Rabu, 24 November 2010

Alasan "Gaib"

Seorang pemuda memerkosa banyak gadis cilik dengan alasan untuk memenuhi permintaan makhluk gaib yang telah menyelamatkannya dari kecelakaan maut. Mungkin orang banyak orang segera bereaksi terhadap pengakuan pemuda tersebut dengan mengatakan: "Ah, alasan ajah, bilang ajah kalo emang mo perkosa anak-anak!" atau "Dasar orang gila, bilang ajah pengen merkosa anak-anak kecil, ga usah bawa-bawa makhluk gaib segala!" 
 
Dua reaksi di atas bisa dianggap emosional akibat geram dan benci terhadap tindakan pemuda tersebut. Di satu sisi, reaksi yang demikian  bisa diterima, terlebih jika diungkapkan orangtua-orangtua yang memiliki anak-anak gadis yang masih kecil, karena mungkin saja mereka terbayang seandainya hal tersebut dialami oleh anak-anak gadis mereka yang masih kecil. Artinya, reaksi tersebut sangatlah lumrah jika dilontarkan oleh orangtua. Namun di sisi lain, reaksi tersebut bisa diperhitungkan sebagai hambatan untuk membaca pernyataan pemuda itu secara lebih jernih, dengan meminimalkan penggunaan emosi yang tidak sehat. Dikatakan tidak sehat karena sangat mungkin reaksi tersebut lahir akibat penggunaan emosi yang tidak pada tempatnya sehingga serta-merta mengatai pemuda tersebut sebagai orang gila.

Bisa saja apa yang diakui oleh pemuda tersebut benar. Artinya, ia mendengar bahwa ada suara yang mendorongnya untuk memerkosa anak-anak gadis yang masih kecil. Bagaimana hal tersebut bisa diketahui? Tentu, dengan melakukan pemeriksaan/penelitian psikologi yang melibatkan unsur-unsur pikiran serta mental pemuda tersebut. Jika pemeriksaan psikologi yang ketat telah dilakukan dan hasilnya mengatakan bahwa pemuda tersebut memang memperoleh suara-suara tertentu yang mendorongnya melakukan pemerkosaan, maka pengakuannya tersebut bisa diperhitungkan sebagai kebenaran. Tentu, pemeriksaan ini harus dilakukan dengan melibatkan berbagai unsur dan perangkat (orang dan alat) yang baik sehingga hasil pemeriksaan tersebut bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Jika demikian, pemuda tersebut diperhitungkan mengidap delusi. 

Jika pemuda tersebut terbukti benar mengalami delusi, apakah ia akan lolos dari hukuman? Dalam pengertian tertentu ya. Artinya, penjara bukanlah tempat yang cocok untuk seseorang yang mengidap delusi melainkan rumah sakit jiwa-lah tempat yang lebih cocok. Penjara hanya cocok untuk orang-orang yang tidak mengidap penyakit, sedangkan delusi digolongkan ke dalam salah satu penyakit yang mempengaruhi, baik mental maupun fisik penderitanya. Oleh karena itu, tidak tepat jika orang yang mengidap delusi dipenjarakan, tepatnya orang tersebut dirumahsakitkan. Jika setelah mengalami "penahanan" di rumah sakit keadaan orang bersangkutan (pemuda yang mengaku mendapat bisikan dari makhluk gaib) membaik dan bisa diperhitungkan tidak mengidap delusinasi lagi, maka ia bisa diajukan ke pengadilan untuk dituntut dan dikenai sanksi-sanksi akibat perbuatannya, untuk kemudian dipenjarakan.

Mungkin ada pendapat mengatakan: "Mengapa tidak dipenjarakan saja, nanti kalo cuma dimasukin ke rumah sakit kabur deh...?!" atau "Wah, enak banget cuma dimasukin ke rumah sakit jiwa, bukan ke penjara!" Masalah kabur atau tidaknya si pengidap delusi merupakan tanggung jawab pihak rumah sakit dan bukan juga mengenai mana yang lebih enak. Fokus tulisan ini menanggapi berita di atas adalah mengenai penanganan yang tepat terhadap warga negara. Jika bangsa ini mengaku sebagai bangsa yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan dengan memperjuangkan hak asasi kemanusiaan, maka penanganan yang tepat terhadap setiap warganya adalah salah satu bukti nyata yang bisa dipertanggungjawabkan. Tanggung jawab aparat hukum-lah untuk menerapkan ketepatan penanganan terhadap setiap warga negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tidak setuju dengan pandangan saya? Silahkan mendebatnya.