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan kata-kata itu? Mengapa dinamakan Law of Attraction? Mengapa ada kata Law di situ? Apakah kata Law yang digunakan di situ sejajar artinya dengan kata law yang biasa digunakan para fisikawan ketika membicarakan Law of Gravitation?

Law of Attraction termasuk ke dalam gerakan yang disebut New Thought Movement (Gerakan Pemikiran Baru). Apa itu New Thought Movement? Gerakan ini muncul pada akhir abad ke-19 di Amerika Serikat. Asal mula gerakan ini tidaklah tunggal melainkan beragam. Artinya, pada saat yang relatif bersamaan gerakan ini muncul dari berbagai orang yang berasal dari berbagai aliran keagamaan dan denominasi gereja termasuk para pemikir spiritual dan filsuf. Ide-ide yang dianut para pengikutnya adalah bahwa Allah ada di mana-mana, roh merupakan sesuatu yang riil, dalam diri manusia terkandung keilahian, pikiran ilahi adalah kekuatan yang besar, semua kesakitan hanyalah berasal dari dan hanya ada dalam pikiran, dan pikiran yang benar memiliki kekuatan yang menyembuhkan. Pertama kali pembahasan mengenai gerakan ini muncul dalam sebuah buku yang ditulis oleh William Walker Atkinson pada tahun 1906 dengan judul Thought Vibration or the Law of Attraction in the Thought World. Dalam perkembangannya pun gerakan ini tidaklah monolitik. Namun, gerakan ini dapat dicirikan dari adanya semangat untuk selalu mengedepankan berpikir positif, kekuatan pribadi, kekuatan kehidupan, penglihatan kreatif, dan penyembuhan. Dan pada tahun 1907 terbit buku berjudul Prosperity Through Thought Force yang ditulis oleh Bruce MacLelland, di mana kata-kata terkenalnya yang menjadi tonggak penting gerakan ini adalah: "Anda adalah Apa yang Anda Pikirkan ". Kata-kata Law of Attraction baru muncul dalam buku karya Napoleon Hill yang berjudul Think and Grow Rich (1937). Inilah buku bergenre New Thought Movement yang berbicara tentang Law of Attraction
pertama yang paling laris. Baru kemudian pada abad 21 muncul film berjudul The Secret (2006) karya Rhonda Byrne yang berdasar pada Law of Attraction dan karena laris kemudian diterbitkan dalam bentuk buku dengan judul yang sama pada tahun berikutnya. Pada tahun 2007 juga terbit buku dengan genre yang sama karya Esther dan Jerry Hicks yang berjudul The Law of Attraction yang menempati daftar buku terlaris menurut New York Times yang diikuti oleh buku kedua mereka berjudul Money and the Law of Attraction: Learning to Attract Health, Wealth & Happines (2008) yang juga menempati daftar buku terlaris menurut New York Times.

Secara harfiah Law of Attraction mengatakan bahwa pikiran seseorang mampu menarik hal-hal atau benda-benda atau peristiwa-peristiwa bahkan keadaan-keadaan tertentu pada diri orang itu. Dengan kata lain, pikiran-pikiran dan sikap seseorang dapat menarik orang-orang atau hal-hal seperti yang dipikirkan orang itu. Pada satu sisi pandangan ini benar karena umumnya manusia bergaul atau bersosialisasi dengan orang-orang yang menurutnya memiliki pikiran atau perasaan atau nilai-nilai tertentu yang sejajar dengan yang dimilikinya. Oleh karena itu, manusia umumnya akan menghindari orang-orang yang dianggapnya tidak memiliki pikiran atau perasaan atau nilai-nilai tertentu yang sejajar dengan yang dimilikinya. Namun pada sisi lain, pandangan tadi tidak benar. Orang miskin tidak tertarik pada dan menarik orang miskin lainnya. Orang malas tidak tertarik pada dan menarik orang bodoh lainnya. Orang sedih tidak tertarik pada dan menarik orang sedih lainnya. Akan muncul pertanyaan, mengapa contoh yang diambil semuanya merupakan contoh negatif, bukan yang positif? Bagaimana dengan orang-orang yang kaya, rajin, dan bahagia? Orang kaya juga tidak tertarik pada dan menarik orang kaya lainnya. Orang rajin tidak tertarik pada dan menarik orang rajin lainnya. Orang bahagia tidak tertarik pada dan menarik orang bahagia lainnya. Itulah masalahnya, "hukum" Law of Attraction ini tidak dapat diukur, terlebih jika ditampilkan dua sisi yang bertolak belakang, misalnya: kaya dan miskin, rajin dan malas, bahagia dan tidak bahagia karena Law of Attraction tidak mengenal kata-kata yang bernuansa negatif, semuanya harus positif. Lebih lanjut, para penganut Law of Attraction mengatakan bahwa pikiran-pikiran manusia, baik disadari maupun tidak disadari, dapat mempengaruhi hal-hal atau benda-benda yang berada di luar kepala manusia. Intinya, "jika engkau menghendaki sesuatu dan sungguh-sungguh percaya akan hal itu, maka engkau akan memperolehnya dan sebaliknya, jika engkau banyak memikirkan hal-hal yang engkau tidak kehendaki maka yang tidak engkau kehendaki itu malah akan engkau peroleh".

Menurut Law of Attraction
ada tiga langkah utama yang harus dilakukan seseorang jika hendak mencapai apa yang diinginkannya, yang kemudian diangkat kembali dalam The Secret :
1. Minta : Ketahui hal apa yang anda inginkan dan minta kepada alam semesta. (Pada tahap ini seseorang harus betul-betul jelas mengenai hal yang diinginkannya dengan memvisualisasikan apa yang menjadi keinginannya tersebut sebagai sesuatu yang "nyata".)
2. Percaya : Rasakan dan anggaplah bahwa hal yang diinginkan sedang dalam perjalanan menuju anda. (Fokuskan semua pikiran dan kata-kata anda pada hal yang anda inginkan tersebut. Anda harus bisa sungguh-sungguh merasa bahwa apa yang anda inginkan sedang dalam perjalanan menuju anda, sekalipun anda harus selalu meyakinkan diri anda akan hal itu.)
3. Terima : Bukalah diri anda untuk menerimanya. (Selalu perhatikan semua intuisi dan tanda-tanda dari alam semesta yang akan selalu menolong dan meyakinkan anda bahwa anda telah berada di jalur yang "benar". Selama diri anda bersatu dengan alam semesta membuka diri anda untuk menerima, maka apa yang anda inginkan akan hadir di hadapan anda.)

Apa yang dinamakan "hukum" menurut Law of Attraction adalah semacam sesuatu yang membuat orang-orang yang mempercayainya sebagai hal yang menarik. Mereka merasa yakin betul bahwa mereka dapat mengatur kehidupan dan segala hal di sekitar mereka bahkan alam semesta ini. Mereka berkata, "yang harus dilakukan adalah mengubah pikiran (tujuan) dan sikap dan saya akan menarik uang (atau kurangnya berat badan atau pacar atau nilai bagus atau apapun itu yang hendak dicapai) bagaikan sebuah magnet. Jika saya tidak berhasil, maka itu semua merupakan kesalahan saya karena saya tidak secara sungguh-sungguh telah mengubah pikiran dan sikap saya demi mencapai apa yang saya inginkan". Mengapa menggunakan kata law? Apakah pengertian law dalam Law of Attraction sejajar dengan kata yang sama dalam Law of Gravitation yang biasa digunakan dalam ilmu fisika? Atau law terbitnya matahari? mengatakan bahwa jika sebuah benda jatuh maka percepatannya dapat diukur secara pasti yang berdasar pada ketinggian sebuah benda berasal sebelum jatuhnya dan berat massa benda yang jatuh. Dan semacam ini dapat dibuktikan oleh setiap orang. (Coba saja ambil sebuah batu dan jatuhkan dari lantai dua rumahmu.) Atau, "hukum" terbitnya matahari. Dikatakan "hukum" karena sudah pasti setiap hari, entah pagi, siang, atau sore matahari terbit dari sisi timur dan tenggelam di sisi barat, tidak pernah dari dan di sisi lain. Bagaimana dengan "hukum" Law of Attraction? Apakah selalu terjadi seperti yang "diinginkan"? Sangat tidak dapat diukur karena ukurannya harus percaya dahulu, tidak boleh ragu sama sekali, apalagi sampai tidak percaya. Dengan demikian, jelas, kata law yang digunakan dalam Law of Attraction sama sekali berbeda dengan kata yang sama ketika digunakan pada kedua contoh yang telah diberikan tadi.

Sekali lagi, sebuah pertanyaan besar yang tidak dapat ditahan adalah, bagaimana jika tidak berhasil? Dapat diduga kuat para penganut Law of Attraction akan segera menjawab, karena kau belum sungguh-sungguh mengubah pikiran dan sikapmu, kau belum betul-betul memvisualisasikan dan minta hal yang kau inginkan, kau tidak percaya (buktinya belum apa-apa sudah bertanya, "bagaimana jika tidak berhasil?"), kau tidak berpikir positif, dan kau belum membuka diri. Law of Attraction dapat disimpulkan sebagai permainan pikiran dan sikap yang berawal dan berakhir pada kata "percaya". Seseorang harus sungguh-sungguh percaya terlebih dahulu bahwa ia akan menerima apa yang diinginkannya. Singkirkan segala pikiran dan sikap negatif karena semuanya itu akan menjadi penghambat terwujudnya keinginannya. Percayalah maka yang kau inginkan pasti akan terwujud. Jika demikian, dalam konteks ini apakah "percaya" dapat dijadikan ukuran? Ya. Saya jadi ingat pada kata-kata di Injil Markus, "Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu" (11:24). Apakah kata-kata itu sama dengan yang dikatakan oleh Law of Attraction? Secara ide/konsep ya, "percayalah bahwa kamu telah menerimanya".

Rabu, 30 Desember 2009

The Secret

Ketika berkunjung ke rumah teman lama (laki-laki) dan masuk ke kamarnya, kedua mata saya langsung tertuju pada dua gambar yang cukup besar yang ditempel di whiteboard dinding kamarnya. Kedua gambar itu adalah gambar mobil BMW seri terbaru yang sangat mewah yang di bawahnya ada tulisan nomor 1 dan gambar sebuah rumah di tepi pantai yang sangat lux yang di bawahnya ada tulisan no 2. Saya langsung bertanya, "kenapa kedua gambar itu ditempel di situ?" Teman saya pun menjawab, "itu tujuan gua, bro! Gua tempel dua gambar itu di situ biar tiap saat gua bisa liat dua gambar itu sehingga satu saat dua gambar yang ditempel itu bisa jadi milik gua! Saya bertanya lagi, "maksudnya?" Teman saya: "iya, gua udah baca buku The Secret berulang-ulang dan gua percaya banget itu bisa terjadi! Buku itu bilang kalo kita selalu memikirkan hal-hal yang kita ingini untuk kita capai maka satu saat itu pasti akan terwujud. Buktinya bro, sekarang gua dapet cewe dari kalangan selebriti setelah setahun nonton sinetron. Padahal gua dapet dia (pacarnya) sebelum baca The Secret." Saya kembali bertanya, "lalu maksud angka 1 dan 2 itu apa?" Teman saya: "itu artinya, gua fokus untuk dapetin BMW dulu baru yang rumah kedua. Gitu cara kerjanya." Karena penasaran ingin mengetehui apa yang sesungguhnya ditulis dalam The Secret maka saya pun meminjam buku teman saya itu sesaat sebelum pulang.

Setelah membaca The Secret saya langsung menangkap bahwa tema besar dan utama yang ditampilkan dalam buku itu adalah apa yang dinamakan dengan Law of Attraction. Sederhananya, Law of Attraction mengatakan bahwa "apa yang kita selalu pikirkan akan menjadi kenyataan" atau seperti dalam kalimat teman saya tadi, "pikiran-pikiran kita akan berubah menjadi materi". Oleh karena dikatakan sebagai "hukum" dan sebuah hukum bersifat "selalu terjadi". Maka Law of Attraction bagi mereka yang mempercayainya pasti akan terjadi/terwujud. Atau setidaknya, seperti yang dikatakan teman saya tadi jika ia sangat mempercayai bahwa yang dikatakan The Secret akan terwujud. Untuk mendukung "hukum" tersebut maka The Secret memberikan beberapa contoh, misalnya: seseorang yang khawatir dirinya akan terlambat akhirnya terjebak macet dan seorang lainnya mengunci sepedanya karena khawatir sepedanya akan dicuri akibatnya sepedanya pun betul-betul dicuri.

Terhadap dua contoh yang diberikan itu, muncul beberapa pertanyaan. Apakah kita harus berpikir tidak terlambat dan tidak akan terjebak macet (berpikir positif) sehingga kita tidak akan terlambat akibat macet? Bagaimana dengan orang-orang lainnya yang juga terjebak macet? Apakah mereka juga sebelum berangkat telah berpikir negatif? Apakah tidak ada seorang pun yang berpikir positif - untuk tidak terlambat - di antara mereka yang terjebak macet itu? Dan jika ada seorang saja yang berpikir positif, bukankah hal itu telah meruntuhkan "hukum" yang mengatakan "selalu terjadi" dalam konteks The Secret? Bagaimana dengan seseorang yang sepedanya dicuri tadi? Bagaimana jika ada orang lain meletakkan sepeda yang mirip namun tanpa dikunci di wilayah yang sama dengan orang yang mengunci sepedanya tadi, apakah sepeda orang yang khawatir tadi tetap akan dicuri? Contoh-contoh yang diajukan tadi sangatlah lemah karena sama sekali tidak berdasar dan tidak mempertimbangkan hal-hal lain seperti yang telah diangkat dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan tadi.

Bagaimana jika kita bertanya dalam konteks yang lebih luas. Apakah bangsa-bangsa di Afrika tidak berpikir positif sehingga kemiskinan selalu menjadi bagian dari perjalanan sejarah benua itu? Apakah pemerintah Indonesia tidak berpikir positif - korupsi tidak boleh menjadi budaya dalam negeri ini - sehingga korupsi masih merajalela? Apakah pemerintah Indonesia tidak berpikir positif sehingga masalah Bank Century menjadi berlarut-larut? Apakah pernah dilakukan penelitian terhadap contoh-contoh kasus tersebut dengan menggunakan The Secret, jika dianggap mampu memberikan solusi ampuh. Jika The Secret dianggap bisa mensukseskan orang dan dibuktikan dengan banyaknya orang yang sukses, bagikan saja buku itu kepada para ekonom kita dan minta mereka untuk membaca dan mempelajarinya biar sukses menangani keadaan ekonomi bangsa Indonesia? Atau jangan-jangan, The Secret hanya bisa diterapkan di luar negeri. Jika demikian, waah celaka kita karena sampai kapan pun tidak bisa keluar dari keterpurukan!

Mereka yang mempercayai The Secret dan Law of Attraction-nya (walaupun tidak disadari) mengatakan bahwa jika ingin sukses atau apa yang dipikirkan menjadi kenyataan, maka orang itu harus membuat rencana, langkah-langkah apa saja yang harus ditempuh dengan menyingkirkan hal-hal lain yang tidak penting atau bisa dianggap dapat menghalangi pencapaiannya itu. Kemudian fokus dengan terus memikirkan hal-hal yang ingin dicapainya. Segala hal yang dilakukan orang itu haruslah berpusat pada apa yang hendak dicapainya. Semuanya itu haruslah dibarengi dengan selalu berpikir positif, berkeyakinan kuat, dan mempercayai bahwa hal yang dipikirkan akan terwujud. Jadi, kata-kata kunci yang dapat disimpulkan dari The Secret dan Law of Attraction-nya adalah: berpikir, positif, yakin dan percayalah bahwa kesuksesan akan tercapai/terwujud karena anda selalu fokus memikirkannya.

Terhadap langkah-langkah "positif" di atas muncul pertanyaan, bagaimana jika hal (-hal) yang hendak dicapai tidak terwujud? Aaah, tentu pertanyaan seperti itu aib diajukan karena bernada negatif, sedangkan "hukum"-nya adalah selalu berpikir positif, yakin, dan percaya. Jika demikian diajukan pertanyaan lain, apa hubungan antara berpikir positif dengan keadaan konkret di sekitar kita? Apakah "gelombang" pikiran positif manusia dapat mempengaruhi bahkan mengubah keadaan riil di sekitar manusia? Hal yang patut ditekankan dan diingat adalah bahwa "pikiran positif" manusia hanyalah ada/terjadi dalam otak manusia, tidak pernah ke luar apalagi sampai mempengaruhi keadaan konkret manusia.

Sedikit tambahan menanggapi pernyataan teman saya tadi yang mengatakan bahwa ia memiliki seorang pacar dari kalangan selebriti setelah setahun menonton sinetron, sehingga ia beranggapan cewe idamannya adalah berasal dari kalangan selebriti. Ini semua baginya, "telah tersimpan dalam alam bawah sadarnya". Yang harus ditekankan di sini:
1. Pacar teman saya bukanlah berasal dari kalangan selebriti karena tidak pernah tampil dalam sebuah film, entah layar kaca ataupun layar lebar (bioskop). Ia hanya pernah beberapa kali, katanya, tampil dalam produk iklan, itupun sebagai figuran (baru tau kalo iklan pun ada figurannya).
2. Dulu kos teman saya itu berada tepat di belakang salah sebuah tempat casting (sekarang sudah tidak ada lagi karena bangkrut) bagi anak-anak remaja yang "bermimpi" mo jadi artis. Dan cewe-nya itu dulu "bekerja" di tempat casting tersebut. Hal yang lumrah terjadi jika teman saya punya pacar yang dulunya bekerja di tempat casting tersebut karena dulu tempat mereka sangat berdekatan dan sangat mungkin terjadi komunikasi hingga akhirnya pacaran.
3. Dilihat dari gaya hidup dan berpacaran teman saya, yang menurut saya sangat boros, agak kurang masuk akal jika pada suatu saat ia dapat memenuhi keinginannya tadi, BMW seri terbaru dan rumah yang lux. Kecuali, jika suatu saat ia menang lotere 5 milyar (oya, di Indonesia tidak ada lotere yah...), kalo gitu nemu uang 5 milyar aja deh...

Selasa, 29 Desember 2009

Agama & Perubahan Iklim

Konferensi Perubahan Iklim yang diadakan di Kopenhagen, Denmark telah berakhir dengan hasil yang oleh sebagian besar negara dan anggota konferensi dianggap membawa secercah harapan. Dalam konferensi itu hadir juga tokoh spiritual Tibet, Dalai Lama yang bergabung dengan tokoh agama-agama lainnya.

Dalam tulisannya berjudul "Agama dan Perubahan Iklim", yang dimuat di Kompas, Sabtu, 26 Desember 2009 (hlm 13), Fachruddin Mangunjaya, seorang Fellow The Climate Project Indonesia dan Staf Conservation International Indonesia untuk Conservation Religion Initiative mengatakan, "ternyata sains dan perundang-undangan tidak cukup untuk mencegah berlanjutnya kerusakan. Sains memang diperlukan sebagai sebuah landasan dan justifikasi ilmiah tentang interaksi sebab dan akibat, undang-undang mengatur segala kegiatan yang paralel dengan aturan main yang terkadang juga tidak dilandasi dasar sains yang absah. Adapun agama adalah soal keyakinan yang sangat membantu seseorang menemukan jati diri, berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakrakalan, ibadah, kejujuran, dan pengabdian atas dasar spiritualitas yang dianutnya".

Pernyataan Fachruddin di atas janggal dan tidak jelas. Apa yang dimaksudkannya dengan "undang-undang mengatur segala kegiatan yang paralel dengan aturan main yang terkadang juga tidak dilandasi dasar sains yang absah"? Apakah yang tidak absah di sini? undang-undang yang mengatur segala kegiatan atau segala kegiatan yang paralel dengan aturan main atau dasar sainsnya atau semuanya? Jika yang dimaksud Fachruiddin adalah undang-undang yang tidak absah, maka yang menjadi pertanyaan yang perlu dijawabnya adalah apakah pernah ada dimunculkan undang-undang yang tidak absah itu? Jika pernah, undang-undang apakah yang itu? Namun jika sains-lah yang tidak absah, maka pertanyaan yang sama juga harus dijawabnya, sains apa dan yang mana yang tidak absah? Sayang Fachruddin tidak memberikan contoh mengenai "undang-undang mengatur segala kegiatan yang paralel dengan aturan main yang terkadang juga tidak dilandasi dasar sains yang absah" tersebut.

Fachruddin juga mengatakan "agama adalah soal keyakinan yang sangat membantu seseorang menemukan jati diri, berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakralan, ibadah, kejujuran, dan pengabdian atas spiritualitas yang dianutnya". Dalam dan melalui agama seseorang dibantu menemukan jati dirinya. Jelas, ini adalah pandangan mistik/kejawen/gnostik, di mana seorang mistik menganggap dirinya adalah bagian dari yang ilahi. Dalam dirinya mengandung percikan-percikan ilahi. Keberadaannya di dunia membuatnya jauh dari sang ilahi. Oleh karena itu, ia perlu mengenali dirinya sendiri sehingga dapat mengetahui mengapa ia sampai berada di dunia ini, apa yang menjadi tujuan hidupnya, dan bagaimana caranya ia dapat "kembali" kepada sang ilahi. Ketika seorang mistik mampu menemukan jati dirinya maka pada saat itulah ia dianggap sudah bersatu kembali dengan yang ilahi. Lalu, jika seseorang beragama (mistik) itu telah menemukan jati dirinya dan bersatu kembali dengan sang ilahi, bagaimana orang itu menghubungkan dirinya dengan perubahan iklim yang melanda dunia saat ini? Apa kaitan antara penemuan jati diri seseorang dengan perubahan iklim? Apakah artinya jika seorang beragama (mistik) telah menemukan jati dirinya maka ia dengan serta-merta menjadi agen pembaru atau penggerak bagi perubahan iklim dunia?

"Agama sangat membantu seseorang berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakralan, ibadah, kejujuran, dan pengabdian atas spiritualitas yang dianutnya". Agama menolong orang beragama untuk berperilaku mulia dan menjunjung nilai-nilai kehidupan, kesakralan, dst? Saya cenderung yakin bahwa para anggota Green Peace didominasi oleh ateis atau setidaknya agnostik. Mereka berjuang tidak berlandaskan agama. Namun perjuangan mereka begitu gigih bahkan cenderung ekstrim. Apa yang telah dilakukan oleh negara-negara yang mengklaim diri sebagai negara agama terhadap kelangsungan alam semesta dan perubahan iklim? Mengadakan konferensi seperti yang diadakan di Kopenhagen, setelah menyadari bahwa telah dan tengah terjadi perubahan iklim di dunia ini? Lalu, tindakan konkret apa yang telah dan sedang dilakukan oleh negara-negara beragama tersebut? Nyaris-nyaris tidak ada atau terlihat, setidaknya gerakan yang dilakukan sangatlah minim sehingga dampaknya pun sangatlah kecil.

Apa yang Fachruddin maksud dengan spiritualitas? Apakah bentuk spiritualitas itu? Ruh? Semangat? Hasrat? Dorongan? Sama sekali tidak jelas. Fachruddin juga tidak memberikan contoh. Jika ditanyakan kepada para anggota Green Peace, apakah spiritualitas yang mereka miliki? Menyelamatkan bumi. Dengan demikian, spiritualitas yang dimaksud oleh para anggota Green Peace adalah dorongan, hasrat, semangat untuk membuat bumi menjadi lebih baik. Sementara itu, apa yang dapat dilakukan manusia beragama dengan spiritualitas yang telah disebut oleh Fachruddin bagi bumi dan perubahan iklim yang telah dan tengah terjadi? Apa relevansi spiritualitas dan perubahan iklim? Para anggota Green Peace tidak beragama (dalam pengertian tidak rutin ke gereja/masjid), jadi mungkin tidak memiliki spiritualitas yang dimaksudkan oleh Fachruddin. Namun sekali lagi, sayang Fachruddin sama sekali tidak menjelaskan kata "spiritualitas" yang dimaksudkannya dan bagaimana hubungannya dengan perubahan iklim.

Fachruddin melanjutkan tulisannya dengan mengatakan "manusia memerlukan etika yang landasannya merujuk kepada agama. Kita juga melihat, agamalah yang mewariskan kepada manusia berbagai bentuk budaya dan tradisi yang dipelihara dengan baik sehingga manusia mampu hidup selaras dan berdampingan. Manusia di Bumi harus berterima kasih karena etika agama telah mengembangkan nilai-nilai positif mempertahankan eksistensi manusia di Bumi dengan adanya larang untuk saling membunuh antarsesama manusia (homicide), membunuh diri sendiri (suicide), atau pembunuhan suku atau bangsa lain (genocide). Apakah yang menjadi ukuran sehingga agama bisa menjadi landasan beretika? Apakah teks-teks kitab suci secara keseluruhan membicarakan atau mengajarkan hanya hal-hal kebaikan? Bukankah dalam kitab suci juga terkandung teks-teks yang mengandung kekerasan? Sebagai contoh dapat dilihat kitab suci orang Kristen di bagian Perjanjian Lama. Ada begitu banyak teks yang menggambarkan betapa kejamnya figur Allah dalam Perjanjian Lama, selain pencemburu, pemarah, dan egosentris. Allah seperti apa yang tega melenyapkan seisi dunia kecuali beberapa orang dan binatang? (kisah Nabi Nuh. Bahkan Allah membinasakan tumbuh-tumbuhan karena yang selamat hanya keluarga Nuh dan beberapa binatang). Allah seperti apa yang tega menurunkan 10 bencana bagi bangsa Mesir? (kisah keluarnya bangsa Israel dari bangsa Mesir). Belum lagi ditambah dalam perjalanan di padang gurun yang konon menghabiskan waktu 40 tahun Allah bersama bangsa Israel membasmi bangsa-bangsa yang dilalui dalam perjalanan itu. Bagaimana seorang beragama menanggapi teks-teks kekerasan seperti itu? Apakah itu yang dimaksud dengan etika yang berlandaskan agama?

"Agamalah yang mewariskan kepada manusia berbagai bentuk budaya dan tradisi yang dipelihara dengan baik sehingga manusia mampu hidup selaras dan berdampingan". Bukankah ini pernyataan yang terbalik? Bukankah yang terjadi malah sebaliknya, di mana manusialah yang membentuk berbagai budaya dan tradisi. Dan, agama merupakan salah satu hasil budaya yang diciptakan oleh manusia. Agama adalah salah satu hasil dan bentuk budaya tertua yang diciptakan manusia. Manusia kuno membentuk agama karena melaluinya manusia kuno mempercayai bahwa ada kekuatan supranatural yang melampui dirinya yang patut disembah (diberi sesajen). Oleh karena itulah muncul agama. Ini adalah teori sosial yang sadar dasar. Manusia menciptakan budaya (agama), namun pada akhirnya budaya (agama) itulah yang mengatur hidup manusia. Sepertinya inilah yang diangkat oleh Fachruddin sehingga menurutnya agama telah mewariskan kepada manusia berbagai bentuk budaya dan tradiri yang dipelihara dengan baik sehingga manusia mampu hidup selaras dan berdampingan. Namun yang menjadi pertanyaan, apakah Fachruddin menutup mata dan telinga terhadap berbagai pembunuhan massal yang pernah terjadi dalam sejarah manusia sehingga ia mengatakan "manusia mampu hidup selaras dan berdampingan"?

Apakah manusia lupa dengan kenyataan yang bahkan masih terjadi sampai kini? Saling membunuh antarsesama masih terjadi di Afrika. Perang dan pembunuhan antar suku? Tentu kita tidak lupa ketika baru-baru ini terjadi pembunuhan terhadap sekian banyak orang di Filipina akibat pertarungan politik yang keji. Apakah dengan demikian pernyataan bahwa etika agama telah mengembangkan nilai-nilai positif masih sahih, tetap bisa dipertahankan? Terlebih, pertumpahan darah itu terjadi di Filipina, sebuah negara yang didominasi orang-orang beragama Katolik. Bagaimana dengan "tradisi" bunuh diri yang dilakukan di Jepang dan Korea Selatan yang dialami oleh para petinggi elit mereka akibat korupsi? Bagaimana juga pembantaian terkenal di abad lalu, bahkan sepanjang abad, ketika Hitler dan Nazi-nya membantai jutaan orang Yahudi? Bagaimana dengan George W. Bush, Jr. dengan segala "spiritualitas" kekristenannya telah menginvasi Afganistan konon demi membasmi Osama bin Laden dan terorismenya? Bukankah ini dilakukannya dengan berdasar pada "etika" agama (Kristen)? Apakah ini yang Fachruddin maksud dengan "etika agama telah mengembangkan nilai-nilai positif mempertahankan eksistensi manusia di Bumi dengan adanya larangan untuk saling membunuh antarsesama manusia, membunuh diri sendiri, atau pembunuhan suku atau bangsa lain?" Tentu tidak, bukan?!

Tulisan Fachruddin tersebut diperkuat dengan mengajukan lima landasan yang menurutnya agama mempunyai kekuatan karena memiliki modal kuat yang penting untuk terlibat di dalam gerakan penyelamatan lingkungan.
Pertama, tulisnya, "agama mempunyai referensi, yaitu modal berupa rujukan akan keyakinan yang diperoleh dari kitab-kitab suci yang mereka miliki. Kitab suci dan ajaran agama memiliki wisdom kehidupan yang berpotensi untuk diangkat sebagai bekal dalam penyadaran lingkungan." Oleh karena Fachruddin tidak menyebut secara spesifik agama apa dan kitab suci yang mana, maka tentu yang dimaksudkannya adalah semua agama yang ada di dunia. Apakah Fachruddin telah memeriksa dan membaca semua kitab suci yang dimiliki agama-agama? Dapat diduga kuat tidak. Apakah Al-Quran, Tripitaka, Bhagavad Gita, Alkitab, dll memuat rujukan-rujukan yang dimaksudkan oleh Fachruddin. Dalam Alkitab tidak ditemukan rujukan-rujukan "wisdom kehidupan yang berpotensi untuk diangkat sebagai bekal dalam penyadaran lingkungan", seperti tutur Fachruddin. Yang paling dekat adalah kata-kata "Lihatlah, Aku memberikan kepadamu segala tumbuh-tumbuhan yang berbiji di seluruh bumi dan segala pohon-pohonan yang buahnya berbiji; itulah akan menjadi makananmu" (Kejadian 1:29). Malah dapat ditemukan perintah untuk "[b]eranakcuculah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukkanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi". (Kejadian 1:28) Apakah ini yang dimaksud dengan "wisdom kehidupan yang berpotensi untuk diangkat sebagai bekal dalam penyadaran lingkungan"? Kedua teks tersebut sama sekali tidak berbicara mengenai penyadaran lingkungan, apalagi perubahan iklim. Kedua teks tersebut, terlebih teks kedua malah mendorong manusia untuk menaklukkan dan berkuasa yang mengakibatkan kehancuran. Dari dua teks Alkitab (Kristen) tersebut (dan memang hanya ada dua) tidak ditemukan wisdom yang dimaksud oleh Fachruddin.

Kedua, "agama terbukti mempunyai modal untuk saling menghormati atau mampu memberikan penghargaan terhadap segala jenis kehidupan". Di atas telah diberikan beberapa contoh bagaimana agama malah menjadi sumber kehancuran. Agama menjadi sumber pertikaian, perkelahian, dan perebutan kekuasaan. Oleh karena "spiritualitas" agamanyalah yang membuat para pejuang Salib gigih merebut Yerusalem. Oleh karena "spiritualitas" agama (Kristen)-nya George W. Bush, Jr. menginvasi Irak. Oleh karena "spiritualitas" agama Kristen "kulit putih"-nyalah yang membuat Klu Klux Klan masih tetap ada. Oleh karena agama Islam dan Hindu akibatnya Pakistan tetap "panas" hingga sekarang. Oleh karena agamalah para pejuang Islam di Timur Tengah tetap berjuang gigih melawan invasi "Barat". Dengan demikian, agama sama sekali tidak terbukti mempunyai modal untuk saling menghormati atau memberikan penghargaan terhadap segala jenis kehidupan.

Ketiga, "agama - selaras dengan gaya hidup yang ramah lingkungan - menganjurkan manusia untuk berperilaku hemat dan tidak boros serta mampu mengontrol pemanfaatan sesuatu agar tidak mubazir". Pernyataan ini sama sekali tidak didukung oleh hasil penelitian statistik atau setidaknya teks-teks kitab suci karena Fachruddin berbicara mengenai agama. Atau, didukung juga oleh tradisi-tradisi terntentu dari agama-agama yang ada. Kalaupun manusia berperilaku hemat dan tidak boros, tidak perlu dikaitkan atau bahkan karena didukung oleh agama. Gaya hidup yang boros, konsumtif, dan mewah di satu sisi tentu memperoleh penyeimbang dari gaya hidup yang melawannya, yakni gaya hidup hemat, tidak boros, dan sederhana. Ketika ada sisi kehidupan yang bersifat dan berbentuk A maka akan muncul "tandingannya" yang bersifat dan berbentuk B dan seterusnya. Ini merupakan gejala sosial yang wajar dan tidak ada kaitannya dengan agama.

Keempat, Fachruddin menulis "agama menganjurkan kita untuk selalu berbagi kemampuan untuk membagikan kebahagiaan, baik dalam bentuk harta, amal, maupun aksi sosial lainnya". Yang ditulis Fachruddin ini merupakan perkembangan psikologis dan sosiologis manusia yang sangat wajar. Manusia semakin lama berkembang ke arah kebersamaan. Artinya, manusia memiliki kecenderungan untuk hidup bersama dengan makhluk hidup lainnya bahkan alam semesta. Manusia berbuat baik dan "membagikan" kebahagiaan karena dengan melakukannya manusia mengalami kebahagiaan. Manusia cenderung untuk selalu hidup dalam kedamaian, keharmonisan, dan kebahagiaan. Teror, perang, penderitaan, kesakitan, dan ketidakadilan membuat manusia tidak merasa nyaman. Itu bukan karena agama atau kitab suci mengatakannya, tetapi sudah menjadi bawaan manusia ketika melihat perang, dll ia merasa tidak nyaman, takut, dsb. Dorongan hasrat manusia untuk berbuat baik, entah dalam bentuk apapun merupakan sifat dasariah manusia sejak awal yang terus mengalami perkembangan. Kita dapat melihat bagaimana seorang anak yang masih sangat kecil akan dengan mudah berbagi makanan atau mainan dengan teman yang seumurannya, bahkan dengan orang yang lebih tua. Dengan demikian, pernyataan Fachruddin tidaklah kuat, setidaknya itu merupakan perkembangan psikologis yang secara wajar dialami oleh manusia.

Kelima, "agama, menurut Fachruddin, menganjurkan kita untuk bertanggung jawab dalam merawat kondisi lingkungan dan alam". Seperti telah diutarakan di atas, setidaknya dari sisi agama Kristen, tidak ditemukan anjuran yang berdasar pada teks (-teks) Alkitab bahwa manusia (Kristen) harus bertanggung jawab merawat kondisi lingkungan dan alam. Yang malah dianjurkan, bahkan diperintahkan agar manusia memenuhi bumi, menaklukkan, dan menguasai binatang!

Tulisan Fachruddin Mangunjaya yang mengaitkan agama dan perubahan iklim, bahkan menjadikan agama sebagai salah satu dasar pendorong untuk perubahan iklim demi kelangsungan bumi ini sama sekali tidak berdasar. Selain tidak didukung oleh data statistik dan penjelasan yang rinci, pandangan-pandangannya sangatlah umum. Artinya, apa yang ditulisnya sebetulnya tidak perlu didasarkan pada atau didukung atau dilegitimasi oleh agama dan kitab sucinya (Fachruddin malah sama sekali tidak mengutip teks kitab suci agama untuk mendukung pendapat-pendapatnya). Apa yang dilakukan manusia dewasa ini telah menjadi innate (bawaan) atau sifat dasar manusia. Apa yang dilakukan manusia dewasa ini dalam kaitannya dengan upaya meredam bahkan menekan perusakan lingkungan hidup merupakan hakikat dasar manusia yang cenderung untuk selalu berupaya hidup lebih baik, entah dengan sesama manusia, makhluk hidup lainnya maupun dengan alam lingkungannya. Fachruddin yang mendasarkan tulisannya pada etika agama sama sekali tidak kuat bahkan keliru, jika tidak mau dikatakan menyeskatkan, karena kenyataan yang terjadi malah sebaliknya. Agama seringkali malah menjadi sumber kehancuran, peperangan, dan malapetaka.

Perubahan iklim harus disikapi secara cermat dan kritis, bukan dengan dan melalui agama dan kitab sucinya, karena telah terbukti agama-agama tidak berdaya dalam menghadapi krisis yang dihadapi manusia. Jika agama-agama tidak berdaya menghadapi krisis kemanusiaan, bagaimana mungkin agama-agama mampu menjadi pendorong demi perbaikan iklim bumi ini? Krisis lingkungan hidup yang salah satunya berwujud pada perubahan iklim haruslah dicari jalan keluarnya melalui ilmu pengetahuan manusia yang terus mengalami perkembangan. Memang ilmu pengetahuan manusia belum dan tidak sempurna. Keadaan ini janganlah dijadikan alasan manusia untuk menyerah, namun sebaliknya perjuangan melalui berbagai penelitian harus terus dilakukan dan dikembangkan. Oleh karena itulah, ilmu pengetahuan manusia harus terus dimajukan, dikedepankan, bahkan ditingkatkan sehingga mampu menjawab dan mencari solusi bagi krisis lingkungan hidup yang telah dan tengah dialami manusia. Hal lain yang patut ditekankan dan diingat adalah bahwa perubahan iklim yang telah dan tengah terjadi di bumi bahkan jagat raya kita ini bukan semata-mata akibat kecerobohan dan keangkuhan manusia, tetapi juga tidak dapat dilepaskan dari keniscayaan bahwa jagat raya kita pun mengalami perkembangan dan perubahan.

Senin, 28 Desember 2009

Fakta yang Memprihatinkan!

Kejaksaan Agung kembali membuat "gebrakan" dengan meresmikan larangan terbit terhadap lima buku: Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (ditulis oleh John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (ditulis oleh Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise), Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (ditulis oleh Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (ditulis oleh Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan Mengungkap Misteri Keragamaan Agama (ditulis oleh Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi). Ini dikatakan oleh Jaksa Agung Muda Pembinaan, Iskamto. Kabar mencengangkan tersebut dimuat dalam harian Kompas edisi Sabtu, 26 Desember 2009 (hlm. 4) dengan tajuk "Buku-buku Ini Dilarang!".

Menurut Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Didiek Darmanto, "larangan terbit atas lima judul buku tersebut ditujukan kepada penerbit. Penerbit tidak boleh lagi menerbitkan dan mengedarkan buku-buku itu. Kalau yang sudah beredar, kami minta kepada penerbit agar ditarik." Lanjutnya lagi, "buku-buku tersebut dilarang karena melanggar ketertiban umum. Substansi buku dinilai tidak sesuai dengan aturan." Kompas menulis bahwa buku-buku itu sudah diteliti dalam tim penyeleksian (clearing house) Kejaksaan Agung sejak Mei 2009 dan telah melalui rapat kerja Jaksa Agung dengan Komisi III DPR pada 11 Mei 2009.

Berdasar berita dari Kompas tersebut maka ada beberapa pertanyaan yang penting dijawab terkait dengan - lagi-lagi - pelarangan, entah hak berbicara/berpendapat/bersuara maupun berekspresi yang terjadi di negeri ini:

1. Dikatakan bahwa buku-buku yang dilarang terbit itu telah melanggar ketertiban umum. Apa yang sesungguhnya telah terjadi akibat penjualan dan penyebaran buku-buku tersebut? Ketertiban umum apa yang dilanggar akibat penjualan buku-buku tersebut? Apakah telah terjadi kerusuhan atau chaos yang ditimbulkan setelah masyarakat luas membaca buku-buku tersebut? Sejauh yang dapat saya ingat belum pernah terjadi kekacauan/kerusuhan secara luas yang diakibatkan oleh sebuah buku. Paling-paling kekacauan yang diakibatkan para pendukung kesebelasan sepak bola yang kecewa karena timnya mengalami kekalahan. Itu pun kekacauan yang terjadi hanyalah bersifat lokal dan tidak berkepanjangan (misalnya sampai berhari-hari). Dengan demikian, pernyataan bahwa buku-buku tersebut dianggap telah melanggar ketertiban umum sangatlah tidak tidak berdasar pada kenyataan yang ada.

2. Dikatakan bahwa substansi buku-buku tersebut dinilai tidak sesuai dengan aturan. Aturan mana dan apa yang digunakan sebagai tolok ukur dalam menilai substansi sebuah buku? Bahwa buku tersebut tidak menampilkan pornografi? Pornografi pun tidak sebatas pornografi seksual, tetapi juga kekerasan. Dibaca dari judulnya saja kelima buku tersebut sangat tidak mungkin berisikan pornografi, entah seksual maupun kekerasan. Dari judulnya dapat dipastikan bahwa kelima buku tersebut bergenre sejarah-politik dan agama/teologi. Jika diperhatikan, buku-buku yang dilarang terbit merupakan buku-buku bergenre sejarah-politik atau novel yang sarat dengan muatan sejarah (misalnya buku-buku Ananta Toer, bahkan penulisnya pun sempat dicekal oleh pemerintah yang berkuasa). Perhatika saja, buku-buku yang pernah dan kemungkinan besar masih akan ada banyak buku yang dilarang terbit memiliki alur cerita yang berbeda/bertolak belakang dengan "sejarah" yang telah selama ini dianut, khususnya oleh penguasa.

3. Dikatakan bahwa buku-buku itu sudah diteliti dalam tim penyeleksian Kejaksaan Agung. Siapa saja orang-orang yang duduk dalam tim penyeleksi itu? Apa latar belakang mereka? Mengapa mereka bisa duduk dalam tim tersebut? Mengapa harus ada yang dinamakan tim penyeleksi? Mengapa Kejaksaan Agung yang mengadakan tim tersebut? dlsb. Lagi-lagi yang menjadi pertanyaan adalah: apa tolok ukur/standar/ukuran dalam menilai substansi sebuah buku? Bukan baru kali ini saja Kejaksaan Agung melarang terbit buku, setidaknya tahun 2006 telah terjadi larangan serupa yang menimpa buku Menembus Gelap Menuju Terang 2, Atlas Lengkap Indonesia (33 provinsi) dan Dunia, serta Aku Melawan Teroris. Dan tahun 2007, kejaksaan melarang sejumlah buku pelajaran sejarah untuk sekolah akibat antara lain, tidak menyebutkan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun tahun 1948 dan hanya memuat keterlibatan G30S tanpa menyebut PKI pada tahun 1965.

4. Apakah terhadap semua buku yang dijual dan diterbitkan di Indonesia diperlakukan hal yang sama? Bagaimana dengan buku-buku impor atau terjemahan? Bagaimana dengan buku-buku yang bergenre New Age atau yang termasuk ke dalam Self Help/Self Improvement? Pernahkah terpikir bahwa tidak semua buku impor "baik" dikonsumsi oleh pembaca? Saya cenderung yakin bahwa buku-buku impor tidak mengalami hal serupa dengan buku-buku yang ditulis dan diterbitkan di Indonesia. Mengapa saya dapat mengatakan hal tersebut? Karena buku-buku tersebut sangat mahal. Biaya masuknya saja sudah begitu tinggi dan tentu memberikan pemasukan yang cukup berarti bagi negeri ini. Terkait dengan masalah ini, mengapa di negara-negara maju, misalnya Amerika Serikat, tidak ada larangan terbit terhadap buku tertentu (sejauh yang yang saya ketahui)? Mengapa buku yang ditulis oleh Mary Baker Eddy, Science and Health with Key to the Scriptures atau karya Salman Rushdie yang pernah mengguncang dunia sastra The Satanic Verses tidak dilarang terbit di negeri Obama tersebut? Meski banyak pihak menolak buku-buku tertentu tapi buku-buku tersebut tetap dibiarkan terbit dan dijual. Yang dilakukan oleh mereka yang menolaknya adalah dengan menulis dan menerbitkan buku lain sebagai tandingannya. Itulah salah satu ciri masyarakat dan bangsa yang cerdas dan bijak.

Ketika bangsa-bangsa lain berlomba meningkatkan kecerdasan rakyatnya melalui berbagai usaha, salah satunya dengan memajukan budaya baca, bangsa Indonesia bukan hanya jalan di tempat melainkan berjalan mundur. Dengan begitu bangga bangsa ini mengklaim sebagai bangsa demokrasi, yang mengedepankan Hak Asasi Manusia, dan toleran, tetapi kenyataannya tidaklah sejalan dengan yang dibanggakan. Bukankah setiap warga negara berhak memperoleh informasi dan pengetahuan yang luas dan bebas? Mungkin ada yang mengatakan, "ya tentu, tapi tidak sebebas-bebasnya! Bebas tapi terkendali." Tetap saja itu bukan bebas namanya! Ketika orang mengatakan bebas, itu artinya sebebas-bebasnya. Bagaimana jika kebablasan? Biarkan masyarakat sendirilah yang menjadi pengawas, penjaga, dan rem-nya. Itu ciri masyarakat yang telah dewasa. Namun pasti ada orang yang akan menanggapi, "tapi kan masyarakat kita belum dewasa!" Jika demikian, mulailah dari sekarang! Jika tidak, kapan lagi? Hentikan segala bentuk larangan. Hentikan segala bentuk fatwa!

Jika sekarang saja buku-buku tertentu dilarang tertentu, maka jangan heran jika besok-besok penerbit tertentu dilarang beroperasi, atau bahkan orang-orang tertentu dilarang menulis buku. Atau yang lebih edan, jangan-jangan esok hari di negeri ini dilarang menulis dan menerbitkan buku selain buku yang ditulis dan diterbitkan oleh penguasa. Jika demikian yang terjadi maka negeri ini tidak ada bedanya dengan Korea Utara.


Biarkan masyarakat berpikir secara bebas, mandiri, dan kritis. Dari sekarang biarkan masyarakat menentukan dirinya sendiri. Ciri bangsa yang bebas dan cerdas, salah satunya adalah mampu menentukan nasib dirinya sendiri dan berpikir kritis.

Harmonisasi Natal

"Sekumpulan gembala berjaga di padang; berkawan dengan alam, bertekad untuk bertarung demi hidup kawanan ternak. Tiba-tiba datang kabar kesukaan. Tak ada keraguan, tak ada rahasia. Warta kebenaran terlalu jelas di depan mata. Hanya satu pilihan: bergegas pergi, bersujud di dekat bayi mungil, menyentuh kebenaran. Tak ada tempat lain. Kebenaran dihirup bersama bau kandang dan bau peluh perjalanan. Tiga orang bijak menekuni tapak pencarian, menyuburkan benih harapan, menghadap penguasa, menerima titah untuk pergi: carilah raja itu! Adakah rasa curiga? Kilau bintang di langit menaklukkan rencana gelap. Terang itu begitu memukau". Demikian Deshi Ramadhani, SJ, seorang rohaniwan Katolik dan dosen tafsir kitab suci di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, mengawali tulisan Natalnya yang berjudul "Menghirup Bau Kandang" (Kompas, Kamis, 24 Desember 2009, hlm. 2).

Kisah kelahiran Yesus terdapat di dalam dua Injil kanonik, yakni Injil Matius dan Lukas dan masing-masing penulis Injil menampilkan kisah kelahiran Yesus secara sangat berbeda. Mari kita perhatikan kisah kelahiran Yesus versi Injil Matius dan Lukas untuk menemukan perbedaan-perbedaannya. Pertama-tama mari kita perhatikan Injil Matius. Penulis Injil Matius menceritakan bahwa seorang malaikat Tuhan berkata kepada Yusuf, bapak Yesus, dalam mimpi agar ia (Yusuf) tidak takut. Injil Matius pun mengisahkan bahwa orang-orang majus dari Timur (Deshi menyebut ketiga orang tersebut "tiga orang bijak") datang menyembah bayi Yesus dengan melihat bintang Timur. Dalam Injil Matius diceritakan bahwa Yesus dilahirkan di sebuah rumah (tanpa keterangan rinci jika ia dilahirkan di sebuah palungan). Dan bayi Yesus yang lahir di sebuah rumah itu akan dinamakan Imanuel yang berarti Allah menyertai kita. Raja Yahudi di masa itu, Herodes, yang mengetahui kelahiran Yesus konon cemburu karena telah lahir seorang "raja" lain sehingga ia pun memerintahkan pembunuhan terhadap semua anak di Betlehem dan sekitarnya yang berumur di bawah dua tahun. Untuk mencegah agar Yesus tidak dibunuh maka malaikat Tuhan mendatangi Yusuf dalam sebuah mimpi dan memerintahkan agar mereka (Yusuf, Maria, dan Yesus) mengungsi ke Mesir.

Sekarang kita perhatikan kisah serupa dalam Injil Lukas. Dikisahkan bahwa seorang malaikat bernama Gabriel mendatangi langsung Maria untuk memberitakan kabar kesukaan. Maria akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki yang akan disebut Anak Allah Yang Mahatinggi. Yesus akan disebut kudus, Anak Allah. Sesaat sebelum Maria melahirkan, Kaisar Agustus mengadakan sensus penduduk sehingga semua orang mendaftarkan diri ke kota asalnya masing-masing. Maria dan Yusuf pergi dari Nazaret ke Betlehem karena keluarga berasal dari Betlehem. Saat dalam perjalanan (sudah tiba di Betlehem) Maria pun melahirkan di sebuah palungan akibat tidak ada tempat lagi bagi mereka di rumah penginapan. Dikisahkan, di daerah itu ada gembala-gembala yang tinggal di padang menjaga kawanan ternak mereka pada waktu malam. Saat itu muncul kawanan malaikat di hadapan para gembala itu seraya memuji Allah dan memberitakan mengenai kelahiran Yesus. Segera setelah para malaikat pergi para gembala pun mendatangi bayi Yesus.

Setelah membaca sekaligus membandingkan kedua kisah kelahiran Yesus dalam Injil Matius dan Lukas, segera orang dapat melihat perbedaannya. Perbedaan yang bukan lagi implisit, samar-samar, melainkan eksplisit, jelas, gamblang. Namun, perbedaan-perbedaan yang nampak tidak disadari bahkan tidak diketahui oleh sebagian besar orang Kristen. Ketidaksadaran dan ketidaktahuan inilah yang menyebabkan ketika orang merayakan Natal dengan segala atribut dan acara pendukungnya, seperti drama atau operet Natal, maka ceritanya pun diambil/didasarkan pada kedua Injil. Artinya, kisah Natal yang ditampilkan merupakan gabungan dari dua versi kisah menurut Injil Matius dan Lukas. Hal inilah yang juga kita temukan dalam tulisan Deshi Ramadhani, SJ., di mana ia terlebih dahulu menampilkan gembala-gembala (Injil Lukas) yang disusul oleh tiga orang orang bijak (Injil Matius). Hal yang dilakukan Deshi dan kebanyakan orang Kristen itu dinamakan dengan harmonisasi.

Harmonisasi terjadi bukan hanya pada kisah Natal tetapi juga misalnya, pada kisah-kisah di seputar kematian atau kebangkitan Yesus. Harmonisasi dapat ditemukan secara nyata saat orang menyaksikan film-film yang berkisah tentang Yesus. Jadi jelas, harmonisasi bisa terjadi di saat orang mengisahkan seluruh kehidupan Yesus. Jangan lupa, kisah Yesus terdapat dalam empat Injil berbeda. Masing-masing penulis Injil menceritakan Yesus dengan keunikannya masing-masing. Penulis Injil Matius dan penulis Injil Lukas berbeda ketika menceritakan figur Yesus, demikian juga penulis Injil Markus dan penulis Injil Yohanes memiliki penekanannya masing-masing ketika menceritakan Yesus.

Oleh karena itu, pemahaman memadai terhadap jenis sastra sebuah tulisan adalah hal mutlak yang perlu dimiliki setiap orang. Hal ini dilakukan bukan saja terhadap teks-teks kitab suci melainkan semua teks. Jika pemahaman sastra yang memadai ini tidak dimiliki maka orang pun akan keliru bahkan tersesat ketika mencoba memahami sebuah teks. Akan berakibat sangat fatal ketika kisah fabel dibaca sebagai kisah sejarah. Akan berantakan jika kabar kematian dipahami secara metafor. Dan masih banyak contoh lainnya.

Harmonisasi menyingkirkan keunikan masing-masing Injil. Harmonisasi membuang ciri khas sastra masing-masing Injil. Harmonisasi memperkosa teks demi keindahan atau keharmonisan sebuah cerita. Dengan demikian, merupakan hal yang bijak ketika setiap kali orang menulis atau menampilkan pertunjukkan drama/operet, baik mengenai kisah kelahiran maupun kematian, bahkan sekalipun kisah kehidupan Yesus, maka dijelaskan terlebih dahulu bahwa yang hendak ditampilkan berdasar pada Injil apa dan apa alasannya. Memang mungkin akan terdengar begitu lucu karena selama ini sangat sedikit - jika tidak mau dikatakan tidak ada sama sekali - orang yang pernah melakukan hal tersebut. Lucu karena dianggap aneh dan remeh, tetapi bijak karena menghargai kekayaan teks yang menjadi dasar ceritanya.

Minggu, 27 Desember 2009

Konon Namanya Natal

Seorang antropolog dan teolog Kristen, Marko Mahin, menyumbangkan buah pikirannya tentang Natal berjudul "Natal adalah Cerita Nakal" yang dimuat dalam Kompas, Rabu, 23 Desember 2009 halaman 2.

Di awal tulisannya Marko menulis "[p]engutusan seorang bayi mungil yang ringkih untuk menyelamatkan dunia merupakan cerita utama Natal...Ia bertutur dan mengalirkan semangat bahwa dunia ini tidak boleh tumpas musnah oleh kekumuhan dosa. Tetap, kenapa seorang bayi lemah tanpa daya? Kenapa bukan seorang panglima perang kuat dan gagah perkasa? Kenapa bukan seorang politisi yang pandai bicara? Kenapa bukan akademisi atau cendekiawan yang bijaksana? Paling tidak, seorang aktivis yang penuh dengan daya dan dinamika? Natal adalah cerita nakal".

Bagaimana seorang bayi mungil ditambah ringkih mampu menyelamatkan dunia? Apakah kisah bayi Yesus seperti Dalai Lama yang sudah "ditakdirkan" sejak bayi bahkan sebelum lahirnya merupakan pemimpin umatnya? Tentu tidak. Kenapa seorang seorang bayi lemah tanpa daya? Kenapa bukan panglima perang kuat dan gagah perkasa? Karena sosok panglima adalah seorang yang keras bahkan mungkin kasar dan tentu tidak cengeng. Sementara ajaran Kristen mengedepankan kasih yang lemah lembut. Kenapa bukan seorang politisi yang pandai bicara? Karena sosok politisi identik curang, culas, dan tentu pertama-tama lebih mengutamakan kelompok/partainya. Kenapa bukan sosok-sosok seperti itu? Sementara ajaran Kristen mengedepankan kata-kata bijak dan keselamatan bukan hanya bagi orang-orang Kristen melainkan bagi seluruh dunia. Kenapa bukan akademisi atau cendekiawan yang bijaksana? Karena kebijaksanaan yang dimiliki seorang akademisi atau cendekiawan adalah kebijksanaan duniawi, yang berasal dari dunia. Sedangkan kebijaksanaan yang dimiliki Yesus adalah kebijak sanaan yang berasal dari Allah Bapa, berasal dari surga. Kenapa bukan seorang aktivis yang penuh dengan daya dan dinamika? Karena seorang aktivis membela kepentingan dunia. Sedangkan Yesus membela kepentingan Allah demi kehidupan di surga. Semuanya itu adalah pandangan yang dianut kuat oleh sebagian besar orang Kristen. Meskipun demikian, khusus mengenai kata "aktivis", bagi saya, Yesus saya anggap sebagai seorang aktivis dalam pengertian bahwa ia semasa hidupnya banyak kali memprotes kenyataan hidup di sekitarnya. Ia banyak kali memprotes sikap atau gaya orang-orang beragama di sekitarnya. Ia bahkan melakukan protes "besar" saat ia mengobrak-abrik Bait Allah (semuanya berdasar pada kisah-kisah dalam Injil-injil).

Kembali ke pertanyaan-pertanyaan tadi, "mengapa bukan seorang panglima perang dan gagah perkasa, dst" Jawaban yang paling tegasnya adalah karena para penulis Injil terinspirasi oleh penulis Kitab Yesaya 53. Masyarakat Yahudi di masa itu adalah masyarakat yang sangat mempercayai adanya Mesias ("Yang Diurapi"), seseorang yang dipercaya akan membawa mereka ke luar dari kesengsaraan hidup akibat penjajahan yang dilakukan bangsa Romawi untuk memasuki kehidupan yang lebih baik. Namun apa daya, Mesias yang dinanti-nantikan itu tidak kunjung datang. Sudah begitu banyak mereka menduga bahwa si A adalah Mesias yang dinantikan, si B adalah Mesias yang sesungguhnya, si C adalah Mesias itu, dst..., tapi mereka kecele karena mereka ternyata masih berada dalam kesengsaraan. Mereka sangat rindu untuk kembali pada masa-masa keemasan mereka ketika mereka di bawah pemerintahan Raja Daud dan Salomo. Oleh karena itu, akibat Mesias yang ditunggu-tunggu tidak kunjung datang, maka para penulis Injil pun mengalihkan pandangan mereka bukan lagi kepada dunia masa kini, dunia ini, hal-hal yang terkait dengan jasmani, masa keemasan, pembebasan dari penjajahan, kesengsaran, dan ketidakadilan, melainkan kepada dunia yang akan datang, dunia setelah kematian, dunia di "atas" sana, bukan lagi pada hal-hal ragawi/jasmani/lahiriah, melainkan pada hal-hal rohani. Oleh karena itulah diciptakan dan dikisahkan figur Yesus yang rendah hati. Yesus yang lahir di kandang hewan. Yesus yang tidak gagah perkasa seperti panglima perang. Yesus yang tidak pandai bicara seperti seorang politisi. Yesus yang bukan seperti seorang akademi atau cendekiawan. Pada figur Yesus disematkan hal-hal yang bertolak-belakang dari hal-hal duniawi yang dimiliki oleh orang-orang tadi.

Lanjut Marko, "[n]atal adalah cerita nakal. Sejak awal dituturkan, ia menggugat kemapaman berpikir kita. Maria perawan desa mengandung oleh Roh El Kudus. Kemudian melahirkan Yesus Kristus yang konon akan menjadi Penebus. Ia dilahirkan bukan di tempat praktik bidan atau rumah sakit bersalin, tetapi di kandang domba. Kemudian ia menjadi tukang kayu". Bagi saya kalimat ini cukup menarik. Coba perhatikan frasa "...melahirkan Yesus Kristus yang konon...." Apakah Marko menyadari dan mengerti penggunaan kata "konon"? Kata "konon" digunakan jika seseorang tidak yakin pada cerita/tulisannya, sehingga ia menggunakan kata "konon" yang berarti bahwa ia hanya mendasarkan cerita/tulisannya pada tradisi yang telah ada sebelumnya tanpa melakukan penelitian yang lebih dalam terlebih dahulu. Jika Marko menggunakan kata "konon" pada frasa itu ("Kemudian melahirkan Yesus Kristus yang konon akan menjadi Penebus), mengapa ia tidak menggunakan kata "konon" pada frasa-frasa lainnya, sehingga kalimat utuhnya menjadi demikian: "Konon sejak awal dituturkan (kisah Natal), ia menggugat kemapanan berpikir kita. Konon Maria perawan desa mengandung oleh Roh El Kudus. Kemudian melahirkan Yesus Kristus yang akan menjadi Penebus. Konon ia dilahirkan bukan di tempat praktik bidan atau rumah sakit bersalin, tetapi konon di kandang domba. Kemudian konon ia menjadi tukang kayu.

Dalam tulisan Marko pun muncul kejanggalan. Dari awal sampai pertengahan dari tulisannya ia bercerita tentang Natal, kelahiran Yesus, kemudian mulai pertengahan ia tiba-tiba loncat dengan menceritakan kisah di seputar kematian Yesus. Mengapa tiba-tiba loncat? Di mana kisah kehidupan "pelayanan" Yesus yang dipenuhi dengan ajaran-ajaran bijaksana dengan segala perumpamaannya itu? Kenapa dari kelahiran langsung loncat pada kematian? Apakah kisah mengenai kehidupan Yesus tidak penting menurut Marko, seperti kebanyakan orang Kristen lainnya yang lebih mengutamakan kisah kelahiran dan kematian Yesus? Bahkan jika diperas lagi, maka sebagian besar orang Kristen lebih mengutamakan Natal. Lihat saja bagaimana kemeriahah dan kehebohan perayaan Natal setiap tahunnya! Bisa dibayangkan orang Kristen akan menjawab, "kan Natal adalah perayaan menyambut kelahiran seseorang, jadi tentu harus meriah dong...masak Paska yang adalah mengenang kematian seseorang dirayakan dengan meriah sih?!? Sepertinya Marko sengaja "menyingkirkan" kisah kehidupan Yesus agar tulisannya tidak terlalu panjang-lebar dan memang tujuannya adalah untuk mengaitkan kisah Natal dan kematian Yesus sehingga dapat melahirkan "permainan" warna yang akan kita lihat berikutnya.

Dalam tulisannya yang bercerita tentang kematian Yesus Marko berujar "[p]ada masa kini, simbol-simbol perlawanan itu muncul dalam warna hijau (green) yang beroposisi dengan warna kelabu atau kelam. Bukan perlawanan cengeng, tetapi perlawanan darah". Apa dasarnya sehingga warna hijau yang digunakan? Bagaimana asal-mulanya sehingga warna hijau-lah yang digunakan sebagai warna yang melambangkan perlawanan?
Kenapa yang dipilih warna hijau? Kenapa bukan biru atau kuning atau oranye atau coklat? Bukankah warna-warna seperti biru, kuning, oranye, dan coklat juga beroposisi dengan warna kelabu atau kelam? Lebih lanjut Marko menulis "[g]ergaji gemeretak ketika dipakai memotong kayu salib-Nya, palu berdentam saat dipakai memukul paku untuk menghujam daging kaki dan tangan-Nya. Darah segar berwarna merah pun mengalir. Inilah merah (red) simbol pengorbanan sekaligus perlawanan". Tentu, darah berwarna merah. Yang coba ditampilkan oleh Marko mengenai warna hijau dan merah dalam kaitannya dengan Natal dan kematian Yesus tidak lebih dari permainan warna dan kata saja. Tidak ada kaitan antara warna hijau dengan peristiwa Natal dan kematian Yesus. Tidak ada hubungan antara warna merah dengan peristiwa Natal dan kematian Yesus.

Di paragraf akhir tulisannya Marko menulis "[h]ijau dan merah Natal adalah warna harapan bagi kaum yang lemah, tak berdaya dan tertindas, kesepian, dan merasa dirinya hampa. Warna kehidupan bagi mereka berbeban berat. Semangat yang dilambangkan dengan lilin menyala, yang rela hancur luluh untuk menghadirkan terang dan kehangatan". Dengan demikian jelas, hijau dan merah yang berasal dari kematian Yesus ditempatkan Marko pada Natal sehingga bagi Marko, Natal bercirikan hijau dan merah. Hijau dan merah menjadi warna perlawanan dan harapan. Di mana relevansi antara warna hijau dan merah dengan perlawanan dan harapan? Bagaimana mereka yang tertindas, lemah, tak berdaya, merasa hampa, dan kesedihan ketika melihat warna hijau dan merah menjadi memiliki harapan kembali? Jangan lupa, warna hijau bukan hanya milik Natal tetapi juga menjadi ciri gerakan Go Green bahkan juga agama lain.


Setelah membaca tulisan Marko Mahin sekarang izinkan saya membahasakan ulang cerita Natal menurut versi saya. "Konon sejak dituturkan (cerita Natal), ia menggugat kemapanan berpikir kita. Konon ada seorang Maria perawan desa mengandung oleh Roh El Kudus. Kemudian konon lahirlah Yesus Kristus yang konon akan menjadi Penebus. Konon ia dilahirkan bukan di tempat praktik bidan atau rumah sakit bersalin, tetapi konon di kandang domba. Konon kemudian ia menjadi tukang kayu. Konon Tuhan Yang Maha Mulia mengosongkan diri menjadi serupa dengan hamba sahaya melalui peristiwa Natal, kelahiran Yesus. Konon Tuhan berpihak pada kaum jelata, budak belian yang hina-dina. Konon dalam sosok seorang bayi, Ia mengkritik para penguasa yang rakus. Konon kandang, palungan, jerami kering, kain lampin, gembala, tukang nujum dari Timur adalah simbol-simbol rakyat yang dipakai-Nya. Konon Ia hadir bersama dengan kekurangan dan keterbatasan rakyat jelata sedangkan konon istana dan tentara adalah simbol Herodes, seorang kaisar yang konon kejam, pemarah, dan jauh dari rakyat jelata. Konon warna hijau beroposisi dengan warna kelabu dan kelam. Konon Yesus disalib di kayu salib dan darah segar berwarna merah pun mengalir. Konon merah merupakan simbol pengorbanan sekaligus perlawanan. Konon hijau dan merah Natal bukanlah warna-warna cantik nan romantis, tetapi konon warna-warna itu merupakan warna subversif, warna perlawanan atas kekumuhan dan kedekilan dosa. Konon hijau dan merah juga merupakan warna harapan bagi kaum lemah, tak berdaya, tertindas, kesepian, dan yang merasa hampa. Bagaikan lilin menyala yang konon rela hancur luluh untuk menghadirkan terang dan kehangatan, konon itulah yang namanya Natal".

Sabtu, 26 Desember 2009

Gelar Paus

Koran Tempo edisi Senin, 21 Desember 2009 memuat sebuah artikel yang bertajuk "Dua Paus Jadi Santo" (hlm. B6). Dalam artikel tersebut ditulis "Paus Benediktus XVI dua hari lalu menyetujui segera diberikannya gelar 'Yang Patut Dimuliakan' kepada dua paus pendahulunya: Paus Johanes Paulus II dan Paus Pius XII. Keduanya telah melakukan sejumlah 'kebajikan heroik' semasa hidupnya. Gelar 'Yang Patut Dimuliakan' merupakan tahap pertama dari tiga tahap sebelum seseorang resmi ditabalkan menjadi santo atau 'Orang Suci' menurut keyakinan Katolik Roma. Tahun depan kedua mendiang paus itu diharapkan dapat dibeatifikasi setelah ada pengakuan tentang mukjizat yang mereka lakukan. Beatifikasi merupakan tahap kedua sebelum menjadi santo".


Apakah "kebajikan heroik" yang dimaksud? "Kebajikan heroik" yang dimaksud berlandaskan nilai-nilai kristiani. Nilai-nilai kristiani itu sendiri tentu berasal dari Allah. Artinya, sikap hidup seorang kristiani haruslah bertolak dan bercirikan keilahian. Semua hal baik, bagi sebagian besar orang Kristen berasal dari Allah. Setidaknya ada empat "kebajikan heroik" dalam gereja Katolik Roma. Ciri dan contoh pertama dari seseorang yang memiliki "kebajikan heroik" ilahi bahwa ia memiliki kebijaksanaan. Kebijaksaan itu haruslah mengatasi hasrat akal budi manusia. "Kebajikan heroik" kedua kesederhanaan, di mana kesederhanaan itu mengatasi bahkan menyingkirkan hasrat-hasrat duniawi. "Kebajikan heroik" yang ketiga adalah keadilan yang dicirikan dari keadilan Allah bagi seluruh ciptaan-Nya. "Kebajikan heroik" yang keempat adalah ketabahan. Ketabahan ini memampukan manusia bertahan dalam dunia ini sekaligus menyingkirkan ketakutan manusia ketika ia akan meninggalkan dunia ini dan menghadapi kehidupan setelah kematian. Empat "Kebajikan heroik" ini merupakan kesempurnaan yang terdapat di surga dan hanya segelintir orang yang mampu mencapainya dalam kehidupan di dunia.

Kedua paus yang telah tiada tersebut disematkan gelar "Yang Patut Dimuliakan". Apakah arti frasa "Yang Patut Dimuliakan"? Apakah berarti mereka patut disembah? Gelar "Yang Patut Dimuliakan" tidak berarti bahwa mereka patut disembah melainkan dikagumi dan dipandang sebagai perantara/penengah antara "dunia atas" atau surga dan Allah dengan manusia yang hidup di dunia atau "dunia bawah". Mereka yang memperoleh gelar "Yang Patut Dimuliakan" dianggap sebagai perantara karena status mereka yang "lebih tinggi" dibandingkan manusia yang masih berada di dunia.

Pandangan janggal yang sangat sulit dijelaskan. Namun, agar dapat dijelaskan mari kita andaikan saja figur-figur atau tokoh-tokoh yang diberi gelar "Yang Patut Dimuliakan"
memang ada. Hal janggal yang pertama adalah, apa gunanya mereka sebagai perantara? Apa keuntungan yang dapat mereka peroleh dengan menjadi perantara bagi manusia? Mereka telah memilik status yang "lebih tinggi" dari manusia lainnya. Mereka telah memperoleh "kehormatan" atau "kemuliaan". Apalagi yang mereka kehendaki? Oh, jadi mereka hanya melakukan "perintah Allah"? Jika demikian, sebutan mereka bukan perantara dong...tapi pesuruh/pembantu/budak! Hal janggal yang kedua adalah bagaimana mungkin Allah menjadi lebih mudah "dihubungi" atau "didekati" atau "dihampiri" melalui mereka yang memiliki gelar "Yang Patut Dimuliakan" dibandingkan mereka yang masih hidup di dunia? Apakah karena mereka yang bergelar itu dianggap sebagai "orang dalam" sehingga memiliki akses yang memudahkan dan mempercepat keinginan atau permohonan manusia di dunia yang dilakukan melalui doa-doa? Ajaran Kristen mengatakan bahwa Allah dapat dihampiri/didatangi kapan saja, oleh siapa saja, dan dalam keadaan apa saja. Jika demikian, buat apa memerlukan mereka yang bergelar "Yang Patut Dimuliakan"? Apa fungsinya mereka? Hal janggal yang ketiga adalah, jika Allah tidak sudi mendengarkan doa atau permohonan orang yang tidak layak, lalu mengapa Ia sudi mendengarkan doa atau permohonan yang disampaikan oleh orang yang tidak layak itu melalui perantara ("Yang Patut Dimuliakan")? Seharusnya doa atau permohonan orang yang tidak layak itu tidak didengar, baik oleh Allah maupun perantara/pesuruh/pembantunya. Jika demikian maka, para perantara itu sama sekali tidak ada gunanya.

Setelah tahap dan proses "Yang Patut Dimuliakan" maka seorang figur akan memasuki tahap berikut yang disebut beatifikasi. Syaratnya adalah figur tersebut harus terbukti telah melakukan sekian mukjizat. Jadi, sikap hidup kudus seperti diutarakan di atas belumlah cukup sehingga juga diperlukan syarat mukjizat. "Salah satu petugas untuk proses beatifikasi, Uskup Agung Slawomis Oder, tahun lalu telah menyelesaikan 2.000 halaman laporan yang menunjukkan bahwa Paus Johanes Paulus II...Disebutkan dalam laporan itu, adanya 250 klaim mukjizat yang telah dilakukan mendiang Paus Johanes Paulus II. Salah satu mukjizat yang telah diselidiki pada tahun 2006 adalah penyembuhan Suster Marie-Simon-Pierre asal Prancis dari penyakit Parkinson. Para dokter menyatakan kesembuhan itu 'tak dapat dijelaskan secara ilmiah'. Sang suster mendapat kesembuhan setelah mendoakan mendiang Paus dan dia secara tiba-tiba mampu mengangkat pena dan menulis".

Woooww 250 klaim mukjizat yang telah dilakukan mendiang paus mampu mengalahkan jumlah mukjizat Yesus padahal telah digabungkan dari semua Injil!! Meskipun baru klaim tapi jumlah mukjizat yang dilakukan paus sangatlah fenomenal! Yesus pun kalah banyak dalam melakukan mukjizat! Lebih luar biasanya mukjizat itu bukan dilakukan oleh paus tetapi seorang suster mengalami kesembuhan setelah mendoakan paus. Jadi terbalik, bukannya Paus yang mendoakan lalu seseorang sembuh, tetapi orang yang mendoakan paus-lah yang mengalami kesembuhan. Bertambah luar biasa karena paus yang didoakan telah meninggal! Dalam kisah-kisah Yesus saja tidak ditemukan orang yang mendoakan Yesus mengalami kesembuhan, baik semasa Yesus masih hidup maupun setelah kematian Yesus.

Apakah mukjizat itu? Apakah mukjizat sungguh-sungguh terjadi? Jika ya, apakah ukurannya? Jika tidak, lalu mengapa banyak orang bercerita tentang mukjizat? Mengapa ada begitu banyak laporan terjadinya mukjizat di berbagai tempat di belahan dunia ini? Pertanyaan-pertanyaan ini akan saya coba jawab dalam kesempatan lain karena membutuhkan tempat yang juga cukup panjang. Jika digabungkan dengan tulisan ini akibatnya tulisan ini akan menjadi begitu panjang dan luas.

Kembali ke gelar paus. Mengapa yang memberikan gelar adalah "orang-orang dalam"? Artinya, yang memberikan gelar adalah Vatikan, sebagai pusat pemerintahan gereja Katolik Roma? Mengapa bukan institusi/kelompok/masyarakat lain? Jika yang memberikan gelar berasal dari kelompok yang sama, bukankah sangat bersifat subjektif? Mengapa harus ada pemberian gelar-gelar seperti itu? Apa gunanya, baik buat mereka yang telah tiada maupun mereka yang masih hidup? Toh, yang digelari sudah tidak hidup lagi alias tidak tahu lagi. Manfaat bagi mereka yang masih hidup? Agar meneladani orang yang bergelar tertentu? Jika hendak meneladani, maka tidak perlu ada pemberian gelar kepada orang-orang tertentu, tetapi langsung saja meneladani orang itu. Atau, mengikuti jejak Yesus, yang diberi gelar setelah kematiannya?

Pemberian gelar-gelar tertentu bagi manusia (tentu dilakukan juga oleh manusia) merupakan fenomena wajar dalam masyarakat, baik pra-modern maupun modern. Pengakuan terhadap diri seseorang bahkan diri sendiri sesungguhnya merupakan hal yang cukup wajar. Menjadi tidak wajar karena dilakukan oleh kelompok/organisasi/institusi di mana orang tersebut berada. Yesus pun digelari Kristus tentu oleh orang-orang Yahudi yang memujanya, yang mempercayainya sebagai Tuhan penyelamatnya. Yesus tidak digelari Kristus atau bahkan Tuhan oleh orang-orang Romawi atau Yunani. Pemberian gelar hanya bermanfaat bagi kelompok yang mengidolakan atau memuja atau menyembah orang yang bersangkutan, baik orang tersebut masih hidup maupun telah meninggal. Pemberian gelar terhadap orang-orang tertentu tidak bermanfaat bagi kehidupan yang lebih baik. Sebaliknya yang terjadi adalah setiap kelompok berlomba-lomba memberikan penghargaan gelar bagi anggotanya untuk menyaingi gelar yang disematkan kepada orang lain dari kelompok-kelompok lainnya. Pemberian gelar merupakan legitimasi bagi anggota kelompok bahwa kelompok mereka adalah kelompok yang benar. Pemberian gelar kepada orang-orang tertentu merupakan pembenaran bahwa mereka yang memperoleh gelar adalah figur-figur yang baik dalam masyarakat khususnya bagi kelompoknya.
Pemberian gelar merupakan penegasan bahwa anggota kelompok pernah/masih memiliki seorang pemimpin besar atau anggota kelompok yang patut diteladani bukan saja oleh kelompoknya tetapi juga oleh seisi dunia. Apakah gelar "paus" itu belum cukup sehingga perlu ditambahkan dengan gelar lainnya?

Jumat, 25 Desember 2009

Maria Ibu Yesus Ternyata Seorang Pendaki Gunung

Franky Kowaas adalah penggiat panjat gunung asal Indonesia. Sejak 2008 tiga puncak gunung telah ditaklukkannya, yakni Cartenz Pyramid (Australasia), Kilimanjoro (Afrika), dan Elbrus (Eropa) dan pada Januari 2010 ia akan menuju Vinson Massif (Antartika), dilanjutkan ke Aconcagua (Amerika Selatan) sedangkan puncak Everest (Asia) dan Mckinley Alaska (Amerika Utara) merupakan target terakhirnya (Kompas, Minggu, 20 Desember 2009, hlm. 2). Ketujuh puncak gunung yang telah disebut tadi adalah tujuh puncak gunung tertinggi di dunia.

Dalam artikel Kompas yang bertajuk "Natal dan Gunung" itu Franky mengibaratkan bahwa Natal merupakan bagian dari misi pendakian gunung. Pernyataannya tersebut langsung menghentak saya! Bagaimana tidak? Perhatikan saja kata-kata Franky di mana ia mengibaratkan Natal sebagai bagian dari misi pendakian gunungnya. Di mana ibaratnya? Di mana ibarat Natal adalah bagian dari misi pendakian gunung yang hendak dicapainya? Apa relevansi pendakian gunung dengan perayaan Natal? Apakah untuk merayakan Natal, bagi Franky, harus melalui perjuangan yang begitu berat terlebih dahulu seperti saat dia melakukan pendakian gunung? Kalimat tadi bisa masuk akal jika diucapkan oleh seseorang yang telah divonis oleh dokter bahwa ia tidak memiliki umur yang panjang lagi. Misalnya, seseorang divonis dokter mengidap penyakit yang begitu parah sehingga secara medis tidak memiliki umur yang panjang dan vonis tersebut dikatakan pada bulan Januari. Dan jika orang itu adalah penganut Kristen taat yang selalu merindukan Natal maka nyaris bisa dipastikan ia akan "berusaha" sekuat tenaga bertahan setidaknya sampai bulan Desember agar ia masih bisa merayakan Natal bersama kerabat dan teman-temannya. Namun tentu, Franky Kowaas bukanlah orang dalam kisah tadi. Ia seorang yang sangat bugar, buktinya berhasil mencapai tiga puncak gunung tertinggi di dunia dari rencana seluruhnya tujuh puncak gunung tertinggi. Pernyataan Franky yang mengibaratkan Natal sebagai bagian dari misi pendakian gunung sangatlah tidak nyambung. Setidaknya saya tidak menemukan hubungan antara Natal dan pendakian gunung sekalipun sifat dan bentuknya dalam ibarat.

Pernyataan Franky berikutnya malah membuat saya, bukan lagi geli, tetapi tertawa keras sampai orang-orang di rumah terkejut dan bertanya-tanya apa yang membuat saya tiba-tiba tertawa. Saya tertawa keras akibat pernyataan Franky yang mengatakan, "Tanpa Natal takkan ada rekor mendaki yang saya capai dan Yesus adalah inspirasi saya untuk mendaki gunung. Makanya, tiap tiba di puncak, saya selalu berlutut berdoa menaikkan ucapan syukur". Astagaaaa!!! Apa dan di mana relevansi antara Natal dan rekor mendaki seperti yang diucapkan Franky tadi?!?! Semua orang juga tahu kisah Natal, termasuk mereka yang non-Kristen! Natal adalah perayaan akan kelahiran Yesus di kandang ternak (menurut tradisi), lalu kaitannya dengan rekor pendakian gunungnya di mana?

Kalimat Franky yang berikut tidak kalah lucunya! Baginya Yesus merupakan inspirasi untuk mendaki gunung. Nah loooh di mana lagi ini hubungan antara mendaki gunung dan Yesus? Jika Franky menghubungkan kisah di seputar kematian Yesus di mana - menurut tradisi yang berasal dari Injil-injil - Yesus mendaki bukit Golgota sebelum disalibkan, itu mungkin masih, yaaah sedikit nyambung lah walaupun tetap terlihat sekali adanya pemaksaan konteks. Artinya, konteks kisah di seputar kematian Yesus pun terjadi di sebuah bukit bukan gunung, sedangkan Franky konteksnya adalah gunung, bahkan gunung-gunung tertinggi di dunia pula! (yang semuanya 5000m di atas permukaan laut!). Namun, jika Franky mencoba mengaitkan antara pendakian gunung yang dilakukannya karena memperoleh inspirasi dari Yesus melalui kisah Natal, maka semakin tidak nyambung lahyaaah! Mengapa? Peristiwa Natal di mana Yesus lahir, menggambarkan bayi Yesus yang tidak berdaya. Sedikit masuk akal jika dikaitkan dengan figur Maria yang "berjuang" keras karena harus berjalan jauh sekitar 90km dari Nazaret ke Betlehem!
Seharusnya kan figur Maria ibu Yesus diibaratkan sebagai tokoh pejalan kaki yang tegar dan ulung (bayangkan saja seorang perempuan yang sedang hamil tua harus melakukan perjalanan jauh! Luar biasa!). Namun sepertinya yang hendak disampaikan oleh Franky bahwa Maria ibu Yesus adalah seorang pendaki jika dikaitkan dengan misi pendakian yang sedang dilakukan Franky. Dengan demikian, Maria ibu Yesus adalah seorang pendaki gunung! Waaaah baru tau nih...kalo Maria ibu Yesus adalah seorang pendaki gunung yang ulung walaupun Injil-injil, entah kanonik maupun ekstrakanonik tidak menggambarkan demikian.

Anjuran Natal

Saya menerima pesan pendek di HP dengan tulisan seperti ini tepatnya: "CHRISTMAS gift suggestions: To your enemy > forgiveness. To an opponent > tolerance. To a friend > your heart. To a customer > service. To all > charity. To every child > a good example. To yourself > respect. MERRY CHRISTMAS 2009".

Lalu di mana kaitan antara anjuran-anjuran yang lebih berkesan seperti nasihat moral itu dengan peristiwa Natal itu sendiri? Apakah saya saja yang kurang jeli sehingga tidak mampu melihat kaitan antara kata-kata indah tersebut dengan peristiwa Natal? Atau saya saja yang kurang kerjaan mengutak-utik kata-kata bijak itu? Terhadap kata-kata indah itu sendiri saya tidak terlalu berkeberatan karena nilainya yang universal. Artinya, kata-kata bijak seperti di atas bukan saja monopoli ajaran Kristen tetapi dapat juga ditemukan kesejajarannya dalam agama-agama ataupun paham moralitas lainnya, entah agama dan paham moralitas yang masih hidup maupun yang telah punah. Kata-kata seperti "mengampuni dan mengasihi musuhmu" memang sangat jelas dapat ditemukan kesejajarannya dalam ucapan Yesus seperti termaktub dalam Injil-injil kanonik yang mengatakan bahwa penganut Kristus harus mengasihi bukan saja saudaranya sendiri tetapi bahkan mendoakan, memberkati, dan mengasihi musuhnya.

Saya bukan saja bertanya-tanya seperti di atas, tetapi juga geli akibat kata-kata "to a customer > service". Ini betul-betul membuat saya nyaris tertawa. Di mana hubungan antara kata-kata itu dengan peristiwa Natal itu sendiri? Apakah dalam peristiwa Natal ada indikasi bahwa orang dapat memaknainya sebagai ungkapan bahwa "sebagai pedagang atau penjual atau penyedia jasa layanan orang harus memberikan pelayanan yang layak kepada pelanggan atau pembelinya"? Di mana para pelayan atau mereka yang memiliki kemampuan membantu persalinan ketika Maria hendak melahirkan Yesus? Apakah peristiwa Natal membuat para pedagang atau penjual atau penyedia jasa layanan akan memberikan pelayanan yang layak bagi para pelanggan atau pembelinya? Saya jadi menduga-duga mungkin saja yang dimaksud dari kata-kata tersebut adalah makna bahwa Yesus datang ke dalam dunia ini bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani. Dan inilah yang menjadi ajakan bahkan dorongan bagi para pengikutnya untuk melayani dan bukannya dilayani. Sejauh yang dapat saya coba tafsirkan mungkin inilah yang dimaksud dengan "To a customer > service", walaupun bagi saya tafsiran seperti itu terlampau jauh dan maksa.

Hal lain yang cukup mengusik saya adalah "to all > charity". Apakah itu charity? Kedermawanan? Amal baik? Kemurahan hati? Apa bentuknya? Pertolongan dalam pemberian bentuk uang? Makanan dan minuman? Pakaian Tempat berteduh? Perlindungan? Perhatian? Bagi saya tentu, semua bentuk kemurahan, amal baik, dan kedermawanan yang seperti telah disebutkan sangatlah baik adanya. Apalagi jika diberikan kepada orang-orang yang membutuhkannya, seperti mereka yang menderita akibat tertimpa bencana alam, perang, rumahnya terbakar, para penderita penyakit yang sangat parah, mereka yang terasing karena disisihkan oleh keluarga dan masyarakat akibat menderita HIV/AIDS atau kusta , dan mereka yang hidup dalam kemiskinan. Namun bagaimana "nasib" mereka yang hidup dalam kecukupan? Apakah mereka juga perlu dibantu? Tentu jawabannya adalah "tidak", mereka lah yang seharusnya memberikan bantuan karena mereka mampu. Itu jika dilihat dari segi kemampuan ekonomi - uang. Bagaimana dengan bentuk bantuan melalui perhatian? Bagaimana dengan mereka yang miskin, tentu mereka lah yang harus dibantu karena mereka tidak punya uang untuk membantu. Intinya, charity yang dimaksud tentu tidak terbatas oleh uang melainkan juga perhatian. Inilah yang seharusnya menjadi penekanan dalam kehidupan masa kini, di mana banyak hal diukur dari segi uang sehingga "perhatian" pun dinilai dari uang. Menyumbang uang yang banyak dianggap sudah cukup walaupun uang yang diperoleh adalah hasil korupsi.

Sesungguhnya kata-kata bijak di atas dapat diperas sehingga menjadi satu kata, yakni KASIH, yang bagi sebagian besar orang Kristen dianggap sebagai inti ajaran Yesus. Yesus mengajarkan kasih. Kasih yang tidak dibatasi oleh apapun juga melainkan melampui segala hal, bahkan orang Kristen mengatakan, melampaui akal manusia. Saya sering mendengar orang Kristen berkata bahwa ajaran Kasih Yesus-lah yang membedakan agama Kristen dengan agama-agama lainnya yang pernah dan masih ada di muka bumi ini. Hanya agama Kristen melalui Yesus-lah yang mengajarkan kasih. Ini pandangan yang sangat keliru bahkan menyesatkan! Gautama Buddha mengajarkan kasih. Muhammad mengajarkan kasih. Agama-agama Timur Tengah yang telah punah mengajarkan kasih. Para filsuf Yunani klasik yang tidak mengenal agama seperti yang orang-orang modern pahami juga mengajarkan kasih. Jadi, ajaran kasih bukanlah hanya milik orang-orang Kristen dan agamanya.

Kembali pada kata-kata bijak yang muncul di HP saya, bahwa bagi saya kata-kata itu memiliki makna yang dalam dan indah. Mungkin menjadi aneh karena kata-kata itu diawali oleh frasa "Christmas suggestions" dan terlebih diakhiri dengan frasa "Merry Christmas 2009". Kata-kata itu sendiri sesungguhnya sudah "pas", tinggal apakah orang mau melakukannya atau tidak. Dengan demikian, tidak perlu-lah...dihubung-hubungkan antara "to your enemy > forgiveness. To an opponent > tolerance...dst" dengan peristiwa Natal karena sama sekali tidak ada hubungannya. Biarkan saja kata-kata bijak yang penuh makna mendalamn itu berdiri sendiri. Kata-kata seperti itu dapat diucapkan atau dituliskan pada momen atau peristiwa apapun, bukan hanya pada saat Natal. Kalaupun peristiwa Natal hendak dimaknai pada masa kini maka pakailah kata-kata yang tepat atau nyambung sehingga orang yang membaca atau mendengarnya, terlebih orang yang menulis atau mengatakannya sungguh-sungguh tergerak oleh kata-katanya sendiri, tidak asal nulis atau nyeplos, ah...apalagi di zaman teknologi canggih ini yang tinggal copy - paste atau forward dan bereees!

Kamis, 24 Desember 2009

Natal yang Memberdayakan?

Harian Kompas edisi Sabtu, 19 Desember 2009 di halaman 2 memuat tulisan atau refleksi iman Natal dari seorang pecinta film dan meditasi, Marselli Sumarno, yang bertajuk "Natal, Semoga Berdaya". Ia menulis, "Keindahan ajaran Kristiani adalah pandangannya tentang kesatuan, bahwa semua manusia telah disatukan oleh Kristus dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus. Dengan menghayati ajaran tentang kesatuan, kita dapat mengatasi semua bentuk dualisme dalam diri kita, dan mengatasi rasa keterasingan yang memisahkan diri kita dengan orang lain". Kata-kata ini merupakan rangkaian setelah sebelumnya ia menulis bahwa perayaan Natal semakin diwarnai pesta duniawi yang gegap-gempita dalam arus mewah konsumerisme yang melanda dunia.

Sepertinya Marselli Sumarno hendak memberikan penyeimbang antara hidup dan kehidupan manusia yang ragawi-duniawi-materiil dengan yang rohani. Menurutnya Kristus telah mempersatukan manusia dalam kesatuannya dengan Bapa dan Roh Kudus. Bagi saya pernyataannya ini cukup aneh karena dari mana dan bagaimana ia dapat mengatakan bahwa yang mempersatukan manusia dengan Bapa dan Roh Kudus adalah Kristus. Bukankah yang mempersatukan manusia dengan Bapa adalah melalui pemahaman yang ditolong dan ditopang oleh Roh Kudus? Bagaimana Kristus mempersatukan antara manusia dalam kesatuan dengan Bapa dan Roh Kudus tidak dijelaskan oleh Marselli. Ia pun mengatakan bahwa "dengan menghayati ajaran tentang kesatuan, kita dapat mengatasi semua bentuk dualisme dalam diri kita, dan mengatasi keterasingan yang memisahkan kita dengan orang lain". Apakah ajaran kesatuan yang dimaksudkannya? Apakah Yesus yang mengajarkan kesatuan itu? Di Injil bagian mana?

Ia pun berbicara mengenai dualisme? Dualisme yang mana? Saya hanya menduga kuat mungkin yang dimaksudkan Marselli adalah antara duniawi dan rohani. Ah, ini pemahaman gnostik yang mempercayai adanya dua natur, tarik-menarik, sifat dasariah dalam setiap diri manusia. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pandangan gnostik mempercayai bahwa dalam setiap diri manusia terkandung unsur ilahi di dalamnya karena manusia dalam pemahaman gnostik berasal dari yang ilahi. Ketika dahulu kala terjadi "pertempuran" kosmik maka manusia terpental dan masuk ke dalam dunia. Oleh karena manusia dalam pandangan gnostik berasal dari yang ilahi maka tentu tujuan akhirnya adalah kembali kepada yang ilahi, kembali kepada asalnya, yakni dunia "atas". Dengan pemahaman sederhana dan singkat ini maka dapat dikatakan bahwa dualisme yang mungkin dimaksudkan oleh Marselli adalah manusia yang selalu berada dalam ketegangan antara yang rohani dan yang duniawi.

Ketegangan duniawi diwarnai oleh gaya hidup manusia yang cenderung konsumtif, penuh kemewahan, mengejar kenikmatan dan kebahagiaan ragawi. Sedangkan ketegangan rohani diwarnai oleh gaya hidup bersahaja, sederhana yang ditampilkan oleh dan melalui peristiwa kelahiran Yesus di kandang hewan. Gaya hidup duniawi-mewah inilah yang hendak diimbangi/dilawan dengan gaya hidup yang rohani-bersahaja seperti termaktub dengan sangat jelas dalam tulisan Marselli.

Hal yang dilakukan oleh Marselli dengan latar belakangnya sebagai pecinta meditasi merupakan hal yang lumrah. Inilah ciri manusia timur (sebetulnya saya tidak menyukai polarisasi timur-barat) yang selalu bergerak antara dua kutub; kiri-kanan, baik-jahat, rohani-ragawi. Dua kosmik Ying dan Yang. Masalahnya, kita masih berada dalam dunia ini dalam segala hingar-bingarnya. Perayaan Natal yang gegap-gempita merupakan kenyataan dan keniscayaan. Gambaran Yesus yang lahir di kandang hewan seperti yang dilukiskan oleh penulis Injil Lukas (Injil Matius tidak menceritakan jika Yesus lahir di kandang hewan) merupakan upaya perlawanan terhadap situasi konkret-riil yang dialami penulis pada masa itu ketika wilayah Palestina berada di bawah penjajahan Romawi. Nilai sejarah kelahiran Yesus adalah hal lain yang patut dipertanyakan. Bagaimana dengan keadaan konkret-riil manusia Indonesia masa kini, apakah kita berada di bawah penjajahan bangsa lain? Tentu tidak! Namun kita (kebanyakan orang mungkin) menderita akibat dunia yang korup, tidak adil. Apakah keadaan kita sejajar dengan keadaan saat Yesus lahir? Pada masa itu sebagian besar rakyat Palestina miskin akibat ketidakadilan. Bagaimana dengan keadaan kita sekarang, apakah juga demikian? Yang miskin makin miskin atau jalan di tempat sedangkan yang kaya semakin kaya. Bagaimana dengan orang Kristen yang kaya?

Lalu apa kaitan peristiwa Natal, ketika Yesus lahir di kandang hewan, dengan kehidupan masa kini? Marselli mengangkat dan menekankan bahwa hidup harus hebat, kuat, luas, besar, dan bermanfaat tapi sikap dalam hidup itu yang harusnya sederhana. Apa maksudnya dengan sikap hidup yang sederhana? Bagaimana seharusnya menjalani hidup dengan sikap yang sederhana itu? Bagaimana merayakan Natal secara sederhana itu? Dengan tidak pesta-pora? Tidak gegap-gempita? Bagaimana?

Sangat jelas tulisan Marselli berangkat dari kecintaan dirinya pada meditasi. Sejauh yang saya ketahui semua penggiat meditasi cenderung hidup dalam kesederhanaan. Walaupun saya sendiri kurang tahu apakah yang menjadi tolok ukur dari hidup sederhana itu. Para selebriti luar negeri juga melakukan meditasi dalam kegelimangan harta mereka. Jadi, hidup sederhana yang seperti apa? Perayaan Natal sederhana yang seperti bagaimana? Kenapa tidak menjual seluruh harta bendanya saja baru kemudian hidup secara sederhana. Saya jadi teringat pada kisah Yesus saat ditanya oleh seorang pemuda yang ingin masuk surga/kerajaan Allah, yang kemudian dijawab Yesus agar pemuda itu menjual seluruh harta bendanya. Atau juga seperti Gautama Buddha atau Mahatma Gandhi atau Bunda Theresa yang hidup dalam kesahajaan.

Di bagian akhir tulisannya Marselli menulis (berdasarkan SMS dari seorang temannya), "...Manusia berharga di mata Allah. Dia (Allah) menyapa lewat Yesus bayi yang tak berdaya. Selamat Natal, semoga berdaya". Apa kaitan kata-kata ini dengan bagian tulisan sebelumnya yang berbicara tentang hidup dan merayakan Natal dengan sederhana? Kenapa di bagian akhir muncul frasa "semoga berdaya"? Manusia dengan seluruh kapasitasnya memiliki daya, entah baik maupun buruk bagi lingkungannya. Apa hubungan peristiwa Natal dan kelahiran Yesus dengan keberdayaan? Figur bayi Yesus tentu tidak memiliki daya apapun, tapi figur Yesus sebagai manusia dewasa tentu berdaya! Yesus sebagai manusia dewasa berdaya saat mengkritik pemerintahan yang lalim pada masanya. Namun jika yang hendak dikatakan bahwa semoga peristiwa Natal memberdayakan, bagaimana caranya? Natal yang sederhana dapat memberdayakan manusia sehingga turut dalam kesederhanaan? Saya sangat meragukan hal ini dapat terjadi.

Rayakanlah Natal dengan segala kemampuan yang ada, mungkin itu yang hendak dicapai dan ditekankan. Tidak berlebihan karena sudah sepatutnya manusia turut prihatin dengan segala yang ada di sekitarnya. Itulah yang dinamakan dengan belarasa. Allah berbela rasa dengan manusia maka ia pun hadir ke dalam dunia dengan cara yang sederhana-bersahaja sebagai bentuk perlawanan terhadap kehidupan yang mewah namun dipenuhi ketidakadilan. Inilah yang dinamakan teologi belarasa.

Olga Lydia & Natal

Tulisan berikut merupakan komentar terhadap pernyataan aktris cantik Olga Lydia yang terdapat dalam harian Kompas, Sabtu, 19 Desember 2009 pada halaman 3 yang berjudul "Kurangi Kado Natal".

"Olga berencana mereformasi kebiasaan bagi-bagi kado untuk keponakan-keponakannya karena bagi-bagi kado itu membuat keponakannya lupa makna Natal yang sesungguhnya . . . ini harus diubah. Sebab, kata Olga, yang penting dari acara (Natal) itu adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan. Ia juga berharap tahun 2010 akan lebih baik dari tahun sebelumnya." (kutipan dari Kompas).

Hal yang membuat saya bertanya-tanya dari pernyataan Olga Lydia adalah ketika ia mengatakan bahwa yang penting dari acara Natal adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan. Saya menduga kuat bahwa itulah makna Natal menurut Olga.

Apakah makna Natal adalah terciptanya kebersamaan dan kehangatan, entah ketika seseorang berada di tengah-tengah keluarga, orang-orang yang dikasihi dan mengasihi kita, di perantauan, pengasingan mungkin, dlsb? Dari mana datangnya tradisi makna Natal yang membawa "kebersamaan" dan "kehangatan" ini? Apakah berasal dari kisah kelahiran Yesus seperti yang dinyatakan dalam Injil Matius dan Lukas? Atau, berasal dari tradisi-tradisi kemudian? Ah, kalau begitu harus ditanyakan kepada Olga Lydia karena dialah yang mengatakan hal tersebut.

"Ah, makna Natal atau makna peristiwa apapun kan terserah masing-masing dong...mungkin orang akan mengatakannya. Kamu saja yang tidak ada kerjaan mengkritisi dan cerewet jadi kebanyakan tanya!"


Oleh karena jika kita hendak bertanya ke Olga mengapa ia mengatakan hal tersebut merupakan hal yang nyaris tidak mungkin karena ia adalah seorang aktris/pelaku seni/selebriti yang sibuk, ditambah kita bukanlah termasuk ke dalam komunitas tersebut, maka saya akan "menduga-duga/menebak-nebak" atau bahasa tingginya, berusaha menafsirkan mengapa dia mengatakan bahwa yang penting dari Natal adalah terciptanya "kebersamaan" dan kehangatan".


Semua orang sudah tahu bahwa Natal adalah merayakan kelahiran Yesus yang diberi gelar Kristus. Tradisi mengatakan bahwa Yesus bukan lahir di tempat yang nyaman/enak/layak, seperti di rumah atau di tenda melainkan di palungan, kandang ternak. Menurut tradisi juga (setidaknya tidak ada gambaran dalam Injil-injil) bahwa Maria (ibu Yesus) melahirkan Yesus dibantu oleh bidan/orang yang cukup ahli membantu proses kelahiran melainkan hanya ditemani oleh Yusuf. Berdasarkan tradisi yang sederhana itu maka saya menduga muncullah perkataan bahwa Natal, setidaknya bagi seorang aktris seperti Olga Lydia, bermakna menjadi peristiwa yang penuh "kebersamaan" dan "kehangatan. Mengapa demikian?

Ditilik dari tempat Yesus lahir saja sudah tidak layak bagi manusia (palungan, kandang ternak), yang tentu bagi banyak orang sudah pasti merupakan tempat yang dingin, tidak hangat seperti di rumah atau tenda karena pasti akan ditemani oleh tempat pembaringan yang empuk dan kain-kain (selimut) yang tebal. Namun demikian, Yesus dilahirkan dalam situasi yang "hangat" dalam dekapan ayah bundanya. Ditambah, ketika lahir Maria tidak mendapat pertolongan dari bidan atau perempuan lain yang paham betul dengan proses kelahiran melainkan hanya ditemani oleh suaminya, Yusuf, seorang tukang kayu (juga menurut tradisi). Namun, walaupun hanya ditemani oleh suaminya, Maria tetap melahirkan Yesus dengan selamat tanpa kurang suatu apapun dan "kebersamaan" keluarga kecil tersebut pun menjadi nyata.


Kandang ternak yang seharusnya dingin, tidak lagi dingin melainkan menjadi hangat karena kehadiran bayi mungil (memang ada ya...bayi yang besar?!) yang lucu dan menggemaskan (memang ada juga ya...bayi yang tidak lucu dan menggemaskan?!). Walaupun hanya bertiga (Maria, Yusuf, dan Yesus) kebersamaan mereka tetap nampak serasi.

Tentu, tafsiran saya sangat bersifat teologis bukan sejarah. Saya hanya menduga, yah...kira-kira begitu mungkin yang dipikirkan oleh Olga Lydia dan mungkin kebanyakan orang Kristen lainnya setiap kali mengatakn bahwa makna Natal salah satunya adalah terciptanya "kebersamaan" dan kehangatan". Itu baru ditilik dari sudut tradisi zaman dahulunya. Sekarang, bagaimana jika Natal dipahami dan dimaknai pada abad 21? Apakah Natal memang cukup dirasa, dialami, dan dimaknai membawa "kebersamaan" dan "kehangatan"? Tentu ya, jika yang merayakan Natal adalah keluarga besar yang rukun, kompak, serasi, dan tinggal di rumah yang nyaman. Bagaimana dengan keluarga atau orang-orang yang hidup dalam keterasingan dan kesendirian, misalnya, mereka yang berada di penjara atau sedang merantau di luar negeri dan hidup seorang diri (maksudnya, tidak ada kerabat yang tinggal di dekatnya)? Bagaimana dengan para lansia yang tinggal di panti jompo, anak-anak yatim piatu, korban bencana alam dan perang, janda - duda, mereka yang disisihkan dan diasingkan oleh keluarga dan masyarakat karena mengidap HIV/AIDS atau kusta atau penyakit lainnya, bahkan keterbatasan-keterbatasan fisik tertentu? Bagaimana dengan mereka?

Orang mengatakan dengan mudah bahwa Natal seharusnya membawa "kebersamaan" dan "kehangatan" tapi hal itu dikatakan cuma sebagai lip service, tidak ada maknanya. "Kebersamaan" dan "kehangatan" Natal sekadar tradisi bagi mereka yang mengalami "kebersamaan" dan "kehangatan" Natal, tidak lebih dari itu. Karena keluarga kami adalah keluarga yang rukun jadi tentu memiliki kebersamaan dan keluarga kami hidup nyaman di rumah yang nyaman jadi tentu juga merasakan kehangatan. Karena "kebersamaan" dan "kehangatan" Natal hanyalah tradisi maka bagi-bagi kado atau cross kado pada saat perayaan Natal juga biarkan saja terus berlangsung, toh juga tradisi dan tidak merugikan siapa-siapa bahkan menyenangkan walaupun saya sama sekali tidak tahu dari mana lagi tradisi bagi-bagi atau cross kado itu berasal saat perayaan Natal.

Ah...ada begitu banyak tradisi keagamaan yang sebetulnya tidak diketahui oleh mereka yang merayakannya, tapi mereka terus saja melakukkannya, seperti mendirikan pohon Natal, menempatkan bintang di ujung atas pohon Natal itu, Santa Claus, Zwarte Piet (Piet Hitam), dan bagi-bagi atau Cross kado. Tradisi yang membuat senang anak-anak. Orang beragama pun menjadi seperti anak-anak karena menyenangi hal-hal tertentu tanpa mengetahui bahkan sama sekali tidak peduli dengan mempertanyakan dari mana tradisi tersebut berasal dan mengapa orang melakukannya (sampai sekarang). [Ah...kamu aja yang cerewet dan kurang kerjaan dengan banyak tanya!!]

Artikel tentang Olga Lydia pun diakhiri dengan perkataannya "Ia juga berharap tahun 2010 akan lebih baik dari tahun sebelumnya". Lha, kok tiba-tiba bicara itu? Apa hubungannya dengan makna perayaan Natal dan rencana mereformasi perayaan Natal di tengah-tengah keluarganya? Betul-betul tidak nyambung.... Saya jadi teringat perkataan teman dulu, "Artis ga usah ngomong (maksudnya jika diwawancara mengenai hal-hal lain selain pekerjaannya) aja deh...jadi ketauan begonya!" Saya pikir...teman saya itu ada betulnya.