Tampilkan postingan dengan label Pembunuhan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pembunuhan. Tampilkan semua postingan

Minggu, 26 September 2010

Bunuh yang Seagama

Tindakan mengadili, mengucilkan, menyiksa, bahkan membunuh orang yang beragama lain sudah banyak terjadi di dunia ini dan sudah menjadi "bagian" dalam kehidupan orang-orang yang mengaku bermoral karena memiliki "kitab suci." Oleh karena itu, tidak aneh apalagi mengagetkan lagi jika manusia membunuh sesamanya karena sesamanya itu memiliki agama yang berbeda dari si pembunuh, dan si pembunuh menganggap bahwa agama orang lain tidak benar sehingga ia pun tega membunuh sesamanya itu. Ini dilakukan karena kepercayaan seseorang yang begitu kuat terhadap kitab yang dianggapnya suci karena berasal dari yang ilahi. Namun sangat aneh bahkan cukup mengagetkan jika pembunuhan dilakukan terhadap orang memiliki agama yang sama. Pembunuhan dilakukan karena seseorang/kelompok menganggap orang/kelompok lain tidak atau kurang beriman atau tidak mematuhi ajaran yang benar. Peristiwa inilah yang beberapa hari lalu terjadi di Dagestan, Rusia.

Jika kelompok yang dengan tega telah membunuh sesamanya yang beragama sama dengan mereka mengatakan bahwa mereka (orang-orang yang dibunuh) tidak mematuhi agama yang benar, bukankah mereka beragama dan beriman yang sama? Bukankah mereka membaca, menaati, dan berpedoman pada kitab yang sama? Jika mereka tidak, apakah ada lebih dari satu ajaran dalam agama yang sama itu? Jika dalam agama yang sama terdapat ajaran yang berbeda, bagaimana cara mengukur atau menilai ajaran mana yang lebih benar dari ajaran lainnya? Apakah ukuran yang digunakan untuk menilai ajaran yang satu lebih baik dari ajaran lainnya? Apakah ukuran yang dipakai untuk menilai adalah buku yang dianggap "suci" oleh orang-orang yang mempercayainya? Sekali lagi, bukankah mereka menggunakan buku yang sama? Lalu apakah ukurannya? 

Banyak orang tidak menyadari bahwa agama merupakan hasil tafsir masing-masing orang atau kelompok terhadap sesuatu yang dianggapnya "suci," berada melampaui dirinya, mengatur hidupnya, bahkan berkuasa atas kehidupannya. Semuanya itu berdasar pada buku yang dianggapnya "suci." Oleh karena mereka membaca berbagai kisah masa lalu dan peristiwa yang dipercayanya sebagai mukjizat, maka orang-orang itu meyakini bahwa ada sesuatu yang berada di luar dan di atas diri dan hidupnya. Orang-orang beragama percaya apa yang terjadi pada masa yang sangat lampau merupakan peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi, bahkan terjadi juga saat ini ketika mereka membaca kisah-kisah tersebut. Mereka tidak menyadari bahwa kisah-kisah itu juga merupakan hasil tafsir terhadap peristiwa yang sama karena sesungguhnya kita tidak bisa mengetahui secara pasti apakah peristiwa-peristiwa itu sungguh terjadi atau tidak. 

Oleh karena agama hanyalah tafsiran orang-orang tertentu yang akhirnya percaya terhadap agama dan tuhan tertentu, maka dengan demikian, tidak ada ukuran yang pasti mengenai kepercayaan mana yang benar karena setiap orang menafsirkan menurut konteks di mana ia hidup dan kepentingan tertentu yang ada di belakangnya. Setiap orang akan memahami, menilai, dan menafsirkan sebuah tulisan/kisah yang terdapa dalam "kitab suci" berdasar pada konteks keberadaannya. Jadi, tidak ada ukuran pasti yang dapat digunakan untuk menilai ajaran mana yang lebih benar dari yang lainnya. Bahkan keberadaan Tuhan pun tidak lebih dari sekadar upaya manusia mencoba memahami dan menafsirkan sesuatu yang dianggapnya berada di luar dan di atas dirinya. Sesuatu yang dipercayanya mengatur bahkan berkuasa atas diri manusia. Jika demikian, maka "keberadaan" figur yang disebut dan dinamakan Tuhan atau Allah itu pun tidak lain dari hasil tafsir manusia setelah membaca berbagai tulisan/kisah yang terdapat dalam sebuah kitab yang dianggap "suci." Bagaimana seandainya cap "suci" itu disisihkan dari pemikiran sebagian besar orang (baca: orang beragama dan/atau bertuhan)? Kemungkinan besar hasil tafsirnya menjadi berbeda!

Sabtu, 18 September 2010

Hati-hati Memberikan Sebutan

Seorang lelaki mengaku alasan dirinya membunuh karena selalu didatangi bayangan yang menyerupai wajah korban. Oleh karena merasa terganggu oleh bayangan yang mendatangi dirinya itulah pelaku membunuh korban. Banyak orang mungkin segera bereaksi dengan mengatakan bahwa laki-laki itu hanya mencari-cari alasan untuk membunuh atau mengatakan laki-laki itu gila. Apakah laki-laki yang telah melakukan pembunuhan itu memang gila karena mengaku telah didatangi oleh bayangan yang wajahnya mirip dengan wajah korbannya?

Jika bayangan yang dilihat laki-laki tersebut terjadi ketika ia tidur, maka sesungguhnya ia hanya bermimpi. Namun, jika bayangan yang mendatanginya itu bukan terjadi pada saat tidur melainkan ketika ia berada dalam keadaan terjaga/bangun, maka kemungkinan besar ia mengalami halusinasi. Dengan demikian, mengatakan laki-laki tersebut gila sangatlah tergesa-gesa dan tidak bijak karena setidaknya dibutuhkan waktu enam bulan untuk melakukan diagnosa sebelum kata "gila" itu disematkan pada diri seseorang.  

Oleh karena itu, kata yang tepat yang bisa ditujukan kepada laki-laki yang melakukan pembunuhan itu adalah "halusinasi." Artinya, pengakuan bahwa ia seringkali melihat bayangan  wajah seseorang dalam keadaan sadar merupakan salah satu ciri orang yang mengalami halusinasi. Sejauh keterangan yang bisa diperoleh melalui berita tersebut, maka halusinasi merupakan kata yang cukup bijak jika orang hendak menyebut laki-laki yang telah membunuh  itu karena gejalanya sesuai dengan keterangan yang tersedia. 

Orang harus hati-hati ketika menyematkan sebutan tertentu kepada sesamanya karena hal tersebut bisa sangat menyesatkan apalagi jika hal yang sama dilakukan orang-orang lainnya terhadap orang yang sama. Hal ini bisa bertambah parah jika sebutan yang salah tersebut dengan cepat melekat pada orang yang bersangkutan padahal analisis medis belum dilakukan terhadap orang itu. Oleh karena itu, berhati-hatilah dalam memberikan sebutan terhadap orang lain karena sebutan itu bisa saja salah apalagi jika tidak didukung oleh penelitian yang memadai.

Sabtu, 31 Juli 2010

Memanfaatkan Kesempatan

Ketika sebagian besar orang di dunia khususnya warga Afrika tenggelam dalam perhelatan empat tahunan olahraga terbesar di dunia - sepakbola - yang tahun ini diadakan di Afrika Selatan, ada saja orang-orang yang memanfaatkan kesempatan itu untuk membunuh sesamanya. Inilah yang dilakukan tiga orang Kenya ketika meledakkan bom di saat penduduk Uganda menyaksikan tayangan final Piala Dunia 2010 melalui TV. Tindakan keji tersebut mengakibatkan  76 orang meninggal dan 70 lainnya luka-luka.

Ternyata perhelatan olahraga seperti sepakbola yang sebenarnya sangat populer di Afrika tidak kuasa membendung hasrat membunuh para fundamentalis agama di Afrika. Padahal Piala Dunia untuk pertama kalinya diadakan di benua Afrika, namun ternyata hal ini tidak berpengaruh pada para fundamentalis agama yang hidup di Afrika. Mereka malah menggunakan kesempatan ini  dengan keji membunuh sesamanya yang juga warga benua Afrika. Sungguh merupakan tindakan yang sangat kejam karena sama sekali tidak menghargai kemanusiaan.

Selasa, 22 Juni 2010

Membunuh demi Kehormatan

Nilai kemanusiaan kembali disisihkan oleh nilai yang dianggap oleh kelompok masyarakat tertentu (India) lebih penting dan bermatabat. Kelompok tersebut menganggap jika ada anggota kelompoknya berhubungan dengan orang yang berasal dari kasta berbeda dan lebih rendah, maka tindakan tersebut merupakan cela. Oleh karena itu, pembunuhan terhadap pasangan yang berhubungan tersebut merupakan suatu hukuman yang layak dan setimpal dengan kecemaran yang telah diakibatkan oleh tindakan mereka. Bahkan pembunuhan tersebut diperhitungkan sebagai tindakan terhormat.

Betapa teganya orang-orang yang melakukan tindakan keji seperti itu dengan mengatasnamakan pembunuhan yang telah dilakukannya sebagai sesuatu yang terpuji bahkan terhormat. Bahkan mereka menganggap bahwa hubungan yang dilakukan oleh pasangan yang berasal dari kasta berbeda lebih keji dibandingkan pembunuhan. Lebih lanjut dikatakan oleh kelompok tersebut bahwa hubungan yang dilakukan oleh pasangan yang berasal dari kasta yang berbeda sebenarnya merupakan tindakan pembunuhan yang dilakukan secara perlahan dan menyengsarakan bagi anggota keluarga dan kelompok mereka yang masih hidup. Oleh karena itu, bagi mereka, pembunuhan terhadap pasangan tersebut merupakan tindakan yang lebih baik.

Kenyataan yang sungguh memprihatinkan sekaligus menyedihkan ketika pembunuhan dilakukan dengan mengatasnamakan "kehormatan"! Ternyata, bagi kelompok tersebut "kehormatan" keluarga atau kelompok mereka jauh lebih tinggi daripada nyawa manusia yang membuat dan menentukan ukuran "kehormatan" sendiri. (Walaupun ukuran "kehormatan" yang dianut tidaklah jelas.) Tindakan membunuh demi menjaga "kehormatan" keluarga atau kelompok sangatlah tidak masuk akal, apalagi manusiawi karena seharusnya manusia itu sendiri yang dijunjung lebih terhormat dibandingkan sesuatu yang dibuatnya. Namun nyatanya kelompok tersebut lebih memilih menjunjung sesuatu yang dibuatnya ("kehormatan") ketimbang yang membuatnya (manusia). Killing for the sake of our family's or group's honour, my ass!

Jumat, 04 Juni 2010

Sepertinya Kaget...

Beberapa hari lalu terjadi peristiwa yang bagi banyak orang sangat mengagetkan karena seorang yang sehari-hari terlihat sebagai "orang biasa" dan cenderung pendiam mengamuk dan membunuh 12 orang serta melukai 25 orang lainnya. Tanpa dapat diduga sama sekali, khususnya oleh mereka yang dekat (keluarga, tetangga, dan teman-teman sekerja), laki-laki yang cenderung pendiam namun ramah tersebut tega melakukan tindakan yang sangat keji. Tindakannya itu meninggalkan "kesan" yang sangat mendalam, baik orang-orang yang membaca ataupun mendengarkan berita tersebut, terlebih keluarga yang anggotanya menjadi korban.

Banyak orang menanggapi tindakan laki-laki tersebut dengan bersikap sepertinya kaget bahkan tercengang karena sama sekali tidak menyangka perbuatan laki-laki yang memiliki hobi berburu tersebut. Ia membunuh dan melukai banyak orang menggunakan senapan yang biasa digunakannya untuk berburu. Beberapa orang menduga jika perbuatan laki-laki tersebut dipicu dan didorong bukan semata-mata oleh hobi berburu/menembak yang dilakukannya. Sangat mungkin ada latar belakang lain yang membuat laki-laki tersebut membunuh dan melukai banyak orang. Namun sayangnya laki-laki tersebut bunuh diri sehingga para psikolog dan/atau neurolog tidak bisa "membedah" kecenderungan-kecenderungan yang ada dalam sikap laki-laki tersebut dan apa yang terdapat di dalam otak laki-laki tersebut. Seandainya hal-hal tersebut terjadi maka bisa saja ditemukan jika ia mengidap skizofrenia.

Salah satu hal yang pasti adalah bahwa tindakan yang dilakukan laki-laki tersebut seharusnya tidak disikapi dengan kaget apalagi sampai tercengang karena tindakan tersebut bisa dilakukan siapa saja, khususnya oleh mereka yang mengidap gangguan mental tertentu, seperti skizofrenia. Ini tidak berarti bahwa skizofrenia dan pembunuhan selalu berkaitan. Artinya, pembunuhan tidak selalu diakibatkan oleh skizofrenia atau gangguan mental lainnya. Namun, bisa saja gangguan mental tertentu, seperti skizofrenia mengakibatkan orang yang mengidapnya melakukan perbuatan-perbuatan fatalistik yang bagi banyak orang sangat mengagetkan. Namun demikian, sesungguhnya hal tersebut sama sekali tidaklah mengagetkan karena seluruhnya tindakan manusia dipengaruhi bahkan diatur otak.