Tampilkan postingan dengan label Demonstrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Demonstrasi. Tampilkan semua postingan

Rabu, 29 September 2010

Panik Akibat Dugaan

FPI melancarkan protes dan demonstrasi terhadap pemutaran film yang dilakukan di Pusat Kebudayaan Jerman Goethe House, Jakarta Pusat, karena mereka menduga film tersebut berisi kampanye tentang hubungan sesama jenis. Mereka menganggap film tersebut sangat tidak sesuai dengan ajaran agama dan dapat merusak moral bangsa terutama generasi muda. Tindakan FPI tersebut sangatlah konyol karena sangat mungkin belum ada di antara mereka yang menonton film itu, namun sudah melancarkan aksi. Sikap inilah yang masih banyak dianut orang di mana mereka belum membaca, menyaksikan, atau melihatnya sesuatu melainkan  hanya mendengarnya dari orang lain (komentar orang bahkan gosip), tetapi sudah memberikan komentar, bahkan aksi protes yang hanya berdasar pada pengamatan orang lain. Inilah konyolnya di mana banyak orang bersikap sok tahu terhadap sesuatu padahal hal itu sama sekali tidak diketahuinya atau ia memiliki pengetahuan yang minim mengenai hal itu, tetapi bersikap seolah-olah mereka mengetahui betul hal tersebut.

Sesungguhnya tindakan seperti yang dilakukan FPI tidaklah aneh, namun cukup membuat kening mengerenyit akibat aneh, bahkan mengakibatkan tawa sangking konyol. Ditambah tindakan FPI yang memprotes keras pemutaran film itu karena mengaitkannya dengan agama dan moral bangsa secara keseluruhan. Sepertinya mereka lupa atau memang tidak tahu jika banyak hal dalam seni yang tidak sejajar dengan agama alias bertentangan. Jangan lupa, film yang diputar dan kemungkinan besar juga akan diputar di pusat-pusat kebudayaan lainnya di Jakarta itu memang bukan film agama. Mungkin saja film itu memang berdasar pada kisah nyata, namun tetap saja itu hanya merupakan sebuah film. 

Dengan demikian, pahamilah film sebagai sebuah karya seni bukan sejarah sekalipun film tersebut berkisah tentang sejarah. Artinya, dalam sebuah karya seni ada unsur-unsur yang tidak bisa dipahami melalui sudut agama karena memang sudut pandangnya yang berbeda. Agama pun merupakan cara pandang orang terhadap sesuatu yang coba dipahami dan direfleksikan berdasar konteks di mana orang itu berada. Demikian pun dengan film, karena mencoba menampilkan segi tertentu mengenai sebuah objek atau suatu peristiwa. Oleh karena itu, pandangan dan penilaian masing-masing orang tentu berbeda. Kesalahannya - seperti yang dilakukan FPI - ketika orang mencampuradukkan, bahkan memasukkan sudut pandangnya terhadap sesuatu yang dibaca, dilihat, atau disaksikannya. Tanpa disadari orang tersebut sesungguhnya ia telah memperkosa sebuah ide atau objek yang dibaca, dilihat, atau disaksikannya karena ia berusaha memasukkan pemikirannya sendiri.

Kekonyolan yang juga banyak dilakukan orang - seperti juga dilakukan FPI - adalah menarik suatu peristiwa "kecil" menjadi persoalan yang begitu besar atau luas. Yang dilakukan oleh Goethe House Institute Jakarta hanyalah memutar sebuah atau beberapa film. Namun, hal itu dianggap FPI (mungkin juga banyak orang lainnya) bisa mempengaruhi pikiran banyak orang, tidak peduli apakah mereka menonton atau tidak menonton film (-film) tersebut. Apakah sebuah atau beberapa film mempengaruhi pikiran orang? Sangat mungkin. Namun apakah sebuah atau beberapa film mempengaruhi masyarakat? Sangat diragukan. Dalam konteks Indonesia, film tidak mempengaruhi masyarakat secara luas, namun individu-individu-lah yang mempengaruhi masyarakat secara luas. Artinya, individu-individu tertentu yang memiliki dan dianggap sebagai otoritas dalam masyarakat yang sangat bisa memberikan pengaruh yang lebih luas, dimulai dari kelompoknya sendiri. Dengan demikian, dalam konteks Indonesia, kekuatan sebuah atau beberapa film untuk mempengaruhi pikiran masyarakat Indonesia tidaklah begitu kuat/besar seperti yang dipikir, diduga, dianggap, atau dipercaya FPI dan  mungkin banyak orang lainnya karena yang memiliki kekuatan yang sangat besar untuk mempengaruhi bahkan mengendalikan pikiran masyarakat adalah otoritas-otoritas tertentu dalam masyarakat yang bergerak mulai dari kelompoknya sendiri. Jelas, sikap FPI menunjukkan kepanikan yang berlebihan terhadap sesuatu yang sesungguhnya "kecil" karena kemungkinannya untuk mempengaruhi masyarakat luas sangatlah tipis.

Terakhir, apa yang dilakukan FPI - terlepas dari film yang telah dan akan diputar - malah sangat mungkin akan membuat banyak orang yang tidak mengetahui film tersebut (karena awalnya hanya diputar di pusat-pusat kebudayaan di Jakarta) penasaran ingin menyaksikan film tersebut karena rencananya film tersebut akan ditayangkan di bioskop-bioskop, selain juga di kampus-kampus. Jadi, yang dilakukan FPI bukannya menghambat atau menutup "akses" kepada orang banyak, tetapi sebaliknya, mereka malah membuat banyak orang tahu mengenai "keberadaan" film tersebut dan sangat mungkin akan membuat orang banyak ingin menyaksikan film tersebut, entah di bioskop ataupun membeli DVD bajakannya. Jika ini yang terjadi, maka ucapan "terima kasih" tidak layak dilayangkan kepada FPI karena mereka telah membuat film itu menjadi diketahui masyarakat (baca: warga Jakarta) luas. Jika film yang diputar berjudul Fucking Different Tel Aviv, maka kata-kata yang tepat untuk tindakan FPI tersebut adalah: Fucking Silly FPI.

Senin, 16 Agustus 2010

Tidak Setuju!

Meski saya termasuk orang yang enggan melakukan demonstrasi dengan alasan malas berpanas ria di bawah terik matahari atau tidak mau "takut" diguyur air hujan jika hujan, namun saya berpikir bahwa demonstrasi termasuk salah satu cara mengekspresikan pendapat yang cukup efektif seperti halnya melalui tulisan. Oleh karena itu, saya tidak setuju dengan Menteri Pendidikan Nasional RI, Muhammad Nuh, yang meminta agar para guru tidak berdemonstrasi. Ia menganggap aksi demonstrasi sebagai cara yang "tidak mulia dalam berekspresi." Ia menambahkan bahwa guru sebagai profesi yang mulia sebaiknya tidak melakukan aksi demonstrasi melainkan hendaknya menunjukkan keahlian atau prestasinya. Terhadap pernyataan bahwa guru sebaiknya menunjukkan keahlian atau prestasinya adalah hal yang baik. Artinya, saya sangat setuju bahwa guru memang sudah seharusnya menunjukkan keahlian dan ketrampilan di bidangnya masing-masing. Namun, himbauan atau larangan bapak Menteri agar guru tidak berdemonstrasi, tidak bisa diterima alias saya tolak.

Tidak ada yang berhak membatasi apalagi melarang orang atau sekelompok orang yang hendak mengekspresikan pendapat atau pandangannya di muka umum. Selama cara berekspresi yang hendak ditampilkan sesuai dengan hukum yang berlaku (khusus mengenai demonstrasi: sebelum melakukan aksi sudah harus melapor ke polisi) dan tidak mengganggu ketertiban dan kenyamanan umum. Tentu, mengenai hal yang terakhir merupakan kewajiban aparat keamanan untuk mengaturnya. Oleh karena itu, aksi demonstrasi sebagai salah satu cara untuk mengungkapkan pendapat merupakan hak warga negara Indonesia dan tidak melanggar hukum karena sesungguhnya malah dilindungi oleh hukum. 

Terlepas dari latar belakang dilakukannya berbagai aksi demonstrasi yang pernah dilakukan oleh begitu banyak orang di seluruh penjuru dunia, entah dengan alasan yang mungkin bagi orang lain terdengar sepele ataupun alasan yang serius, sudah merupakan hak setiap warga negara untuk mengemukakan pendapatnya dengan cara apapun termasuk dengan berdemonstrasi. Dan sebaliknya, sudah menjadi kewajiban pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap para demonstran ketika mereka melakukan aksinya. 

Dengan demikian, ketika para guru melakukan aksi demonstrasi pastilah sesuatu yang melatarbelakangi aksi tersebut serta ada tujuan yang hendak dicapai melalui demonstrasi itu. Oleh karena itu, pernyataan Muhammad Nuh "jangan khawatir guru pasti akan tetap ada yang mengurusi, lha orang gurunya ada masa nggak ada yang urusi" tidak lebih dari sekadar pernyataan yang hendak memberikan harapan kepada guru-guru karena kenyataannya  tidak jarang para guru malah tidak menerima apa yang menjadi haknya. Jika itu yang terjadi maka tidak perlu heran jika para guru pun turun ke jalan dan melakukan aksi demonstrasi untuk menuntut haknya karena mereka menganggap pemerintah (dhi. Kementrian Pendidikan Nasional) tidak berbuat apa-apa atau lambat dalam bertindak.